BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

The Night, and The Day - END - page 111

17879818384117

Comments

  • @masdabudd tenang aja mas

    siap bersaing dgn @yuzz ngedapetin kenny #pasang otot kawat
    @silverrain gak doyan anak sendiri, so pasti ngijinin buat nyicip si unyu #lirik2 ragu
    klo @totalfreak pasti ngerti aku. kami bisa berbagi #kiss freaky honey... kiss lagi... dan lagi... dan lagi...
  • lagi lagi lagi lagi............ mensen yakkkkkk
  • edited January 2013
    Bonus Story
    New Year's Eve
    Note: setting cerita ini terjadi setelah cerita The Night and The Day ;) Just a Short Story okay! :D

    Kevin's View

    "Ah, selamat datang!"
    Grace, adik Alvin membukakan pintu masuk untukku dan Kevin
    "Ah, selamat datang lagi!"
    Aku melirik ke belakang kami.
    "Ya! Makasih!"
    Aku terseyum ramah ke arah dua orang yang lebih tua daripada kami, Rio, dan Christ.
    Grace dengan riang mengajak kami masuk ke dalam rumah, disana Arvin tampak sibuk membetulkan hiasan di pohon tinggi miliknya.
    "Arvin?! Kamu ada di Indonesia?"
    Orang yang kuteriaki terkejut. Ia menghentikan aktivitasnya sejenak.
    "Ah! Kevin! Kenny! Kalian datang barengan?"
    Arvin melirik ke arah kami, kemudian kembali berjinjit berusaha memasangkan sebuah dahan pada pohon natal miliknya.
    "Haha! Sini kubantu!"
    Christ bergegas berjalan dari belakang kami, dan mengangkat Arvin agar dapat mencapai bagian atas pohon dengan mudah.
    "Ah, makasih!"
    Arvin tersenyum manis pada Christ yang mengangguk sambil berjalan kembali ke arah kami.
    "Arvin! Belum jawab pertanyaanku! Kamu kok bisa disini?"
    Arvin tertawa lepas.
    "Yah, sekali sekali liburan kan boleh..."
    "Liburan sih boleh, tapi kalau kamu bolak balik China Indo kayak gini, uang mama yang abis..."
    Dengus Mama Arvin sambil membawa sebuah panci besar melewati kami.
    Arvin menggaruk kepalanya sambil tertawa.
    "Iya iya, lagipula aku mau ketemu Alvin maa..."
    "Alasan!"
    "Beneran kok!"
    Aku hanya tertawa mendengar celotehan mereka.
    Arvin memang jujur dengan kata katanya.
    Dia memang benar benar protektif kalau urusan Alvin, aku juga kagum melihatnya.
    Andaikan mereka tidak satu darah, aku yakin mereka sudah pacaran sekarang.
    =="
    Alvin kembali duduk bersama Grace, memilih milih hiasan yang akan mereka pasang di sekeliling rumahnya.
    "Lagipula, ini sudah tahun baru, ngapain dekor rumah kayak lagi natal?"
    Rio memperhatikan sekelilingnya, sesekali ia memicingkan matanya, melihat koleksi foto yang dipajang di ruang tamu.
    "Ya, gapapa kan anggap aja pohon tahun baru!"
    Ujar Grace tanpa mau kalah.
    "Ngomong ngomong, mana tuan muda kita...?"
    Aku bertanya sambil merangkul pundak Kenny dan mengedarkan mataku menjelajahi sekeliling ruangan.
    "Aku disini..."
    Aku nyaris melompat, karena Alvin tiba tiba muncul di belakang kami, wajahnya tampak penuh noda.
    "Ha! Dasar ibu ibu sialan, aku beli ikan malah diciprati lumpur..."
    Ujarnya sambil bersungut sungut membawa sebuah kardus yang tampak basah, aku yakin isinya ikan.
    Rio hanya terkikik geli, dan membantu Alvin yang tampaknya kesulitan mengangkat kardusnya sendirian.
    Hufh, semua pada asyik sendiri, kami mesti ngapain sekarang?
    Bantu Arvin dekor rumah?
    Sudah cantik semua.
    Bantu Alvin beresin ikan?
    Nanti kena marah lagi.
    Lagipula kayaknya Rio bakal lebih tangkas deh daripada aku.
    Humm..
    Aku melirik Kenny.
    Dia menggaruk kepalanya dengan kebingungan.
    Tampaknya dia juga merasa apa yang aku rasakan.
    Aku akhirnya mengamit tangannya, dan membawanya ke luar rumah.
    "Hah...."
    Aku meregangkan tubuhku di atas kursi di pekarangan belakang Alvin.
    Bukan pekarangan belakang sebenarnya, lebih mirip taman mini, karena terletak di belakang ruang tamu rumah Alvin.
    "Kevin..."
    Aku melirik ke arahnya, dia tampak menendang nendang batuan kecil yang terhampar di sepanjang pinggiran taman.
    "Iya Kennyku? Kenapa...?"
    "Kita pacaran sudah berapa lama ya?"
    "Duh, masa kamu lupa sih? Sudah hampir setahun kita pacaran kan..."
    "Uhm..."
    Ujarnya, sambil menundukkan kepalanya.
    Dia tampak memikirkan sesuatu.
    "Kenapa Ken? Ada sesuatu di pikiranmu?"
    Dia menggaruk kepalanya, kemudian menatapku dengan takut.
    "Entahlah, kita sudah lama pacaran, tapi apa Kevin ngerasa takut juga?"
    Aku mengernyitkan dahiku.
    "Maksud Kennyku apa? Kevin ngerasa takut? Takut gimana..."
    Ujarku, sembari memegang bahunya dengan kedua tanganku.
