BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ANTOLOGI - THIS MOMENT

15051535556

Comments

  • mas @abiyasha, nggak usah pake full bhs inggris. kayak gini udah bagus banget kok. dan pake full bhs inggris malah menurutku jd jelek. jgn bikin bener kata orang kl jd gay d indonesia itu berarti harus pinter bhs inggris.
    oh iya. saya rasa yg jd him disini itu lukas. trus cowo yg puluhan ribu km itu cowok yg d bali (lupa namanya). gtw knp saya jd inget novelnya Jay Bell, yg season series itu. him -> benjamin bentley, tokoh aku -> jace, yg puluhan ribu km -> tim wyman... hahaha. Btw something like summer nya jay bell itu novel favorit saya. begitu pula cerita2 mas @abiyasha
  • mas @abiyasha, nggak usah pake full bhs inggris. kayak gini udah bagus banget kok. dan pake full bhs inggris malah menurutku jd jelek. jgn bikin bener kata orang kl jd gay d indonesia itu berarti harus pinter bhs inggris.
    oh iya. saya rasa yg jd him disini itu lukas. trus cowo yg puluhan ribu km itu cowok yg d bali (lupa namanya). gtw knp saya jd inget novelnya Jay Bell, yg season series itu. him -> benjamin bentley, tokoh aku -> jace, yg puluhan ribu km -> tim wyman... hahaha. Btw something like summer nya jay bell itu novel favorit saya. begitu pula cerita2 mas @abiyasha
  • kalo maret pasti bisa sama2 ke sana......

    pas april k sana sama kekasih kah?
    kalo aku sendirian, sampai2 diejekin ma temen2
  • ka susah ngartiinnyaa... :'(
  • him = lukas???
  • mention ku ka...
  • mention ku ka...
  • aku g jdi k cologne, hikz....
    gantinya di notrdame, paris

    ga bsa k cologne krna jdwal busnya ga da yg cocok
    harga tiket kereta mahal bgt, fakir euro ane....
    ku pgn k sana krna cerita mas abiyasha, berasa napak tilas...dan cerita nya coklat cap ayam jago (kesampean)
  • aku g jdi k cologne, hikz....
    gantinya di notrdame, paris

    ga bsa k cologne krna jdwal busnya ga da yg cocok
    harga tiket kereta mahal bgt, fakir euro ane....
    ku pgn k sana krna cerita mas abiyasha, berasa napak tilas...dan cerita nya coklat cap ayam jago (kesampean)
  • aku g jdi k cologne, hikz....
    gantinya di notrdame, paris

    ga bsa k cologne krna jdwal busnya ga da yg cocok
    harga tiket kereta mahal bgt, fakir euro ane....
    ku pgn k sana krna cerita mas abiyasha, berasa napak tilas...dan cerita nya coklat cap ayam jago (kesampean)
  • aku g jdi k cologne, hikz....
    gantinya di notrdame, paris

    ga bsa k cologne krna jdwal busnya ga da yg cocok
    harga tiket kereta mahal bgt, fakir euro ane....
    ku pgn k sana krna cerita mas abiyasha, berasa napak tilas...dan cerita nya coklat cap ayam jago (kesampean)
  • masih setia nunggu kisah² barunya :)
  • masih setia nunggu kisah² barunya :)
  •   
    THIS MOMENT

      Dia memelukku. Erat. Sejak mengenalnya, dia tidak pernah memberiku pelukan seerat ini, meski aku selalu berusaha untuk menahan pelukan kami lebih lama. Tidak pernah berhasil. Melihat wajahnya, adalah sesuatu yang selama ini hanya bisa aku lakukan, lewat foto yang tersimpan di memori komputerku. Aku menunggu terlalu lama untuk saat ini, hingga aku tidak ingin melepasnya. Kami hanya diam. Belum satu kata pun terucap dari bibir kami.

       “Kamu tahu ini tidak akan berlangsung lama.”

       “Bisakah kita membahas itu nanti? Aku menolak untuk membicarakan hal selain saat ini.”

       “Aku hanya tidak ingin kamu kecewa.”

       Aku menggeleng. “Akan lebih mengecewakan kalau aku tidak bertemu denganmu.”

