BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Love Story : We Can (Part 2 - Seoul, Day Four)

edited August 2013 in BoyzStories
Selamat Datang, ngamanin lapak dulu nih!

Bagi yang suka cerita fiksi, ini aku share satu cerita coretanku. Semoga bisa menghibur walaupun tentu saja masih jauh dari kata sempurna.

Love Story : We Can

Peringatan saja buat yang tidak suka dengan hal-hal yang berbau Korea. Karena satu tokohnya orang Korea dan salah satu settingnya di Korea. Tapi gak ada hal2 berbau korea sih.

Peringatan juga buat yang tidak suka dengan pernikahan sesama jenis. Karena dalam cerita ini, unsur utama ceritanya seperti itu, bukan cerita tentang anak SMP, SMA ataupun anak kuliahan.

Dan satu lagi, sepertinya ceritanya lumayan berat. Dan maaf bagi yang suka 'adegan sex' dan 'hal-hal berbau ngakak ketawa' karena di cerita ini gak ada kedua unsur itu.


Ditunggu kritik dan sarannya ya!!!!
Dan ya, Kalau tidak suka, lebih baik tidak membaca atau tidak dilanjutkan. Daripada nyesel dan kecewa. Hehehe
«13456723

Comments

  • edited April 2013
    PART 1

    **** - ****


    Semua bewarna putih sejauh mata memandang. Bahkan hampir di semua tampat terbuka di seluruh kota Assen seolah-olah tak mampu terhindar dari tumpukan salju yang semakin lama semakin menggunung. Sepertinya langit tidak pernah kehabisan persediaan es untuk dijatuhkan. Bahkan sempat terpikir di benakku berapa banyak gelas es krim yang bisa kubuat jika aku mengumpulkan semua salju di kota ini, mungkin aku akan mejadi lebih kaya. Namun begitu, semua masih terasa asing bagiku walaupun aku sudah setahun lebih pindah ke tempat ini, semenjak bulan Januari tahun lalu. Bukan karena musim dinginnya ataupun salju-salju ini, tetapi karena keadaanku dan kehidupanku yang sekarang.

    Cuaca lebih dingin daripada hari kemarin saat aku pulang dari bekerja. Tentu saja karena suhu di musim dingin akan mencapai titik terendahnya pada bulan Ferbruari seperti ini, mungkin hari ini sekitar minus lima derajat celcius. Bahkan tak henti-hentinya sedari tadi aku bermain dengan hembusan nafasku yang selalu terlihat seperti aku sedang merokok walaupun aku bukan seorang perokok. Ini memang dingin, walaupun aku sudah mengenakan mantel tebal dan aku berada di dalam bis. Koran tadi pagi yang sedang kubaca merupakan satu-satunya pelampiasanku untuk mengalihkan perhatianku agar aku berhenti mengeluh dengan cuacanya. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan cuaca seperti ini, tapi bagaimanapun juga dingin tetaplah dingin. Sampai kapanpun tubuhku tak akan sanggup menghadapinya secara langsung tanpa mantel, baju tebal berlapis, sarung tangan ataupun syal.

    “Sudah sampai.”

    Sedari tadi aku memang sudah tidak sabar untuk mendengar kalimat itu keluar sendiri dari mulutku karena di benakku tidak ada yang kupikirkan lagi kecuali secepat mungkin masuk kamar, menyeduh kopi panas, dan melilitkan selimut tebal ke seluruh tubuhku. Selain itu, tidak ada satupun alasan logis bagi seseorang untuk berlama-lama berada di luar jika udaranya sudah sedingin ini.

    “Malam Joris.”

    Kutunjukkan satu senyum ramahku pada salah satu petugas keamanan yang tengah berjaga di lobi apartemen yang kutinggali. Mungkin sebelum masuk ke dalam, aku bisa berbincang-bincang dengannya. Wajahnya sudah mengisyaratkan kalau dia sedang dalam keadaan bosan yang cukup parah walaupun sempat membalas senyumanku.

    “Malam ini adalah final, anda mau bertaruh untuk tim anda?”

    Bahkan Joris seperti sudah tidak bisa menahan dirinya untuk memulai berbicara denganku begitu aku duduk di sampingnya. Aku tahu dia menghabiskan waktu seharian di sini sendiri dengan bosan semenjak rekan kerjanya, Dylan mengambil cuti beberapa hari yang lalu. Dan sudah menjadi kebiasaanku untuk duduk menemaninya sekitar lima sampai sepuluh menit setelah aku tiba di sini dan sebelum aku masuk ke dalam. Joris merupakan pribadi yang menyenangkan dan aku merasa cocok untuk ngobrol dengannya walaupun sekarang ini usia Joris baru menginjak dua puluh enam tahun, empat tahun lebih muda daripada usiaku.

    “Baik, tapi jangan menyesal kalau kamu kalah lagi malam ini. Mungkin setelah makan malam aku akan turun lagi dan menonton bersamamu.”

    Ada seberkas senyum di wajahnya yang mengisyaratkan bahwa dia senang dengan obrolan kami. Rasa kesepiannya itu terkesan berlebihan tapi tetap saja aku bisa memakluminya. Tidak akan ada yang tahan untuk menghabiskan waktu sendirian seorang diri bahkan jika itu menyangkut suatu pekerjaan, kecuali bagi orang yang anti sosial atau yang sengaja mencari waktu untuk sendiri.

    “Bagaimana hari ini? Banyak pengunjung?”

    “Iya semenjak sebulan yang lalu kedai makanku semakin ramai. Kapan-kapan datang berkunjung saja, kuberikan gratis untukmu sekali-sekali.”

    “Restoran sebesar itu anda sebut kedai makan? Tapi terima kasih. Oh ya, apa anda tidak langsung masuk ke dalam saja?”

    Sebenarnya aku belum berniat beranjak dari tempat ini karena obrolan kami mungkin saja semakin lama akan semakin menyenangkan. Tidak banyak orang yang kukenal di sini dan tidak biasanya juga Joris langsung bertanya seperti itu padahal tidak sampai satu menit aku duduk menemaninya. Aku paham, mungkin saja dalam benaknya dia merasa tidak enak jika aku di sini menemaninya sedangkan semua orang yang baru saja pulang dari kerja, seharusnya dengan langkah dipercepat masuk ke dalam begitu saja dengan tergesa-gesa.

    “Apa kamu tidak senang jika kutemani?”

    “Bukan begitu, hanya saja anda terlihat sangat lelah, setidaknya harus istirahat dulu sebentar.”

    Aku sebenarnya memang ingin berlama-lama di sini, menemaninya. Tapi raut wajah Joris seakan mampu memaksaku untuk segera meninggalkannya. Aku tahu mungkin saja dia merasa tak enak padaku karena aku terkesan mengasihaninya, menghabiskan waktu berhargaku yang bisa saja kugunakan untuk segera beristirahat di dalam. Aku ingin meyakinkannya bahwa aku tidak berpikir seperti itu tapi lagi-lagi ekspresi wajahnya hanya dapat membuatku menghela napas dan mulai beranjak meninggalkannya dengan satu tepukan akrab di bahunya dan senyum yang menghiasi wajahku.

    “Sepi?”

    Itulah kesan pertamaku saat aku mulai menunggu pintu elevator di depanku untuk segera terbuka. Bahkan sekarang aku bisa mengatakan bahwa kegiatan menunggu seperti ini sudah bisa kembali memunculkan rasa bosanku dengan mudah, setidaknya untuk saat-saat seperti ini. Aku tidak mengharapkan seseorang menyapaku atau mengajakku mengobrol sampai pintu elevator ini terbuka, hanya saja aku memang tidak suka suasana sepi seperti ini.

    “Jangan sekarang!”

    Kata pertamaku kuucapkan dengan lirih saat aku melihat senyum terukir di wajah seorang wanita yang cantik berkacamata dengan rambut pirang lurusnya dalam balutan baju merah sederhana yang tengah berdiri di dalam elevator begitu pintunya terbuka, Ilse. Tanpa satu kata untuk menyapaku terlebih dahulu, Ilse langsung menggapai lenganku dan menyeretku paksa menuju kafetaria kecil yang tak jauh dari tempat kami tadi. Di lantai dasar memang ada satu kafetaria kecil yang bisa kubilang sangat membantu dan merupakan tujuan utama untuk bersantai apalagi di cuaca dingin seperti ini. Sepertinya sepuluh menit dengan segelas capucino hitam panas ditemani wanita cantik ini bukanlah ide yang buruk.

    “Jadi ceritakan apa saja yang telah kulewatkan selama aku ada di Jepang! Aku baru saja kembali hari ini.”

    Akan lebih menyegarkan telinga seandainya dia berbasa-basi terlebih dahulu atau dia membiarkanku untuk menanyakan kabarnya. Selain Joris dan Dylan, Ilse juga merupakan salah satu orang yang kukenal baik di lingkungan ini. Setidaknya dia adalah orang pertama yang kutemui saat aku menginjakkan kaki di tempat ini.

    “Bagaimana dengan... “apa kabar” terlebih dahulu?”

    Aku memang tidak seharusnya heran dengan wajah bosannya setelah mendengar satu kalimat basa-basiku. Ilse merupakan wanita yang sampai sekarang masih memiliki rasa ingin tahu yang besar dengan kehidupanku. Bahkan setiap kali aku berbicara dengannya, porsi bahan obrolan kami yang melibatkanku di dalamnya hampir mencapai sembilan puluh persen.

    “Bagaimana kalau makan malam berdua akhir pekan ini? Kamu berhutang banyak cerita padaku. Aku tidak akan pernah mau melewatkannya.”

    Hanya dengan melihat satu gerakan-meminum-coklat-panasnya, kesan anggun sudah melekat kuat padanya. Selain itu dia adalah wanita karir, masih sendiri, mandiri, dua puluh sembilan tahun dan masih terlihat seperti gadis berusia dua puluh tahun. Kudengar banyak yang sudah ingin mejalin hubungan serius dengannya tapi sampai sekarang sepertinya dia masih belum membuka kesempatan pria lain untuk mendekatinya.

    “Seperti biasa, aku tidak bisa, Ilse”

    “Tim, ayolah...!”

    Bahkan aku perlu mengalihkan pandanganku ke arah lain atau dengan cepat berkonsentrasi untuk meminum capucino panasku saat dia mulai merajuk karena jika tidak, aku pasti akan luluh padanya. Sekali lagi yang harus kulakukan seperti biasanya adalah memperlihatkan tangan kiriku padanya dan menggerak-gerakkannya memutar pelan. Itu sudah cukup memberinya alasan bahwa aku memang benar-benar tidak bisa karena satu cincin sudah melingkar kuat di jari manis kiriku.

    “Apa kamu lupa kalau aku sudah menikah?”

    Masih saja terasa aneh kalau aku harus terus memperingatkannya soal statusku yang tidak sendiri lagi. Makan malam berdua dengan seorang wanita di akhir pekan sudah kuanggap sebagai sebuah kencan, dan itu memang yang dimaksudkan Ilse. Bagaimanapun juga aku tidak ingin dibilang atau dianggap selingkuh sedikitpun.

    “Tim, aku bahkan sampai sekarang masih belum percaya kalau kamu sudah menikah. Lepaskan cincin itu saat bersamaku dan kita bisa pergi berkencan.”

