It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Malas.
Hari ini rasanya aku malas ke sekolah.
Semenjak kejadian kemarin sore, Alvin, Aku, dan Axel jadi saling diam. Kami ga ada bicara satu sama lain.
Kemarin Alvin keliatannya ngomong dengan Axel, tapi aku ga bisa mendengar obrolan mereka.
Axel terlihat menatap kosong ke arah lain saat Alvin mengajaknya bicara. (Emang Alvin bisa ngajak orang bicara ya? Tiap dia ngomong yang keluar pasti ngajak berantem)
Kemarin aku memang sengaja menghabiskan uangku untuk membeli Warlord's Suit di Central. Aku gatau kenapa, aku cuma mau Axel ga lebih dekat lagi ke aku.
Tapi, wajah sedihnya kemarin....
Hatiku terasa miris saat aku mengingat wajahnya. Axel yang biasanya ceria jadi bergitu pemurung karena aku.
Tanpa kusadari, ada perasaan kecil tumbuh di hatiku saat aku beberapa hari ini bersamanya.
Aku baru menyadari semua tingkah aneh Alvin belakangan ini.
Dia ternyata berusaha keras mendekatkanku dengan Axel tanpa aku sadari.
Perasaan itu memang sudah ada, tapi tertutupi karena aku memfokuskan diriku untuk menjaga Alvin. Aku cemburu saat itu. Aku cemburu bukan hanya karena dia mendekati Alvin, tapi juga karena takut dia akan tergantung pada Alvin.
Aku baru menyadarinya sekarang.
Aku mulai menyukainya, entah bagaimana, Alvin sukses mendekatkanku dengan bocah kecil itu.
Aku ga mungkin bisa lihat wajah sedih Axel lagi. Apalagi, malam itu akulah yang bikin dia sampai tersiksa. Aku menyakitinya padahal dia sedang berusaha keras untuk membahagiakanku.
Saat Axel habis habisan dibantai saat dia mencari Armor untukku?
Aku sudah berada disana jauh sebelum Alvin datang. Aku hanya melihat bagaimana ia tetap berusaha berdiri saat pukulan datang bertubi tubi padanya. Dia tampak sangat gigih saat itu.
Dan bahkan, saat persediaannya hampir habis, dia nekat menerjang Collosus, hanya demi mendapatkan sebuah Armor untukku, dia tidak memikirkan kalau dia terbunuh saat itu.
Dan Aku? Apa yang bisa kulakukan?
Aku hanya berdiri mematung, seakan menikmati pemandangan itu. Menikmati bagaimana dia menyeret tubuhnya menjauh dari monster itu, dan bagaimana dia tetap tidak bergeming menghadapi semua penderitaan itu
Sebegitu kejinyakah aku? Bahkan untuk orang yang sudah mengasarinya seperti yang aku lakukan, dia masih tetap berusaha keras menyenangkanku...
"Kevin, Kevin...?"
Aku tersentak dari lamunanku
"Kamu melamun ya? Sebentar lagi sampai di sekolah ni, nanti Papa turunin di depan ya, soalnya papa udah telat.."
Aku mengangguk pelan pada ayahku.
Aku sebenarnya ingin tidak masuk hari ini. Aku masih takut kalau aku harus bertemu Alvin. Takut menghadapi kata kata yang muncul dari bibirnya.
"Tumben kamu ga mau bawa motor ke sekolah Kev? Kamu lagi ada masalah? Keliatannya lesu banget?"
Papaku sedari tadi terus memperhatikanku. Kelihatannya beliau mengkhawatirkan keadaanku.
"Ah, Kevin ga kenapa kenapa pa, cuma masih ngantuk aja, Makasih ya Pa, Aku sekolah dulu..."
Aku turun dari mobil Ayahku, dan melangkah ke dalam sekolahku. Pandanganku tertuju pada seorang anak yang berjalan dengan headset di kedua telinganya
"Alvin..."