    "Well, yah, kita kan sama sama laki laki, Kevin, apa Kevin ga takut kalau nanti suatu hari mama Kevin nanya soal pacar atau gimana? Kevin ga takut kalau ketahuan gimana...?"
    Ujarnya lagi sambil menggaruk kepalanya dengan telunjuk, tampak benar benar tidak nyaman.
    "Kenny, kenapa ngomong begini?"
    "Yah, Kevin, mau bagaimanapun hubungan kita kan bukan hubungan bener, ya kan...?"
    Aku bagai tersambar petir saat mendengar perkataannya.
    Memang benar apa yang dikatakannya, tapi, selama ini juga kami baik baik aja kan. Dan kami juga tidak pernah ada masalah besar, paling cuma berkelahi kalau aku ga sengaja memakan coklatnya, atau aku tanpa sengaja meminum susu strawberrynya.
    Well, yah, selama ini cuma berantem kecil dan saling ngambek aja sih.
    "Kenny, Kenny ga mau sama Kevin lagi...?"
    Aku berbicara dengan lemas, menatapnya dengan murung.
    Kenny tampak terkejut, ia melebarkan kedua matanya.
    "K...Kevin...."
    Tapi kemudian ia kembali menundukkan kepalanya, bingung apa yang harus dikatakannya.
    "Ya, Kevin ngerti kok Ken, apa Kenny ditanya sama mama Kenny soal kita? Mungkin keterlaluan ya kita? hehehe..."
    Ujarku sambil berusaha mempertahankan senyumanku.
    Aku tahu, pasti suatu hari kami akan mengalami masalah seperti ini, tapi aku tidak menyangka kalau akan secepat ini.
    Dan yang ternyata membuatku terkejut adalah Kenny lah yang pertama mendapat masalah seperti ini.
    "Kevin tahu, memang pacaran begini bakal sulit dipertahankan Ken, Ga masalah, kalau Kenny mau begitu, aku ga akan mencegahmu..."
    Kenny melebarkan matanya, menatapku dengan terkejut karena aku barusaja memanggilnya dengan "aku" dan "kamu"
    Dia tampaknya ingin mengatakan sesuatu, tapi entah kenapa kata kata itu tidak bisa diucapkannya.
    "Sudahlah, ga apa apa oke, aku masuk duluan ya..."
    Ujarku sambil perlahan berlalu melewatinya.
    Aku membuka pintu kaca geser yang menjadi pembatas ruang tamu dan taman, kemudian menoleh padanya.
    "Thanks anyway, Kenny..."
    Ujarku, kemudian menutup kembali pintu geser itu.
    "Kevin, kamu kemana aja? Ayo sini, bantu aku geser ini. Hei, Kevin? Kev...?"
    Aku mendengar Christ memanggilku saat ia menggeser sofa besar di ruang tamu Alvin, tapi aku mengacuhkannya, dan berjalan lurus ke arah tangga.
    "Hei! Awas bawahmu!"
    Aku menoleh, Alvin tampaknya sedang mengangkat dan menata beberapa peralatan makan di lantai.
    Aku hanya tersenyum.
    "Aku agak lelah, boleh aku istirahat di kamarmu?"
    Alvin memandangiku sejenak,kemudian ia mengangguk kecil dan meninggalkanku kembali dalam kesibukannya.
    Aku menaiki tangga putar di rumah Alvin, kemudian melangkahkan kakiku memasuki kamar Alvin.
    Klek.
    Aku menutup pintu kamarnya, dan merebahkan tubuhku di kasur Alvin.
    Kututup mataku.
    Walaupun aku sudah bersiap untuk semua ini, tapi aku tetap berharap kalau ini tidak akan terjadi.
    Aku selalu berharap semua ketakutanku hanyalah sia sia.
    Tapi ternyata benar.
    yang semula kutakutkan akhirnya jadi kenyataan.
    Hubungan yang tidak semestinya ini memang sering membawa masalah, dan sekarang, aku sedang berada di dalamnya.
    Aku tidak pernah berharap berada dalam hubungan seperti ini, tapi setelah aku berada di dalamnya, aku mulai merasa kalau ternyata tidak ada yang salah dalam hubungan ini.
    Kami saling mencintai, dan kami saling menyayangi satu sama lain, kenapa harus dianggap sebagai sesuatu yang salah?
    Dan setelah aku berpikir semua akan baik baik saja, mimpi buruk yang sudah kulupakan mendadak menjadi nyata.
    "Hahh..."
    Klek.
    Aku menatap gagang pintu yang berputar perlahan.
    "Yo!"
    Alvin membuka pintu kamar, dan berjalan masuk ke dalam kamar.
    "Kenapa kamu kesini?"
    "Ini kamarku! Di bawah ribut..."
    Ujarnya sambil lalu.
    Ia mengambil sebuah bungkusan kecil dari dalam laci mejanya, kemudian memberikan sebuah isinya padaku.
    "Snack Jagung Bakar?"
    Aku menatap keheranan padanya.
    Alvin menaikkan sebelah alisnya, tampak terhina.
    "Apa?! Itu bisa dimakan!"
    Ujarnya ketus.
    Memang semua kalimat yang muncul dari mulutnya ketus, jadi jangan berpikir dia marah, ok?
    "Aku tahu, tapi sejak kapan kau suka menyimpan snack di kamar? Biasanya belanja aja ga pernah."
    Alvin lagi lagi menatapku dengan pandangan terhina.
    "Cerewet!"
    Bentaknya lagi.
    Ia memakan sebuah isi snack itu, kemudian mengambil tempat duduk di ujung kasur.
    "Jangan kotori kasurku..."
    Ujarnya sambil lalu, dan meneruskan mengunyah cemilannya.
    "Yeah, ga bakal..."
    Aku menjawabnya santai.
