BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

The Night, and The Day - END - page 111

1104105107109110117

Comments

  • @nero_dante1 belum nemu storynya bang remy?
    How to get a str8 guy --->
    http://boyzforum.com/discussion/7830506/how-to-
    get-a-str8-guy-jujurlah-dr-awal-gong-pisang-p/p1

    selamat membaca.. ;)
  • Yue's View

    "Selamat datang...."
    Marty menyambutku tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari jendela besar di hadapannya.
    Sebuah tiang cahaya kekuningan menjulang ke langit dari tengah tengah kota, dan membuat kubah berbentuk mantra dengan warna keemasan.
    "Marty..."
    Marty menghela nafasnya dan membalik tubuhnya. Sebuah tongkat keemasan dengan sebuah lengkungan membentuk lingkaran bertabur berbagai batu bersinar bertakhta dengan anggun di tangannya.
    "Selamat, Cardinal, dengan ini, seluruh Harmonia sudah berhasil kau kuasai..."
    Marty tersenyum santai, ia memindahkan tongkat itu ke tangan kirinya, dan bergerak menyeberangi ruangan melewatiku.
    "Kau terlambat sampai disini, sekarang Rex dan teman temannya sudah berhasil menembus sampai Edmund, dan aku yakin dia tidak akan perlu waktu lama untuk menghabisi Edmund...."
    Aku hanya terdiam, Marty mengambil sebuah buku besar dari rak bukunya, buku dengan sampul kulit merah dengan ukiran angka 3.
    "Kau tahu ini buku apa?"
    Aku mengangguk.
    "Old Book Vol. 3, The Warrior of Absolute Country..."
    Marty mengangguk.
    "Buku ini adalah buku yang ditulis oleh game, berisi sejarah besar pembentukan dan event event penting Harmonia, mungkin, hari ini akan jadi hari dimana buku ini akan resmi ditutup..."
    Ia memandangi ruang kerjanya, raut wajah kesedihan mewarnai wajah tampannya.
    "Namaku banyak tertulis di buku itu sebagai penguasa bijak yang mengelola negara luas ini, tapi, semuanya itu sebenarnya bukanlah karyaku, melainkan kelima bishop yang menghadang diluar. Aku hanyalah orang yang duduk di depan mereka, sebagai pelaksana dari semua yang mereka sarankan padaku. Apakah kau mengalami hal yang sama, Cardinal?"
    Aku memandangnya cukup lama, ia membalas tatapanku dengan pandangan santai, sambil jarinya sesekali membalik balik halaman buku di tangannya.
    Aku akhirnya mengangguk dengan pasrah. Marty tersenyum melihat reaksiku.
    "Bukan hal yang buruk, kau lihat, keputusan besar terakhir yang aku ambil saat itu adalah untuk menarik mundur tentaraku dan membiarkan Valerie bertahan sendirian menghadapi Aroina. Dan kau lihat hasilnya? Harmonia akhirnya kehilangan semua yang dimilikinya. Bukankah itu membuat kita berpikir kalau lebih baik menjadi boneka daripada harus menanggung tanggung jawab berat atas keputusan egois yang kita buat? Setidaknya saat keputusan itu salah, kau masih memiliki orang untuk disalahkan..."
    Marty tertawa kecil.
    "Marty...."
    Aku berbisik lirih, ia hanya tersenyum santai, dan kembali menatapku.
    "Sesaat lagi Harmonia akan resmi menemui akhirnya, dan sebuah negara baru akan berdiri disini. Kau, Negara seperti apa yang akan kau dirikan diatas tanah yang direbut menggunakan banyak darah ini...?"
    Marty mendadak membisu dan menyilangkan jari jarinya, menungguku memberikan jawaban yang bahkan tak kuduga harus kupikirkan saat ini.
    Aku kembali terdiam, dan lagi lagi membuat Marty harus tertawa renyah.
    "Belum memikirkannya? Pikirkanlah, sebelum rakyatmu menyadari ketidakmampuanmu, dan membentuk parlemen yang akan membuatmu sekali lagi jadi boneka..."
    Marty tertawa lagi.
    Ia mendirikan tongkatnya pada samping mejanya, kemudian berdiri, dan melepaskan jubah serta mitranya.
    "Setidaknya, setelah bertahun tahun aku memimpin negara ini dalam ketidakmampuan, sekarang aku melakukan sesuatu demi negaraku..."
    Marty mengambil sebatang pedang dari dalam laci mejanya, pakaiannya saat ini tampak seperti armor perang yang kerap kali dipakai oleh para Bishop.
    "Pedangku, pedang yang sudah lama aku tinggalkan semenjak aku melepaskan job Warriorku dan mengambil Job Grand Bishop untuk menjadi Pontiff. mari kita lihat, apa aku masih bisa menggunakannya dengan baik."