    Sekarang ini aku bisa sangat mudah menangkap maksud candaannya itu. Dulu sebelum Ilse menyadari kalau aku memakai cincin yang artinya aku sudah ada yang memiliki, saat itu pula dia langsung mengatakan padaku bahwa dia menyukaiku dan nyaman bersamaku sehingga dia ingin tahu tentangku lebih jauh. Tentu saja saat itu aku hanya bisa melotot dengan penuh rasa tidak percaya.

    “Apa kamu ingin dia memarahiku kalau tahu aku melepas cincinku dan pergi berkencan dengan orang lain?”

    “Ah, aku sangat iri padanya. Wanita mana yang tidak iri padanya karena bisa mendapatkanmu.”

    Aku tidak tahu apakah ini masih dalam artian bercanda tapi aku benar-benar melihatnya kesal dan sangat tidak suka mengetahui statusku yang memang sudah dimiliki orang lain. Ini adalah kalimat protes yang paling tidak kusangka bahkan kalau kami sudah dekat selama setahun terakhir lebih.

    “Masih banyak pria yang lebih baik dariku. Dan tentu saja, lebih pantas untukmu. Tidak sepertiku Ilse!”

    “Memang banyak di luar sana yang lebih tampan darimu, tapi yang aku tahu aku selalu nyaman jika bersamamu. Lagipula kalau dilihat-lihat lebih teliti, kamu cukup tampan. Dan aku menyukaimu.”

    Aku hanya bisa terkekeh saat mendengar dan melihatnya Ilse mengedipkan sebelah matanya seperti ini. Aku memang tersanjung dengan semua perkataannya tentangku, dia selalu bisa mengedepankan apa kelebihanku dan itu membuatku berpikir kadang-kadang dia terlalu berlebihan dalam menilaiku.

    “Oh ya Tim, kabarnya...”

    Nada bicara Ilse sekarang melemah dan dia sepertinya berniat untuk tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia memang sudah mengalihkan topik dan topik yang dipilihnya kali ini sepertinya bukan topik yang menyenangkan dan aku tahu apa itu.

    “Iya, ayahnya meninggal sekita tiga bulan yang lalu. Beberapa hari setelah kamu berangkat berlibur ke Jepang.”

    Kulihat sekarang tidak ada senyum di wajahnya, selain alasan kemanusiaan sepertinya dia seolah-olah ingin menunjukkan rasa simpatinya dan aku sangat menghargai itu. Bahkan sampai sekarang Joris dan Dylan pun belum kuberitahu masalah ini, tapi bagi Ilse sepertinya tidak mengherankan kalau tahu karena dia mempunyai banyak kenalan yang mungkin saja mengetahui kabar ini.

    “Tapi dia sekarang terlihat lebih baik, Ilse. Tidak ada yang perlu dicemaskan.”

    “Aku turut berduka cita untuknya. Mungkin besok aku bisa mengunjungi kalian.”

    “Terima kasih. Sebaiknya aku pergi sekarang, dia pasti sudah menungguku.”

    Aku memang sudah tidak mempunyai alasan lagi untuk tidak segera pulang dan menemuinya yang pasti sudah menungguku dengan makan malam yang sudah tesaji di meja. Aku terlambat sekitar tiga perempat jam dari jam tujuh tepat sehingga mungkin saja aku akan mendapat marah darinya setelah ini.

    Satu anggukan kecil dari Ilse sudah cukup kuanggap sebagai sebuah ijin untukku sehingga sekarang aku bisa beranjak berdiri dari dudukku dan mulai berjalan meninggalkannya. Tapi hanya beberapa langkah, aku harus membalikkan badanku karena Ilse baru saja memanggil namaku.

    “Tim, sampaikan salamku untuknya.”

    “Pasti.”

    Aku memutuskan untuk berjalan kembali dengan langkah yang sedikit cepat karena aku tidak ingin dia menungguku lebih lama lagi dengan wajah kesal. Walaupun sudah setahun berlalu, aku masih saja merasa aneh jika aku mengatakan pada diriku sendiri :”Aku sudah menikah”. Bahkan lebih terasa aneh saat aku memikirkan bahwa aku sudah berkeluarga dan memiliki kehidupan yang baru, tetapi inilah jalan hidupku yang sudah kupilih dan aku sangat bahagia sekarang.

    Saat pintu elevator di depanku menutup secara perlahan, aku kembali melihat cincin yang melingkar di jari manis kiriku dan bergumam pada diriku sendiri.

    “Huft... terlambat, sepertinya dia tidak akan mengampuniku malam ini. Padahal aku sudah sangat lelah dan tenagaku sudah habis untuk bekerja seharian.”

    Aku tertawa pelan dengan senyum bahagia padahal sedetik yang lalu aku menggumamkan kalimat yang kurang begitu menyenangkan jika didengar. Bahkan saat aku melihat langit-langit rungan sempit ini, senyumku semakin melebar tanpa bisa kutahan. Dan pastinya aku sudah sangat tidak sabar untuk segera bertemu dengannya dan mengecup bibirnya setelah aku membuka pintu dan meneriakkan :”Aku pulang!”. Sekarang saja aku sudah seperti melihat wajahnya yang cemberut dan kesal dan dia sedang duduk di meja makan sendirian. Sepertinya aku tidak akan kuat meladeninya malam ini.

    Tidak terasa sudah setahun lebih kami bersama dan aku yakin, kami mampu bertahan sampai ajal memisahkan kami. Ya, kami bisa! Walaupun dunia menentang kami, tapi kami pasti bisa membuktikan bahwa cinta kami tidak main-main, cinta kami tulus, cinta kami adalah cinta sejati.

    Pandanganku menjadi kosong bersamaan dengan bisikan lirihku.

    “Will, aku mencintaimu.”

    **** - ****
  • Ini,, si tim,nkah ma cowok ya??
  • Iya @Bepee tim dan will itu udah nikah
  • **** - ****

    Aku masih berdiri diam di tempat dan belum memutuskan untuk segera membuka pintu di depanku yang masih tertutup rapat. Pikiranku melayang kemana-mana memikirkan apa alasan yang akan kugunakan nanti untuk menjelaskan keterlambatan pulangku yang hampir mencapai satu jam. Hari ini tidak seperti biasanya karena sebelum pulang aku singgah dulu sebentar di rumah salah satu pegawaiku untuk sekedar berkunjung. Sementara dalam perjalanan pulang aku tidak sempat memberitahu Will kalau aku terlambat karena baterai ponselku sudah habis tanpa kusadari sebelumya. Ditambah lagi aku tadi menyempatkan waktu untuk berbicara kepada Ilse.

    Begitu aku memutuskan untuk membuka pintu, secara ajaib pintu tersebut terbuka bahkan sebelum tanganku berhasil menyetuh gagang pintu. Dan sekarang aku hanya bisa melihat dia berkacak pinggang dengan wajah kesal menatapku yang masih diam tak bersuara.

    “Hai! Malam Will.”

    Aku merasakan sendiri kalau nada bicaraku bergetar begitu aku melihat wajahnya yang ditekuk itu. Dan aku tak heran jika sekarang tanpa ragu dia melangkah mundur satu atau dua langkah dengan sigap untuk menghindar saat aku berniat mencium bibirnya. Aku hanya bisa menunduk dan memasang wajah bersalah agar dia sudi segera menyilakanku masuk dan menyantap makan malam kami bersama.

    Aku bisa saja menebak kenapa dia merasa kesal. Pertama, dia baru pulang hari ini dan sudah menyiapkan makan malam yang mungkin sekarang sudah dingin. Kedua, aku pulang terlambat tetapi tidak memberitahunya terlebih dahulu. Dua alasan sederhana seperti itu yang kadang-kadang bisa membuatnya kesal dan jujur saja itu justru membuatku bahagia walaupun pada nantinya aku yang akan dibuat kerepotan olehnya. Tapi walaupun begitu, aku tahu dia selalu menaruh perhatiannya padaku.

    Will masih berdiri di sana dalam diam seolah-olah ingin menghakimiku. Posisinya berdiri berkacak pinggang seperti itu adalah posisi yang paling kusuka dan cukup untuk membuatku bergairah. Jika aku dan suamiku ini berjalan bersama keluar entah itu kemanapun, maka semua jawaban akan tertuju padanya untuk pertanyaan seperti siapakah diantara kami yang lebih tampan atau siapa diantara kami berdua yang lebih menarik perhatian dan seksi.

    Aku tidak bisa mengungkiri bahwa sekarang Will sangat berbeda dengan dulu saat kami bertemu. Sekarang dia terlihat semakin sempurna di mataku. Saat kami pertama kali bertemu, dia masih biasa-biasa saja. Tubuh kurus seperti tak makan selama setahun, model rambut seadanya dan hal-hal lainnya yang dibawah standar. Tapi sejak pertemuan kami di Busan, dia mulai berubah walaupun aku tidak memintanya. Will mulai rajin berolah raga, tampil keren dan lebih memperhatikan tubuhnya. Dia mengaku melakukan itu semua untuk menarik perhatianku dan agar aku bersedia berkencan dengannya. Tapi di luar semua itu, aku tidak akan pernah meragukan bagaimana perasaannya padaku.

    Aku tidak bisa menyalahkannya karena selayaknya pasangan-pasangan pada umumnya, semuanya akan melakukan apa saja untuk memuaskan pasangannya hampir dalam segala hal. Selain untuk memuaskan pasangan, sudah wajar hal itu dilakukannya untuk mencegahku melirik orang lain, menjaga keharmonisan, dan menekan rasa jenuh. Walaupun aku dan Will sama-sama tahu bahwa cinta, kepercayaan, kepedulian, dan saling melengkapi adalah pilar-pilar utama yang harus kami pegang teguh.

    “Langsung mandi! Aku tunggu di meja makan.”

    Kalimat dingin yang dia ucapkan sudah berhasil memaksa senyumku untuk segera mengambang, itulah yang kusuka dari Will. Walaupun dia berbicara sedingin dan sekesal apapun, aku selalu bisa merasakan perhatian dan cinta yang luar biasa besar padaku. Semakin dia marah, itu artinya semakin banyak cinta yang kurasakan. Aku seharusnya juga tidak heran karena dia adalah tipe orang yang enggan dan paling payah dalam hal menunjukkan rasa perhatiannya dengan menciptakan suasana romantis atau perlakuan lembut.

    Aku mengikutinya masuk ke dalam apartemen dengan menggerutu, aku tidak bermaksud apa-apa selain ingin menggodanya karena aku memang sangat gemar menggodanya.

    “Hari ini sangat melelahkan, tapi aku tidak mendapat ucapan selamat datang, senyum yang ramah, ataupun satu kecupan dari suamiku saat pulang. Aku tidak beruntung hari ini.”

    “Berisik! Cepat mandi!”

    “Hei, tunggu dulu? Kenapa aku harus mandi? Kemarin aku sudah mandi, Will.”

    “Kalau begitu tidak akan ada ciuman dan makan malam untukmu. Apa kamu juga ingin tidur di ruang tengah malam ini?”

    Dengan cepat aku mengangkat kedua tanganku, menyerah dengan ancamannya.

    “Galak sekali!”

    “Cepat mandi!”