    Kami akhirnya menghabiskan cemilan kami dalam diam, Alvin sedaritadi hanya melirik lirik ke arahku sambil menggigiti jajanannya.
    "Hufh..."
    Ujarnya kemudian, merasa bahwa aku tidak akan berbicara apapun.
    "Ada apa?"
    Alvin akhirnya bertanya padaku.
    Aku tahu kalau sebenarnya dia ke sini karena kuatir dengan keadaanku.
    "Tidak...."
    Ujarku sambil tersenyum, kemudian mengusap wajahku dengan kedua tanganku.
    "Bohong...."
    Dia menatapku dengan tajam, seakan berusaha mencari jawaban dari pertanyaanku.
    "Yahh..."
    Aku akhirnya mengangkat bahuku, dan tersenyum kepadanya.
    "Aku dan Kenny barusan putus...."
    Alvin melebarkan matanya, snack yang di tangannya hancur karena remasan tangannya.
    Dia masih menatapku dengan pandangan tak percaya.
    "Ya, barusaja kami putus..."
    Alvin menundukkan kepalanya, menggaruk kepala, seakan merasa tidak nyaman karena pertanyaannya barusan.
    "Aku, aku ga kenapa kenapa..."
    Ujarku tersenyum.
    "Ya, aku baik baik saja..."
    Ujarku sambil tertawa membalas tatapan tajamnya.
    Jujur saja aku takut, karena tatapannya seakan menyelidik hingga ke dalam kepalaku.
    Aku terus tersenyum, sambil mengangguk padanya.
    Dia menghela nafas, kemudian berdiri.
    "Ahh...."
    Mendadak Alvin memelukku dengan lembut, ia menggaruk punggungku perlahan.
    "Bohong lagi..."
    Ujarnya sambil merengkuh tengkukku, meletakkan dagunya di bahuku.
    "Maaf...."
    Hanya itu yang bisa kukatakan, mendadak semua perasaan yang sedaritadi kutekan di bawah kendaliku menyeruak keluar, tumpah ruah dari seluruh tubuhku.
    Airmataku terus mengalir, dan kurasakan tubuhku bergetar hebat, tapi aku tetap diam, menangis dalam diam.
    Alvin terus menguatkan pelukannya, seakan tidak membiarkanku terjatuh.
    Kudekap tubuh kecil yang sekarang memelukku, kacamataku kubiarkan terjatuh, dan kubenamkan wajahku di bahunya.
    Ia mengelus tengkukku dengan lembut, sedangkan satu tangannya lagi mengelus bahuku, berusaha menenangkanku.
    "Terimakasih..."
    Setelah sepuluh menit aku memeluknya dan menumpahkan kekecewaanku, akhirnya aku melepaskan diriku, dan tersenyum ke arah Alvin.
    "Ya,,,"
    Ujarnya singkat, kemudian segera berdiri dan berjalan menuju lemari pakaiannya.
    "Sudah jam 10, ayo, kita ke bawah, basuh mukamu..."
    Kata Alvin lagi, sambil melemparkan sebuah handuk kecil ke arahku.
    Aku mengangguk, menangkap handuk itu, dan berjalan ke arah kamar mandinya.
    Berkali kali aku menyiramkan air ke wajahku, sebelum aku menatap bayanganku di cermin.
    Tampak kusam, dan kacau.
    Kucipratkan kembali air ke wajahku, dan aku menyeka sisa airnya dengan handuk yang diberikan Alvin.
    Yah, tampak lebih baik...
    "Sudah?"
    Alvin yang sedaritadi duduk di kasur sambil melihat ke kamar mandi segera berdiri saat ia melihatku keluar dari kamar mandi.
    Aku mengangguk sambil tersenyum.
    "Ya, ayo turun..."
    Alvin berjalan mendahuluiku, ia menuruni tangga.
    Arvin, Christ, Rio, Kenny dan sisa orang lain sedang duduk melingkar di ruang tamu.
    "Ah, Kevin, gimana badanmu enakan?"
    Tanya Mama Alvin saat ia melihatku, sementara Kenny segera menunduk, tampak salah tingkah saat melihatku.
    "Iya, terimaka-"
    "Kevin mau jaga panggangan."
    "Apa?"
    Alvin menaikkan alisnya sambil melihatku.
    "Kevin mau jaga panggangan ikan diluar..."
    Ulang Alvin dengan tidak sabar.
    "Ah, ga apa apa, Tante ama Om aja yang jaga, oke? kalian disiini aja.."
    "Kevin bilang dia mau bantu panggang ma..."
    Ujar Alvin masih dengan gaya juteknya.
    Arvin yang sedaritadi memandangi Alvin dan aku, akhirnya ikut angkat bicara.
    "Udahlah, biar aja ga apa apa ma, lagipula Mama sama Papa kan capek sedari siang sudah kerja, istirahat aja..."
    Ujarnya sambil tersenyum, bertolak belakang dengan sifatnya di suikoworld.
    Mama Alvin tadinya masih menatap dengan pandangan tidak setuju, tapi akhirnya dia mengangguk, dan memberikan sebuah kipas bambu padaku.
    "Ini, tapi kalau capek langsung masuk ya!"
    Aku yang sedaritadi masih kebingungan hanya melongo saat Alvin mengambil kipas bambu itu, dan memberikannya padaku, kemudian menyeretku keluar rumah.
    Di luar rumah, berbagai makanan siap panggang beserta sebuah alat barbecue sudah tertata rapi di pekarangan Alvin.
    "Kamu bakar ikan, jangan dibuat gosong!"
    ujarnya lagi, kemudian segera meninggalkanku sendirian.
    Aku masih melongo, menatap pintu tempatnya masuk, dan kipas di tanganku secara bergantian.
    Apa yang barusan terjadi?