    Marty mengayun ayunkan pedang itu dengan cepat, sesekali la menebaskannya ke udara, menimbulkan suara nyaring.
    "Aku tidak akan menggunakan Rune apapun untuk bertarung..."
    Ujarnya dengan santai sambil terus memainkan pedang itu dengan piawai.
    "Aku sebenarnya tidak habis pikir kita harus bertarung untuk memperebutkan Alvin..."
    Marty melirikku sambil terus melakuan berbagai atraksi dengan pedangnya.
    "Aku berpikir hati harusnya dimenanggkan tidak dengan cara seperti ini, tapi karena kau berkeras, dan Alvin pun tampaknya terus diam, aku akhirnya setuju untuk melakukan ini..."
    Marty menangkap pedangnya dan menancapkannya ke lantai ubin yang segera berlubang saat mata tajam pedang itu menusuknya.
    "Aku beranggapan hal yang sama..."
    Aku akhirnya mampu membuka mulutku setelah mendapat ceramah panjang lebar yang memaksaku untuk bungkam.
    "Oh ya? Kau juga berpikiran sama? Kalau begitu kenapa kau menantangku untuk melakukan hal ini?"
    "Entahlah..."
    Aku menunduk, dentingan kencang menandakan Marty menarik pedangnya dari lantai.
    Aku kembali menatap ke arahnya, dan ia hanya tersenyum sambil menghunuskan pedangnya ke arahku.
    "Apa kau ragu...?"
    Aku menggeleng.
    "Aku akan bertarung untuk mempertahankan sesuatu yang berharga untukku..."
    Marty tersenyum.
    "Kalau begitu tarik senjatamu..."
    Aku mengangguk, menarik tameng kecil dan glaive yang setia menempel di pinggangku.
    "Bagus, ayo kita mulai sekarang, bersiaplah...
    Marty melesat ke arahku, dan dengan segera pedang dan glaive kami bertemu, menimbulkan kilatan cahaya yang beterbangan ke sekeliling kami.
    "Rune Glaive? Baguslah, berarti senjata kita selevel..."
    Ujarnya, kemudian menarik pedangnya dan menebaskannya padaku.
    Dentingan demi dentingan logam mengisi ruangan, sesekali diiringi dengan percikan api yang melompat keluar dari senjata kami.
    Kami saling menekan, menyudutkan satu sama lain dengan serangan serangan berat.
    "Hebat, bagus sekali, aku ga nyangka kamu bisa sehebat ini..."
    Ujar Marty saat kami saling mendorong, membuat kedua tubuh kami jatuh terjembab.
    Aku tersenyum sinis, dan kembali melompat mendapatkannya.
    "Ow!"
    Marty menggunakan pedangnya untuk menahanku yang menghunuskan glaive bermata tigaku ke arah dahinya.
    Aku terus mendorong, tapi tampaknya tangan Marty sama kuatnya denganku.
    Marty akhirnya menendangku, membuatku terlempar ke belakang.
    "Hebat!"
    Ia berseru dengan bersemangat, kemudian kembali melesat maju.
    Senjata kami kembali bertemu, Marty dengan santai mengayunkan pedang besarnya dengan kedua tangannya, membuatku harus menggunakan kedua senjataku untuk bisa mengimbangi kecepatan tangannya.
    "Kau juga..."
    Ujarku dengan santai.
    Aku kembali mendorongnya menuju bagian tengah ruangan, dan akhirnya kaki kami berdua memisahkan kami, menendang dengan sekuat tenaga.
    Aku terlempar jauh dan menabrak rak buku di belakangku, membuat rasa nyeri menjalari tubuhku, sementara Marty terlempar dan mendarat di bawah daun jendela, erangan rendah terdengar dari mulutnya.
    "Hmmm..."
    Marty kembali berdiri, mengikutiku yang sudah lebih dulu berdiri.
    Kami akhirnya saling menatap satu sama lain. Aku mengeratkan peganganku pada glaiveku, dan mengamatinya dengan hati hati.
    Christ melakukan hal yang sama, kemudian ia menggerakan pedangnya, dan segera melesat ke arahku.
    Aku segera menendang kuat dengan tanganku, menyambutnya dengan tamengku.
    TRANG!
    Aku merasakan tubuhku dihempaskan dengan kuat. Aku kembali mendaratkan punggungku di atas lantai yang dingin dan lembab. Serangan barusan membuatku begitu terkejut dan kembali duduk melihat ke depanku.
    Marty tampaknya juga terjembab, ia menatap dengan bingung ke arah bayangan hitam yang barusaja menghempaskan kami berdua hingga jauh terlempar.
    "Cukup sampai disini!"