       Jemarinya membelai pipiku. “I miss you. So much.”

       “I guess, I miss you more.”


       “Bagaimana aku bisa percaya dengan kalimat itu?” tanyanya sambil menyunggingkan senyum tipis.

       Aku membalas dengan menggelitik pinggangnya, salah satu hal yang paling dibencinya, tapi tidak pernah membuatku kapok. Bagaimana bisa berhenti jika dia selalu tertawa setiap kali aku melakukannya?

       “Vino, hentikan.”

       Bahkan, ketika dia mengucapkan kalimat itu, wajahnya menunjukkan sebaliknya. Namun, aku berhenti dan menatap wajahnya hingga dia memberikan senyumnya.

       “How are you, dear?”

       “Apa yang ingin kamu dengar?”

       “Bahwa kamu baik-baik saja.”

       “Sayangnya, aku tidak baik-baik saja sejak kamu pergi. Kamu tahu itu.”

       Kembali, dia membelai pipiku. Aku, hanya bisa menatap sepasang mata berwarna biru abu-abu itu, yang menjadi senjata utamanya setiap kali dia merasa bersalah. Lenganku masih melingkar di pinggangnya dan tidak ada niat untuk melepaskannya.

       “I had to leave. I didn’t want to, but I had to. Meninggalkan kamu sendirian bukanlah sesuatu yang aku inginkan. You know I always wanted to be with you.

       Penjelasannya sama sekali tidak bisa aku terima. Dia bisa memilih untuk tetap bersamaku, tetapi dia memilih untuk pergi. Aku tidak mengerti, alasan kuat apa yang membuatnya harus pergi, meskipun aku bisa menduganya.

       “Kamu bisa menunggu kan? Hingga aku kembali.”

       Dia menggeleng. “Ada banyak hal yang tidak bisa menunggu, my dear. Kamu juga pasti tidak bisa mengelak dari pertemuan ini kan? Karena ini harus terjadi.”

       “Aku lebih merasa bahagia sekarang, karena kamu di sini. Jadi, sekalipun dipaksa, aku tidak akan keberatan.”

       “Kamu tetap harus pulang, Vino.”

       “Apa yang akan terjadi kalau aku menolak untuk pulang? Tempat ini nyaman. Aku bahkan tidak perlu lagi pusing dengan banyak hal. Tidak ada alasan kenapa ak harus pergi jika tidak ingin.”

       “Akan ada banyak orang yang merindukanmu. Lagipula, kamu juga tidak bilang ke mereka kan?”

       “Mereka nanti juga akan tahu alasannya.”

       “As much as I want you to stay here with me, I won’t let you because it’s not your place. Yet.”

       “Apa bedanya sekarang dan nanti?”

       “Karena masih banyak hal yang harus kamu lakukan di sana. I will be here, so you don’t have to be scared.

       Dia masih belum berubah. Selalu ingin melindungiku. Bahkan, untuk urusan tidur, dia selalu memilih sisi terdekat dengan pintu. Ketika aku menyarankan agar kami berpindah posisi, dia hanya memandangku dan berkata enteng “Kalau nanti ada orang masuk rumah, kamu bisa melindungku? Aku jauh lebih besar badannya. Paling tidak, mereka akan pikir panjang sebelum masuk ke kamar kalau melihatku dengan satu parang.” Dalam hal apa pun, dia selalu mengutamakan diriku. Belum pernah ada pria yang memperlakukanku seperti dia.

    “Memangnya, apa yang harus aku takuti?”

       Dia tersenyum. “Dengar suara petir saja kamu takut, jadi jangan berlagak sok berani.”

       “Don’t you think I’m brave?”

       Dia terdiam, tapi pandangannya tidak beralih dariku. Dia meragukan ucapannya sendiri setelah mendengarku mengajukan pertanyaan itu. Aku akan mengajukan pertanyaan yang sama, jika orang lain menyebutku penakut.

       “You are. I’m sorry.”

       Aku menggeleng. “Aku berubah.”

       “Menjadi lebih baik.”

       “Aku harap begitu.”

