BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ABC (Aku dan Bidara Cinta)

1679111221

Comments

  • edited July 2013
    [3] MATA RANTAI

    Alunan musik dangdut itu masih menemaniku membereskan kamar kostku yang tampak berantakan. Mau meledek selera musikku? Silahkan. Aku cinta dangdut dan tak pernah malu karena itu. Baju-baju masih tergantung di belakang pintu, berjejalan dengan jaket dan levis bolongku. Segera saja kumasukkan baju-baju kotor itu kedalam keranjang, lantas merendamnya dalam ember di kamar mandi. Tapi ketika aku sedang menyapu lantai, aku melihat hapeku yang tergeletak di atas kasur menyala. Ah, satu panggilan masuk. Siapa pula ni orang, mengganggu saja.

    Aku lantas meletakkan sapu kemudian segera menjangkau hapeku. Dan ketika nama yang tertera di hape, aku segera mengernyit. Orang itu menghubungiku? Ada apa? Tumben sekali dia menghubungiku.

    “Halo asslamalaykum Akang..hehe. Iya nih Kang. Maaf baru ade belum sempet nelpon. Eh, Akang kerja di Cikarang kan ya?Aku lagi di cikarang juga loh Kang”
    “Iya. Akang tahu, makanya akang nelpon kamu. Kamu di tempatnya Aa kamu?”
    “Iya Kang. Aku kangen banget sama si Aa. Lagian kita juga gak ketemu berapa tahun kang. Udah kangen pisan sama dia.”
    “Oh, terus rencananya kamu berapa lama disini?”
    “Aku mau nyari kerja disini aja kayaknya Kang, biar deket sama si Aa. oiya, nin udah pulang kemarin. Eh kang, kita bisa ketemu gak Kang? Banyak yang mau aku ceritain ke Akang..”
    “Yaudah, kita ketemu di luar aja ya? Kamar kost Akang masih berantakan. Tapi kamu yang traktir ya?”
    “Hahah. Kan Akang yang udah kerja..masa aku yang masih nganggur mesti njajanin sih?”
    “Yaudah. Kamu tahu President University gak? Kita ketemu di Citywalk deket situ ya”
    “Okeh deh Kang. Ntar jam empat aku tunggu disana ya.”

    Kuakhiri percakapn kami, lantas melanjutkan beberes kamar ini.

    Okey. Sebelumnya, perkenalkan, namaku Gilang, Gilang Arkan lebih tepatnya. Dan tentu kalian sudah mafhum bahwa aku adalah adiknya A Nabil. setelah lulus kuliah di Joga aku memang memutuskan untuk mencoba mencari penghidupan di kota yang gersang ini. Dan seperti yang kalian tahu, sebentar lagi aku akan bertemu dengan orang yang menyadarkanku tentang kesalahanku dulu.
    *****
    Anak-anak muda dengan buku-buku tebal tampak berlalu-lalang di depanku. Beberapa muda-mudi lain tampak sedang menikmati kopi yang masih mengepul, sembari tertawa-tawa dengan teman sesama sipitnya. Ah, kebanyakan mahasiswa sini adalah chinese. Tentu saja, ini adalah kampus termahal di kota ini, katanya sih begitu. Inilah Citywalk President University, jam 4.15 pm

    Aku beberapa kali melirik jam tanganku menengok ke jalan raya, tapi tak nampak orang yang menelponku tadi. Ah, menyebalkan sekali. Dia selalu saja begitu, ngaret. Aku sudah menghabiskan dua teh botol dan entah baru sampai mana anak itu. Atau jangan-jangan dia lupa telah membuat janji denganku sore ini?

    Dan aku segera melahap keripik singkongku dengan kesal, dan saat tangnku merogoh ke kantong, aku melihat ada seorang remaja mengedarkan matanya ke sekeliling tempat ini, dan aku lambaikan tanganku ke arahnya, dia tersenyum riang tanpa dosa lantas tergopoh-gopoh berlari ke arahku.

    “Akang...maaf aku telat..tadi angkot yang aku naikin kelewatan..jadinya naik angkot arah ballik deh..udah lama Kang?” dia tampak ngos-ngosan dan langsung menenggak botol yang ada di hadapanku sampai tandas, lantas meletakkannya tanpa punya rasa prihatin pada meja dihadapanku. Aku hanya memerhatikannya yang tampak berkeringat.
    “Ah...hosh..hosh..udah lama Kang?” dia kembali mengulangi pertanyaannya, mungkin untuk menegaskan.
    “Ya..baru abis tiga botol” balasku ketus.
    “Aduh...maaf ya Kang..tadi juga aku abis lari-lari tau Kang. Aku lupa ternyata tempat ini agak jauh dari jalan raya...”
    “Emang kamu gak minta dianter sama Aa kamu?”
    “Maaf..aku gak mau ngerepotin dia Kang. Lagian juga aku gak bilang kok kalo aku kenal sama Akang..”

    Beberapa saat kemudian kami berdua saling melepas rindu. Alah, bahasaku, melepas rindu, seperti sepasang kekasih yang terpisah saja. Dan lagi-lagi aku mulai menceritakan apa yang sedang kualami. Terlebih masalah kakakku. Ah, lagi-lagi orang itu menjadi masalahnya. Kadang aku berpikir, kenapa Arif gak mati saja sih. Kompleks sekali apa yang sedang dialami olah kakakku gara-gara orang itu. Dan kang Ichal hanya diam memerhatikanku.