    Sosok itu menyandarkan sabit besarnya di punggungnya, kemudian menegakkan badannya.
    "Jelaskan padaku apa yang kalian berdua lakukan!"
    Mata cokelatnya berkilat menatap kami berdua.
    Ikat kepala hijaunya tampak melayang jatuh ke sampingnya.
    Ia mengepalkan kedua tangannya.
    "R...Rex...?!"
    Rex menggertakkan giginya, menatap dengan marah ke arah kami berdua.
    "JELASKAN YANG SEDANG TERJADI DISINI!"
    Ia meraung dengan keras, bahkan Marty pun terlihat ketakutan saat Rec menatapnya dengan tajam.
    "Kau...! Jelaskan padaku!"
    Marty menatap dengan takut, ia tampak kehilangan kata katanya.
    "Tapi, bagaimana bisa? Edmund, kelima bishop..."
    Marty menatap dengan takjub sekaligus bingung pada Rex yang mengedikkan matanya.
    "Kau pikir enam orang bodoh itu sanggup melawanku? LIHAT KELUAR!"
    Aku dan Marty melirik ke arah luar, dan tubuh kelima bishop tampak bergelimpangan di depan pintu yang menganga terbuka.
    "Kau... Membunuh mereka...?!"
    Marty berseru tak percaya.
    Rex menyeringai dengan licik.
    "Kesalahan pertama adalah mencoba bermain main dengan pencabut nyawa..."
    Ia menyeringai dan menatap ke arahku.
    "Mereka tidak mau membukanya sampai mereka mati, jadi yang aku perlu lakukan adalah memberikan "kematian" pada mereka benar...?"
    Rex membuka tangan kanannya, lima aura putih berputar di tangannya.
    "Lucu sekali mengira aku bisa dikalahkan dengan perasaan..."
    Rex menyeringai senang.
    Sesaat kemudian seringai itu menghilang, wajahnya kembali tampak datar.
    "Jadi, sekarang, bisa kalian mulai menjelaskan padaku, apa yang terjadi...?"
    Ia menatap tajam ke arahku.
    "Tentu saja pertarungan terakhir untuk merebut Harmonia...?"
    Aku melirik ke arah Marty, dan kami berdua sepakat mengangguk.
    "JANGAN BOHONG! KALAU HANYA UNTUK ITU AKU TIDAK PERLU HARUS BERTARUNG DENGAN PARA BISHOP!"
    Aku segera menciut menghadapi tatapan marahnya.
    "Untuk apa kami bohong, kelima bishop juga melakukannya karena mereka mau, ja-"
    "BOHONG LAGI! Mereka sudah menceritakan semuanya padaku...!"
    "Kalau mereka bohong...?"
    "TUTUP MULUTMU MARTY!"
    Rex menghunuskan ujung lancip sabitnya ke bawah dagu Marty yang segera mengatupkan mulutnya.
    "Kalianlah yang berdusta disini! Sekarang jawab aku, apakah semua konspirasi ini ada hubungannya denganku...?"
    Rex menatap kami penuh selidik.
    Aku menundukkan kepalaku, Marty pun tampak membisu di sudut lain mata Rex.
    "Tolong jawab, apa semua kekacauan ini, apa semua permusuhan ini karena aku...?"
    Nada bicaranya berubah menjadi sedih.
    Aku bisa melihatnya menurunkan sabitnya hingga menggesek lantai.
    "Lihat aku..."
    Aku segera menatapnya, wajah sedihnya tampak begitu jelas menatap ke arahku.
    "Aku tidak pernah suka kalian menggunakanku sebagai taruhan, kalian pikir aku barang yang begitu mudah bisa diundi dan diperebutkan? Aku manusia dan aku punya perasaan, aku memilih siapa, itu adalah kebebasanku, dan bukan kalian yang menentukannya...."
    Rex meletakkan sabitnya di punggungnya, kemudian menjatuhkan kedua tangannya ke sisi tubuhnya.
    "Dan kalau sampai karena aku semua permusuhan ini terjadi, aku tidak senang! Aku senang bila ada yang mencintaiku, tapi tidak jika harus membuat orang lain mengobarkan permusuhan."
    Rex menatap kami berdua dengan mata tajam, tapi hanya sesaat, dan wajahnya kembali melembut.
    "Kalau hanya karena aku semua ini terjadi, dan yang menang akan mendapatkanku, maka biar aku yang menyelesaikan pertempuran ini...!"
    Ia menatap dengan sedih ke arahku, cukup lama, kemudian mengangguk dan segera menutup matanya.
    Rex mengangkat tangan kanannya ke udara, tangan kirinya digunakannya untuk menopang tangan kanannya yang mengacung ke langit.
    "O, Soul Eater, Rune of live and death, I order you to bring the death upon us, bring our weak soul to the death by your own hand! HELL!"