    Aku berpikir sejenak, hingga aku menyadari apa yang dilakukannya.
    Ia ingin memberiku waktu untuk sendiri.
    Kalau aku tetap di atas, jelas nanti teman teman lain akan kuatir denganku, sedangkan kalau aku ikut bergabung dengan mereka di bawah, aku pasti akan merasa tidak nyaman, apalagi tadi Kenny masih ada disana.
    Alvin sengaja menyuruhku memanggang semua barbecue ini agar aku punya waktu untuk menenangkan hatiku, sekaligus tidak membuat yang lain kuatir.
    Sungguh pintar.
    Aku melirik gunungan makanan siap bakar yang ada di depanku.
    Okay, dia memberiku waktu semalaman kayaknya.
    Atau mungkin dua malam?
    Aku segera mengambil beberapa sosis yang ditusuk dengan bambu, dan memanggangnya di atas barbecue grill.
    Desisan kecil terdengar saat bumbu dari sosis itu perlahan menetes ke bara api di bawahnya.
    Aku mengambil tempat duduk di atas rumput di depan barbecue grill itu.
    Menghabiskan waktuku untuk melamun sambil sesekali membolak balik barbekyu yang ada di depanku.
    Ya, mungkin tadi siang aku memang agak keterlaluan.
    Aku tidak mendengarkan kata katanya sampai selesai karena aku merasa tidak mampu lagi untuk menahan perasaanku.
    Dan aku bahkan tidak mengucapkan perpisahan yang baik untuknya.
    KLEK
    Aku mendengar seseorang membuka pintu di belakangku.
    Alvinkah?
    Aku menoleh ke belakang.
    Kenny tampak dengan ragu berdiri di depan pintu.
    Aku tersenyum padanya, dan dia perlahan berjalan mendekatiku.
    Aku sudah lebih tenang sekarang.
    Mungkin aku bisa minta maaf karena sifatku tadi siang?
    "Kevin, Kenny mau minta maaf..."
    Okay, dia sudah mendahuluiku.
    "Minta maaf untuk apa...?"
    "Karena tadi siang. Kevin pasti sedih..."
    Ujarnya lagi.
    Aku hanya tersenyum.
    "Sudahlah, Semua sudah lewat, aku sudah ga ada beban kok, Ken..."
    Ujarku sambil tersenyum, walau sebenarnya dalam hatiku bagaikan teriris.
    Kenny menatapku.
    "Bukan begitu maksud Kenny...."
    Aku tersenyum lagi.
    "Sudahlah..."
    "BUKAN BEGITU!"
    Aku terkejut mendengar dia membentakku untuk pertama kalinya, dan lebih lebih saat aku melihat wajahnya sudah basah oleh airmata.
    "Kenny cuma takut, kalau suatu hari Kevin tinggalin Kenny..."
    Ujarnya sambil sesenggukan, sesekali dia menyeka airmatanya, tapi yang mengalir tampak lebih banyak dari yang berhasil dihapusnya.
    "Kenny ga mau pisah dari Kevin, tadi Kenny mau bilang, kalau Kenny takut, Kevin berpikir mau pergi dari Kenny..."
    Ujarnya lagi, sambil memajukan bibir bawahnya dan menekuknya.
    Wajahnya sekarang persis anak kecil yang sedang menangis karena kehilangan ibunya.
    "Kenny takut, kalau nanti suatu hari akhirnya Kevin memutuskan untuk berpisah sama Kenny..."
    Sekarang wajahnya sudah penuh dengan airmata, ingusnya pun sudah meleleh menuruni wajahnya.
    "Kenny... Ken, ken..."
    Oh, ya ampun, dia benar benar imut kalau sedang seperti ini!
    Dia memainkan ujung kemejanya sambil berusaha berbicara walau terus tergagap.
    Aku akhirnya membungkamnya.
    dengan bibirku.
    Aku melumat bibirnya perlahan, mengulum bibirnya dengan mulutku.
    Kenny agak terkejut di awal, tapi akhirnya ia membalas ciumanku, samar aku bisa merasakan airmatanya tercampur dengan rasa bibirnya.
    Kami saling melumat selama beberapa menit, sebelum aku melepaskan bibirku dan menarik udara kembali ke dalam paru paruku.
    "Kenny, Kevin ga bakal tinggalin Kenny, sampai kapanpun..."
    Ujarku sambil mengusap rambutnya.
    Wajahnya masih memerah bagai kepiting rebus.
    "Kenny juga, ga akan pergi dari Kevin..."
    Aku tersenyum.
    "I'm yours, I give you my all and all...."
    Ujarnya lagi.
    Aku membelai tubuhnya.
    "Kenny semuanya buat Kevin sekarang, Kevin ga bakal pergi..."
    balasku, aku merangkul bahunya, dan menariknya hingga tertidur di rerumputan milik Alvin.
    "BLARR!"
    Sebuah ledakan kembang api raksasa mendadak menerangi langit malam, disambut dengan teriakan dan sorakan dari berbagai tempat.
    "Sudah tahun baru..."
    Ledakan kembang api itu segera disusul oleh berbagai kembang api lain, ledakan demi ledakan terus mengisi kegelapan malam, meneranginya dengan berbagai warna dan cahaya.
    "Selamat tahun baru, sayang..."
    Ujarku, sambil menatap ke arahnya.
    Ia tersenyum.
    Dan bibir kami kembali bersatu.
    Kami berciuman di atas lapangan rumput rumah Alvin, tanpa perduli pandangan dari beberapa orang yang melewati depan rumahnya.
    Kenny terus berkata
    "Aku sayang Kevin"
    Berkali kali sambil terus mengulum lembut bibirku.
    ***
    Silver's View