    “Aku bingung harus gimana sekarang Kang. Aku kenal anak itu sejak kecil, dan aku tahu gimana sifatnya..Tapi aku juga gak mau si Aa makin menderita hidupnya..” aku mengisahkan dengan wajah mengerut.
    “Mereka masih tinggal serumah?”
    “Masih Kang. Minggu pertama aku memang ikut satu kost sama si Aa, tapi setelah anak itu pulang, aku segera dicariin kostan sama si Aa. Ah, aku bingung mesti gimana.”
    “Ya..gak mungkin kan kalian tinggal satu kost bertiga? Bisa berantem terus kamu sama Arif. Terus sekarang kamu udah ngelamar kemana aja?” Aku memang sedang mencari kerja sekarang.
    “Banyak sih. Kemarin baru selse interview, dan sekarang tinggal nunggu hasilnya aja. Mudah-mudahan aja cepet dapet ya. Do’ain ya Kang biar aku kerjanya deket akang. Kan enak tuh, kalo aku lagi bokek bisa minta utangan ke Akang, hahah”
    “Iteuh, dasar. Gini aja De, sambil nunggu kamu kerja, kamu kostnya sama akang aja, biar kamu gak boros. Kan sayang tuh duit kamu..apalagi kamu masih minta sama A Nabil kan?”
    “Beneran Kang? Ah, gak enak ah aku sama akang. Aku mau numpang sama kang Wildan aja ah. Aku kan dari dulu emang sering ngerepotin dia. Haha. Tapi makasih pisan yah Kang. Apa sekalian mau nraktir aku makan enak sekarang Kang?” dan satu jitakanku mendarat di kepalanya.
    ****
  • W : oh..jadi Nabil udah tau kalo kalian sering kontak?
    Gilang : enggak kok. Aku Cuma bilang ke si Aa kalo kang Ichal Cuma nelpon sekali waktu itu. Lagian juga kang Ichal ngelarang aku buat cerita. Katanya sih takut aku ditanyain macem-macem sama si aa.
    W : jadi lo tau kabar soal Nabil tuh dari Gilang Sal?
    Gilang : dia mah suka diem aja kalo aku certain soal si Aa. aku ngerti kok perasaan dia, jadi dan aku ngabarin hal-hal penting aja. Kayak waktu si Aa mau nikah sama Teh Nadia.
    Isal : ya..you know lah Bi kondisinya waktu itu. Tapi ketemuan pertama sama Gilang bikin esmosi lah. Masa aku nunggu sampe berjam-jam. Ish.
    W : lha, kenapa lo gamau tinggal sekostan sama Isal? Oh..pasti takut digrepe-grepe ya. Hahah
    Isal : sembarangan kalo ngomong.
    Gilang : haha. Gak enyak lah Bi. Lagian juga waktu awak bilang ke si Abang kalo awak mau nyari kerja di Cikarang, dia wanti-wantum biar tinggal sama dia.
    W : jadi si keriting mbe tau kalo lo deket sama isal?
    Isal : awalnya enggak ya, De. Tapi waktu itu katanya Wildan kakaratk hapenya dia, eh ketauan deh.
    Gilang : lagian juga awak kan gatau kalo si Abang kesemsem asem sama kang Ichal
  • Akhirnya aku tinggal satu atap juga dengan Kang Wildan. Sebenarnya aku malu terus saja merepotkan dia. Tapi mau bagaimana lagi, selain kakakku Nabil, aku hanya punya dia di kota ini. Sama seperti saat aku menimba ilmu di Jogja. Dialah yang membantuku di awal-awal kehidupanku disana. Dia pula yang membantuku mencarikan pekerjaan sampingan untuk membiayai kuliahku. Walaupun aku dulu dapat beasiswa dan mendapat kiriman uang bulanan yang awalnya kukira dari orang tua asuh, tapi ternyata itu adalah kiriman dari kakakku Nabil. Ah, aku jadi semakin merasa bersalah pada kakakku itu. Dulu aku memang menutup hati karena apa yang kusaksikan ternyata membuatku sangat kecewa padanya. Dan untungnya aku dijelaskan oleh seseorang yang mengaku temannya A Nabil. Ya kang Ichal itu.

    Aku segera menaruh ransel besar yang kubawa dari kostanku yang lama. Sebenarnya masih tersisa satu minggu lagi, tapi tak apa, toh barang-barangku juga belum semua kuambil.

    Kamar kostannya termasuk kamar kost sederhana. Aku tahu, walaupun dia bisa menyewa kostan yang jauh lebih nyaman, tapi jiwa liarnya menggiringnya ke tempat ini. Sederhana sekali. Bahkan akses masuknya pun sedikit masuk kedalam gang kecil dan sempit. Dia memang tak pernah berubah dari dulu. Selalu menyatu dengan masyarakat, senang bergaul dengan anak-anak kecil dan pandai membaurkan diri dengan lingkungan.

    Aku suka cara dia menata kamarnya. Ada kasur lipat sederhana, lemari kayu kecil dan dan di dinding tertempel beberapa poster tokoh idolanya, Mahatma Gandhi, che Guevara dan Bob Marley yang tampak mencolok.

    Sekarang kang Wildan membantuku membereskan pakaian dan barang-barangku. Setelah selesai menempatkan barangku di tempat-tempat yang kurasa itu adalah tempatnya, aku menyelonjorkan kakiku. Cukup melelahkan juga hari ini. Kuseka keringatku dengan ujung lengan bajuku, kunyalakan juga kipas angin karena Cikarang memang panasnya selalu bikin emosi.

    Aku masih menyelonjorkan kakiku saat aku merasa saku celanaku bergetar. Dan getaran di sakuku membuatku merogoh ponselku dan satu nomer telepon rumah masuk. Kang Wildan melirik ke arahku dan aku pamit sebentar keluar.