    "REX! STOP!!!"
    Marty berteriak histeris, tapi terlambat, karena sesaat kemudian ruangan yang ada di sekeliling kami segera berubah menjadi atmosfir hitam dengan cahaya merah temaram.
    Sesekali bayangan hitam berkelebat di sekitar kami.
    "Ukh..."
    Tanpa ada serangan apapun, aku merasakan tubuhku bagai dihujam dari berbagai arah.
    Aku memuntahkan darah segar dari mulutku.
    Marty tertunduk lemah di tanah, dengan nafas benar benar memburu.
    Pandanganku segera tertuju pada Rex, yang tersenyum, dengan segaris darah di mulutnya.
    "Ini adalah kekuatan terakhir dari Life and Death Rune, mengambil nyawa pemiliknya dan semua orang yang dipilihnya dengan perlahan, tidak ada rune apapun yang bisa menggagalkan serangan ini..."
    Ia terbatuk, dan darah segar segera membasahi baju hijaunya.
    "Aku tidak suka, kalian berkelahi hanya karena aku, kalian sudah sangat lama bersahabat, dan tidak lucu kan, kalau hanya karena orang yang baru kalian kenal persahabatan itu harus rusak..."
    Rex memegangi dadanya, ia melangkah pelan ke arah kami berdua.
    Matanya tak sekalipun terlepas dari wajahku.
    Rex memandangiku dengan pandagan sedih dan tak rela.
    Ia jatuh terduduk, kami membentuk segitiga dan saling berpandangan satu sama lain.
    "Aku tidak menyangka, aku menembus Crystal Valley, kota terbesar di Harmonia, hanya untuk berakhir seperti ini..."
    Ia terbatuk kembali.
    "Sebenarnya aku ingin melihat pasukanku bersorak atas kemenangan kami, ingin melihat negara ini berdiri..."
    "Kalau begitu batalkan rune ini, dan kau bisa melihat mereka kembali...!"
    Ucapan Marty barusan segera disambut dengan gelengan mantap darinya.
    "Sudah terlambat, lagipula, bisa pun aku tak akan melakukannya, jika hanya akan berakhir melihat kalian kembali bertarung..."
    "Tapi kalau seperti ini, siapa yang akan memimpin pasukan kalian nantinya? Kalian berdua mati disini!"
    Marty berusaha keras meyakinkan Rex yang kembali menggeleng.
    "Kelima bishop bisa mengatasi itu..."
    "Tapi mereka juga sudah mati kan...?"
    "Tidak, aku cuma menarik jiwa mereka keluar untuk membuka segel, dan sebelum aku menggunakan rune ini tadi, aku sudah mengembalikan mereka semua. Aku yakin mereka sudah sadar sekarang..."
    Marty tampak kehilangan kata katanya, ia akhirnya menunduk pasrah di hadapan Rex.
    Rex kembali menatapku, tubuhnya tampak berguncang hebat.
    Rex memandangiku seakan kami begitu lama berpisah.
    Kesedihan dan berbagai perasaan di hatinya bagaikan tersalur padaku lewat matanya.
    "Daripada melihat dua orang yang aku sayangi saling bertarung, aku lebih memilih menyerah..."
    Ujarnya datar.
    Ia kembali menatapku dengan sedih.
    "Aku lebih baik tidak memilih kalian berdua....."
    Ucapnya lirih.
  • uyeah.. #1
  • ampun dah. rumit bener percintaannya. lol
  • pdahal byk apdetnya tp kog kliatan dikit bgt ya wktu dibaca XD
    dah tamat blom??? klo blom lnjut lg..klo dah tamat bikin crita baru lg...Ganbate... ;-)
  • ga mau komen ahh :(
  • @hwankyung69 aneh yaa??
    >,<
    @just_pj ga gt bisa banyak apdet
    lg drop lg badannya
    :(
    @masdabudd jelek ya?
    maaf yahh.....
    T T
  • ga kok ga aneh. gw suka
  • @hwankyung69 thanks :*
    maaf klo hari ini jelek
    nulisnya pake sisa2 tenagaa.....
  • lg sakit aja msh tetep apdet..saluut tuk ente @silverrain smoga cpt sembuh ya..
  • bang brendy @silverrain, bukan gitu bang!! bagus kok :
    aku lagi memposisikan diri jadi Yue aja, jadinya kehabisan kata2 gitu deh :(
  • wow.. jadi Rex akhirnya milih jadi jomblo? pilihan tepat 8->
  • Bzzz kok Alvin malah gitu --" . Bair lah urusan pria dewasa . Ikut campur aja (-˛-")ƪ(˘-˘)
  • yahh.. kok ga milih sapa sapa..
    pilih nomor 1..! Yue!
Sign In or Register to comment.