It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Oiya, Mas Abi yang soal Lucas dibuat cerpennya dong. Dia ketemu pengganti Satya gitu. Biar bahagia. Aq masih dirundung duka.
December 18, 2013
Mendung masih menggantung di atas langit London sejak siang tadi. Jaket tebal yang membungkus badanku, serta sepatu boot yang akhirnya aku pakai, setelah tiga tahun hanya tersimpan di dalam lemari, masih tetap membuatku kedinginan. Cuaca panas Indonesia sudah benar-benar membuat tubuhku sulit beradaptasi dengan udara dingin London di bulan Desember. Apa yang melintasi pikiranku ketika aku memesan tiket ke London dan memutuskan menghabiskan libur akhir tahun di sini? Entahlah. Just blame my impulsiveness. Padahal, selama enam tahun tinggal di London, aku paling membenci musim dingin dan apa yang aku lakukan sekarang? Memilih London sebagai tujuan di penghujung tahun ini. Ironis? Bodoh? Tolol? Rasanya, kata-kata itu bahkan terlalu sederhana untuk menjelaskan keputusanku.
Aku menghela napas panjang sementara mataku sejak tadi, tidak lepas menatap pohon natal yang berdiri gagah tidak jauh dari tempatku berada. Setiap tahun, pohon Natal yang tingginya bisa mencapai 24 meter, pemberian dari pemerintah Oslo untuk dipajang di Trafalgar Square, memang menjadi atraksi tahunan yang menarik banyak orang. Mungkin, itulah alasan kenapa sejak satu jam yang lalu, aku masih belum beranjak dari anak tangga di depan National Gallery, mengabaikan tubuhku yang berontak, memintaku untuk angkat kaki dan berjalan kembali ke hotel dan menghangatkan tubuhku di sana. Sejak meninggalkan London tiga tahun lalu, aku belum pernah kembali lagi ke sini. Sekalipun ada rasa sesal kenapa aku memilih London sebagai tujuan akhir tahun, namun, melihat betapa gagahnya pohon Natal itu, penyesalan itu sedikit berkurang. Mungkin, karena kenangan indah yang aku miliki dengan Trafalgar Square dan pohon Natal itu yang membuat rasa sesal itu menyisih. Apa yang terlintas di kepalaku saat ini, sebuah kenangan empat tahun lalu yang sama sekali tidak pernah kabur, sekalipun selama tiga tahun terakhir, kenangan itu berusaha digantikan perasaan putus asa dan harapan tak berujung, adalah sebuah kenangan yang membuat kedua ujung bibirku membentuk sebuah senyuman. Teringat, betapa bahagianya aku saat itu…
***
December 18, 2009
“3,5 years. Unbelievable,” ucapku pelan.
“And there will be more, Gus. With this.”
Aku menatap Don, ketika dia mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya dan membukanya tepat di hadapanku, tanpa memberi jeda sedetikpun bagiku untuk mencerna kalimatnya. Bahkan sebelum Don membukanya, aku tentu tahu apa isi kotak kecil itu. Tapi, tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Yang aku lakukan adalah, memandang wajah Don dengan tatapan bingung, seperti tidak tahu apa yang akan dilakukan Don dengan cincin itu.
“A ring?”
“Be my legal partner, Gus. I know, the government will not count it as a marriage, but to me, it will be a marriage. I’m just tired of you being my boyfriend,” Don mendekatkan tubuhnya hingga tidak ada jarakpun diantara kami selain dua jaket tebal yang membungkus tubuh kami. “Will you be my forever, Gus?”
Apakah ada pertanyaan lain yang jauh lebih tepat diucapkan selain kalimat itu sekarang? Bukan saja karena pertanyaan Don, namun juga karena kami berdua sedang duduk di anak tangga di depan National Gallery, dengan ratusan orang lalu lalang di sekitar kami yang mungkin tersenyum ataupun bergunjing begitu melihat cincin di tangan Don , pohon Natal setinggi 20 meter dengan ratusan lampu yang berkelip-kelip menghiasinya dan lagu-lagu Natal yang sayup-sayup mengalun mengisi udara dingin London. Genggaman tangan Don yang cukup untuk menghangatkan tubuhku, juga membuat semuanya terasa begitu…tepat? Sempurna terdengar berlebihan.