    “Hallo selamat siang..dengan bapak Gilang Arkan?” suara perempuan yang terdengar merdu itu lembut dibalik corong telpon.
    “Iya, ini saya sendiri.” Timpalku.
    “Ini dari PT xxx Pak. Bapak sudah melaksanakan interview kan tiga hari yang lalu? Dan besok bapak kami tunggu untuk melakukan medical test dan kalau lulus, langsung tanda tangan kontrak kerja. Bagaimana Pak?”
    “Besok ya Mbak? Baiklah. Jam berapa mbak?” aku melonjak kegirangan, tapi berusaha bersikap biasa.
    “Jam delapan sudah sampai di kantor. Bisa?” tentu saja bisa, pikirku. Toh ini mengenai masa depanku. Jam tujuh pun aku pasti sanggup.
    “Baiklah Mbak. Sebelum jam delapan saya pasti akan sudah sampai” Jawabku singkat, berusaha bersikap biasa padahal aku sangat exited.
    “Okey. Terima kasih Pak Gilang, besok kehadiranya kami tunggu. Selamat siang”
    “Selamat siang..”

    Yess, pekikku dalam hati. Akhirnya aku diterima juga di perusahaan itu. Ah, tuhan memang baik sekali. Baru saja aku diajak tinggal satu kost sama kang Wildan, sekarang dapat berita bagus. Aku lantas masuk kembali ke kamar kost dan tatapan penasaran kang Wildan ditujukannya padaku.

    “Mencurigakan. Senyum-senyum sendiri, kamu telat minum obat ya?”
    “Hahah. Si abang mah. Tidak lah Bang, biasa lah, temen ngasih tau gossip gitu lah....”
    “Dasar tukang gossip. Eh, kalau sudah selesai, kamu langsung mandi saja ya. Akang mau beli nasi dulu sebentar. Oiya, galon udah abis, kamu gak keberatan kan naikin galonnya sebelum mandi?”
    “Gak usah Bang. Karena abang udah baik hati, abang istirahat aja dulu. Habis ganti galon, awak yang beliin nasi ya..”
    “Emang kamu punya duit..” dia meledekku.
    “Aish. Awak beliin combo KFC juga mampu Bang, tapi besok paling ngutang duit ke abang. Haha. Awak menjangkaw warteg dulu ya Bang..”

    Dia hanya mengacungkan jempol ke arahku.

    Dan setelah sedikit digoda gadis penjaga warteg, aku kembali dengan dua bungkus nasi ditangan. Aku bersiul-siul dan saat sampai kostan, kang Wildan tampak sudah rapi nan wangi.

    “Makanan sudah datang..”
    “Asik..lama banget sih lang. pasti ngecengin dulu tukang ojeg ya.”
    “Hahah. Parah, masa selera awak tukang ojeg. Ish, tukang becak lebih maknyus lah Bang”
    “Buruan bongkar ah. Nih perut udah laper.” Katanya langsung mengambil dua piring dan dua sendok.

    Aku langsung membuka bungkusannya dan menaruh diatas piring, begitupun dia. Kang Wildan yang biasanya susah makan, sekarang tampak kelaparan sekali memakan nasi dengan lauk hanya telor dan tahu tempe ini.

    “Ngomong-ngomong, ini momen langka. Jarang-jarang kan kamu nraktir makan besar kayak gini” dia meledekku dengan menyebutkan makan besar untuk nasi warteg. Aku hanya cengengesan. “Jadi ada kabar baik apa nih?”

    Aku nyengir kambing dengan pipi gembung berisi makanan yang baru kukunyah. Setelah kutelan, aku memainkan mataku.

    “AwaB diterima kerja kang di xxx” dan penjelasanku sukses membuatnya melotot.
    “Wah..pelecehan. Masa syukuran kamu kerja makannya nasi warteg. Tak sudi aku”
    “Hahah. Kan awaknya belum kerja atuh Bang. Ntar kalo awak udah gajian, aku traktir abang di warteg manapun yang abang mau. Hahah”

    Dan dia ikut tertawa sambil mengambil jatah tempe punyaku.
    ****
  • W : isah, dasar mahluk tidak bermodol kaw Lang
    Isal : hush, bahasanya itu loh. Lagi makan juga
    Gilang : hellow..apa kabar Abi surabi yang sukanya ditraktir mulu
    W : haha. Itu mah beda kasus. Sini ah, bagi omeletnya
    Gilang : tuh kan..
    Isal : eh, aku duluan ya. Udah ditungguin
    Gilang : si abang? Bukannya dia lagi kumpulang Kang?
    Isal : bukan. Amam minta dianterin belanja. Kan besok mau puasa katanya. Biasa jeung, ibu-ibu kalo liat diskon tuh kalap. Udin kayak kesurupan
    W + Gilang : Hyu marree cyiin..
    Isal : huhu. Kalian patungan ya bayarnya. Yudadah yu babay..
    W : babay laki gue woy. Ish. Nah sekarang kan kalian ini tinggalnya bareng nih. Tapi pasti pembaca banyak yang penasaran gimana kok kamu bisa kenal Wildan. Karena kalo diperhatiin tuh jadi kayak sinetron gitu loh
    Gilang : lah karena situnya aja yang korban sinetron. Sebenernya agak panjang juga sih ceritanya. Jadi kalo dibikin cerita sendiri juga bisa.
    W : wew. Kapan-kapan aja itu mah. Yang singkatnya aja gimana.
    Gilang : aish, awak juga kan pengen macam a Nabil, si Item, sama kang Ichal juga, jadi terkenal. Hahaha
    W : sanguan we lah. Buruan ah, gimana dulunya bisa kenal si kribo…
    • Sanguan = ledekan dalam bahasa Sunda, yang kurang lebih artinya seterah lo deh
    Gilang : sing sabar ateuh cu. Awas, jangan ada yang kelewat nya. Harom hukumna tah.
    W : nih ngomong sama pantat.
    Gilang : hahaha. Dasar boty, apa-apa teh pantat.
    ****
  • Waktu itu aku masih sekolah setingkat SMA, dan tinggal di asrama. Menjelang tahun terakhir.