       “Kamu jauh lebih menarik dengan potongan rambut pendek seperti itu.”

       Aku mecibir. “Dulu kamu bilang aku terlihat lebih menarik dengan rambut panjang. Make up your mind, old man.

       Suara tawanya menjadi balasannya, sebelum dia mengacak-acak rambutku, yang tentu saja, tidak punya pengaruh apa-apa.

       “Itu berarti, kamu terlihat menarik dengan potongan rambut apa pun.”

       “Termasuk jika aku botak?”

       “Hahahaha. Aku tahu kamu tidak akan punya keberanian untuk itu.”

       Aku kembali menyandarkan wajahku ke dadanya. Lengannya langsung memelukku erat. Aku merasa kembali menjadi anak kecil yang suka sekali dipeluk Ibu. Biasanya, aku akan langsung tertidur setiap kali beliau melakukannya. Dengannya, semua ketakutan dan kekhawatiranku, terasa jauh di luar jangkauan.

       “You have to promise me one thing.”

       Aku mengangkat wajah untuk menatapnya. Tidak sepenuhnya yakin dengan maksud kalimatnya. Dia selalu punya satu hal yang ingin aku lakukan.

       “Kamu mau aku pulang?”

       Dia menggeleng. “I want you to find someone else.”

       Aku mendesah.

       Bukan kali pertama dia memintaku untuk menemukan pria lain. Alasan yang selalu diberikannya sangatlah tidak masuk akal. Aku menolak dengan tegas semua hal yang dia katakan, karena aku tidak akan pernah melakukannya. I love him deeply that the thought of finding another man to replace him was simply unacceptable and ridiculous.

       “Apakah itu alasan kenapa kamu pergi? Agar aku bisa menemukan orang lain untuk menggantikanmu?”

       “Kamu tahu, kebahagiaan kamu selalu jadi hal paling utama untukku.”

       “Dan kamu juga tahu kalau kebahagiaanku tidak pernah menyankut pria lain. You’re my happiness.

       “I WAS your happiness, Vino.”

       Amarahku mulai naik. “Kenapa kamu selalu bersikeras agar aku menemukan pria lain? You’re more than enough for me. I don’t need other man.

       “Karena aku ingin ada pria lain yang menjaga kamu, Vino. Aku tidak mau kamu sendirian. You deserve someone who will give you happiness, more than I did.

       “Apakah kamu pikir aku tidak cukup bahagia bersama kamu? Aku sangat bahagia.”

       Dia menggeleng. “Aku tidak bicara tentang masa lalu, Vino, tapi sekarang. Aku berharap kamu akan menemukan seseorang. Soon,” dia menegaskan kata terakhir dengan pandangan yang selalu membuatku takluk.

       “My heart still belongs to you! For heaven’s sake!”

       “Bahkan, jika aku yang meminta kamu untuk melepaskannya?”

       “Heart is not an object that you could put on and off as you like.”

       “Cobalah, Vino. Perlahan.”

       Aku menggeleng heran. “Aku sama sekali tidak tahu jalan pikiran kamu.”

       “Kalau kamu ada di posisiku, semuanya akan terlihat masuk akal. Aku yakin, kamu juga ingin orang yang kamu cintai bahagia kan?”

       “Tapi bukan dengan cara seperti ini.”

       “Kita tidak akan menghabiskan waktu dengan berdebat seperti ini kan?”

       Ucapannya itu membuatku sadar. Kami tidak punya banyak waktu. Salah satu dari kami bisa pergi kapan saja. Amarahku mulai mereda.

       “Aku bahkan belum menanyakan bagaimana kabar kamu.”

       Senyumnya tersungging. “Oh, aku baik-baik saja. Paling tidak, aku tidak akan tertidur setiap lima menit.”

       Aku tertawa kecil. “Bagaimana rasanya ada di sini?”

       “Sulit untuk dijelaskan. Bagiku, yang terpenting adalah bisa melihat wajahmu setiap saat. Aku tidak lupa dengan janjiku, Vino.”

       “Sangat tidak adil.”

       Dia mengerutkan keningnya. “Apa yang tidak adil?”