    ****-****

    Kami makan bersama dalam diam, selama itu pula pandanganku tidak pernah terlepas dari wajahnya. Walaupun dia terbilang tampan untuk ukuran wajah Asia, tapi ada yang unik darinya yaitu mata hitam keabu-abuannya. Aku bisa saja menyimpulkan bahwa gen ibunya yang seorang Korea cukup dominan terhadap gen ayahnya yang seorang warga Amerika sehingga dia memang memiliki wajah Asia sepenuhnya. Tapi dia mendapat mata abu-abu itu dari ayahnya dan matanya tidak sipit. William Holt, jika dilihat sepintas dari namanya tanpa melihat orangnya, tidak akan pernah menyangka kalau dia seorang warga Korea.

    Saat pertama kali kami berkencan di Seoul, aku bahkan sempat tertegun sejenak saat melihat sebuah poster iklan di sebuah jalan yang kami lalui. Dan dia dengan bangganya bilang padaku :”Kenapa Tim? Apa kamu baru menyadari kalau kekasihmu ini mirip dengan Ha Seok-jin?” Aku sebelumnya bahkan tidak tahu Ha Seok-jin itu siapa walaupun pada saat itu aku tinggal di Seoul sudah terhitung tahunan. Aku tertegun karena kupikir dia sempat menjadi bintang model iklan itu, walaupun memang perbedaannya cukup jauh. Warna kulit Will lebih coklat, matanya tidak sipit berwarna hitam abu-abu. Apalagi saat itu Will sudah terlihat berbeda jauh dengan saat aku pertama kali melihatnya, berbeda jauh dalam artian semakin baik.

    Sama dengan Will, ayahku juga merupakan warga Amerika namun ibuku merupakan warga Jakarta Indonesia yang telah meninggal dunia terlebih dulu karena sakit kankernya saat aku berusia sepuluh tahun. Hanya saja dari kedua orang tuaku, gen ayahku lebih dominan sehingga dari segi fisik aku hampir mengkopi ciri-ciri ayah. Rambut hitam sama dengan Will, kulit putih, hidung cukup mancung walaupun secara keseluruhan masih kalah tampan dari suamiku meski kami dalam “aliran” yang berbeda. Bahkan ukuran tubuh Will sekarang ini sudah menyamaiku, tidak kurus seperti dulu. Timothy Admondson, nama yang diberikan ayah untukku dan aku adalah anak satu-satunya sebelum ayah memutuskan kembali untuk menikah beberapa tahun setelah ibuku meninggal dunia.

    Sewaktu kecil aku pernah tinggal di Jakarta, bersama dengan keluarga ibuku sampai aku berusia sepuluh tahun. Setelah ibuku meninggal karena penyakit yang dideritanya, ayah memutuskan untuk pindah dan menetap ke Groningen. Dua tahun setelahnya ayahku menikah dengan salah satu wanita warga asli Groningen dan mereka telah memberiku dua adik tiri sekarang ini, Jill dan Nicky. Bahkan apartemen dan restoran yang kujalankan adalah sebelumnya milik ayahku yang diberikan padaku. Tapi semenjak aku berusia dua puluh tahun, aku melanjutkan studi di Korea dan pada akhirnya takdir mempertemukanku dengan Will.

    Aku dan Will memilih untuk tinggal sementara di apartemen yang ayah berikan padaku karena sampai detik ini kami, khususnya aku, masih belum memantabkan hati untuk menentukan tempat di mana kami akan tinggal dikarenakan ada satu masalah yang tengah mengganjal dalam kehidupan rumah tangga kami. Shin Hyun-il atau Ny. Holt, tidak lain adalah ibu Will serta kedua adiknya, Anthony dan Sarah, belum juga memberikan restu pada kami sehingga untuk sementara kami tinggal di sini sekarang atas saran ayahku agar bisa menenangkan diri sejenak dari tekanan keluarga Will, aku bisa menyebut ini sebagai upaya untuk menghidar.

    Pikiranku kukembalikan kepada sosok Will yang tengah duduk menyantap makan malamnya di depanku. Setiap kali aku menatap wajahnya, bisa kuanalogikan saat aku mencicipi sebuah makanan unik yang belum pernah kumakan sebelumnya. Saat sendok pertama, aku masih belum terlalu bisa menikmati kemudian akan menyendok lagi. Di sendok-sendok berikutnya aku belum begitu bisa meresapi bagaimana rasanya karena keunikannya, dan begitu sampai sendok terakhir dan aku masih memiliki rasa penasaran untuk menambah porsi karena aku belum bisa sepenuhnya merasakan dan menggambarkan bagaimana rasanya secara pasti. Sama halnya ketika aku menatap wajah Will, aku tidak akan pernah bisa puas dan bahkan aku ingin melihatnya setiap detik.

    Tapi dari dulu aku sudah berusaha membuang pikiran itu jauh-jauh, karena wajah ini tidak akan abadi. Bahkan aku harus belajar banyak dari Will yang bahkan bisa mencintaiku walaupun aku tidak memiliki kesempuraan dari segi fisik, maksudku kalah tampan ataupun bentuk tubuhku yang biasa-biasa saja atau kalah jauh dari suamiku. Aku sangat beruntung telah menemukannya, aku sangat beruntung karena dia telah memilihku.

    “Berhenti menatapku seperti itu dan cepat habiskan makan malammu!”

    Aku kembali tertawa, mungkin saja tadi dia mencuri pandang ke arahku beberapa kali saat makan dengan wajah kesalnya yang masih dibuat-buat itu. Aku memutuskan untuk pelan-pelan menghabiskan makanku karena jika aku menyelesaikannya dengan cepat, maka tanpa keraguan lagi Will akan menyeretku paksa ke tempat tidur dan dia akan mengahabisiku saat itu juga bahkan sebelum mulutku berbicara untuk menyatakan satu kalimat protes. Aku tahu ini akan menjadi malam yang panjang mengingat sudah seminggu lebih kami tidak bercinta disebabkan Will baru pulang hari ini dari Seoul karena tuntutan profesinya sebagai fotografer acara pernikahan temannya. Jadi sebisa mungkin aku akan mengulur waktu setidaknya sampai tenagaku pulih atau rasa lelahku sedikit berkurang karena bekerja seharian tadi yang tidak seperti hari-hari sebelumnya.

    “Aku sudah selesai.”

    Aku sempat menelan makananku dengan berat saat melihat Will yang sudah menatapku bagai singa yang kelaparan setelah dia menyelesaikan makan malamnya. Dia seperti sudah tidak mempunyai kesabaran untuk segera menelanku hidup-hidup, aku bahkan tidak bisa mengira-ngira berapa kali nanti kami akan bermain dan berapa lama aku akan bertahan meladeninya.

    Sekarang ini memang aku terlihat sedang memainkan perasaannya dan menguji kesabarannya karena aku masih belum menambah kecepatan makanku. Aku masih memakan makan malamku secara perlahan dengan wajah polos sehingga semakin membuatnya kesal karena kesabarannya seperti sudah di ubun-ubun. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kemudian menatapku kesal kembali. Jari jemarinya hanya bisa mengetuk meja di depannya dengan tidak sabar.

    “Tim, kamu tidak akan memerlukan waktu setahun untuk menyelesaikan makan malam ini kan?”

    “Aku ingin menikmatinya Will. Kenapa harus terburu-buru?”

    Entah karena putus asa atau merasa gregetan, dia meremas dan menjambak rambutnya dengan tangan kanannya sendiri kemudian membenamkan wajah pada lipatan tangannya di atas meja. Bahkan untuk usianya yang menginjak dua puluh sembilan tahun berjalan, kadang dia bisa bersikap kekanak-kanakan seperti itu. Hal ini makin sukses membuatku tertawa dalam hati, tapi lama-lama aku menjadi kasihan padanya.

    “Oke, sudah cukup main-mainnya.”

    Dengan tidak sabar dia menarik paksa gelas yang sedang kuminum airnya, dengan kesal dan kasar juga dia mencengkeram kuat kaos bagian depanku dan menyeretku ke kamar mandi, terkesan seperti dia ingin mengajakku berkelahi. Untuk ukuran pasangan yang sudah menikah, tentu saja hal ini masuk dalam kategori kasar, tapi aku justru senang dia memperlakukanku seperti itu karena pada dasarnya aku tidak suka nuansa romantis dan mendapat perlakuan lembut darinya karena aku sendiri merasa aneh jika diperlakukan seperti itu. Sangat sesuai dengan sikap Will yang tidak bisa romantis dan bersikap lembut. Sebaliknya, terkadang Will berhasil membuatku bersikap lembut dan romantis di saat-saat tertentu padanya walaupun Will tidak memintanya secara langsung.

    Sekarang kami berdiri bersebelahan berniat untuk menggosok gigi kami. Aku meliriknya yang masih belum menghilangkan ekspresi kesal palsu itu dari wajahnya. Sekarang pukul setengah sepuluh malam dan sepertinya sudah sedikit terlambat untuk memulainya karena besok pagi kami harus kembali bekerja.

    Saat kupandang wajahku di cermin, aku masih saja tidak percaya dengan kehidupanku yang sekarang. Apakah dulu pernah terlintas di pikiranku akan hal ini? Hidup dengan pria yang kucintai dan mencintaiku? Menikah dan mengikat janji sehidup semati yang bahkan tidak dianggap oleh orang lain? Jawabannya tidak sama sekali. Tapi sosok seorang Will sudah cukup memberiku keyakinan dan kekuatan yang lebih dari yang kuharapkan untuk memulainya. Memulai kehidupan yang kuimpikan bahkan yang dulu sempat kupikir akan mustahil.

    Walaupun ayah sudah bisa menerima keadaanku sepenuhnya, itu tidaklah memerlukan waktu yang singkat. Dan sekarang ini yang masih mengganjal dalam kehidupan kami adalah keluarga Will yang masih belum bisa menerima keadaan kami yang sekarang. Apakah bisa? Aku memang tidak suka dengan kalimat ini tapi aku memang harus mengatakannya jika ingin menjawab pertanyaan “Apakah bisa?” dan jawabannya adalah “Waktu yang akan menjawab semuanya.”
  • **** - ****

    # Satu setengah tahun lalu... #

    Suara deburan ombak Pantai Eurwangni sekarang ikut meramaikan suasana hatiku yang sangat kacau. Jantungku tidak bisa sedetik saja untuk kuajak berkompromi padahal aku sudah mati-matian menenangkannya. Usaha untuk bernapas secara teratur atau mengosongkan pikiran sama sekali tidak membantu membuatku tenang. Semua itu disebabkan karena satu alasan, yaitu seorang pria yang tengah berdiri tepat di hadapanku yang menatapku dalam diam seolah ingin membaca apa maksudku mengajaknya ke Incheon, malam ini. Aku gugup bukan disebabkan melihat wajahnya. Karena pada kenyataannya kami sudah menjadi sepasang kekasih selama hampir lebih dari tiga tahun lamanya. Aku hanya gugup karena malam ini adalah malam di mana aku akan memintanya agar bersedia menghabiskan sisa hidupnya di sisiku, menjadi pendamping hidupku.

    Aku masih berusaha menyingkirkan semua hal yang tidak berkaitan dengan kami karena bisa saja hal-hal tersebut menjadi sebuah batu besar yang mengganjal di tenggorokanku sehingga aku tidak bisa mengatakan padanya apa maksudku. Dan sekarang adalah saat di mana aku memantapkan hatiku bahwa aku sudah memilihnya. Aku mencintainya dan aku ingin selalu bersamanya di sisa hidupku.