    Ujian telah selesai, nilai telah diumumkan dan saatnya liburan sekolah. Ah, liburan. Liburan adalah hal yang menyenangkan untuk semuanya, terkecuali aku. Memang tak ada tugas, tak ada soal-soal ujian, tak ada kerja bengkel. Semua bersuka cita menyambut liburan. Bahkan ketika menunggu raport dibagikan pun sebagian siswa telah membincangkan tentang liburan. Piknik ke tempat wisata, mendaki gunung, memancing dan banyak agenda lain.

    Tapi aku mau habiskan liburan dimana sekarang? Aku yang sedang ada masalah dengan Aweng, dan Iday pun entah kenapa menjauh dariku. (cerita selengkapnya ada di CLOPP, Close Pren Poreper). Bukan apa-apa, kenapa dia bisa mencintaiku? Aku sudah bilang padanya bahwa aku membenci kakakku karena dia adalah seorang gay. Ah, dunia ini terasa gila.

    Aku masih memegang kepalaku. Rasanya kepalaku pusing sekali. Dan kalau aku kembali ke asrama, aku masih belum siap bertemu dengan Aweng.

    *****
  • W : ekhm, kayaknya konfliknya jangan diceritain disini. Makin panjang aja ntar, gak kelar-kelar n bikin njelimet. Intinya aja, gimana lo bisa kenal si Onyon..
    Gilang : ish. Yaudin si ah. Ntar awak bikin cerita yang lebih cetarrr dari cerita kaw itu
    W : iyain aja deh biar cepet
    Gilang : lanjut gak nih???
    W : mukanya biasa aja atuh. Sok lah

  • Singkat cerita aku kabur dari mereka. Dan ketika mataku mengedar ke seluruh penjuru ini, aku melihat Rama dan juga Iday tampak mencariku. Aku segera mencari tempat yang tak terlihat oleh mereka. Dan kebetulan sekali pintu sebuah bus terbuka. Ah, pasti bus luar kota itu masih lama berangkatnya.

    Aku lantas masuk ke daalm bus itu sambil mengendap-endap dan segera mencari kursi lantas duduk dan menelususpkan pantatku agar posisi dudukku tak terlalu terlihat dari luar. Aku menutupi wajahku dengan sweater yang kukenakan, berharap mereka tak mengenaliku. Aku sedikit terhenyak saat melihat mereka begitu dekat dengan bisku. Tapi setelah tak mendapatiku, akhirnya mereka mencari tempat lain.

    Aku sedikit lega tapi belum mau keluar dari bus ini. Aku menunggu agak lamaan, takutnya mereka masih belum jauh perginya. Aku menutup mataku sebentar. Ah, percuma saja aku kembali ke asrama. Toh tak ada yang mau mendengarkan apa yang kurasakan.
    ******
    Aku merasa badanku bergoyang-goyang, ah, lebih tepatnya digoyang-goyangkan. Aku mencoba membuka mataku yang masih terasa berat. Ternyata seseorang yang sepertinya kondektur sudah berditi di sampingku, menagih tiket. Aku mulai merogoh saku celanaku, berpura-pura mencari tiket. Dan si kondektur masih saja diam memerhatikanku. Ya tuhan, aku lupa kalau naik bi situ harus beli tiket, tak seperti bis jarak dekat, bayar di jalan. Dan aku jugaragu, apakah uang yang ada disakuku cukup untuk membayar ongkos bis ini.

    “Kenapa De? Tiketnya ada kan?”

    Aku terdiam sebentar, memikirkan cara. Apa aku harus memelas? Tidak, pantang buatku untuk memelas. Apa aku harus jujur bahwa aku tak punya tiket, juga tak ada uang? Ah, bagaimana kalau aku diturunkan di jalan?

    “Tiketnya ada kan De?” tanya kondektur itu mengintimidasiku.

    Baiklah, sepertinya tak ada jalan lain selalin jujur. Aku segera mengumpulkan uang yang kupunya, termasuk uang recehan. Aku serahkan semua uang itu pada kondektur. Dia menatapku heran.

    “Aku Cuma punya uang segini Pak...”

    Dia menatapku tajam. Dan aku juga merasa beberapa pengunjung lain mulai memerhatikan kami. Aku mulai mengantisipasi apa yang akan dikatakan kondektur itu. Ah, aku berdoa pada tuhan agar kondektur itu baik hati. Tapi rupanya dia memang mata duitan.

    “Kalau kamu memang tak punya tiket, kenapa nekad naik bus ini? Dan uang inipun masih urang untuk harga satu buah tiket”

    Aku terdiam, memikirkan jawaban yang tepat. Aku tidak boleh frontal, ini kawasannya dan aku juga pantang untuk memelas. Kondektur itu mulai mengoceh ini itu dan tak kutanggapi. Orang-orang mulai riuh tanpa ada yang berbaik hati memberiku uang seperti di film-film. Ah, manusia baik hati itu hanya ada di film sepertinya. Tapi tunggu, aku merasa ada seorang pemuda yang berjalan mendekati kami. Dia tersenyum ke arahku dan ikut duduk, membuatku sedikit bergeser. Apa dia manusia berhati malaikat itu? Semoga saja.

    “Kenapa Pak?”
    “Anak ini tak punya tiket, dan sepertinya tak ada uang untuk membayar ongkos. Paling di depan saya turunkan” jawabnya ketus.
    “Diturunkan?” aku menatap shock kondektur itu, tapi orang disebelahku masih mengulum senyum.
    “Memangnya kurang berapa?”
    “Kurang gocap mas. Ya walaupun harusnya dia punya tiket. Tapi gapapa lah dia ganti uang seharga tiket”

    Orang itu mengangguk. dia tersenyum ke arahku. Dia mendekatkan bibirnya ke daun telingaku. Aku mengantisipasi. Apa yang akan dia lakukan?
    “Bagaimana kalau kamu jual sweater kamu padaku seharga lima puluh ribu?” katanya dengan huruf R yang aneh. Membautnya tampak aneh dengan rambut keritingnya.