Senyum tipis Don masih belum meninggalkan wajah ovalnya yang dibingkai kaca mata tanpa bingkai. Jenis senyum yang aku sadar selalu diberikannya ketika dia ingin bersikap misterius dan membiarkanku menebak apa yang ada di pikirannya. Biasanya, aku hanya membiarkannya berlalu begitu saja karena aku bukan orang yang suka menebak-nebak sesuatu, apalagi pikiran orang. Namun, kali ini, aku ingin tahu bagaimana Don bisa menyembunyikan ini dariku. Kami sudah tiga tahun tinggal serumah dan tidur di tempat tidur yang sama. Kami sama sekali tidak pernah membahas untuk melegalkan hubungan kami karena kami sama-sama sadar, bahwa kebersamaan yang kami miliki, sudah lebih dari cukup. Apa yang mengubah pikiran Don hingga berniat untuk melegalkan hubungan kami, adalah sesuatu yang memenuhi pikiranku saat ini. Belum lagi keputusannya untuk mengajukan pertanyaan itu di sini, di anak tangga di depan National Gallery!
“Are you going to say something? Or should I put it back in my pocket?”
Don bahkan tidak repot-repot untuk memberikan penjelasan untuk pertanyaan-pertanyaan di kepalaku, yang aku yakin, disadarinya. Dia pasti sudah merencanakan ini jauh-jauh hari, bahkan, aku tidak akan terkejut jika nanti mengetahui bahwa sudah berbulan-bulan dia merencanakan ini. Aku harus menginterogasi Emily, satu-satunya orang yang tahu kenapa Don berubah pikiran. Untuk saat ini, aku hanya harus menjawab pertanyaan Don. I’ll think about the rest later.
“Mr. Donald Sutton, yes, I want to be your legal partner so please put that ring on and let’s get out of here.”
Senyum Don melebar sebelum akhirnya, menyematkan cincin itu di jariku. Aku hanya bisa tersenyum lebar dan membiarkan bibir Don menyentuh bibirku, mengirimkan rasa hangat ke seluruh tubuh dan juga hatiku. Mungkin bukan karena ciuman itu saja, tapi karena perasaan yang menyelimutiku. Jemari Don menyapu pipiku sebelum akhirnya tangannya kembali menggenggam tanganku.
“We’ll tell everyone on Christmas’ dinner and I believe, they will be happy knowing this.”
Aku hanya mengangguk. “Apakah ada yang tahu kamu merencanakan ini?”
Don menggeleng. “Aku tahu, siapapun orangnya, bahkan Emily sekalipun pasti tidak akan bisa menyimpan ini dari kamu. So, I just kept this for myself.”
Aku memandang cincin yang tersemat di jari manisku sebelum kembali menatap Don, yang lengannya sudah melingkar di pundakku.
“Thank you, Don.”
“Aku seharusnya melakukan ini dari dulu, Gus. Jadi, ucapan terima kasihmu itu sangat tidak pas.”
“You’re still the most annoying person I’ve ever met in my life.”
“But this most annoying person you’ve ever met, is going to be on your bed, everyday, in a long long time.”
***
December 5, 2010
“You’re crazy, Gus!”
Kemarahan Emily bukan tanpa sebab dan aku sama sekali tidak menyalahkannya untuk itu. Aku memang akhirnya memutuskan untuk meninggalkan London. Sebuah keputusan luar biasa berani, yang bahkan, tidak pernah terlintas olehku sejak aku mengenal Don. Meninggalkan London berarti menjauhkan diriku dari semua kenangan yang aku miliki bersama Don di setiap sudut kota ini. Tetap berada di London hanya akan membuatku semakin kehilangan harapan dan kehilangan keberanian untuk menjalani hidupku. Kenangan yang aku miliki bersama Don adalah satu-satunya hal yang bisa membunuhku.