    Aku tidak tahu apakah jiwa kami sedang saling terhubung karena kami menghembuskan napas panjang secara bersamaan, atau bisa kubilang sebuah kebetulan terlepas apakah kami sedang memikirkan hal yang sama atau tidak. Tapi tanpa kupedulikan apa yang Will pikirkan atau yang dia lakukan sekarang, aku menundukkan wajahku dan perlahan-lahan berlutut di hadapannya, bahkan sampai detik ini pula jantungku bahkan berpacu lebih cepat dari yang bisa kurasakan seperti sebelumnya. Aku benar-benar gugup. Padahal jauh dalam lubuk hatiku, aku tahu dia tidak akan menolak dan bilang dengan mudah kata “Iya, aku mau” padaku, aku akan melihat wajah bahagianya sebentar lagi dan kurasa ini adalah kejutan terbaik yang pernah kuberikan kepada Will. Tapi,

    Saat aku kembali menatap arah depan, wajah Will sekarang sejajar denganku karena dia ikut berlutut dengan posisinya yang persis sama denganku seolah-olah dia adalah bayanganku di cermin.

    “Apa yang kamu lakukan Will? Kenapa ikut berlutut?”

    “Kamu sendiri sedang apa? Cepat berdiri, aku sedang melamarmu.”

    “Hei, tidak bisa. Kamu saja yang berdiri biar aku yang melamarmu.”

    Detik ini juga kusadari bahwa rencanaku sudah gagal total. Aku juga tidak pernah menyangka kalau Will memiliki niat yang sama denganku saat ini karena kupikir memang akulah yang pantas memulai semuanya karena aku lebih dewasa, tentu saja maksudku dalam hal usia. Dia seharusnya tinggal menunggu dan bilang “Iya”, dan bukannya seperti ini. Kupikir ini akan menjadi sebuah kejutan untuknya tapi sepertinya memang tidak akan pernah berhasil.

    “Aku sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari. Cepat berdiri Tim.”

    “Aku yang lebih tua di sini, jadi aku yang lebih berhak menjadi pihak yang melamar.”

    “Tidak ada teori seperti itu, usia tidak menentukan siapa pihak pelamar dan dilamar.”

    “Will, kamu tahu? Kita bisa saja semalaman seperti ini kalau kamu tidak mengalah.”

    “Kenapa aku yang harus mengalah?”

    Suasana yang semula kupikir akan mengharukan berubah menjadi sebuah perdebatan sengit yang mungkin tidak akan berujung. Wajah kami yang seharusnya menampakkan ekspresi bahagia, sekarang justru menjadi ekspresi kesal dengan menatap tajam satu sama lain.

    “Aku tidak akan berdiri Tim. Aku bisa terus menerus seperti ini jika kamu tidak mau mengalah dan segera berdiri.”

    “Ya Tuhan Will, kamu tidak akan membuat ini menjadi lebih sulit lagi kan?”

    “Kubilang aku tidak akan berdiri.”

    “Baik, kita lihat saja.”

    Aku dan Will saling berlutut dalam diam dan memandang tajam satu sama lain karena tidak ada yang mau mengalah, itu semua bahkan tidak tertulis dalam skenarioku malam ini.

    Tapi lama kelamaan rasa bosan dengan cepat menyerangku. Aku selalu heran karena entah kenapa selama ini pria yang ada di depanku ini pada akhirnya selalu bisa memaksaku untuk selalu menuruti semua keinginannya. Dan mungkin untuk sekali lagi aku yang akan mengalah walaupun sebelum ini aku sangat berharap besar ingin mengutarakan dan menjadi pihak yang bertanya padanya apakah dia bersedia menikah denganku atau tidak.

    Wajah cerah bahagia Will langsung terpancar jelas saat aku memutuskan mengalah dan meluruskan kedua kakiku untuk segera berdiri, membiarkan Will tetap berlutut di hadapanku dengan kotak cincin bewarna hitam yang dia pegang di tangan kanannya. Dengan seperti ini, ada bagian dari diriku yang penasaran dan ingin tahu “cara” yang dia maksud untuk mengutarakan maksudnya. Karena seperti yang kuketahui sebelumnya, Will bukanlah orang yang romantis dan aku juga tidak akan mengharapkan suasana yang romantis. Tapi mungkin kali ini jika dia memaksa untuk berkata atau bersikap romantis, sepertinya aku akan menyukainya.

    “Ehem... Baik aku mulai. Timothy Alexander Admonsond, itu kan nama lengkapmu? Hei ada apa denganmu? Berhenti menatapku seperti itu! Kamu membuatku semakin gugup.”

    Ada salah satu sisi polos dan spontanitas Will yang sampai sekarang ini selalu berhasil membuatku geleng-geleng kepala. Dia selalu tidak bisa menyimpan emosi yang dia rasakan hampir di seluruh situasi. Ditambah lagi dia merupakan tipe orang yang bergengsi tinggi, tidak ingin terlihat bahwa dia bersikap perhatian pada orang lain bahkan padaku dan keluarganya sendiri. Maksudku dari perlakuannya dia memang bisa bersikap peduli, tapi dari mulutnya dia akan bilang kalau dia tidak peduli atau cuek.

    “Tim, aku tahu tidak ada cahaya lampu yang indah atau lilin yang romantis karena ini pantai, tentu saja memakai lilin di sini adalah ide yang sia-sia. Aku juga kurang begitu tahu bagaima...”

    Baiklah, aku sudah tidak sabar.

    “Will, bisa kita langsung saja ke bagian maukah kamu menikah denganku atau maukah kamu menjadi pendamping hidupku atau bla bla bla itu?”

    Aku memang selalu tidak bisa menahan diri untuk terus menggodanya bahkan di momen-momen seperti ini karena salah satu hal yang kusuka darinya adalah wajah kesalnya yang menggemaskan.

    “Bisa diam tidak? Aku sudah latihan seperti ini di depan cermin selama seminggu penuh. Jangan menggangguku!”

    “Baik aku akan diam.”

    “Sampai di mana aku tadi? Kenapa jadi lupa, ini semua karena ulahmu tahu tidak?”

    “Apa? Salahku? Kenapa kamu malah menyalahkanku, Will?”

    “Ssssh, diam Tim. Kubilang jangan mengangguku!”

    Kedua alisku terangkat begitu saja saat Will dengan cepat merogoh saku kanan jasnya, mengeluarkan secarik kertas dan mulai menelusuri setiap kalimat yang tersusun di sana.

    “Tadi sudah sampai lilin ya? Kurasa itu tidak perlu diucapkan lagi, coba kulihat yang lainnya. Makan malam, tadi kita sudah makan malam. Apa lagi? Malam berbintang? Di sini bahkan tidak ada bintang, seharusnya aku memperhitungkannya. Aku juga tidak suka bagian ombak ini, terlalu aneh dan seharusnya aku mencoret bagian ini juga. Tunggu, kenapa ada nama anjingku di sini? Oh iya, Tim suka dengan anjingku.”

    Jika di masa yang akan datang, keluargaku ataupun orang lain bertanya tentang momen-momen seperti ini, aku sepertinya harus berbohong jika Will tidak ingin orang-orang mengejeknya. Bahkan semenjak secarik kertas itu keluar dari sakunya, dia bahkan seperti tidak menganggapku. Hanya berkutat dan mencela tulisannya sendiri seoalah-olah aku ini batu karang yang tidak bisa dia ajak berkomunikasi.

    “Aaarrggh ini justru tidak membantuku sama sekali.”

    Dengan kesal dia merobek-robek kertas itu dan kembali memasukkannya ke dalam saku jasnya. Beruntung dia sendiri yang merobeknya karena jika tidak aku sudah akan turun tangan merebut kertas itu paksa dan beranjak pergi dari tempat ini.

    Sekarang Will kembali menatap kesal padaku.

    Kenapa dia jadi marah padaku?

    “Heh Tim, kenapa senyum-senyum? Mau menikah denganku tidak?”

    #Flashback End#

    “Kenapa lama sekali?”

    Will sudah selesai dengan aktivitas gosok giginya dari beberapa menit yang lalu dan sampai sekarang dia hanya bersandar di tembok memandangku karena aku memang sengaja memelankan ritme gosok gigiku. Aku tahu rasa rindu Will padaku sudah memuncak dan tidak bisa dia bendung lagi. Dia baru tiba siang ini ketika aku masih bekerja dan saat aku pulang tadi bahkan aku tidak mendapat pelukan ataupun ciuman darinya. Dia mungkin saja menahan semua itu dan menumpahkan semuanya begitu tiba waktunya, beberapa menit lagi dari sekarang.

    “Kalau begitu aku bereskan dulu peralatan makan malam kita tadi.”

    Satu hal lagi yang seharusnya Will paham tentangku, aku juga merasakan rindu yang teramat sangat. Kami hanya berpisah tepatnya sembilan hari tapi bagiku itu waktu yang cukup lama. Perbedaan di antara kami adalah aku lebih bisa menahan emosi ataupun menyembunyikan eskspresiku, tidak seperti Will yang selalu spontanitas menunjukkan ekspresi dan emosinya. Dan lagi, aku lebih sabar.

    ****-****

    “Aku ingin ke bawah dulu. Joris mengajakku menonton final pertandingan sepak bola malam ini. Tidak keberatan jika kutinggal sebentar? Atau kamu ingin ikut sekalian?”

    Will seketika menghentikan aktivitasnya membereskan piring dan gelas makan malam kami, kemudian menatapku dengan wajah datarnya. Dari jutaan kalimat yang bisa kuucapkan hanya dengan satu mulutku saja, aku tahu bahwa kalimat yang akan menyebabkan aku menginjakkan kaki keluar dari ruangan ini adalah hal yang paling tidak ingin didengar oleh Will. Sama halnya Will, aku juga ingin segera menumpahkan segala kerinduanku padanya. Oleh karena itu aku ingin ke bawah sekarang juga dan meminta pengertian pada Joris kalau aku mengurungkan niatku untuk bertaruh dan menemaninya menonton final pertandingan malam ini. Sebenarnya aku bisa saja mengangkat telepon dan menghubungi Joris, tapi menurutku itu sangat tidak sopan dan pantang kulakukan untuk membatalkan janji dan meminta sebuah pengertian, apalagi kepada salah satu orang yang akrab denganku di lingkungan ini.

    “Tidak, aku akan menunggu saja.”

    Will bahkan tidak memandangku saat mengucapkan kalimat itu, mungkin aku sudah mengecewakannya berkali-kali dengan selalu menggodanya yang selalu mengulur-ulur waktu. Mungkin dalam artian lain, aku sudah merusak suasana. Tapi kupastikan aku akan turun ke bawah lalu menjelaskan secepat yang kubisa pada Joris dan setelah itu aku akan kembali ke sini dengan tak kalah cepat.

    ****-****

    Aku sudah menggeggam tangan itu jutaan kali, tangan yang sekarang menutup pintu rapat-rapat begitu aku tadi membukanya. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi tapi Will sudah berdiri di sampingku. Dia bagai bayangan yang bahkan suara langkah kakinya pun tidak kudengar. Sebagai tambahan untuk meyakinkanku, raut wajahnya seolah-olah berkata “kumohon jangan pergi Tim!”.

    Tangan itu sekarang menggenggam jemariku dan menuntunku masuk kembali ke dalam.