Aku kembali teringat sosoknya yang saat itu berlari menyusuri semua lorong di Collosus Hall demi mencari Axel. Aku tahu dia menguatirkan Axel. Dia kuatir terjadi sesuatu yang akan memisahkan kami berdua. Bahkan saat melihat Axel, dia tanpa pikir panjang langsung menggunakan tangannya sebagai tameng untuk menghentikan serangan Collosus. Padahal dengan sihirnya mungkin dia tidak perlu terluka.
Alvin, padahal selama ini dia berusaha menyadarkanku tentang Axel. Tapi aku juga menyukainya! Salahkah aku kalau aku menyukainya? Sekarang aku dihadapkan pada dua pilihan.
Seseorang yang aku cintai, tapi dia tidak menghiraukanku, atau seorang bocah kecil yang mencintaiku dengan tulus?
Aku menghela nafas panjang.
Aku mengikuti Alvin dari belakang sampai kami masuk ke dalam kelas.
Aku mengambil tempat duduk tepat di sampingnya.
". . . . . . . . ."
Dia terlihat asik dengan komiknya dan dia bahkan tidak menghiraukanku disampingnya.
Biasanya kalau sudah begini aku pasti ngomel ngomel ga jelas.
Tapi untuk hari ini, rasanya begini jadi lebih baik.
"Axel bicara banyak padaku kemarin..."
Alvin menutup bukunya dan melepas sebelah headsetnya.
Dia menyandarkan dirinya ke dinding kelas, dan menutup matanya.
Aku menatap sebentar padanya, kemudian kembali mengalihkan perhatianku.
"Dia baik baik saja?"
Alvin mengangguk pelan
"Kupikir aku berubah pikiran.." Ucapnya lagi.
Mendadak ia membuka matanya, dan menyeringai kearahku
"Anak itu, M E N A R I K..."
Ucapnya lagi sambil menjilat bibirnya
Aku memanas mendengar kata katanya. Apa maksudnya dia berkata seperti itu?
"Apa maksudmu...?"
Dia tertawa kecil
"Aku tidak jadi menyerahkannya padamu. Aku, akan menikmatinya sendiri..."
Aku terperanjat mendengar kata katanya
"Kau gila, apa yang kau lakukan!"
Aku mulai terbakar emosi saat mendengar kata katanya. Aku merasa tidak rela dia memperlakukan Axel seperti ini.
"Kenapa? Kamu cemburu? Memang sudah pantas! Aku bakal buat dia memalingkan mukanya darimu! Paling tidak aku sudah mulai melakukannya kemarin..." Dia berbicara dengan penuh tekanan seakan akan dia menyudutkanku.
Aku meremas tanganku kuat. Apa apaan dia!
"Kau menyia nyiakan barang bagus..."
Dia kembali menatapku dengan senyuman dingin
Aku ga bisa menahannya lagi!
BUAKK!
Aku melayangkan tinjuku ke arahnya. Tinju itu sukses mendarat di kanan bibirnya.
Darah mengalir pelan dari bibirnya
"Aku ga bakal membiarkannya! Kamu ga bakal bisa memanfaatkan Axel!"
Aku langsung berlari keluar dari kelasku tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.
=======================================
Silver's View
Seisi kelas mendadak hening saat Kevin memukul Alvin tepat di wajahnya.
Kevin pergi dengan penuh emosi meninggalkan ruang kelasnya
Alvin tampak masih belum bergerak dari posisinya. Dia terkejut dengan reaksi sahabatnya.
Sejenak kemudian ia menyeka darah yang mengalir dengan jempolnya, dan tersenyum.
"Kalau begitu, rebutlah..." gumamnya pelan.
Alvin kembali mengenakan headsetnya dan menyenderkan dirinya di kursi kelas.
"Sial..."
Alvin mengerang kesakitan, dan memegangi tangan kanannya yang membiru, dan terdapat bekas memerah di beberapa tempat. Seberkas darah mengucur keluar dari tangannya
"Kenapa bisa... Padahal hanya game..."
Alvin mengelus tangannya pelan, dan kembali menyenderkan kepalanya ke kursinya.