    "Mereka berciuman di halaman..."
    Ujar Grace
    "Dan tetangga melihat mereka...."
    Sambut Mama Alvin.
    "Dan mereka menghanguskan sosisnya..."
    Tambah papa Alvin.
    "............"
    Alvin hanya terdiam, sementara semua orang lain yang ikut mengintip dari jendela mengangguk mengiyakan semua perkataan mereka.
    "Tapi syukurlah mereka baikan..."
    Ujar Arvin sambil tersenyum.
    Semua orang kembali mengangguk mengiyakan perkataannya.
    "Aaah, mereka memang benar benar manis. Kapan anak Mama bisa semanis mereka..."
    Ujar Mama Alvin sambil melirik ke arah Alvin.
    Alvin hanya mendengus sebal, kemudian membuka pintu luar.
    "KEVIN SOSISNYA GOSONG!"
    Hardiknya sebal begitu ia membuka pintu.
    Semua orang tertawa, dan saling bersalaman satu sama lain.
    "Happy New Year!"
    =======================================

    Okay, buat semua, penulis juga mengucapkan Selamat Tahun Baru!
    Happy New Year Everyone!
    Wishing All The Best to You!
    :D :D :D
  • pertamax

    kebiasaan update tgah mlm -.-
  • @silverrain tolong bungkusin kennynya ya,. :D
  • hahaha!! kocak! g nyangka trnyta mama,sma papa alvin dan jg arvin dsni udh tau soal hubungan kevin dan kenny!
  • Happy New year everyone..
  • Happy new year semua!
    Trus itu kelanjutan si lord marty gmana silver? Hmmm
  • si alvin mah gak bisa liat orang senang...
    bau-baunya, sebentar lagi kenny bakal jebol tuh...
  • :x Sweet. Lanjut terus
  • Dhika_smg wrote: »
    Happy new year semua!
    Trus itu kelanjutan si lord marty gmana silver? Hmmm

    bau2nya udah mau end yah??