    Tubuh yang sempat kupuji sekarang sudah berada di atasku, menindihku di sofa ruang tamu. Ekspresi Will sekarang berubah menjadi tenang, memandang wajahku sehingga membuatku mau tidak mau terpaku pada kedua mata abu-abunya. Aku sudah hafal, sekarang ini seperti dapat kulihat dengan jelas ada jutaan masalah yang membebani pikirannya. Aku tidak tahu apa saja yang telah terjadi selama sembilan hari ketika dia tidak di sini. Tapi aku tahu, dia pulang ke sini tidak sendiri. Dia pasti pulang ke sini dengan sebuah beban di hati yang dia tahan mati-matian.

    “Apa kamu sedang menguji kesabaranku Tim?”
  • edited March 2013
    **** - ****

    “Will, katakan saja. Akan kudengarkan semua. Jika kamu ingin marah, marah saja. Jika kamu ingin berteriak, teriak saja.”

    Dengan melihat wajah tenang dan sendunya, aku sangat mengerti bahwa setelah ini aku hanya perlu diam dan mendengar saat dia berusaha menumpahkan semua beban dan rasa sakit di hatinya yang mungkin sebelumnya telah dia tahan sekuat yang dia bisa.

    “Sembilan hari, kamu tahu apa yang telah kualami selama sembilan hari jauh darimu, Tim? Semuanya seolah menguji kesabaranku, membuat telinga dan hatiku panas setiap kali aku mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut mereka. Aku pulang hari ini dan melihat wajahmu untuk pertama kali setelah sembilan hari dan kamu juga ingin menguji kesabaranku?

    Aku tahu kamu akan pergi ke bawah menemui Joris mungkin hanya lima atau sepuluh menit untuk membatalkan janjimu tapi aku merasa seolah-olah kamu akan pergi selamanya dan tak akan pernah kembali lagi. Katakan apa aku berlebihan? Apa ketakutanku itu tidak wajar?

    Selama sembilan hari aku di Seoul tapi kamu tahu apa yang kupikirkan? Yang kupikirkan hanyalah dirimu. Aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri dan selalu merasa cemas, apakah suamiku bangun tepat waktu? Apa suamiku sudah sarapan? Apa suamiku sampai di tempat kerja dengan selamat? Apa suamiku merindukanku sebanyak aku merindukannya? Apa suamiku sedang memikirkanku? Apa yang dilakukan suamiku sekarang? Bahkan sebelum aku tidur di hotel aku selalu berbicara sendiri seolah kamu ada di sampingku. Apakah itu artinya aku sudah gila?

    Kamu bilang untuk menghadapi mereka aku hanya perlu diam dan sabar. Lalu apa yang kudapatkan? Hinaan dan celaan mereka? Apa hanya itu?

    Setahun, selama setahun setelah hari pernikahan kita apa kamu tahu apa yang kupikirkan sampai sekarang? Di Seoul bahkan teman-temanku menanyakan kapan aku menikah, dengan siapa aku menikah, di mana aku menikah dan kenapa aku tidak mengundang mereka. Apa kamu tahu apa yang kulakukan dan apa yang kukatakan pada mereka saat itu?

    Tidak seperti sebelumnya yang selalu menghindar dan bersembunyi, kali ini aku dengan bangga, penuh kegembiraan dan senyum di wajahku memperlihatkan cincin yang melingkar di jariku dan bilang pada mereka berharap mereka bisa mengerti dan ikut bergembira bersamaku. Aku bilang : “Aku sudah menikah setahun lalu di Belanda, suamiku Timothy Admondson.” Kamu tahu apa yang terjadi setelah itu?

    Perlahan-lahan senyum di wajahku menghilang begitu saja saat mereka menampakkan wajah jijik, tidak percaya, dan memandangku dengan tatapan aneh seolah aku ini bukan manusia. Ucapan selamat mereka yang sangat dipaksakan itu justru seakan-akan menjadi pisau yang menancap kuat di jantungku. Bahkan dengan sangat jelas mereka enggan untuk menjabat tanganku sambil mengatakan ucapan selamat palsu mereka. Aku bahkan mendengar mereka membicarakanku di belakangku, apa kamu tahu apa yang mereka bicarakan tentangku? Tentang kita berdua? Kamu tahu?

    Mereka bilang : “Apa Will sudah gila? Bahkan binatang pun akan tertawa mendengar dia menikah dengan seorang pria, aku bahkan baru tahu kalau dia gay, mengerikan!” Itulah yang mereka bisikkan di belakangku. Jadi Tim, katakan padaku untuk bersabar sekali lagi, katakan padaku bahwa mereka hanya belum mengerti atau katakan bahwa mereka sedang mabuk dan salah bicara atau katakan padaku mereka akan percaya bahwa aku tidak main-main, pernikahan kita tidak main-main, cinta kita memang tulus, dan tidak ada bedanya dengan cinta yang mereka rasakan. Kamu bisa mengatakan semua itu padaku sekarang?

    Kamu bilang padaku untuk diam, aku sudah diam. Kamu bilang padaku untuk sabar, sudah kulakukan. Tapi kamu tahu kalau aku hanya manusia biasa. Jadi kamu pasti tahu aku mempunyai batas keabaran kan? Jadi apakah aku boleh menghampiri mereka? Meneriakkan hak dan perasaanku pada mereka, atau memberitahu mereka tentang rasa sakit yang mereka berikan padaku hanya karena satu kalimat sederhana yang menyakitkan itu? Apa aku boleh melakukan semua itu Tim? Hanya agar hatiku tenang? Boleh?

    Jika boleh, aku memang sudah melakukan dan mengatakannya. Aku menghampiri mereka dan berteriak keras di depan wajah mereka : “Jika kalian saja bisa menikah dan menghabiskan waktu dengan orang yang kalian cintai, apa aku tidak boleh melakukannya juga? Apa kalian saja yang boleh mendapatkan kebahagiaan? Apa aku juga tidak berhak? Apa aku tidak boleh menikah dengan orang yang kucintai hanya karena dia adalah seorang pria?.” Dan kusadari setelah itu seisi ruangan menatap ke arahku, kamu tahu bagaimana rasanya saat itu? Kamu tahu rasanya berdiri sendirian di tengah tatapan yang menyakitkan itu? Untuk menghadapinya bahkan aku sendiri menciptakan bayanganmu, menganggap bahwa kamu sedang berdiri di sampingku, menggenggam kuat tanganku seolah memberiku kekuatan untuk menghadapi tatapan-tatapan itu. Apa itu artinya aku sudah putus asa Tim?

    Setiap hari bahkan kamu tidak henti-hentinya berbisik dan meyakinkanku untuk tenang, tidak mempedulikan keadaan atau bagaimana teman-teman dan keluargaku memandangku. Kamu selalu meyakinkanku bahwa kita bisa. Kamu bilang kita pasti bisa untuk membuktikan pada mereka kalau kita juga bisa seperti mereka, memiliki dan memelihara cinta kita sampai ajal menjemput. Dan sekarang, kita masih bisa kan? Katakan sekali lagi Tim, katakan bahwa kita memang masih bisa, setidaknya itu akan membuatku jauh lebih tenang. Bisa kan?

    Selain itu, apa kamu tahu? Sampai detik ini bahkan ibuku tidak henti-hentinya menyuruhku untuk pulang. Kamu tahu kenapa dia ingin aku pulang? Hanya untuk dikenalkan dan dipaksa menikah dengan wanita yang tidak kuketahui. Bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana ibu bisa mendapatkan seorang wanita untuk menikah denganku yang jelas-jelas aku adalah seorang gay. Apa memang ada wanita yang bersedia melakukan seperti itu Tim? Apa setelah aku menghancurkan harapan Jin Hee karena keterus teranganku, aku harus menghancurkan harapan wanita yang lain? Apa kamu kira aku akan sanggup?

    Kadang bahkan aku iri dengan keluargamu, walaupun pada awalnya mereka kurang menerima, tapi coba lihat sekarang! Bahkan tidak ada salah satu dari keluargamu yang menentangmu sekarang. Lalu bagaimana dengan keluargaku? Orang-orang yang seharusnya menjadi salah satu tumpuan hidupku sampai sekarang justru membuatku tertekan, selalu menyudutkanku dengan keinginan-keinginan mereka yang mustahil kupenuhi. Ayahku yang pada akhirnya adalah satu-satunya yang memberi restu pada kita justru sekarang sudah tidak ada. Apa kamu tahu apa yang terjadi saat aku mengaku pada kedua orang tuaku tentang keadaanku yang sebenarnya? Selama ini aku menolak untuk menceritakan padamu kejadian itu kan? Baik, akan kuberitahu sekarang.

    Sesaat sebelum menemui kedua orangtuaku untuk mengaku, bahkan aku tidak bisa menghentikan kedua kakiku untuk melangkah ke arah dapur. Kamu tahu apa yang kulakukan di sana? Aku mencari pisau yang paling tajam yang bahkan aku bisa bercermin dengan pisau itu. Aku berpikir, mungkin saja kedua orangtuaku menginginkan aku mati hari itu, terlebih ibuku. Jika iya, aku bisa melakukannya, aku bisa mati untuk mereka. Aku bahkan sudah menulis satu surat untukmu seandainya aku memang benar-benar akan mati setelah mengaku pada mereka. Apa aku berlebihan lagi Tim? Apa kamu ingin bilang kalau aku juga gila?

    Aku datang ke hadapan mereka dengan wajah tertunduk. Kuletakkan pisau itu tepat di depan mereka dengan tanganku yang bergetar hebat. Aku hanya bisa melihat raut wajah heran dan takut dari kedua orangtuaku. Kamu ingin dengar apa saja yang kukatakan pada mereka? Kamu ingin dengar juga?

    Dulu aku berkata :”Ayah, ibu, aku sangat menyayangi kalian, aku mencintai kalian, aku sangat beruntung menjadi anak kalian dan diberikan kesempatan untuk menjadi bagian dari keluarga kalian. Aku sangat menghargai usaha kalian untuk membantuku mencari seorang pendamping hidup. Tapi mungkin kali ini aku harus mengatakan yang sebenarnya walaupun kupikir sudah sangat terlambat. Aku tidak mencintai Jin Hee atau pun wanita-wanita lain yang pernah kalian dekatkan denganku. Aku memang tidak mencintai mereka, lebih tepatnya aku tidak bisa mencintai mereka, tidak hanya Jin Hee, aku memang tidak bisa mencintai semua wanita. Kalian tahu kenapa ayah, ibu? Itu dikarenakan aku adalah seorang gay, seorang homoseksual yang hanya tertarik dan jatuh cinta pada seorang laki-laki. Inilah aku yang sebenarnya.

    Kutunjukan pada mereka cincin yang kamu berikan padaku dan bilang kepada mereka kalau aku sudah memiliki kekasih dan akan menikah dengannya dalam waktu dekat, bahkan sebelumnya aku sudah menjelaskan pada Jin Hee tentang ini. Aku memang tidak tahu diri, jika ayah dan ibu ingin aku mati detik itu juga, aku akan mati. Itulah yang kukatakan pada mereka Tim, aku sangat jahat kan? Bahkan aku sepertinya sudah membunuh ibuku terlebih dahulu dengan pengakuanku itu.