“I have to do this, Em. It’s impossible for me to be here with all the memories I have about Don.”
Emily hanya menghela napas panjang. Aku bisa melihat bahwa dia kecewa dengan keputusanku, tapi, aku sudah membulatkan tekad untuk kembali ke Indonesia.
“Jadi, kamu sama sekali tidak punya harapan bahwa Don masih hidup?”
Aku menggelengkan kepala. Bukan karena aku tidak percaya tapi lebih karena aku tidak tahu jawaban atas pertanyaan Emily. “Aku tidak tahu, Em.”
Sudah tiga bulan sejak kantor berita tempat Don bekerja, memberiku kabar bahwa Don dan dua kru lainnya menghilang ketika sedang meliput berita di Somalia. Ketika aku menerima telepon dari Sean yang mengabarkan berita itu, aku seperti tidak percaya bahwa ketakutanku akhirnya menjelma menjadi sebuah kenyataan. Ketakutan yang selalu sirna setiap kali Don kembali dari tugas reportasenya dan merasakan tubuhnya memelukku. Don selalu pulang dalam keadaan utuh dan kecemasan serta ketakutanku akan menghilang setiap kali aku melihat sosoknya. Sejak mengetahui profesi Don, aku sadar bahwa mentalku harus siap untuk mendengar berita seperti itu. Namun, sesiap apapun mental yang aku persiapkan selama empat tahun hubunganku dengan Don, aku tetap tidak bisa menerimanya. Namun, telepon di senja bulan September itu membuatku merutuki semua hal yang membuat Don harus pergi ke sana.
Selama tiga bulan, hampir setiap hari aku menghubungi Sean dan berharap akan mendengar berita dari Don. Akan lebih melegakan mendengar berita bahwa Don meninggal dan melihat jasadnya daripada berada dalam ketidakpastian seperti itu. Tentu saja aku berharap Don akan pulang, dalam keadaan hidup. Namun, setiap hari yang aku lalui dan kecemasan serta ketakutan akan benar-benar kehilangan Don, membuatku sempat terpikir untuk pergi ke Somalia dan mencari Don, yang tentu saja, tidak akan membuat segalanya jadi lebih baik. Harapan yang aku miliki semakin hari semakin menipis, hingga akhirnya, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan London. Bukan karena aku sudah tidak betah tinggal di London, tapi karena aku tahu, setiap sudut London membangkitkan kenanganku akan Don. Belum lagi harapan yang bercampur dengan ketakutan serta kecemasan yang aku rasakan, bisa membuatku jadi gila. Aku sendiri tidak yakin, apakah kepulanganku ke Indonesia akan membantu.
Don adalah bagian terpenting dalam kehidupanku. Kepergianku dari London, adalah untuk kembali membuatku merasa optimis dan semoga, aku akan mendengar kabar dari Don begitu aku sampai di Indonesia.
“Kamu masih mencintai Don kan Gus?”
Aku mengeluarkan tawa kecil mendengar pertanyaan Emily. Lucu.
“Your question is just ridiculous, Em. Silly. Of course I still love him. I’m still wearing this,” jawabku sambil mengangkat tangan kiriku dan menunjukkan ke Emily, bahwa aku masih mengenakan cincin yang diberikan Don Desember tahun lalu. “Hanya karena aku kembali ke Indonesia, bukan berarti aku melupakan Don, Em. Aku hanya tidak sanggup harus hidup di London dan melihat semua kenanganku bersama Don di setiap sudut kota ini.”
“Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang?”