    trus itu nanti Rio sama Christ damai?? Alvin pilih siapa y?? ga sabar deh,,

    Happy New Year jg buat @silverrain and smua pembaca setia TNnTD :)
  • hahaha... endingnya lucu....
    ternyata tahun barunya rada suram..wakakakk..
    poor kenny... #pelukKenny
  • Alvin's View

    "Pergilah..."
    Ucapku datar, sambil menatap orang yang terus menatapku dengan pandangan sedih.
    "Kamu ga dengar? Pergi..."
    Ujarku lagi.
    Dia hanya menatapku, wajahnya jelas tidak setuju dengan perkataanku.
    "Alvin..."
    Tampak dia berusaha meyakinkanku, tapi aku tidak mengubah raut wajahku sedikitpun.
    "Aku cuma tidak rela kalau dia menyakitimu lagi..."
    Aku menggeleng mendengar perkataannya.
    "Aku tidak perduli, kamu sudah kelewatan. Lagipula apa pedulimu? Kamu bukan siapa siapa!"
    Ujarku sedikit keras.
    Beberapa orang tampak mulai memandangi kami, memperhatikan apa yang sedang terjadi.
    Dia melebarkan matanya saat mendengar balasan terakhirku, akhirnya dia maju perlahan, dengan raut muka yang benar benar lesu.
    "Benar, aku memang bukan siapa siapa untukmu, tapi..."
    Dia maju, dan memelukku di tengah tengah keramaian.
    "Kamu segalanya buatku..."
    Bisiknya lagi, membuat perasaan panas meleleh di dadaku.
    Rio melepaskan pelukannya, ia tersenyum lemah, kemudian berjalan pergi meninggalkan kami.
    Aku menghela nafasku dengan berat.
    "Alvin..."
    Nafasku tercekat saat mendengar suara itu.
    Christ.
    Dia yang sedaritadi hanya menatapku dan Rio akhirnya membuka mulutnya.
    Sedaritadi dia berdiri di belakangku, diapit Kevin dan Kenny.
    Aku memang membatasinya dari Rio, kuatir kalau kalau Rio mendadak menyerangnya lagi.
    Kami barusaja menghabiskan setengah jam untuk menahan Rio agar tidak menghajar Christ terus menerus.
    Entah setan apa yang merasukinya.
    Dia terus meronta, bahkan membuat tubuhku melayang layang di udara sambil terus memeganginya.
    Setelah beberapa menit yang melelahkan akhirnya dia menyerah, dan petugas keamanan akhirnya meminta kami untuk membubarkan diri sambil membantu Christ berdiri.
    Dia memegangi kedua bahuku.
    Setelah melihat kedua orang yang membuat kepalaku hanya jadi setinggi bahu mereka, aku jadi merasa kalau pertumbuhanku benar benar terhambat.
    Aku masih bisa melihat goresan goresan kecil di tangannya akibat tergores pinggiran pot yang cukup kasar untuk memuat luka lecet.
    Beberapa bilur kebiruan bekas terbentur dan bekas pukulan juga terlihat jelas di wajahnya, sementara kemejanya tampak kotor, sebuah kancingnya tampak terlepas dari tempatnya.
    Christ menarik nafas dalam, menutup matanya, dan kembali membukanya setelah ia menghembuskan seluruh nafasnya keluar.
    "Aku Lord Marty yang kau kenal dulu bernama Richard..."
    Ujarnya lagi, raut mukanya tampak benar benar masam. Entah itu ketakutan, atau itu kekuatiran yang aku baca, tampaknya sama saja bagiku.
    "Ya, aku sudah mendengarnya..."
    Ucapku datar, walaupun perasaanku jelas tak menentu sekarang.
    Orang yang mendapatkan segala emosi dariku. Amarah, Kasih sayang, Cinta, Kebencian, semua kutuangkan pada satu orang yang sekarang berdiri di hadapanku.
    "Benar, aku yang mengatur semua peperangan ini, aku mengatur semuanya untuk menyingkirkanmu, aku memang berniat menghancurkanmu, sehancur mungkin."
    Dia menarik nafasnya.
    "Tapi itu dulu, setelah aku bertemu denganmu di rumah sakit, aku tidak tahu kalau itu adalah kau, Alvin..."
    Wajahnya semakin terlihat lemas, dia berusaha keras melanjutkan kata katanya.
    "Aku memang mendekatimu, tapi tidak untuk memanfaatkanmu.. Kupikir... Kupikir..."
    Dia mengalihkan pandangannya ke lantai, membuang nafas, kemudian kembali menatapku.
    "Kamu membuatku jatuh cinta..."
    Ujarnya, sembari mengecup bibirku dengan cepat, dan memelukku.
    Aku merasakan sekelilingku berbisik bisik, tapi otakku sudah membeku untuk memerintahkan mataku menoleh ke sekeliling.
    Cukup lama ia memelukku, kemudian melepaskannya, dan menatap wajahku dengan lembut.
    "Masih ada yang harus kita selesaikan, benar?"
    Ujarnya sambil kembali tersenyum, dan pergi meninggalkan kami.
    Kepalaku rasanya mau pecah.
    Aku bahkan masih belum bisa memahami apa yang sedang terjadi saat ini.
    Kepalaku seakan terlalu penuh dengan berbagai masalah yang barusaja terjadi.
    Christ adalah Lord Marty
    Dia mendekatiku
    Karena dia menyukaiku
    Dan Rio mengamuk karena dia mau melindungiku
    Bahkan mengorbankan sahabat baiknya sendiri
    Walaupun aku berusaha membuatnya menjauh dariku.
    Bukan karena aku membencinya, tapi karena aku-
    "Alvin, Kamu ga kenapa kenapa?"
    Suara manis Kenny membuatku terkejut dan membawaku kembali pada kesadaranku.
    Aku menoleh, mencoba terlihat sewajar mungkin.
    "Iya, aku ga kenapa kenapa, thanks ya Kenny..."
    Ujarku tersenyum manis, tapi Kevin dan Kenny malah saling bertatapan dengan wajah kuatir.
    "Kalau Alvin sedih, bisa ngomong ke kami kok, lagipula, ini ada salahku juga..."
    Ujar Kenny sambil menundukkan kepalanya.
    "Gara gara Rio dengar aku bilang Christ adalah Lord Marty, semuanya jadi begini sekarang, aku minta maaf..."
    Ujar Kenny sambil menepuk bahuku dengan takut.
    Aku tersenyum, menatap ke arahnya.
    "Udah, ga masalah, kalau ga begini, aku ga bakal tahu semuanya kan, kalau ga begini, mungkin aku bakal lebih sakit lagi saat tahu semuanya, ya kan?"
    Ujarku sambil tersenyum, walaupun sebenarnya separuh hatiku berharap agar semuanya tidak terjadi, agar aku dapat terus hidup tanpa mengetahui apapun.
    Tunggu.
    Aku berharap semuanya tidak terjadi.
    Apa agar aku tidak memiliki alasan untuk membenci Christ?
    Apa hatiku kembali terbuka untuknya?
    "Alvin...?"
    Kenny memandangku dengan wajah kuatirnya, padahal jelas aku sudah memasang senyuman terbaikku di hadapannya.
    "Kamu paling buruk soal menyembunyikan kesedihanmu..."
    Ujar Kevin sambil berjalan mendekatiku.
    "Alvin ga pernah tersenyum..."
    Ujarnya menyadarkanku kalau selama ini aku terus berwajah ketus bila perasaanku sedang baik.
    "Dan yang pasti, tidak ada orang yang tersenyum dengan airmata.."
    Tambahnya lagi. ia mengulurkan tangannya, menyeka butiran hangat yang menggantung di pinggiran mataku.
    Aku tertegun.
    Sejenak aku terdiam, merasa kalah dari mereka.
    Terkadang aku iri,
    Mengapa aku tidak bisa memiliki kisah cinta yang wajar seperti mereka. Kenapa semua yang kudekati harus berakhir dengan masalah seruwet ini?
    Aku tersenyum lagi, menyeka buliran airmataku.
    "Aku harus menyiapkan pasukan sekarang..."
    Ujarku pada mereka, kemudian membalik tubuhku, berjalan melewati mereka kearah Lobby, tanpa peduli ratusan pasang mata yang masih memperhatikan kami karena kejadian barusan.
    Disana aku menaiki sebuah taxi yang tampak stand by di sekitar lobby mall.
    "Veteran, 31..."
    Ujarku kemudian menutup kedua wajahku dan membanting diriku ke arah kursi.
    Sesekali sopir itu tampak memperhatikanku dari kaca depan mobil, tapi tidak berani menanyakan apapun ke padaku.
    Aku hanya menutup mataku, meremas dahiku untuk menghilangkan beban yang sedaritadi bagaikan menindih kepalaku.
    =======================================
    Rex's View