    Melihat wajah terpukul ibuku saat itu bagai bumi yang kupijaki runtuh seketika. Tapi kamu tahu kan apa yang dilakukan ibuku setelah itu? Ibuku memang masih menyayangiku tapi kamu tahu kan kalau ibuku berpikir bahwa aku sedang kehilangan akal dan mulai memaksaku untuk menikah dengan perempuan yang bahkan tidak kukenal. Jin Hee bahkan sudah membantuku memberi pengertian kepada ibuku tapi semakin lama ibuku semakin menekanku, menyudutkanku dan tidak pernah mendengarkan lagi apa kata hatiku. Menyuruh dan melarangku untuk bertemu denganmu lagi, menyudutkanku karena ibu terus menerus memaksaku untuk berhenti berhubungan denganmu. Bahkan sampai detik ini ibuku belum menyerah untuk terus memaksaku. Dia sama sekali tidak menganggap statusku sekarang yang sudah menikah dan bersuami. Pernikahan kita dia anggap seperti tidak pernah terjadi.

    Yang aku inginkan hanyalah restu, aku ingin mereka menerimaku apa adanya, aku juga ingin mereka menerimamu sebagai anggota keluargaku, sebagai suamiku. Tapi sepertinya kusadari hal itu semakin mustahil dan merupakan mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Kamu selalu bilang kalau kita bisa melalui ini semua, aku memilikimu dan kamu memilikiku. Tapi apakah salah juga jika aku menginginkan mereka menerima keadaanku yang sekarang? Hanya itu, sederhana kan?

    Haruskah kukatakan semua malam ini, Tim? Apa waktunya akan cukup?”

    Aku meraih tubuhnya yang masih di atasku, membiarkannya memelukku erat dan mudah-mudahan saja dia sedikit lebih tenang walaupun aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mendengarkan keluh kesahnya. Hanya itu yang bisa kulakukan dan kuharap itu sudah banyak membantu. Aku adalah suaminya, jadi semua kesedihan dan beban di hatinya adalah kesedihan dan bebanku juga.

    “Merasa lebih baik Will?”

    Untuk masalah janjiku menemani Joris, mungkin aku harus membuat sebuah pengecualian. Aku bisa menghubunginya setelah ini atau aku bisa menjelaskannya besok saat aku bertemu dengannya. Satu hal yang kutahu bahwa Joris akan mengerti. Yang sekarang harus kupikirkan adalah Will. Aku ingin setidaknya malam ini dia bisa dengan sejenak melupakan beban di hatinya yang dia rasakan semenjak kami menikah.

    “Sebaiknya kita tidur sekarang, kamu pasti lelah kan karena baru tiba hari ini?”

    Dia melepas pelukan eratnya, langsung mencengkeram kuat kaosku dan menatapku tajam. Aku bisa saja mengatakan kalau terkadang Will bisa bersikap aneh seperti ini karena perubahan suasana hatinya yang bisa saja terjadi dalam hitungan detik, ekspresi kesal kembali terlukis di wajahnya. Dia seperti sudah tidak mempermasalahkan dan melupakan begitu saja semua beban yang telah ia ungkapkan padaku beberapa saat lalu. Atmosfir sedih yang melingkupi kami sebelumnya sudah lenyap tak berbekas.

    “Apa katamu tadi? Tidur? Kita baru bertemu setelah sembilan hari berpisah dan sekarang kamu bilang kita akan tidur begitu saja? Apa kamu pikir setelah ini tidak akan terjadi apa-apa di atas ranjang itu? Begitu menurutmu ha?”

    Aku menelan ludah.

    “Ya, kupikir kita bisa menundanya sampai besok. Setidaknya kamu lebih tenang kan?”

    “Apa kamu tahu Tim? Bahkan malam ini aku berencana tidak akan membiarkanmu memejamkan mata untuk sedetik pun.”

    “Ap-apa?”

    “Sudah jangan banyak bicara, ayo kita mulai.”


    ****-****

    Dugaanku memang tidak meleset sama sekali, malam ini memang akan menjadi malam yang panjang. Bukan dalam artian gelap malam yang lebih lama daripada siang, tapi dalam artian kegiatan malam yang akan terjadi di atas tempat tidur kami. Dan sepertinya aku akan membolos kerja besok, setidaknya akulah bosnya. Walaupun terkesan tidak bertanggung jawab, aku bisa saja memakai alasan sakit.

    Sekarang Will sudah memulai pergulatan kami di atas tempat tidur seakan kami baru pertama kali melakukannya, membuatku sangat kewalahan karena dia terus-menerus menyerangku tanpa henti. Membungkam mulutku dengan ciumannya yang sepertinya akan berlangsung sangat lama seakan tidak mengijinkanku untuk bernapas. Mengunci seluruh persendian di tangan dan kakiku seolah dia tidak rela atau tidak sudi memberi ijin padaku untuk bergerak ataupun beranjak dari ranjang kami. Mencium, menghisap, dan menggigit leher dan beberapa bagian lain di tubuhku, meninggalkan bekas di sana seolah dia ingin menandai bahwa aku adalah miliknya malam ini, sepenuhnya. Seperti yang dia bilang sebelumnya, aku adalah miliknya, dia adalah milikku, dan kami saling memiliki.

    Dan yang kurasakan saat ini adalah aku semakin mencintainya, sangat mencintainya.
  • Gak ada yg bca critaku kah? atau aku salah tema?
  • **** - ****

    Aku selalu menikmati aktivitas pagiku selama setahun ini semenjak pernikahanku dengan Will, yaitu menyiapkan sarapan pagi. Sedangkan Will sedang melakukan olahraga sederhana rutinnya seperti biasa, yaitu Sit-up dan Push-up. Lari-lari pagi merupakan pilihan yang buruk karena cuaca di luar sangat dingin, bahkan dalam ruangan pun aku masih dapat merasakan hawa dinginnya. Meski begitu Will selalu melakukan olahraganya itu bertelanjang dada hanya dengan celana pendek hitam tiga perempatnya yang kadang membuatku tidak bisa berkonsentrasi menyiapkan sarapan.

    Aku memang pada akhirnya selalu tidak tahan dengan godaan suamiku ini yang entah dia sengaja atau tidak, tapi dia selalu berhasil memancingku. Sekarang Will memandangku dengan tatapan kesal seperti biasa saat aku sudah berada di bawah tubuhnya yang tengah akan melakukan push-up. Aku pernah melakukan ini beberapa bulan yang lalu dan berhasil membuat aktivitas push-up Will yang normalnya akan selesai dalam lima, sepuluh atau lima belas menit menjadi setengah jam.

    Tapi untuk sekarang ini sepertinya dia tidak memiliki banyak waktu karena sepuluh menit lagi dia harus bersiap-siap dan segera sarapan kalau dia tidak mau terlambat. Aku melakukan ini dan aku bisa menyalahkan Will sepenuhnya karena jika seandainya dia tidak tampil buka-bukaan seperti ini di pagi hari, hal ini tidak akan terjadi.

    “Apa yang kamu lakukan, tidak lihat aku sedang push-up?”

    “Ya, silahkan saja!”

    “Aku belum gosok gigi, Tim”

    “Bohong! Aku sudah melihatmu gosok gigi begitu kamu bangun tidur.”

    Lima gerakan push-up pertamanya dilakukan dengan sangat cepat sehingga aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku tahu dia mati-matian menahan dirinya dan selalu mengabaikanku dalam keadaan seperti ini. Tapi jika dia pikir akan melakukan push-up nya tanpa memberiku apa-apa, maka dia salah.

    “Emmmpphh.”

    Aku berhasil medapatkan apa yang kumau saat Will melakukan push-upnya yang ke enam. Caranya mudah, saat tubuhnya turun ke bawah, dengan cepat kuraih wajahnya dan menyerangnya dengan satu ciuman di mulutnya yang tertutup rapat. Hanya berlangsung sekitar lima detik dan dia memaksa untuk menaikkan tubuhnya kembali karena seolah dia menahan dirinya lebih keras untuk tidak ikut dalam permainanku dan berniat menyelesaikan kegiatannya.

    Will menghela napasnya.

    “Kamu membuat ini semakin sulit Tim.”

    Dengan jelas dapat kurasakan hembusan nafasnya yang mengenai seluruh wajahku. Aku tidak peduli jika Will memberikan label “suami usil” padaku karena membuatnya selalu kesal dengan sikapku selama ini yang sering menggodanya. Aku masih ingat tadi pagi-pagi buta aku harus terbangun dari tidurku setelah memejamkan mataku sekitar dua jam semenjak aktivitas terakhir kami bercinta karena Will sudah mencumbuiku kembali, jadi mau tidak mau aku jadi terbangun. Saat satu pertanyaan singkat kusampaikan padanya seperti :”Ya Tuhan, Lagi?”. Dan dengan wajah polosnya Will menjawab :”Maaf, tapi aku tidak berniat membangunkanmu.” Jadi siapa yang sebenarnya lebih usil? Will atau aku?

    Sekarang ini Will tidak bisa mengelak dari ciumanku sampai push-up nya yang ke dua puluhan. Aku memang menghitungnya karena jika aku beruntung, aku akan mendapat setidaknya lima puluh sampai tujuh puluh lima ciuman darinya. Tapi sampai sekarang Will masih menolak keras untuk membuka mulutnya saat kami berciuman. Sepertinya aku harus menggunakan cara lain.

    Saat tubuh Will kembali turun, aku mendapatkan satu ciuman lagi. Tapi kali ini dengan cepat tangan kananku menelusuri pinggang Will dan mencubitnya agak keras di daerah pinggang atas.

    “Arrggh.. Emmmpph.”

    Saat mulut Will sukses terbuka karena satu cubitan kecilku, dengan sigap kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya dan membuat ciuman ini sedikit lebih lama yaitu sekitar lima belas detik karena aku juga mengaitkan tanganku pada lehernya dan berusaha keras menahan tubuhnya agar tidak segera naik ke atas lagi.

    “Kamu memang sengaja mencari masalah denganku kan Tim? Kamu akan menyesal!”

    Waktu adalah salah satu hal yang terkadang bisa membuatnya lebih kesal di saat-saat seperti ini. Dan berulang kali pula Will menatap bergantian antara wajahku dengan jam dinding ruang tengah. Desisan kesal sangat jelas kudengar keluar dari mulutnya. Pilihan yang sulit baginya, antara terlambat kerja atau meluangkan sedikit waktu untukku. Dan sepertinya dia memilih pilihan yang kedua karena dengan cepat dia keluar dari posisi push-up nya dan berniat mendaratkan satu ciuman untukku. Tapi aku mempunyai tangan yang lebih sigap karena aku berhasil menghalagi bibir kami bertemu dengan telapak tanganku.

    “Ayolah, apa kamu bercanda?”

    “Cepat bersiap-siap Will! Nanti kamu terlambat.”

    “Kamu ini menyebalkan sekali. Lihat saja nanti malam, akan kubalas!”

    “Oh Ya? Memangnya kamu mau apa?”

    “Ya, nanti malam aku tidak akan membiarkanmu mencapai klimaks. Dan setelah aku berhasil mempermainkanmu berkali-kali, akan langsung kutinggal tidur. Biarpun nanti kamu merengek-rengek padaku, tidak akan kupedulikan. Biar saja! Kalau mau, tuntaskan sendiri!”

