It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
cerita dengan latar kota Koln, jerman.....bikin aku mau ke sana! insyaAllah ke sana, pas ke belanda tahun ini
lebih suka nyebut cologne bridge ketimbang yg susah itu namanya hehehehe
cheers kang abi
HIM
“Are you okay?”
Aku bisa menjawabnya dengan “Yes, why shouldn’t be?” atau aku bisa menggunakan kalimat “Never been better” dan pilihan ketiga adalah “Why did you ask me that question now?”, sementara mataku menangkap pandangannya.
“Sure!”
Tentu saja, jawaban itu adalah sebuah kebohongan besar. Jika ini adalah terakhir kalinya kami saling bertatap muka, aku tidak akan segan menggunakan pilihan keempat. “I’m not! You’ve fucked up my mind and my heart!” Bukankah itu jawaban yang pantas dia terima atas pertanyaannya?
Dengan kedua tangan yang dimasukkannya ke saku celana, baseball cap yang sengaja dibalik dan jaket merah marun -yang sepertinya tidak pernah keluar dari lemarinya, hingga membuatku ingin tahu kenapa akhirnya dia memakainya-, mudah untuk menilainya sebagai pria angkuh yang tidak pernah peduli dengan hal apa pun selain dirinya sendiri. Beberapa helai rambut yang menyembul keluar dari topi yang menutupinya, tertangkap mataku. Kaus hitam yang dipakai di balik jaketnya, juga tidak lepas dari pandanganku. Namun, yang tidak mungkin terlewat oleh penglihatanku adalah rambut-rambut halus yang mengitari bibirnya. Dia tersenyum tipis.
“Boleh aku duduk di sini?”
Aku hanya mengangguk.
Entah dia berencana untuk pergi ke tempat lain ketika melewati tempat ini dan memutuskan untuk memberikan sapaan basa-basi ketika melihatku atau dia berniat untuk kembali ke apartemen, setelah bertemu dengan seseorang atau pulang dari sebuah tempat, aku tidak yakin. Namun, aku bisa mencium aroma parfum yang selalu dipakainya. Aneh memang, bahwa di antara semua wewangian alam yang mengelilingiku, aromanya masih cukup kuat untuk menembus penciumanku. Aku menelan ludah ketika melihatnya menyandarkan punggung dan membuka topinya. Rambutnya sudah cukup panjang dan dia mengacaknya -sesuatu yang dengan sukarela akan aku lakukan- sebelum mengalihkan pandangannya ke arahku.
Bagaimana mungkin pria ini bisa mengacaukan hati dan pikiranku, seperti dia berkuasa atas hati dan pikiranku sepenuhnya?
“Kita sama sekali belum bicara berdua sejak malam itu.”
Malam itu!
Jawabanku adalah meluruskan kaki dan menghela napas panjang. Mataku teralih ke merpati-merpati gemuk yang berkeliaran mengisi taman ini, sementara mata mereka tidak pernah lepas dari segala sudut, untuk mengawasi apakah ada remahan yang bisa mereka kejar, hanya sekadar camilan di siang yang masih cukup terik. Mendapatkan hari secerah ini di bulan Januari, adalah sebuah kebetulan luar biasa yang harus dimanfaatkan. Aku dan dia jelas hanya dua dari sekian ratus ribu orang yang berada di alam terbuka. Aku memicingkan mata ketika melihat satu bocah -yang kutaksir usianya tidak lebih dari lima tahun- jatuh, hingga tangisnya langsung pecah. Beberapa orang berkerumun untuk menghampiri bocah itu sementara sang Ibu berusaha untuk menghentikan tangis dan menggendongnya.
Tidak berhasil.
Aku tidak bisa membuat pikiranku teralih, ketika itu yang berusaha aku lakukan saat mendengar pertanyaannya. Aku selalu percaya, dia sudah melupakan malam itu, sementara aku masih berusaha untuk melupakannya, tetapi selalu menemui jalan buntu. Tembok di depanku terlalu kokoh untuk dihancurkan. Mana yang harus aku pakai untuk membalas kalimatnya? “Yes. Because I thought you have forgotten about it.” atau “Why didn’t you tell me and then we can talk?” atau “Because I never knew that you would like to talk about it.”