       “This,” jawabku. “Kamu masih bisa menepati janji kamu sementara aku sudah tidak bisa melakukan apa-apa.”

       “Vino, kamu sudah memberiku banyak. Kamu tidak harus melakukan apa-apa.”

       “Kamu tidak keberatan kalau aku menangis?”

       Dia menggeleng. “But not for me.”

       “Aku berhak untuk itu.”

       “Setiap kali kamu menangis, aku juga menangis, Vino. Aku tidak suka melihat kamu sedih. Aku yakin, kamu juga tidak ingin aku sedih. Please stop crying for me, my dear.

       Mataku terasa panas mendengarnya mengucapkan kalimat itu, hingga kemudian, yang aku rasakan hanyalah lengannya yang merengkuhku, sementara aku terisak di dadanya.

       “I wish I could buy you a cake to make you smile.”

       “And you will order banana split, with a lot of whipped cream and with strawberry ice cream only,” ucapku dengan nada bergetar. Aku masih ingat apa saja yang selalu dia pesan di salah satu restoran favorit kami.

       Aku merasakan titkan air di rambutku dan ketika mengangkat wajah, aku melihat matanya memerah diiringi dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya.

       “I miss you so much, Vino. I miss doing everything with you.”

       Aku merasakan jarinya mengusap pipiku dan aku melakukan hal yang sama. Dia tersenyum sebelum mengecup keningku. Air mataku rasanya tidak bisa berhenti, terlebih ketika aku merasakan bibirnya menyentu keningku. Ini adalah satu dari sekian banyak hal yang aku rindukan darinya.

       “Kamu harus kuat. I’m proud of you but you have to make me prouder. Promise me that.”

       Aku hanya bisa mengangguk.

       Tubuhnya menegang dan ketika aku mengikuti pandangan matanya, rasa gugup menyelimutiku. Jangan sekarang, aku mohon...

       “Kamu harus pergi, Vino.”

       Aku menggeleng. “Aku masih ingin di sini.”

       Lengannya menarik tubuhku mendekat dan tangisku kembali pecah.

       “You’ll be fine...you have to be strong...”

       Aku bisa mendengar suaranya dengan jelas, tapi kelamaan, suaranya semakin menjauh dan tubuhku terasa ditarik paksa agar terlepas darinya. Ketika akhirnya menyerukan namanya, lenganku merengkuh udara dan sosoknya menghilang...

       ***

       Perlahan, aku membuka mata. Terasa sangat berat dan juga perih. Ketika ingin menelan ludah, tenggorokanku seperti diiris oleh pisau hingga aku hanya bisa menahannya sambil berusaha membuka mataku lebih lebar.

       Cahaya temaram yang mengisi ruangan ini, juga suara lirih yang ketika aku menemukan sumber suaranya, adalah sebuah mesin. Aku terkejut mendapati lenganku penuh dengan selang sementara tubuhku terasa begitu lemah. Tidak ada satu pun ingatan yang bisa memberikan penjelasan kenapa aku bisa ada sini. Aku berusaha menggerakkan lenganku, tapi terasa begitu berat dan juga lemah. Tidak ada siapa pun di ruangan ini.

       Aku menghela napas pelan dan mimpi yang aku alami terasa begitu nyata, hingga perlahan, air mataku kembali mengalir.

       Sebuah bayangan berdiri di sudut kamar, tersenyum. Dia mengenakan kaus kuning yang selalu dipakainya jika ke pantai dan wajahnya terlihat begitu bahagia. Aku hanya bisa menelan ludah tanpa mampu beranjak dari tempat tidur untuk menghampirinya.

       Dia menggeleng pelan. “Take care, Vino. I love you as always.”

       Dan sudut kamarku pun kembali kosong.

       Mataku menatap langit-langit dan berharap, dia akan datang lagi. Aku tidak peduli di mana atau kapan, asalkan bisa menyentuhnya, mendengar suaranya memanggilku dan mendapatkan pelukan darinya, aku akan cukup bahagia.

       Sudah enam bulan berlalu sejak aku kehilangannya. He’s gone, while I’m still here.

       Life, must go on, even if I could, I prefer to be with him, wherever he is at the moment...
Sign In or Register to comment.