“Karena aku tidak mau ada orang yang menahanku di sini, Em. Termasuk kamu. Karena aku tahu, begitu aku memberitahu kamu dan teman-temanku yang lain, kalian akan melakukan apapun agar aku tetap di sini. I didn’t tell anyone but few people in the office.”
“Kapan kamu berangkat?”
“Minggu depan.”
Aku memang sengaja berangkat sebelum tanggal 18 karena aku tahu, berada di London, terutama di Trafalgar Square, melihat pohon Natal dan mendengar lagu-lagu Natal di sana, akan sama halnya membunuh diri pelan-pelan. Kenangan Don dan apa yang dia lakukan pada tanggal 18 Desember tahun lalu, akan begitu kuat membuat dadaku sesak jika aku tetap di sini. Paling tidak, di Indonesia, akan banyak teman dan keluarga yang, aku yakin, bisa mengalihkan pikiranku. Paling tidak, itu yang aku harapkan.
“Promise me we’ll stay in touch, Gus and promise me that you’ll come back to London.”
Aku mengangguk.
***
Aku mengembuskan napas mengingat kembali apa yang pernah terjadi denganku di tempat ini empat tahun lalu. Jemariku memainkan cincin yang diberikan Don, yang sama sekali tidak pernah aku lepaskan sejak meninggalkan London. Cincin ini, seperti satu-satunya harapan yang aku miliki bahwa Don masih hidup, karena begitu aku sampai di Indonesia, aku tidak mendengar apapun mengenai keberadaan Don. Selama tiga tahun. Apakah dia meninggal ataukah dia masih hidup namun memilih untuk menghilang dari kehidupanku, aku sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak pernah membahas masalah ini dengan Emily ataupun teman-temanku yang lain, yang sejak kepergianku, hubungan kami jadi semakin menjauh dan berubah menjadi sekedar sapaan singkat di Facebook atau Skype. Bahkan, tidak satupun dari mereka yang mengetahui bahwa aku sedang berada di London sekarang.
Langit diatasku terlihat semakin menggelap dan sore sudah beranjak memasuki malam. Perlahan, lampu-lampu yang menghiasi pohon Natal mulai dinyalakan hingga perhatian beberapa orang terhenti untuk mengagumi betapa terangnya lampu-lampu itu menghiasi pohon Natal. Trafalgar Square pun perlahan, mulai dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menyaksikan lampu-lampu itu atau hanya ingin sekedar mendengarkan lagu-lagu Natal yang dilantunkan. Dalam sekejap, suasana menjadi begitu riuh dan keriuhan itu sedikit banyak memenuhi kepalaku hingga aku terhanyut oleh suasana sekitar.
Seperti senja yang sudah beranjak, akupun kemudian memaksa tubuhku untuk bangkit dari anak tangga yang entah sudah berapa lama bosan oleh kehadiranku di sana dan melangkahkan kakiku mendekat ke pohon Natal yang membuatku merasa, mungkin, kedatanganku ke London kali ini, sama sekali bukan hal yang tolol atau bodoh. Aku memang masih menyimpan harapan akan Don, diantara keputusasaan, ketidakyakinan, keraguan, bahwa dia akan muncul kembali dalam kehidupanku. Tiga tahun tidak mampu membuat pria manapun mengusir Don dari hatiku.
“I wish you were here, Don…” ucapku kepada pohon Natal yang berdiri dengan gagah di hadapanku.
“I’m here.”
Napasku terhenti.
Perlahan, aku mengalihkan pandangan dari pohon Natal di hadapanku dan begitu mataku terpaku pada seseorang yang berdiri di sampingku, aku seperti melihat malaikat, yang tiba-tiba saja hadir untuk menanyaiku tentang satu keinginan untuk Natal tahun ini. Tubuhku membeku ketika mengetahui bahwa seseorang itu adalah Don. Ini pasti hanya ilusiku saja. Don tidak mungkin ada di sini sekarang.
Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan yang ada di hadapanku saat ini. Berusaha mengembalikan pikiranku ke saat ini, di Trafalgar Square, diantara ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang sedang memenuhi tempat ini. Namun, sepertinya, aku tidak berhasil.