“I know.”
Dia memakai kembali topinya, kali ini tidak terbalik, sementara matanya masih dengan penuh menatapku.
“Aku minta maaf untuk malam itu.”
Mendengarnya mengucapkan kalimat itu, aku seperti dilemparkan ke dalam set sebuah film, di mana sudah terlalu banyak adegan seorang pria meminta maaf dan seorang wanita membalasnya histeris dengan mengatakan, bahwa maaf tidak akan mengembalikan utuh apa yang sudah terjadi. Seperti sebuah kematian, yang tidak mungkin dikembalikan. Permintaan maafnya tidak akan membuat rasa kecewa yang aku rasakan, hilang hanya dengan itu. Pun, akhir kejadian malam itu tidak akan berubah dengan kata maafnya. Serta, aku tidak melihat alasan kenapa dia harus meminta maaf. Aku mengatakannya malam itu bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan. Kenapa sekarang dia kembali meminta maaf?
“Aku sudah bilang permintaan maaf itu tidak perlu.”
“Aku hanya ingin tahu bagaimana kamu menjalan hari-hari setelahnya. Jika kamu bilang kalau kamu baik-baik saja, aku tidak akan percaya semudah itu, meski aku berharap seperti itu.”
Aku terdiam, sementara pikiranku mulai memanggil semua deretan kata yang pernah terpikir ketika membayangkannya mengajukan kalimat seperti itu. Tidak dipungkiri, bahwa ilusi akan kalimat seperti itu meluncur dari mulutnya, sempat menggodaku. Namun, membayangkannya merendahkan harga diri untuk benar-benar mengatakannya, cukup membuatku kembali sadar. Bahkan, aku masih bisa menangkap sedikit keangkuhan dalam kalimat itu. Jauh di dalam hatinya, dia akan bangga jika mendengarku mengatakan bahwa cukup sulit untukku menjalani hari-hari setelah malam itu. Dia, bahkan mungkin akan tertawa, karena sekali lagi, berhasil menjebak sebuah hati untuk masuk perangkapnya. Bukankah itu maksud yang terselip di balik kalimat yang diucapkannya malam itu?
“Yang jelas, aku tidak menghabiskan hari-hariku dengan diam di kamar dan berharap kamu mengatakan hal lain malam itu. Sorry to disappoint you, but I wasn’t that desperate.”
Tawa kecil itu tertangkap oleh telingaku. Aku, dengan sukarela, menggabungkan milikku dengannya. Aku menertawakan diri karena kesediaanku untuk berbohong demi pria yang dengan lantang menyerukan, hati kami tidak terhubung sama sekali, sementara dia, siapa yang tahu? Mungkin dia juga menertawakan dirinya sendiri.
Selama fisiknya tidak tertangkap oleh penglihatanku selama dua minggu, suara tawanya adalah salah satu yang berusaha aku sisihkan dari ingatan. Tidak ada yang lebih menggodaku untuk melanggar apa yang dia minta malam itu, selain untuk mendengar suara tawanya. Tawanya membawa begitu banyak perubahan. Dia terlihat jauh dari kesan angkuh. Aku percaya, jika ada seseorang yang cukup kuat untuk mengubah pikirannya, dia bisa mencoba menggeluti dunia tarik suara. Aku tidak bercanda. Suara tawanya memang semerdu itu. Belum lagi, kalimat yang selalu keluar dariku setiap kali dia tertawa.
“You should laugh more. You look more attractive because it brightens your gloomy face.”
“Thank you.”