    Tahukah kalian Brada apa yang kurasakan sekarang? Rasanya aku ingin menonjok orang ini. Aku tadinya menyangka dia akan menjadi malaikat penolongku, tapi ah, ternyata dia itu tak lebih dari seorang oportunis, mengambil keuntungan dari kesempitanku. Dia ingin memiliki sweater rajutan buatan tangan Nin. Tentu saja aku tak akan menjualnya.

    “Bagaimana?”

    Aku mendengus, menatapnya tajam. Kalau saja ini di luar, bogem mentahku sudah mematahkan hidungnya. Dan diapun terkekeh padaku, lantas menyerahkan uang lima puluh ribu pada kondektur tadi. Kondektur itu menerimanya sambil masih saja mengumpatku. Menyebalkan sekali hari ini. Dikhianati Iday, diomeli kondektur, dan sekarang apa lagi si kriting menyebalkan ini duduk disampingku?

    Dia lantas membuka tasnya dan mengeluarkan botol minuman dan menyerahkannya padaku.

    Aku kikuk. Mengantisipasi apa lagi yang akan dia lalkukan. Bisa saja kan ini tak gratis dan dia meinta lebih? Aku juga masih belum tahu kapan dia akan menagih sweaterku.

    “Minum dulu. Bibir kamu kering, sepertinya kamu kurang minum” lanjutnya sok baik.

    Aku masih diam. Dia melirikku dan kembali terkekeh menyebalkan.

    “Untuk yang itu gratis..”

    Untuk yang itu? Berarti benar kan dia akan menagih uang lima puluh ribu tadi. Aku yang memang haus segera membuka tutupnya dan langsung meminumnya, dan baru berhenti ketika sadar minumannya tinggal setengahnya saja.

    “Mirip unta saja minumnya. Sekarang kamu tidur lagi, biar kamu gak terlalu jengkel”

    Benar juga, aku memang seharusnya tertidur dan saat turun sudah sampai di Jogja. Tapi kalau ku pikir-pikir, kalau sudah sampai Jogja, aku mau ngapain? Tak ada kawan disana, keluarga apa lagi. Lantas mau apa aku ke Jogja sebenarnya? Haduh, konyol.

    “Kenapa? Kamu bingung kalau sudah di Jogja mau ngapain?”.Tepat sekali, kataku dalam hati. Dia sepertinya punya cenayang.
    “Jangan bilang kalau kamu kabur dari rumah. Itu bukan tindakan seorang lelaki.”.Aish, bagaimana dia tahu bahwa aku kabur?
    “Hey, siapa yang kabur? Aku Cuma..”
    “Pergi tanpa membawa uang cukup, tanpa tas, apa itu tidak disebut kabur? Mana ada orang liburan dengan pakaian seperti ini?”. Aku terdiam. Memang benar apa yang dia katakan. Lantas apa yang akan kulakukan nanti di Jogja.
    “Kamu ada sodara di Jogja?”. Aku mengeleng. Tapi peduli amat.
    “Yang penting aku haruss segera sampai di Jogja. Terserah nanti disana aku akan kelaparan atau bagaimana. Aku berpegangan pada ucapan Rosul, hijrahlah, maka Alloh akan menggantikan orang-orang yang kamu cintai, dan kamu akan mendapatkan keluarga baru disana”

    Dia melongo apa yang aku ucapkan.

    “Baiklah, sebaiknya sekarang kamu tidur biar sampai di Jogja dalam keadaan segar. Selamat tidur.”
    ****

    Lagi-lagi badanku serasa berguncang. Dan ketika aku membuka mata, ternyata kondektur itu sudah berdiri di sampingku. Apa lagi sih?

    “Sudah sampai. Kamu tak mau turun?”

    Kuedarkan mataku, ternyata semua penumpang telah turun. Begitupun orang keriting tadi. Aku segera turun dari bus dan ketika hendak berjalan menuju ke pinggir untuk berteduh. Perut lapar, uang tak punya, apa yang harus kulakukan sekarang? Mencari pekerjaan. Tapi pekerjaan apa? Dari tadi aku mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa Jawa yang sama sekali tak kumengerti. Aku hanya mengerti ‘wes mangan ora udud, eneg’, itu aja. Atau lebih baik aku ngamen? Hmm...bisa dipertimbangkan. Daripada mencuri, lebih baik aku mengamen saja. Tapi ketika aku hendak mengambil sisa uang di saku, aku mendapati dua lembar uang seratus ribuan. Hey, siapa yang menaruhnya di sakuku? Tuhankah? Atau kondektur itu?

    Oh tidak. Ini pasti si orang keriing itu. Tapi apa maksudnya dia menaruh uang sebegitu besarnya dalam sakuku? Dan sekarang kemana orang itu? Ah, rupanya dia memang berhati malaikat.

    Dan ketika mataku mengedar, aku mendapati seseorang berambut kriting sedang makan di pojokan terminal. Ah, rupanya dia belum pulang. Aku setengah berlari menuju tempat dia makan. Bagaimanapun juga aku harus berterima kasih padanya karena berkat dia aku tak diturunkan di tengah jalan. Dan dia juga berbaik hati menambahkan uang sebesar itu.

    Aku segera menepuk pundaknya. Dia menoleh dan sedikit kaget.

    “Mm..makasih Kang buat yang tadi. Terus..makasih juga sudah menyelipkan uang ini?”
    “Memangnya uang itu aku yang selipkan? Kamu yakin itu aku?”

    Aku terdiam. Benar juga, tadi saja dia malah meminta sweaterku. Mana mungkin dia mau rugi.