“You’re not dreaming, Gus. This is me, the most annoying person in your life.”
Ingin rasanya aku memercayai pendengaranku, tapi, suara itu…suara yang selama lebih dari tiga tahun hanya bisa aku dengar melalui rekaman video yang kami miliki, menyebutkan namaku. Ini tidak mungkin terjadi. Aku pasti bermimpi. Mungkin, aku sudah mulai gila melihat sosok Don berdiri, dengan jaket coklatnya, tatapan matanya yang seperti mampu menembus tubuhku sekalipun berada di balik kaca mata dan senyum tipis yang mengembang menghiasi wajahnya. Ini tidak mungkin…
“Don?”
Sosok di hadapanku mengangguk dan aku hanya bisa terdiam ketika tubuh Don mendekat. Namun kemudian berhenti ketika jarak kami tinggal beberapa senti.
Don meraih tanganku dan mengangkatnya. Ketika dia melihat cincin yang masih tersemat di jari manisku, matanya kembali menatapku. Aku hanya mengangguk.
“You’re still waiting for me, aren’t you, Gus?”
Aku hanya bisa mengangguk. Apa lagi yang bisa aku katakan? Sekalipun ada banyak sekali pertanyaan yang memenuhi kepalaku saat ini, semuanya seperti membeku ketika Don mengajukan pertanyaan itu. Don pun terdiam. Dia melepaskan tanganku sebelum akhirnya aku merasakan kedua lengannya merengkuh tubuhku. Aku masih diliputi perasaan terkejut, hingga aku hanya bisa memejamkan mata, ketika tubuh kami bersentuhan dan aku merasakan betapa eratnya pelukan Don. Butuh waktu bagiku sebelum akhirnya, kedua lenganku membalas pelukan Don.
Kami seperti berlomba untuk memenangkan siapa yang bisa memeluk paling erat, karena, begitu lenganku memeluk tubuh Don, ada keinginan begitu kuat untuk tidak melepaskannya. Setelah tiga tahun, akhirnya aku bisa memeluk tubuh pria yang aku cintai, merasakan kembali bagaimana rasanya berada dalam pelukan pria yang selama ini, hanya berupa harapan tanpa keyakinan, tanpa kepastian dan keraguan tanpa ujung. Aku merasakan kedua mataku basah oleh pelukan ini dan kenyataan bahwa Don ada di sini saat ini, memeluk tubuhku.
Don kembali.
Aku membuka mata dan melepaskan pelukan kami. Tangan kami sama-sama terulur untuk menyeka pipi masing-masing, yang basah oleh air mata. Hatiku bergetar dan tubuhku, rasanya menjadi begitu lemah ketika merasakan jemariku menyentuh kulit Don. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan untuk membuat diriku benar-benar yakin, bahwa wajah yang sedang berada di antara kedua tanganku ini, adalah Don.
“Three years, Don…Three years….”
“Will you forgive me, Gus?”
***
Aku merapatkan tubuhku ke Don, membiarkan setiap bagian dari tubuh kami bersentuhan dibalik selimut putih tebal yang membungkus tubuh telanjang kami. Menyandarkan kepalaku di dada Don dan mendengarkan detak jantungnya, sementara lengannya membelai pundakku dan beberapa kali, Don mendaratkan kecupan singkat di keningku. Rasa tidak percaya yang aku rasakan ketika melihatnya tadi di Trafalgar Square, sudah tidak bersisa. Apa yang kami lakukan setelah pertemuan tadi, makan malam dan penjelasan panjang lebar mengenai keberadaannya selama ini dan keputusannya untuk menghilang dari kehidupanku, hingga kami kemudian berakhir di tempat tidur di apartemen Don, membuat semuanya nyata. Ketika tubuh kami saling bersentuhan, sebelum Don mulai menelusuri setiap bagian tubuhku, aku seperti merasa bahwa Don tidak pernah hilang dari hidupku. Dia masih mengenal baik tubuhku, masih tahu bagaimana membuatku meneriakkan namanya diantara permainan cinta kami. Semuanya terasa seperti ketika kami melakukannya dulu. It all felt the same.