Adalah balasan yang selalu diberikannya. Hanya terima kasih. Tanpa embel-embel apa pun. Bukankah tidak sulit untuk sekadar menambahkan “It’s very nice of you to say that.” atau sekadar “You’re the first one who said that.”? Harga dirinya pasti berperan besar atas kalimat singkat yang tidak pernah punya kesempatan untuk bersanding dengan kalimat yang lebih panjang. Yang menciptakan kalimat bahwa cinta terkadang tidak butuh alasan adalah orang yang sangat munafik. Aku justru membutuhkan kalimat itu sekarang, karena menemukan alasan kenapa hatiku memilihnya untuk dikecewakan adalah sebuah misteri. Namun, aku juga memuja siapa pun yang menemukan teori opposite attract, karena kasusku dengannya jelaslah satu dari sekian, entah berapa dari pembuktian teori itu.
“Are you okay as well?”
Dia hanya mengangguk.
Pengakuannya malam itu menerangi satu sisi dirinya yang selama ini tertutup awan gelap. Dibalik topeng yang dipakainya, -dan dia pun mengakuinya- untuk menunjukkan kepada semua orang, betapa dia tidak akan pernah terpengaruh dengan remeh temeh soal hati dan perasaan, ada satu sudut yang memuja kenangannya akan seorang pria di tanah kelahirannya. Dari ekspresinya, dia jelas menelanjangi satu sisi dirinya malam itu. Dia tidak ingin terlihat rapuh dan berusaha untuk menyudahi hatinya untuk pria yang bahkan, tidak menginginkan sebuah hubungan atas apa yang mereka miliki. Dia ingin terlihat acuh atas perasaannya sendiri di depan semua orang. Aku menamparnya dengan kalimat malam itu. Manusia diciptakan untuk menjadi sesekali rapuh dalam kehidupannya. Dia, tentu saja menyanggahnya. Terkadang, aku ingin benar-benar menamparnya serta meneriakinya bahwa dia tidak akan bertahan menunjukkan sisi maskulinnya terus menerus dalam hidup.
“Apakah kamu masih bertukar kabar dengannya?”
“Dengan siapa?”
“The guy who still keeps your heart and haven’t returned it to where it should be.”
Dia tidak mengucapkannya, tetapi ada suara ‘oh’ pelan yang keluar dari mulutnya. Dia mengembuskan napas dengan kuat sebelum mengalihkan matanya dariku. Aku bertahan dengan menatap wajahnya yang disinari matahari. Menyiksa diri dan menyimpan gambar mengenai dirinya sekarang, yang mungkin tidak akan pernah beranjak dari memoriku, hingga ada pria yang benar-benar bisa mengusirnya dengan paksa dari hatiku.
“I do.”
“Mungkin kamu harus mulai memintanya untuk mengembalikan hatimu.”
Dia tertawa pelan dan singkat.
Aku mengartikannya sebagai pengganti “I wish I could and
know how”. Kalimat yang aku ucapkan, memang bertujuan untuk membuatnya tahu, bahwa masih ada kemarahan yang tersisa dalam diriku atas malam itu. Kemarahan akibat rasa kecewa karena dia telah mengacaukan hatiku dan membiarkan alasan bahwa hatinya masih milik pria lain yang berada puluhan ribu kilometer, merusak ilusiku. Rasa tidak terima bahwa aku tidak mampu membiarkan hatinya menoleh -hanya sekedar menoleh- ke arahku, masih cukup menguasaiku. Tahukah dia bahwa setiap pagi, aku membiarkan telingaku diisi lagu-lagu yang menumbuhkan kemarahan yang tidak ada, hanya sekedar untuk membuatku menurunkan tingkat perasaanku terhadapnya? Sejauh itu aku melangkah untuk memanipulasi apa yang tumbuh dalam hatiku. Dia, tentu saja tidak pernah akan tahu. Mungkin lima tahun dari jam ini, ketika aku sudah mampu mematikan perasaanku terhadapnya.
“Terkadang, kamu harus membiarkan perasaan itu hilang dengan sendirinya. Semakin kamu memaksanya, semakin kuat dorongan untuk menyimpannya. Aku tidak ingin memaksanya mengembalikan hatiku saat ini. Maybe one day.”
“You love him that much.”
Dia menyeringai. “I don’t know if I love him that much. All I know is he’s still there.”
“Kamu bisa bilang iya. Lebih gampang.”
“Kamu tahu masalah hati tidak pernah segampang itu.”