    “Hei, itu sangat kejam! Bagaimana kamu bisa setega itu menyiksaku? Aku ini suamimu!”

    “Di mana-mana pembalasan itu lebih kejam.”

    Aku bahkan tidak bisa membayangkan kalau seandainya dia ingin balas dendam padaku dengan cara tidak menyenangkan seperti itu. Bagaimanapun juga ini bukan salahku sepenuhnya karena aku hanya mempermasalahkan waktu yang memang tidak cukup.
    Tidak ada yang bisa kulakukan saat ini kecuali menatap tajam jam dinding putih yang menyebalkan itu, pastikan setelah ini aku akan membuangnya.

    “Dasar jam dinding tidak tahu diri!”

    ****-****

    “Tim, menurutmu apa aku perlu ke tempat fitnes atau semacamnya? Kurasa olahraga di rumah seperti ini tidak cukup untukku.”

    “Untuk apa Will, badanmu sudah sangat bagus. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya ataupun menuntutmu lebih dari ini kan?”

    Will meletakkan sendoknya dan bersiap untuk mengajakku ribut kembali. Tidak ada yang perlu kucemaskan karena selama ini keributan kecil seperti ini bahkan yang paling kurindukan saat aku tidak bersamanya. Keributan ini justru mewarnai kehidupan rumah tangga kami, bahkan terkadang aku perlu memancing Will melakukannya.

    “Jika aku tidak menjaga tubuhku, kamu bisa saja tidak tertarik lagi padaku. Melirik pria lain di luar sana dan mungkin akan mencampakkanku begitu saja. Aku tidak mau itu terjadi.”

    Aku menatapnya heran.

    “Dengar, kita sudah menikah. Jadi cukup terdengar bodoh bagiku untuk melirik pria lain atau bahkan mencampakkanmu. Aku tidak segila itu Will, bagaimana aku bisa melakukan hal yang kejam seperti itu pada suamiku sendiri? Kamu tidak perlu ke sana, kalau mau olahraga di rumah saja. Itu keputusanku dan tidak bisa diganggu gugat.”

    “Tim, ayolah...”

    “Aku kepala rumah tangga di sini. Jadi, TIDAK. Lebih baik uangnya ditabung saja daripada digunakan seperti itu. Dan lanjutkan makanmu!”

    Sekali lagi, perkataan Will baru saja kembali membuatku terkagum-kagum. Aku tidak memikirkan apa yang dia katakan, tapi aku merasakan seberapa besar cintanya padaku. Jika dilihat-lihat sampai detik ini aku bukanlah tipe pria yang menarik perhatian dari segi fisik. Walaupun ukuran tubuhku sama dengan Will, tapi tetap saja tidak ada yang bisa kubanggakan baik dari wajah ataupun tubuh yang atletis, hanya biasa-biasa saja. Will sekalipun tidak pernah membahas masalah itu dan seharusnya aku yang lebih merasa cemas kalau pada akhirnya Will melirik pria lain dan selingkuh di belakangku. Tapi sampai sekarang justru Will yang cemas kalau aku akan melirik pria lain. Bukankah itu berarti dia tidak mempermasalahkan fisikku? Dan seharusnya aku juga demikian.

    “Tapi tabungan kita sudah menggunung Tim, seharusnya kita sudah bisa membeli rumah di suatu tempat tapi sampai sekarang uang tabungan kita tidak digunakan sama sekali. Investasimu juga sudah terlalu banyak. Ditambah lagi sifatmu yang pelit seperti ini membuat tabungan kita tidak akan habis dan tidak berkurang sedikitpun dalam puluhan tahun.”

    Aku menatap Will bosan.

    “Ck, berlebihan.”

    Will sepertinya mulai kehabisan argumen.

    “Baik, aku berangkat. Malam nanti aku ingin bicara denganmu. Penting!”

    “Mengenai?”

    “Oh lucu sekali, kamu menolak untuk melanjutkan ciuman kita hanya karena takut membuatku terlambat. Dan sekarang kamu ingin mencegahku berangkat untuk menjelaskan apa yang ingin kubicarakan nanti malam?”

    ****-****

    Hari ini aku benar-benar memutuskan untuk tidak bekerja. Aku sudah menghubungi Emma dan menyerahkan semua urusan hari ini padanya dengan alasan aku sedang sakit, karena faktanya kepalaku memang sangat sakit. Aku bahkan berusaha sebisa mungkin tidak menunjukkan ekspresi menahan sakit karena jika Will tahu, pasti dia akan memberikan reaksi yang berlebihan. Dia mungkin saja akan ikut membolos kerja hanya untuk menemaniku di sini dan memastikan aku akan baik-baik saja sampai benar-benar sembuh.

    Yang harus kulakukan hanyalah istirahat dan memejamkan mata selama yang kubisa dan bangun sebelum Will pulang dan berniat membuatkannya makan malam. Apalagi sekarang ini aku benar-benar lemas karena Will benar-benar menghabisiku kemarin malam. Jika kuhitung bahkan aku hanya tidur kurang dari tiga jam. Dan sekarang adalah saatnya pembalasan.

    ****-****

    Suara ketukan pintu apartemen di siang hari seperti ini sudah cukup untuk membuat keningku berkerut karena keheranan. Selain Ilse, Dylan, ataupun Joris seharusnya tidak akan pernah ada yang berkunjung kemari kecuali itu ayah, ibu atau adik tiriku. Tapi tidak ada kabar kalau mereka akan datang hari ini. Terlebih seharusnya apartemen ini memang kosong jika aku ataupun Will belum pulang bekerja. Atau mungkin saja itu salah satu pegawaiku yang ingin mengunjungiku saat jam istirahat makan siang.

    Saat kurasa tidak ada pilihan lain, aku memaksakan untuk berdiri dan segera membuka pintu itu jika aku tidak mau mendengar ketukan itu akan terus berbunyi sepanjang hari. Bahkan ruang tamu dengan pintu itu kurasakan jaraknya seperti satu kilometer. Kepalaku makin pusing dan sialnya, hanya untuk sekedar berjalan aku perlu berpegangan pada tembok. Sepertinya aku perlu minum obat sakit kepala lebih banyak lagi dan aku tidak peduli efek sampingnya.

    Begitu kubuka pintu, aku bisa saja menganggap ataupun menyimpulkan bahwa kota Seoul sudah pindah dan terletak di sebelah kota Assen, seolah-olah benar-benar tidak ada jarak. Karena sosok yang tengah berdiri di hadapanku sangatlah tidak kuduga kedatangannya dan membuktikan bahwa Seoul benar-benar tidak jauh dari sini. Dunia memang benar-benar sempit, bahkan dalam artian kata yang sebenarnya.

    “Halo, Selamat siang! Apa kabar?”

    Bahkan saat suara yang tidak asing terdengar dengan jelas di telingaku, sesaat kupikir aku sedang bermimpi. Sudah setahun lebih aku tidak bertemu dengannnya setelah pernikahanku dengan Will, tapi sekarang dia tengah berdiri dengan ceria di hadapanku.

    “Yoon... Yoon Jin Hee?”
  • **** - ****
    “Berani taruhan kalau suamimu tidak tahu keadaanmu yang seperti ini”

    “Aku hanya terlalu lelah, bukan masalah besar.”

    Aku masih mengumpulkan kesadaranku dan meyakinkan diriku sendiri bahwa wanita yang tengah menemaniku di sini bukanlah hantu ataupun ilusi yang tercipta karena aku sakit kepala. Bagaimanapun juga aku masih saja merasa canggung untuk sekedar bertemu atau mengobrol dengan Jin Hee dikarenakan mantan-calon-tunangannya sudah menjadi suamiku sekarang. Dulu aku dan Jin Hee bersahabat baik, aku juga mengenal dia dari Will. Dan siapa yang menyangka bahwa pada akhirnya aku ikut andil dalam menghancurkan hatinya.

    Memang pada akhirnya Jin Hee menerima kami apa adanya bahkan merestui kami. Tidak hanya itu, konsep pernikahan dan segala sesuatu yang kami perlukan di Assen dia yang mengurus. Walaupun sekarang ini raut wajahnya masih begitu sedih, kesan ceria tidak hilang dari sosoknya. Aku tidak akan pernah berani untuk menatap wajahnya lama-lama karena jika kulakukan aku hanya akan teringat pada masa lalu yang memposisikan diriku sebagai orang yang jahat dan kejam.

    Aku masih teringat saat malam di mana Will mengungkapkan jati dirinya di hadapan Jin Hee karena aku memandang mereka dari jauh. Malam itu, adalah malam di mana kami harus menghancurkan impian salah satu gadis ceria yang berhati baik yang pernah kukenal. Aku tidak akan pernah melupakan saat-saat di mana air mata seorang Jin Hee tak berhenti keluar dari kedua matanya. Bahkan tangisannya pun sepertinya tak akan pernah berhenti sampai pada akhirnya dia kelelahan dan tak sadarkan diri dalam pelukan Will.

    Dan aku tak akan pernah menyangka bahwa setelah itu dia datang padaku. Dia bilang terima kasih karena aku dan Will telah bersedia jujur padanya sebelum semuanya terlambat.

    # Satu setengah tahun yang lalu #

    “Jadi kalian telah menjadi sepasang kekasih bahkan sebelum Will mengenalku? Kenapa tidak memberitahuku? Kalian benar-benar jahat”

    Aku sudah punya satu alasan untuk menyebut gadis yang tengah berdiri di sampingku ini sebagai gadis super. Bagaimana dia masih bisa seceria itu, ataupun tertawa selepas itu padahal beberapa hari yang lalu impiannya telah kami hancur leburkan.

    “Jin Hee, maaf”

    Dia menggelengkan kepalanya cepat dengan masih tersenyum ceria, walaupun dapat kulihat matanya masih merah.

    “Untuk apa? Tidak perlu seperti itu. Aku justru akan merasa bersalah jika akhirnya aku merebut kekasih orang lain. Mungkin sekarang yang kubutuhkan hanyalah waktu. Mungkin suatu saat nanti aku akan merasa lebih baik, tidak ada yang perlu dicemaskan.”

    “Sekali lagi aku minta maaf.”

    “Sekarang ini yang perlu kalian pikirkan adalah ibunya Will. Bagaimanapun juga ini Korea, tentu akan sulit mendapatkan restu dari Ny. Shin Hyun-Il. Apalagi Will belum mengaku tentang dirinya pada keluarganya kan? Mungkin ayahnya bisa saja nanti akan memberi restu pada kalian walaupun beliau pasti juga akan kecewa dan membutuhkan sedikit waktu. Tapi ibu Will, menurutku sangat sulit. Meskipun begitu aku yakin kalian akan hidup bahagia nanti. Siapapun pasti akan hidup bahagia jika bisa menghabiskan sisa hidupnya dengan orang yang dicintainya kan? Sepertinya aku akan menyusul kalian di lain waktu.”

    “Maaf.”

    “Oh ya, kapan kalian akan menikah? Kemarin Will bilang kalau dia sudah melamarmu kan? Jadi kapan? Di mana? Apa boleh aku yang mengurus semuanya? Karena kita berteman, tenang saja akan kuberi diskon yang besar. Aku tidak akan rugi. Bagaimana?”

    “Jin Hee....”

    “Aku mohon Tim, aku akan merasa sangat lega jika aku melihat kalian bahagia apalagi dalam momen-momen seperti itu. Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika bukan aku yang mengurus segala keperluan pernikahan kalian nanti. Aku memaksa.”