    “Hahaha. Yasudah, anggap saja itu uang dari langit. Gunakan sehemat mungkin..”

    Aku kembali terdiam. Ah, aku bingung dengan apa yang sedang kurasakan. Dan lebih bingung harus bagaimana sekarang. Aku lantas segera melepas sweaterku, karena hanya ini yang kupunya. Aku mengulurkan tanganku seraya menyerahkan sweater itu. Dia melirikku sebentar, lantas tertawa.

    “Apa ini maksudnya?”
    “Akang mau sweater ini kan? Ambil deh. Tapi tolong rawat baik-baik, ini rajutan tangan Nenekku.”

    Dia diam menatapku lantas mengambilnya. Ah, kenapa dia tak bilang, ‘gak usah. Itu pemberian nenekmu.’ Menyebalkan.

    “Duduk. Sekarang kamu pesan makanan dulu. Kamu lapar kan?”

    Ah, ternyata dia masih punya sisa sedikit hati malaikat, walaupun aku kecewa dia malah mengambil sweaterku. Aku lantas memesan nasi gudeg. Katanya Jogja terkenal dengan gudegnya. Dan benar saja, gudeg Jogja memang bercita rasa. Aku langsung melahap habis tanpa sisa.

    Setelah minum kami terdiam. Orang itu melirikku.


    “Bayar. Kamu kan punya banyak uang. Masih ada sisa banyak kan? Sekalian punyaku juga”
    Tahu apa yang kurasakan Brada? Aku ingin marah, aku kesal dan bercampur ingin tertawa. Orang yang aneh. Dia menyuruhku memesan nasi tapi malah menyuruhku yang bayar. Dasar orang aneh.

    Dengan misuh-misuh aku segera menyerahkan uang seratus ribu itu ke penjual tadi. Setelah mengambil dari laci, uang kembalian pun segera aku terima. Aku hannya bisa manyun ke arahnya. Entahlah, apa aku harus marah atau berterima kasih.

    “Sekarang kamu mau kemana?”

    Aku kembali terdiam. Aku memang buta sekali soal Jogja. Yang aku tahu Jogja itu punya keraton, candi Borobudur, Prambanan dan Malioboro. Oiya, Parangtritis ketinggalan.

    “Baiklah, kalau kamu mau, aku ajak kamu jalan-jalan ke Malioboro. Gimana?”

    Aku menimang sesaat. Tapi sampai sejauh ini aku bahkan belum tahu namanya. Tapi apa harus aku menanyakan namanya?

    “Oiya, seperrtinya kita belum kenalan. Namaku Wildan. Panggil saja Idan..”. Aku mengangguk dan segera mengulurkan tangan.
    “Aku Gilang..tapi jangan pernah panggil aku Iyang.”. Dia tertawa mendengar penuturanku. Apanya yang lucu?
    “Lantas aku panggil apa?’
    “Panggil aja Elang.”. Dia semakin terkekeh menyebalkan.
    “Okedeh Lang, Caplang, Walang, Dalang, Selang, dan lang-lang yang lain, sekarang aku akan ajak kamu kelilling Malioboro. Tapi..kamu sudah tak perlu jaket ini lagi kan?”
    “Itu..”
    “Hahaha. Aku tahu. Kalau kamu sudah tak perlu, aku mau kasih jaket ini ke seseorang.”
    “Akang mau kasihin itu ke seseorang?” tanyaku tak percaya.
    “Iya. Karena orang itu jauh lebih membutuhkan jaket ini..”

    Aku merengut. Sebenarnya aku tak rela sweater itu dia berikan ke orang lain. Itu sweater rajutan tangan nenekku. Ada namaku disana.

    “Aku mau berikan sweater ini ke orang yang bernama Nabil” Aku tersentak. Nabil? Dia kenal kakakku? “Kamu adiknya Nabil kan?”

    Aku membisu, juga membatu, mematung dan benda mati lainnya. Ucapannya itu sama sekali tak kuduga. Bagaimana dia kenal kakakku? Apa dia pernah pacaran dengan kakakku juga?

    “Baiklah, ini bukan saat yang tepat untuk mengintrogasi kamu. Tapi sekarang ada yang jauh lebih membutuhkan sweater ini dibanding Nabil. Pake..”
    Dengan rgu aku memakainya.
    “Kamu jangan pernah memberikan sweater ini pada orang lain. Nin merajutnya dengan cinta. Dia menghabiskan banyak sekali malam untuk merajutnya.” Dan tiba-tiba wajah Nin memenuhi kepalaku. Ada rasa bersalah bercampir rindu yang sangat pada nenekku itu.
    “Kang, boleh nanya, darimana akang tahu bahwa aku adiknya A Nabil?” ah, sekarang aku melepaskan pekerjaanku sebagai detectif dengan bertanya langsung pada orang ini.
    “Kalian memang tak terlalu mirip. Tapi sweater inilah yang memberitahu.”
    “Apa Nin juga membuatkan sweater macam itu buat A Nabil?”. Dia mengangguk lantas tersenyum mengenang.
    “Dulu kami berdua sempat mendaki gunung bersama. Dan ekspresinya saat aku pinjam sweater itu karena memang malam itu dingin sekali sama dengan ekspresimu. Dia tak mau orang lain memakainya. Tapi rasa setia kawannya membuatnya menginzinkanku memakainya, dengan banyak sekali pesan tentu saja. Jangan sampai kotor, jangan sampai mbrudul benangnya dan banyak sekali. Sudahlah, nanti saja kita bicarakan hal itu. Sekarang kita jalan-jalan dulu ke malioboro”
    *****
  • W : oh..gitu awalnya..
    Gilang : bentar..masih ada lagi..masih panjang kok
    W : huah..mbobo ah. Ntar juga pasti banyak diskipp sama pembaca
    Gilang : hahaha. Nanan ah. Dengeriiin…
  • Banyak hal yang kunikmati saat berkunjung ke Jogja. Kang Wildan mengajakku keliling kampusnya, menunjukkan perpustakaannya yang klasik. Aku yang selama ini hanya tahu asrama hanya terperangah. Ah, pantas saja Jogja terkenal sebagai Kota Pelajar. Disini aku mendapati banyak sekali orang yang tampak terpelajar.