“In your case, I guess, it’s not complicated at all.”
“You don’t know me.”
Aku terdiam.
Pembelaan apa pun yang akan keluar dari mulutku, tidak akan mampu menyanggah apa yang baru terucap darinya. Aku mengira mengenalnya, tapi yang selama ini membuat hatiku bertekuk adalah topeng yang dipakainya. Topeng itu memang tidak sepenuhnya palsu, tapi cukup untuk membiarkan dirinya yang sebenarnya, bersembunyi cukup dalam. Sayangnya, kesempatan untuk menguak sedikit di balik topeng itu, sudah tertutup bagiku. Dia akan selalu menjadi pria seperti itu dan aku akan benar-benar akan angkat topi, jika ada pria yang mampu membuatnya tertunduk untuk melepaskan topeng yang dipakainya.
“Because you don’t let me.”
Dia menatapku.
“Kalau kamu memang ingin melampiaskan kemarahan atau rasa kecewamu, lampiaskan. Jangan sisakan sedikit pun.”
Sekarang, giliranku untuk menyeringai.
“Bukankah rasa marah atau kecewaku, tidak akan berubah hanya karena aku melampiaskannya? Lupakan.”
Kami kembali diam.
Embusan angin mulai membuat tubuhku menggigil, sekalipun aku mengenakan empat lapis baju. Untuk pertama kalinya sejak dia duduk di sini, aku menginginkan berada di kamarku. Sendiri, membiarkan selimut menghangatkan tubuhku sembari menonton film atau sekedar mendengarkan musik. Mungkin, gemuruh di dadaku tidak akan sehebat ini. Perasaan yang berusaha aku ubah itu, sudah terlalu dalam tertancap, hingga akan butuh waktu untuk menariknya keluar, sekalipun dengan paksa. Jika dia menganggap apa yang aku rasakan kepadanya, hanyalah sebuah perasaan sementara yang akan hilang dengan mudah, aku bisa dengan sigap membantahnya. Dia juga tidak akan bisa memaksaku untuk menarik kembali apa yang sudah menjadi miliknya.
“Kalau nanti aku menemukan seseorang, kamu akan jadi orang pertama yang aku beri tahu. Meanwhile, let’s just be what we’re supposed to be. Friends.”
Masih terasa menyesakkan mendengarnya mengucapkan kata itu. Dia seperti ingin menasbihkan kata itu agar selalu menjadi bagian dari kami. Jika bisa, dia mungkin akan membuat tato kata itu di keningnya, agar aku bisa membacanya setiap kali kami bertemu. Harapanku memang belum sepenuhnya hilang. Namun, aku juga tahu, harapanku itu hanya tinggal berupa abu. Dengan sedikit embusan, akan terbang dan menyatu dengan partikel udara.
Mungkin, kali ini, aku harus percaya dengan pepatah yang bilang, bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya. Aku selalu skeptis dengan pepatah itu. Waktu tidak akan mampu bekerja dengan baik jika pikiran atau hati kita masih tersangkut pada satu hal, yang sama sekali tidak berhubungan dengan waktu. Rasanya, aku hanya harus menunggu. Apakah waktu memang benar akan mengikis perasaan ini tanpa aku sadari atau aku akan menghabiskan waktu berusaha untuk menyingkirkannya dari hatiku.
“Hanya satu hal.”
Dia memberiku kembali tatapannya, yang sejak pertama kali melihatnya, membuatku merasa bahwa ada ketertarikan dalam dirinya kepadaku. Aku membenci tatapan itu, karena ketakutan untuk terjebak dalam bayangan yang tidak mungkin jadi nyata, kembali terlintas di depanku. Dia mungkin melakukannya dengan sengaja, untuk melihat dan menilai, apakah aku masih bisa terjebak dalam lingkaran yang sengaja dibuatnya untuk membuat pria menyodorkan hati kepadanya.
“Jangan harap aku untuk bisa mengubah perasaan ini dengan cepat. It’s still there. It’s still freshly wounded, but not dead. I want you to remember that.”