    Aku semakin menatapnya miris.

    “Apa benar tidak apa-apa?”

    “Sudah kubilang dengan melihat kalian bahagia, setidaknya aku akan merasa jauh lebih lega. Aku pasti lebih mudah merelakan Will denganmu jika aku bisa melihat senyum bahagianya saat bersamamu, jadi aku tidak akan pernah menyesal telah melepasnya.”

    “Tapi, Jin Hee. Aku merasa itu ide yang...”

    “Tim, sampai detik ini aku memang masih mencintai Will, bahkan aku seperti tidak mempedulikan keadaannya yang sebenarnya. Jadi mungkin satu-satunya cara agar aku bisa cepat melupakan perasaanku pada Will adalah dengan melihatnya bahagia dengan orang yang dicintainya, denganmu. Dengan begitu aku tidak akan mengharapkan apa-apa lagi padanya dan mungkin aku bisa mulai membuka hati untuk pria lain yang telah menungguku.”

    “Kamu ingin aku mengucapkan apa? Semangat Jin Hee, kamu pasti bisa atau aku selalu berharap kamu akan mendapatkan seseorang yang bisa membuatmu benar-benar bahagia nantinya? Sepertinya aku memang sangat kejam.”

    “Apa maksudmu Tim? Aku saja sekarang sedang bahagia dan lega karena kalian masih memikirkanku. Kurasa memang seharusnya seperti ini daripada terlambat. Jadi tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Mungkin memang ada pria lain yang akan menjadi pendamping hidupku.”

    “Ya, setidaknya bukan orang kasar, galak, dan tidak bisa romantis seperti Will kan? Dia itu menyebalkan, aku masih heran kenapa ada yang bisa jatuh cinta pada orang seperti itu, punya gengsi tinggi lagi.”

    “Dan kamu sudah jatuh cinta padanya kan Tim?”

    “Iya, aku... sangat mencintainya.”

    # Flashback End #

    **** - ****

    “Ngomong-ngomong, ada kepentingan apa sehingga kamu ke Assen?”

    Masih saja terasa aneh jika aku berusaha mengakrabkan diri dengannya. Kami dulu berteman dan sangat akrab, tapi tidak kupungkiri bahwa keadaan menjadi canggung bahkan sampai detik ini. Rasa bersalahku belum hilang sepenuhnya walaupun aku tahu wanita yang tengah menemaniku sekarang sangatlah tegar.

    Jin Hee memberikan obat sakit kepala dan air hangat padaku, walaupun memang dia adalah wanita yang tegar, tapi aku dapat melihat sisi lain darinya. Dia begitu...terlihat hancur dan sedih apalagi semenjak impiannya menjadi istri Will harus kandas beberapa minggu sebelum mereka bertunangan.

    “Kamu bicara apa, Tim? Bukankah kalian yang menawari kami kemari?”

    Keningku berkerut seketika.

    “Siapa?”

    “Will menghubungiku dua hari yang lalu. Kami menceritakan rencana liburan kami kemari dan pada akhirnya Will menawari kami kalau-kalau ingin mampir. Kami juga bertemu saat Will datang ke pernikahan teman kami di Seoul.”

    “Kalian?”

    “Apa kamu pikir aku datang ke sini untuk berlibur sendirian?”

    Will harus menjelaskan banyak hal padaku setelah ini. Apa yang dia pikirkan sehingga dengan mudahnya menawari Jin Hee untuk datang kemari. Bukan masalah aku menolak atau tidak, hanya saja aku juga butuh persiapan terutama mentalku atau aku perlu memikirkan apa-apa saja yang akan kuucapkan padanya jika kami berbincang-bincang. Seharusnya Will mendiskusikan terlebih dulu denganku, bukan mengambil keputusan seenaknya sendiri. Bagaimanapun juga aku perlu tahu karena aku kepala rumah tangga.

    Aku kembali menatap Jin Hee dengan pandangan bertanya-tanya.

    “Jin Hee, memangnya kamu... datang... dengan siapa?”

    “Dengan siapa lagi? Aku datang ke sini tentu saja dengan Dong Sun.”

    Aku tercekat.

    “Maksudmu... Dokter Lee?”

    “Iya, dia sedang membeli bahan makanan di toko dekat sini sekarang. Aku yang akan memasak untuk kita berempat. Kita akan makan malam bersama-sama. Pasti akan sangat menyenangkan. Aku harap kamu masih suka masakan Korea Tim.”

    “Lalu, apakah... Dong Sun masih... membenciku?”

    “Apa maksudmu? Sudah setahun lebih sejak kamu dan Will menikah, kurasa Dong Sun sudah tidak mempermasalahkannya. Apa yang kamu cemaskan?”

    ****-****

    Aku menahan Will ketika dia berniat masuk ke dalam saat kubuka pintu untuknya. Dia baru saja tiba dan aku ingin meminta waktu berbicara dengannya, berdua. Bahkan sekarang kami masih diam berdiri di luar sementara Jin Hee dan Dong Sun sudah menunggu kami di meja makan untuk makan malam bersama. Aku memandang Will tanpa henti yang tengah menunduk untuk mencari-cari maksud dari Will menawari Jin Hee dan Dong Sun untuk mengunjungi kami. Bisa kukatakan hal itu sudah masuk hitungan sebagai sebuah undangan dan aku sama sekali tidak tahu tentang ini. Aku yakin masalah ini tidak akan berhenti sampai di sini karena sepertinya firasatku mengatakan kalau akan ada kejutan-kejutan tak terduga lain yang bahkan aku sendiri seperti merasa itu bukanlah hal yang menyenangkan.

    “Aku sama sekali tidak keberatan jika sekarang mereka ke sini mengunjungi kita. Sisi lain yang patut kusukuri karena sekarang Dong Sun tidak lagi membenciku karena aku dulu telah menghancurkan hati dan harapan orang yang dicintainya. Tapi kenapa tidak memberi tahuku dulu Will? Bukan hanya ini kan? Pasti ada maksud lain. Bisa jelaskan padaku sekarang?”

    “Sebaiknya kita makan malam dulu dengan mereka. Setelah mereka berdua kembali ke hotel, aku akan menceritakan semuanya. Aku janji Tim!”

    “Bisa kamu berikan satu kalimat bocoran saja agar aku nanti tidak terlalu terkejut ketika mendengar semuanya darimu?”

    “Tim, aku tahu pasti bahwa kamu tidak akan suka dengan apa yang akan kukatakan nanti. Tapi aku hanya ingin mencoba mengutarakan suatu hal tentang pesan ayah padaku sebelum meninggal dunia. Ini... tentang... kembali ke Korea.”

    “Apa?”

    Badanku serasa kaku seketika saat Will mengatakan kalimat yang tidak kuduga sama sekali.

    “Aku tahu pernikahan kita telah melukai banyak orang. Aku juga tahu kamu telah memutuskan untuk setahun ini jauh dari Korea karena itu adalah tempat di mana kamu akan mengingat kejadian-kejadian yang sangat menyakitkan. Beberapa orang terluka karena pernikahan kita, beberapa orang menangis karena keputusan kita, dan beberapa orang bersedih karena kenyataan tentang kita yang harus mereka hadapi. Tapi, aku memang ingin kembali ke sana karena beberapa alasan. Aku... ingin pulang, Tim.”
    “Kalau sudah tahu, kenapa kamu sekarang ingin kembali ke sana? Kamu ingin meninggalkanku sendiri di sini? Kita akan berpisah lagi? Berapa lama? Seminggu? Sebulan? Setahun? KAMU PIKIR AKU AKAN TENANG SEHARI SAJA TIDAK BERSAMAMU?”

    “Tim, sebaiknya kita bahas ini setelah makan malam.”

    “Ada yang masih kamu sembunyikan dariku?”

    “Aku sama sekali tidak menyembunyikan apa pun darimu. Aku hanya menyimpan ini semua sampai pada akhirnya aku mendapatkan waktu yang tepat untuk menyampaikan semuanya padamu dan kupastikan tidak akan ada yang tertinggal dan kusembunyikan sendiri. Selama ini tanpa kuminta, kamu selalu bisa mengerti posisiku, selalu bisa paham tentang diriku. Jadi apa kali ini aku harus meyakinkanmu hanya untuk membuatmu mengerti tentang posisiku saat ini? Tidak perlu kan?”

    “Will...”

    “Aku pikir, jika selalu seperti ini aku tidak akan sanggup untuk terus menerus menghindar dan bersembunyi. Kamu selalu bilang padaku kalau kita bisa, bahkan kamu mengucapkannya dengan penuh keyakinan dan sekarang aku sudah mulai merasa sangat yakin. Jadi apa sekarang kita bisa menghadapi mereka Tim? Aku sangat ingin menghadapi mereka, tidak lagi ada kata sembunyi dan menghindar. Aku... bukan seorang pengecut.”
  • Sukaaaaaaaa...!!! harus dilanjut...!!!
  • Hellow,

    Just read your story in one sitting.

    Interesting story so far :) Tapi, kamu update nya kebanyakan, harusnya dikit2 dulu, biar nggak langsung banyak bacanya. Kan nggak semua member disini suka baca update an banyak2. Sayang kalau cerita kamu nggak banyak yang baca. It's really an interesting story.

    Saran dikit, itu dialognya Will pas jelasin ke Tim ttg kepulangannya ke Seoul, panjang bener! Apa dalam kehidupan nyata, orang bisa bicara sepanjang itu tanpa jeda? harusnya kamu bisa kasih jeda dalam kalimat Will dan tanda "" nya nggak perlu di tiap paragraf, yang baca bisa jadi bingung, itu yang ngomong Will atau Tim?

    ".....Apa aku berlebihan lagi Tim? Apa kamu ingin bilang kalau aku juga gila?” (tanda ini nggak perlu, langsung ke paragraf selanjutnya aja)

    Aku datang ke hadapan mereka dengan wajah tertunduk. Kuletakkan pisau itu tepat di depan mereka dengan tanganku yang bergetar hebat..."

    Jadi, yang baca tahu, itu satu kalimat dan diucapkan oleh satu orang.

    Masih ada sedikit typo tapi nggak begitu berpengaruh ke isi cerita kok. Good job! I like it so far. Semoga jatuhnya nggak kayak drama Korea ya? I put my hopes high on your story! :)

    Keep writing!
  • Haaah thanks god. kupikir bkal g ad yg bkal ngerespon crita ini.
    @AwanSiwon oke bro. psti diusahain sampe tamat

    itu bneran bang @Abiyasha ? wow gk nyangkaaaa. bang sbnernya q g skali update. ini udh hari ke 3 tp emg slma ini g ad yg komen jd kesannya q apdate byk tnpa jeda. utk dialog will yg itu sblumnya d sela2nya ada narasi tp q apus, q akui emg q kbingungan di bag it. tp mkasih byk bang sarannya ntar q bnerin. oh ya brakir kyk drama korea mksudnya yg kyk gmn bang?
  • Sori lupa ngasih tau. akun ini sama wessel itu 1 orang.
  • Korea,,,
    aku suka korea,,, lanjuttttt
  • @bepee haha ntar bnerin y klo ad yg slah ttg tmpt n budayanya krena q g trlalu paham.
Sign In or Register to comment.