    Matahari sudah beringsut turun di barat, membuat langit Jogja semakin temaram, temaram yang syahdu. Dan kamar kostnya yang terletak di salah satu sudut kota ini sekarang menajdi tapakan kakiku menikmati meomen menghipnotis ini. Setelah mandi, badan memang terasa segar sekali. Kang wildan tadi memang menyuruhku untuk mandi, biar aku merasa lebih segar katanya. Dan ketika aku keluar dari kamar mandi, aku melihat ada dua cangkir teh manis hangat beraroma lemon dia tas meja. Dua cangkir itu masih mengepulkan dan menebarkan aroma nyaman.

    “Kamu lekas ganti baju Lang. Sebentar lagi kita berangkat”
    “Berangkat? Memangnya kita mau kemana?”

    Dia hanya tersenyum ganjil ke arahku. Dan benar saja, aku mendengar bunyi klakson dari luar kostannya. Kang Wildan terlihat sedikit berlari keluar.

    “Come on Danz, we almost being late..”

    Aih, siapa pula itu yang bicara dengan bahasa inggris? Tapi dari aksennya aku bisa menangkap bahwa dia bukan pribumi. Dan dari aksennya pula aku menduga bahwa dia orang Inggris asli.

    “Ayo Lang, kamu jangan bengong saja. Acaranya mulai jam tujuh...”

    Aku yang tak tahu apa-apa hanya menuruti apa yang dia instruksikan. Dan benar saja, ketika aku keluar, aku mendapati mobil itu berisi dua orang, dan satu orangnya itu berambut pirang. Mereka berdua tersenyum manis ke arahku.

    Mereka bertiag mulai bercakap-cakap dalam bahasa inggris. Aku yang menyadari bahasa inggrisku yang pas-pasan hanya menjadi pendengar saja. Ah, aku merasa menyesal sekarang, kenapa aku tak belajar bahasa inggris dengan rajin seperti Iday? Aku memang tahu apa yang meraka obrolkan, tapi rasanya susah sekali untuk bicara.

    “He is your boyfriend Danz?”. Kang Wildan tertawa sebentar, lantas menepuk pundakku.
    “Hahaha. Hows cute, right. Hey, kamu lebih baik perkenalkan diri dulu..”
    “Hello. Im gilang. Seventeen years old, I like hiking..”

    Entah apanya yang lucu, mereka bertiga serempak tertawa. Aku juga ikut tertawa meskipun tak mengerti apa yang mereka teratwakan.

    “Your boy is so funny Danz. And he is also so cute..Okay Gilang, my name is Josh. I come from London, I am 24 years old, hahaha”

    Aish, sialan. Merereka malah mengejekku.

    “Its his first time in Jogja, so i wanna show how is beutiful our city..”
    “Kamu udah diajak kemana aja tadi Lang?” temannya kang Wildan yang sepertinya orang Jogja asli mencoba mengakrabiku.
    “Just went for walk at his campuss, malioboro..thats all..” apakah aku terlihat sedikit cool dengan bahasa inggris sekarang?. “So, where are we going now?”

    Mereka saling pandang dan kembali menahan tawa. Apa lagi sih yang salah denganku?

    “We are going to Ramayana Balley. Have you ever seen that?”
    “Prambanan Temple? Oh gosh. Kenapa gak bilang sih kang kita mau kesini?”

    Kang Wildan hanya tersenyum padaku sementara mobil kami melesati jalanan Jogja.

    Setelah membayar tiket, kami dengan tergesa dan sedikit berlari segera menuju ke pelataran. Kata Kang wildan kita harus segera memilih tempat duduk yang pas untuk menonton pertunjukkan spektakuler ini.

    Dan ternyata Kang wildan memang pandai memilih tempat menyaksikan acara ini. Dari tempat kami duduk, kami bisa melihat view Prambanan dengan latar langit terang karena malam ini sedang purnama. Dan purnama itu ternyata sedang bertengger diatas puncak Prambanan. Indah sekali, dan dari tempat kami duduk pun, pelataran pun terlihat pas sekali. Dan rasanya aku sudah tak sabar untuk menyaksikan acara ini.

    Lampu mulai diredupkan, penonton mulai tenang menunggu pementasan dimulai. Lampu utama mulai menyirit ke pelataran, menerangi dua orang berpakaian seperti wayang. Mereka mulai berprolog dalam dwi bahasa. Tentu saja karena tak sedikit yang meononton pementasan ini adalah bule-bule kere dan tajir.

    Sesekali aku membaca selebaran tentang jalan cerita pementasan ini yang tadi kami ambil dari pintu masuk. Aku memang tak terllau faham secara keseluruhan, yang kutahu hanya Rama berusaha menyelamatkan Shinta dari Rahwana yang jahat.

    Dan malam itupun aku langsung dibuat jatuh cinta oleh kota Jogja
    ****
    Menghabiskan malam di Jogja merupakan hal yang baru buatku. Aku mendapati hal yang tak kutemukan di kota lain. Warga yang ramah, tertib, dan juga sopan. Ah, rasanya aku betah sekali disini.