Dia mengangguk pelan, sebelum aku melihat jakunnya naik turun. Bangkit dari sampingku, dia kembali memasukkan tangannya ke saku celana dan membalikkan topinya. Mataku menangkap setiap gerakan tubuhnya, sembari menunggu, apakah dia akan memberikan balasan atas ucapanku. Atau, anggukan yang diberikannya, sudah dirasanya cukup sebagai balasan. Sekali lagi, dia membiarkan keangkuhan egonya, menolak untuk sekadar menengok ke bawah.
“I will remember that. See you in the office tomorrow.”
Dia berlalu begitu saja tentunya. Tanpa ucapan “Have a nice day!” atau “It was nice talking to you”. Sementara mataku menangkap punggungnya yang semakin menjauh, aku tidak berani membayangkan bagaimana kami akan bersikap besok.
Aku menggelengkan kepala untuk mengusir bayangan yang tidak bisa diketahui dengan pasti hasil akhirnya. Que sera, sera. Apa pun yang terjadi, terjadilah. Paling tidak, dia sudah tahu bahwa perasaan itu masih ada.
Matahari sudah condong ke barat, dan angin yang mulai membuat tanganku memucat dan ujung hidungku menjadi dingin, membuatku beranjak dari bangku.
Aku hanya sadar, sisa hari ini, namanya akan berulang kali, memenuhi otakku.
Dear all,
Ini akhirnya ada cerita yang beneran cerita Nanti, ada dua cerita di ANTOLOGI yang bakal terbit tahun ini, yang sangat berhubungan dengan cerita ini. Jadi, akan ada tiga cerita yang punya satu benang merah. Apa benang merahnya? Harus beli dan baca yang pasti, hehehe.
Di ANTOLOGI nanti juga akan ada cerita tentang Lukas dari Twenty Four, paska Satya dan Stefan. Selain itu, akan ada 3 novelet dan 3 cerita yang belum pernah di-publish di mana pun. Nanti akan di-inform kalau semuanya udah siap, tapi yang pasti tahun ini .
@arieat : maaf, hehehe. Udah dibaca belum?
@tama_putra : kalau grammar-nya sempurna kan lebih baik
@jamesfernand084 : Belum ada rencana ke sana, hehehe. Cuma nyoba2 aja kok, sekalian ngelatih vocab
@RezzaSty : Loh, kenapa sedih?
@kiki_h_n : Udah dibaca belum? Hehehe
@Kanemuraben : Hehehe, masih kangen nggak ama ceritanya?
@Andropogon : Ah, masak berat? Hehehe. Belum pernah baca Max Havelaar malah. Karena benttuk seperti ini yang masih bisa aku utak-atik karena kalau nulis kayak cerita biasa dalam Bahasa Inggris, aku masih belum pede
@BocahIlang : Aku juga mau ke Cologne April nanti
@sascha : Udah dapet momennya belum?
@bowamz : Hehehe, daripada nggak ada yang di-upload kan? Hahaha
@timmysuryo @yeltz @kimo_chie @Adra_84
@adam25 @tyo_ary @Kim leonard @chandisch @christian9denny@Adamx @yeniariani @gege_panda17 @ABI_Manyu @DarrenHat @iansunda @justifie @tialawliet @masdabudd @BB3117 @zackattack @rarasipau @hwankyung69 @kyiskoiwai @WinteRose @Venussalacca @Zhar12 @Lonely_Guy @faghag @Emtidi @iboobb7 @3llo @masa_depan @BenNext @andreaboyz @peace123456789 @AryaPutra_25
Buat yang nggak ke-mention, minta maaf ya?
Cheers,
ABI
ego yg menguasai hati
ada disc?
ego yg menguasai hati
ada disc?
Tp suka bgt sama kalimat ini : ", karena menemukan alasan kenapa hatiku memilihnya untuk dikecewakan adalah sebuah misteri "
Maksih masih di mention walau jarang coment
tetep yah ciri khas nya abi.. satu scene tuh bisa jadi cerita yang panjang.. hehe.
ga sabar lah nunggu bukunya @abiyasha kabarin yah mas..