"Kayaknya, hari ini ga bakal bisa pegang pulpen...."
para pengunjung warung saya yang hanya seadanya tapi perhatian
maaf, malam ini segini dulu yahh, soalnya yang berikutnya rada panjang.
Kalo ditulis malam ini nanti kemalaman tidurnya
Thanks for reading!
Please Comment and Review!
C&R~!
Night!
Ane yakin byk pembacanya, cm lebih suka jd silent rider kali..haha..
slalu smgt nulis klo bca comm dr @yuzz
pasti bkin smgt!
ampe kdg aq tungguin commentnya
woi itu rune mistress... gitu2 paling ahli dia ddi bidang per rune-an dari jamannya nenek yangnya Arsais ddia selalu ada.. gak pernah bertamah tua...
wkwkwk..
Wahh, punyaku udah Bisa! Aku pake Ultimate proxy langsung bisa post
Kemaren kemaren gabisa post
Maaf maaf
Saya lanjut ceritanya
“Caesar…”
Hmm? Alvin? Dia memanggilku?
Semenjak kejadian di kelas kemarin hubunganku dan dia benar benar merenggang. Dia dengan sukarela memindahkan posisi duduknya ke samping Ardi, Padahal aku ga minta.
Yahh, harus kuakui aku sudah benar benar hilang kesabaran menghadapi dia. Setiap kami bertemu pandang, tatapannya seakan akan selalu menantangku. Aku jelas tidak terima, tapi aku memutuskan untuk selalu membuang muka setiap dia memandang ke arahku
“Sir Caesar, Lord Arsais daritadi menunggumu…!!”
Axel? Dia ikut berteriak juga? Jadi dia ada disamping Alvin?
Aku bergegas keluar dari ruang Strategi, ruang tempat aku dan Axel biasa bekerja membahas strategi perang untuk pasukan kami.
Aku mendorong pelan pintu kayu yang ada di hadapanku, kususuri lantai marmer dengan lambang Harmonia tercetak di atasnya. Tak lama aku berjalan, aku segera berhadapan dengan kedua orang yang daritadi mencariku
“Ada apa…?” Aku menatapnya tajam, kemudian memindahkan pandanganku ke Axel
“Bagaimana dengan laporan tentang keadaan Shrine Guard? Apa kau sudah mengatur pertemuan dengan keempat Bishop?”
Aku menatap dingin ke arahnya.
Arsais membalasku dengan sebuah senyuman dingin.
“Orang yang kukirim ke Central belum menampakkan dirinya di hadapanku, dan untuk pertemuan para Bishop, aku masih menunggu balasan dari mereka. Mungkin sore ini aku akan kembali mengirim surat kesana.”
Arsais mengangguk pelan, kemudian kembali menyeringai tanpa disadari oleh Axel.
“Baiklah..” Ucapnya ringan.
“Axel, temani aku jalan jalan…” Arsais merangkul bahunya pelan, dan membawa Axel pergi. Axel sedari tadi selalu menghindari pandangannya ke arahku. Matanya terlihat kosong
Perih…
Itulah yang aku rasakan sekarang.
Aku sudah menyadarinya. Perasaanku ke Axel mulai tumbuh, dan setelah melihat semua usahanya, dan dia melakukan semuanya tanpa ingin aku ketahui, aku benar benar merasa aku telah menyakitinya. Rasanya aku tidak lagi pantas untuk mengeluarkan sebuah katapun kepadanya.
Tapi saat seperti ini? Aku melihat dia berdua dengan Alvin?
Dadaku Sesak!
Aku ga rela! Aku ga bisa membiarkan Alvin mempermainkannya begitu saja. Aku tahu Alvin sebenarnya tidak menyukainya, tapi kenapa dia seakan menjauhkan Axel dariku?
Dadaku terasa dingin, tenggorokanku terasa kering hanya karena mengingat semua yang baru saja terjadi.
Tanpa aku sadari, kakiku sudah bergerak sendiri. Aku mengikuti mereka secara diam diam.
Alvin membawa Axel kemana?
Apa yang ingin dilakukannya?
Kenapa rasanya aku ingin merebut Axel darinya? Tapi, dengan apa yang sudah aku lakukan, aku tidak merasa pantas berada di samping Axel.
Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Axel semakin merenggang. Apalagi hubunganku dengan Alvin. Bahkan di sekolah pun kami tidak bertegur sapa. Dia lebih memilih tidur di kursinya daripada menemani aku ke kantin seperti biasa, walau biasanya di kantinpun dia memang Cuma tidur tiduran sih (=_=”)
Aku mengikuti mereka berdua ke beranda di kamar Alvin.
Kurapatkan diriku ke dinding agar aku bisa melihat mereka tanpa ketahuan.
Alvin tampak diam bersandar di tepi pagar, sedangkan Axel tampak duduk di bangku kecil di beranda itu.
Sejenak mereka terlibat pembicaraan kecil. Wajah mereka berdua tampak sangat serius. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan! Aku mau mendengarnya!
Axel meremas kedua tinjunya dan berbicara dengan penuh emosi kepada Alvin yang tampak menatapnya datar. Axel terus berbicara hingga akhirnya segaris airmata meleleh di sisi matanya.
Dia menangis? Kenapa? Apa aku lagi? Kenapa selalu aku?
Aku menyandarkan diriku ke pelataran, aku sudah tidak mampu lagi melihatnya menangis. Dia sudah terlalu banyak menderita bagiku. Kenapa aku begitu jahat?
Kutarik nafas sedalam dalamnya, dan kembali kulongokkan perlahan kepalaku ke arah mereka
Adegan berikutnya yang kulihat benar benar membuatku panas.!
Aku melihat Alvin memeluknya pelan, dan membelai rambutnya, sedangkan Axel tampak menyandarkan wajahnya di dada Alvin. Dia masih terisak pelan.
Mukaku terasa memanas melihat mereka. Ada perasaan benci yang besar saat aku membalikkan mukaku dari mereka. Apa ini? Aku ga pantas ngerasa begini! Alvin jelas lebih memperhatikan dan mengerti dia daripada aku!
Axel tampak membalas pelukan Alvin. Dia memeluk Alvin dengan kuat sebelum akhirnya dia melepaskan pelukannya dan tertawa riang kembali. Alvin mengelus rambutnya pelan, dan merangkul Axel.
Begitukah? Wajah cerianya sudah kembali, Alvinlah yang mengembalikannya. Aku telah mengambil wajah itu, dan sekarang Alvin berhasil mengembalikannya. Syukurlah.
Tapi perasaan sakit apa ini? Kenapa dengan perasaan ini?
Aku menyandarkan diriku ke dinding, dan melorot turun hingga terjatuh ke lantai
“Beginikah hukuman untukku? Apa salahku….?”
Aku menutup mataku dengan tanganku, dan tertawa pelan, untuk menutupi segaris airmata yang perlahan menuruni wajahku.
Silver’s View
Arsais masih tetap memeluk Axel dengan lembutnya, dia menutup matanya.
“Hmm…”
Sejenak kemudian ia melirik ke arah dalam ruangannya dan menyeringai pelan.
“Lord Arsais, terimakasih….”
Axel melebarkan senyumnya dan menatap polos ke arah Arsais.
“Diluar panas, kenapa kita ga masuk aja sekarang Lord Arsais…?”
Arsais tersenyum pelan mendengar perkataan Axel, kemudian ia melirik sebentar ke arah ruangannya.
“Jangan, jangan masuk sekarang…”
Axel mengangguk perlahan.
“Ah, Aku mungkin ga bisa online untuk beberapa hari kedepan.”
Axel tersenyum lebar sambil melirik kearah cokelat yang disodorkan Arsais ke arahnya
Arsais hanya mengangguk pelan dan kembali menyandarkan kepalanya ke dinding.
“Ya, baiklah kalau begitu, tapi jangan terlalu lama, oke?”
Axel mengangguk kuat, dan menggigit batang cokelatnya
“Siap!” Axel kembali menghiasi wajahnya dengan senyuman lebarnya yang sekarang sudah penuh dengan cokelat, tapi Alvin yang diajaknya bicara tampak sudah terlelap.