    “Kamu mau tidur di kostanku?”.Aku mendongak. Kang Wildan mengagetkanku.
    “Kalau boleh...”
    “Asal kamu tak suka mengigau, dan juga tak suka tidur sambil jalan saja”

    Aku terkekeh. Dan entah apa yang kurasa, tiba-tiba aku merasa rindu pada a Nabil. Sudah lama sekali kami tak jalan-jalan berdua. Setelah kejadian itu, aku memang terus saja menghindarinya. Tapi saat ini aku rindu dia. Aku rindu saat dia mengejar layang-layang dan setelah hampir berantem dengan orang, dia menyerahkan layangan itu padaku. Aku juga rindu saat agustusan, setiap dia mendapat hadiah, dia pasti memberikan hadiah itu padaku.

    “Kamu rindu kakakmu?” Aku hanya diam. Dan tak terasa mataku sekarang terasa pedih. “Boleh aku bertanya sekrang? Kenapa kamu marah pada kakakmu?”
    “Aku...”
    “Dan kenapa kamu kabur kemarin?” dan aku hanya bisa diam, sembari menunduk. Dan lagi-lagi dia selalu bisa menebak apa isi kepala orang. “Kamu harus ingat, ketika kenyataan itu tak sesuai dengan apa yang kamu harapkan, apa kamu harus lari? Apa kamu terus saja mengutuki apa yang terjadi? Kamu terus menuntut orang itu agar dia menjadi seperti maumu?”
    “...”
    “Ini dunia nyata Lang. Tak semua yang kita harapakan itu kita dapatkan. Sekarang beritahu, kenapa kamu kabur?”
    “Aku..dibohongi..”
    “Oleh?”
    “Oleh banyak orang. Aku benci karena Iday melaporkanku pada Rama bahwa aku kabur malam itu. Aku benci pada Roni yang menyebarkan berita bahwa aku mencintai tante Ida. Dan aku benci pada Aweng yang ternyata diam-diam menyukaiku..”
    “Kamu marah pada mereka? kenapa?
    “Harusnya kan Iday memahami kondisiku. Tapi kenapa dia yang mengaku sahabatku malah bilang pada Rama dan mereka mengejarkku..aku benci Roni yang karena dia menyukai Aweng, sedang Aweng menyukaiku, Roni menyebarkan beriota bahwa aku mencintai istri instrukturku..”
    “Kamu marah pada Aweng karena dia gay? Sama seperti kamu marah pada Kang Nabil?” aku tak punya jawaban yang tepat. “Apa mereka salah dengan menjadi gay?”
    “Ya. Itu salah. Kenapa mereka harus mencinbtai sesama lelaki. Apa itu tak aneh?”
    “Dan kenapa kamu mencintai Tante Ida? Bukankah itu aneh juga?”
    “Tapi..”
    “Rasa itu ada yang menumbuhkan. Terlepas dari kepada kita menyimpan rasa, kita tak pernah bisa mengendalikan hati. Yang paling penting adalah jangan sampai hal itu mengendalikan kita..Apakah selama ini temanmu yang bernama Aweng itu pernah melakukan hal kurang ajar padamu?”

    Aku terdiam. Toh dia memang benar, selama ini Aweng memang belum pernah melakukan sesuatau yang kurang ajar padaku. Dan dia juga masih bertingkah selayaknya lelaki lain.

    “Banyak hal yang harus kamu liat kedalam isinya. Klasiknya, don’t jugde book by its cover. Coba lah kamu liat sesuatu dari banyak sudut. Jangan dari satu sudut saja. Mencobalah menjadi Dalang, kamu lihat sesuatu dari atas, agar kamu tahu segala sisi. Sekarang kamu tidur. Tapi besok kamu pulang ya? Akang gak mau kamu bikin banyak orang khawatir sama kamu.”

    Epilognya membuatku semakin terpelosok pada banyak kenangan. Dan sosoknya yang dewasa, membuatku semakin rindu pada a Nabil.
    ******
  • W : hmh, dia emang kadang kalo lagi dewasa bikin kita spiclis
    Gilang : speechless.
    W : haha. Mentang-mentang pernah semobil sama bule, belagunya..
    Gilang : I Cuma membenarkan saja Brada
    W : ceritanya udin kan?
    Gilang : belum lah. Dikit lagi
    W : huah…
  • Aku masih mematung disini, menatap kang wildan dengan perasan tak mau berpisah. Apa aku terlihat seperti orang yang sudah terpesona padanya? Bukan lah. Aku masih normal. Ya anggap saja aku sudah merasa diperlakukan sebagai adik olehnya.

    “Busnya akan segera berangkat..”
    “Kang, kalo misalnya aku kuliah di Jogja, gimana Kang?”
    “Kenapa tidak? Yang penting kamu belajar yang rajin, nanti ikut SPMB disini..”
    “Cip. Makasih ya kang. Makasih buat semuanya. Aku janji aku akan belajar sungguh-sungguh, biar aku bisa kuliah disini. biar aku bisa ketemu sama akang lagi.”

    Kang wildan hanya tersenyum. Dan untuk pertama kalinya aku mencium tangannya. Dan aku merasa tuhan telah mengembalikan kakakku yang selama ini kuhindari.

    *****
  • W : Alhamdulillah. Sodaqolloohul adim…
    Gilang : hahah. Parah…gih bayar
    w : haha. yaudin, patungan ah, duit w abis tadi
    gilang : errr

  • wokeh, mungkin segitu dulu postingannya.
    mangga dikripik ya. n mungkin agak sedikit gak nyaman dengan perubahan format cerita ini. w emang lagi nyoba" ja.
    oiya, besok w mulai puasa, mohon dimaafin ya kesalahan w yang lalu", sama yang akan dateng juga. n mudah"an bulan puasa bf gak dibanned, n w masih bisa posting.
  • numpang promo sekalian ya...w lagi iseng jualan nih, mudah"an banyak yang minat. hoho. ya itung" modal buat merit ntar.
    yg minat pm ya.
  • pertamax aahhh
    Met puasa ya kang abi. Aq ikut pemerinta ja lah.
Sign In or Register to comment.