    "Selamat malam, Lord Rex, malam sekali anda Online?"
    Aku hanya mengangguk membalas tegurannya. Wanita berambut ikal kecokelatan di depanku tersenyum.
    "Lady Anabelle? Apa yang anda lakukan malam begini?"
    Dia melepaskan bandana biru dari kepalanya, jaket jins biru yang membuatnya tampak seperti anak gank motor berkibar di terpa udara malam.
    "Tidak ada keperluan khusus, aku suka berada di dunia game pada malam hari. Anda sendiri?"
    Aku cuma menggeleng sambil menutup mataku.
    "Ah, baguslah, anda mau menemani saya menghabiskan malam ini dengan minum minum di bar?"
    Anabelle tertawa lebar sambil merangkulkan lengannya yang cukup terpahat untuk seorang wanita di bahuku.
    Dengan sopan aku melepaskan rangkulannya dan menggeleng.
    "Aku mau jalan jalan..."
    Ujarku lagi, sambil berjalan melewatinya, menembus lorong lorong gelap dengan penerangan cahaya bulan yang dipantulkan oleh beberapa cermin di dalam lorong, menciptakan penerangan yang indah dengan sinar bulan.
    Sebuah taman kecil dengan sebuah danau menyambutku saat aku melewati pintu belakang istana Rupanda.
    Seekor kuda putih berjalan santai di hadapanku, dan minum dari air di kolam tersebut.
    Aku hanya mengelus kuda itu perlahan, kemudian berjalan ke bawah salah satu pohon, dan duduk bersandar di batang kokohnya.
    "Lord Rex? Malam sekali?"
    Lagi lagi aku harus mengayunkan kepalaku dengan malas, menatap orang yang barusaja menegurku.
    "Keith?"
    Aku mengernyitkan dahiku.
    Dia tampaknya mengerti, dan segera duduk di sampingku.
    "Aku harus mempersiapkan semua tentara dan peralatan mereka sebelum peperangan. Rover dan Clive juga ada disini, membantuku, banyak hal yang harus kami siapkan..."
    Ujarnya seraya menunjuk ke belakangnya dengan jempolnya.
    Sebuah tumpukan yang terdiri dari tenda, makanan dan berbagai peralatan perang tertumpuk di sana.
    "Pada Duck Clan juga, mereka membawa Artilery, beberapa Missile Launcher dan Trebuchet, jadi aku juga harus menyiapkan beberapa Wagoon tambahan untuk mereka."
    Aku mengernyitkan dahiku mendengar perkataannya.
    Artilery? Missile Launcher? Trebuchet?
    Keith tampaknya lagi lagi membaca kebingunganku.
    "Mereka memang memiliki spesialisasi di bidang senjata, dan mereka juga punya teknologi yang sedikit lebih maju daripada bangsa lain, makanya mereka bisa memiliki banyak senjata yang menarik."
    Sedikit?
    Apa definisi sedikit sudah berubah sekarang?
    Mereka menggunakan beragam senjata api level angkatan bersenjata, sementara kami disini masih berperang dengan panah?
    Astaga.
    "Ada apa anda online di malam selarut ini, Lord Rex?"
    Keith ikut menyandarkan tubuhnya di batang pohon, sambil menatapku santai.
    Kedua matanya yang berwarna keemasan, sewarna dengan warna rambutnya menatapku dari kelopak matanya yang tajam.
    Sesekali kalung salib keemasan di perutnya berguncang saat dia menarik nafas.
    Aku hanya menggeleng, kemudian menyandarkan tubuhku dibatang kayu keras.
    "Apa tentang masalahmu dan Cardinal Yue, Alvin...?"
    DEG!
    Aku segera menatapnya tajam, dia tampak salah tingkah karenanya.
    "Maafkan saya..."
    Ujarnya cepat sambil menunduk melihatku.
    "Darimana kamu tahu?!"
    Ujarku tajam.
    "Cukup lama. Semenjak terbunuhnya Arsais lama, yaitu kamu, Cardinal jadi sering murung."
    Keith memulai bercerita, sambil sesekali melirik ke arahku.
    "Awalnya aku membiarkannya, tapi karena Lady Kanna memintaku, akhirnya aku memberanikan diri berbicara padanya."
    "Dan?"
    Tanyaku tidak sabar.
    "Dia bercerita banyak tentangmu, Lord Rex. Dia bercerita semuanya, dia bahkan mengingat dengan jelas semua kejadian saat dia bersamamu, dia bercerita panjang lebar padaku, dengan bersemangat..."
    ".... walaupun setelah selesai bercerita dia jadi lebih murung dari biasanya..."
    Ceritanya.
    Aku tertegun mendengar ceritanya.
    Aku tidak bisa membayangkan keadaan Rio saat dia terus menyalahkan dirinya karena telah membunuhku.
    Dia pasti tak memaafkan dirinya karena kejadian itu.
    Keith menatapku sekarang, terseyum manis padaku dari mata emasnya.
    "Dia selalu menyalahkan dirinya untuk semua yang terjadi, dia juga selalu menyesali kenapa ia tak mampu menahanmu di Valerie waktu itu."
    Keith menyibakkan rambut panjangnya yang berantakan karena tertiup angin.
    "Maaf, rambut panjang ini cukup mengganggu..."
    Ujarnya sambil tersenyum.
    "Yang selalu dikatakannya di akhir ceritanya adalah..."
    Keith mengingat ingat cukup lama
    "Aku tidak pernah, tidak akan pernah menyakitinya."
    Keith menggaruk rambutnya.
    "Kurang lebih seperti itu, aku tidak mengerti apa artinya, tapi sepertinya lumayan dalam, eh?"
    Dia melirik ke arahku dengan tatapan bertanya tanya, sedangkan aku hanya menatap datar ke arahnya.
    "Jadi, apa kalian berkelahi?"
    Dia mengulang pertanyaan pertamanya.
    Aku kembali melotot menatapnya.
    Dia hanya tertawa.
    "Astaga, ga perlu sampai marah seperti itu padaku! tak di jawab pun sebenarnya tidak masalah..."
    Dia tertawa sambil mendorong pelan bahuku.
    "Waktu aku pertama kali sampai disini kemarin, dia dengan bersemangat bercerita kalau Rex adalah Alvin, dan dia juga bercerita kalau dia menemukanmu di dunia nyata. Kamu tahu ekspresinya waktu itu? Dia tampak seperti anak kecil yang kegirangan karena diberi hadiah orangtuanya..."
    Keith melanjutkan ceritanya dengan ekspresi lucu.
    "Dia tampaknya benar benar senang karena dia berhasil mendekatimu. Dia juga bercerita dengan yakin, walalupun kamu sekarang menutup diri padanya, tapi dia yakin dia bisa kembali membuatmu mencintainya. Orang yang keras kepala ya?"
    Lanjutnya sambil terkekeh.
    "Dia juga bercerita tentang Marty, dia menceritakan semua tentang Lord Marty, Yue mencari tahu ke semua orang, menyelidiki apa yang terjadi antara kau dan Lord Marty, dan kau tahu? Semua itu membuatnya benar benar marah. Dia bersumpah akan menghabisi Lord Marty dan membuatnya membayar atas semua yang sudah dilakukannya."
    Keith membuat ekspresi bergidig sambil melihat ke arahku.
    Sekarang dia seakan bercerita pada seorang anak TK daripada berbicara pada Jendral perangnya.
    "Yahh...."
    Akhirnya Keith berdiri dan menepuk pundakku.
    "Dia benar benar mencintaimu, jadi, jangan kecewakan dia..."
    Ujarnya sambil terkekeh.
    "Hai! Alvin! Kamu ada disini!"
    Clive dan Rover datang dari kejauhan, tampaknya mereka sudah selesai dengan tugas mereka.
    Rover melambaikan tangannya ke arahku, sembari merangkul pundak Clive dangan santai.
    "Ah, mereka tampaknya sudah selesai. Oh, ya, ada yang harus kami katakan..."
    Ujar Keith, mendadak raut wajahnya berubah menjadi lebih serius dari saat dia datang tadi.
    Clive dan Rover yang datang berpandangan, kemudian saling melihat dengan Keith.
    "Kamu sudah beritahu Rex..?"
    Ujar Clive dengan tajam.
    Keith hanya menggeleng, ia tersenyum lemah pada Yujii.
    Ada apa lagi ini?
    Apa ada yang akan terjadi lagi?
    "Ah, Lord Rex..."
    Ujar Keith, kembali pada gaya bicara formalnya.
    "Ada yang harus kami bicarakan..."
    Mereka bertiga duduk bersila di depanku, wajah mereka jelas tampak begitu serius.
    "Bisakah, kau mempercepat peperangan ini...?"
    Rover dan Clive yang ada di belakangnya mengangguk bersamaan, mereka menatapku dengan wajah penuh harap.
    "Kami kuatir, kalau ditunda lebih lama lagi..."
    Keith menarik nafasnya.
    "Kami tidak akan bisa menemanimu sampai perang ini selesai."
    Aku mengernyitkan dahiku mendengar penjelasan mereka.
    "Apa? Kenapa?"
    Tanyaku, mereka hanya menggeleng.
    "Karena kami punya waktu yang terbatas, menurut perjanjian kami, dan kami kuatir sebentar lagi waktu itu habis..."
    Aku menelisik ke wajah mereka, berusaha mencari kebohongan yang tersirat, tapi tidak kutemukan seguratpun raut bercanda di wajah mereka.
    "Bagaimana bisa? Perjanjian apa? Aku tidak tahu! Jelaskan padaku!"
    Baru Keith akan membuka mulutnya, saat tiba tiba suara lonceng bertalu talu mengagetkanku dan mereka semua.
    "Apa?! Serangan?! Di tengah malam ini?"
    Clive tampak tak percaya dengan yang didengarnya.
    Beberapa pasukan yang ada di markas bergegas keluar, para Wizard segera melontarkan sihir api mereka ke langit, membuat bola api raksasa yang menerangi kegelapan malam.
    "Ada apa ini?"
    Rover tampak masih belum bisa menguasai keadaan.
    Aku dengan cepat menarik sabitku, dan memunculkan lambang Soul Eater di udara, menunjukkan keberadaanku pada semua pasukanku.
    "BERKUMPUL DISINI!"
    Semua orang yang tadi tampak kebingungan tanpa pasukansegera bernapas lega dan mereka segera berkumpul di hadapanku. Sebuah lingkaran dengan cahaya seperti matahari muncul di belakangku setelah beberapa Wizard merapalkan mantra mereka.
    Serangan malam hari? Ini akan sangat merugikan bagi kedua pihak, kenapa Marty menyerang selarut ini?
    Apa dia dendam karena kejadian tadi?
    SIAL!
    Ternyata dia benar benar picik!
    Seberkas bulatan cahaya datang, dan Windy muncul di sisiku.
    "Leknaat dan Water Bishop sudah memulai peperangan, mereka memohon bantuan, pasukan besar menyerang perbatasan kita, tampaknya separuh dari Harmonia datang kemari saat ini..."
    Aku meremas kepalaku.
    Sebanyak itu menyerang malam ini?
    Jadi mereka sudah merencanakan semua ini?
    Apa tadi Christ datang ke tempatku untuk menjauhkanku dari pasukanku? Apa dia sengaja membawaku ke Mall agar mereka bisa menyerang tanpa sepengetahuanku?
    SIAL
    Padahal aku sudah mulai percaya padanya.
    Segurat kekecewaan kembali menyobek dadaku.
    "Sisa bishop tidak bisa dihubungi, Lord Axel pun tidak bisa dihubungi entah kenapa. Para kepala negara yang lain tidak ada yang online..."
    Clive dengan panik berusaha memberitahuku, raut wajahnya tampak begitu tegang, walaupun entah kenapa aku melihat ada seringai senang di wajahnya.
    Aku tersenyum masam.
    Jelas, saat ini Kevin dan Kenny pasti sedang berada di Mall, dan mungkin mereka tidak akan membuka HP nya sampai mereka selesai pacaran.
    Sungguh keberuntungan yang hebat.
    "Bagaimana ini?"
    Seru seorang Captain pasukan dari dalam pasukan kami.
    "Kalau kita hanya bertempur dengan pasukan seadanya seperti ini kita pasti kalah!"
    "SIAPA BILANG?"
    Kami semua menoleh, Lady Anabelle, tampak berdiri dengan Cyrdan, berjalan perlahan menuju kami.
    Dibelakangnya, beberapa dari pasukan Jowston dan para Sindarin sudah berbaris rapi.
    "Kami ada disini, siap berperang!"
    Anabelle menunjuk ke dadanya dengan yakin, sembari mengembangkan senyumannya. Wajahnya terlihat sangat berani. Jujur saja, raut wajah dan dandanannya mengingatkanku pada preman preman wanita gank motor yang sering aku lihat di teve.
    Dia menarik sebuah pistol dari tangannya, semakin mempertegas kesan preman di dirinya.
    Semua orang bernafas lega melihat mereka.
    kecuali aku, Windy dan Keith.
    Kami tahu, bahwa jumlah pasukan kami sekarang pasti tidak akan mampu menandingi mereka.
    "We're Doomed...."
    Bisik Keith dengan logat amerikanya yang begitu kental.
    Aku hanya menggeleng, campuran rasa khawatir dan bingung mengelilingi hatiku, tapi aku harus berpura pura tenang, karena aku tidak mungkin menghancurkan mental pasukanku. Kami sudah jelas kalah jumlah, apalagi kalau kami harus bertempur dengan perasaan takut.
    Jelas kami akan menjadi sasaran empuk serangan mereka.
    "Kabari semua orang, kita akan tahan mereka. tapi, jangan berharap banyak, berusahalah seakan hanya kita yang berperang, karena kita tidak akan tahu, apa mereka akan datang membantu atau tidak!"
    Aku mengangkat sabitku, dan memimpin pasukanku menembus kegelapan malam menuju North Wall.
    Samar dari jauh aku mendengar teriakan nyaring dari arah North Wall. Percikan percikan api pun menerangi dinding North Wall yang keperakan.
    Apa itu?
    "Pasukan Harmonia dipimpin oleh Sir Joshua dan Yuber, mereka membawa Dragon Rider menyerang North Wall..."
    Ujar Windy seakan dia barusaja berbagi pikiran denganku.
    Jadi yang barusan kulihat adalah naga?
    Joshua pemegang Dragon Rune? Captain dari Dragon Knight?
    Bagus
    Itu menambah daftar panjang alasan kami untuk dibantai malam ini.
Sign In or Register to comment.