Rasa marah yang aku rasakan, ketika Don menceritakan kepadaku bahwa dia ingin aku melanjutkan hidupku tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepadanya, sama sekali tidak bertahan lama. Rasa marah itu terlalu kecil dibandingkan dengan melihat Don kembali, utuh, seperti ketika terakhir kali aku melihatnya tiga tahun yang lalu. Aku terlalu bahagia melihatnya lagi hingga kalaupun dia mengatakan kepadaku dia telah memiliki pria lain saat ini, aku tetap tidak akan bisa memanggil rasa marah itu.
“I went to Trafalgar Square just to remember you, Gus. To recalling again that moment when I put that ring on your finger and how surprised you were. I went there to celebrate our 8th year anniversary since I met you there and how, during those dark periods in my life, the thought of you was the only thing that kept me breathing.”
“And why did you finally approach me? After three years you didn’t even try to contact me.” Aku mengangkat wajahku untuk menatap Don, yang memberiku kecupan singkat setelah aku menyelesaikan kalimatku.
“Karena melihatmu duduk sendirian, membuat aku merasa jadi pengecut. Disaat yang bersamaan, aku tersadar betapa aku menginginkanmu kembali. I’d never lost that feeling, Gus. It’s always there. But, I was also wondering, what if you already belong to someone else. What should I say? But, when I heard you say my name, I knew that you were still waiting for me and when I saw that ring, I just couldn’t forgive myself for waiting this long, for letting you to wait all these times…I love you so much that I was afraid to see you. I couldn’t face the sadness in your face and how big disappointment I caused. That’s why, I probably will keep asking for your forgiveness for the past three years…”
“You’re here, Don, with me. At the moment.”
“Happy anniversary, Gus. 8 years…”
Aku hanya bisa tersenyum sebelum mendekatkan wajahku untuk merasakan bibir Don memuaskan rasa dahagaku akan ciumannya.
“Happy anniversary, Don.”
“Can I ask you a question, Gus?”
Aku mengangguk.
“Will you still say yes if I propose a marriage? Even though we still have to wait until the end of March for that.”
Kali ini, aku tidak punya keraguan atau pertanyaan untuk membalas apa yang baru keluar dari mulut Don. Apa yang aku lalui selama tiga tahun terakhir, cukup untuk meyakinkanku bahwa aku memang milik Don, begitu juga sebaliknya.
Aku mengangguk. “I will say yes and I do still want to be your husband.”
Don kembali tersenyum, kali ini lebih lebar dan bibirnya kembali meraih bibirku. “I will never leave you again, Gus. Never.”
“I know you will never do that again to me.”
Perasaan sesal dan merutuki diri sendiri ketika aku duduk di tangga National Gallery tadi, karena memilih London sebagai tempatku menghabiskan libur akhir tahun, menguap tanpa sisa sekarang. Apa yang harus aku sesali jika kedatanganku di London kali ini membuat pria yang aku cintai, kembali dalam kehidupanku?
Ini adalah hadiah Natal paling luar biasa yang pernah aku dapatkan. Having the-most-annoying-guy-but-the-guy-I-love-the-most back in my life. There’s nothing better than that. Nothing….
Sebenernya, agak telat sih post cerita ini, karena sebenernya pengen dipost sebelum Natal. tapi, gak papa lah ya sehari setelah Natal, semoga masih berasa Christmas feel-nya
Entah apa yang merasukiku sampai bikin beberapa cerita dengan tema 'proposal' dan yang berhubungan dengan 'marriage', hahaha. Mungkin memang aslinya pengen nikah #eh #loh #MintaDilemparBakiak
Memanggil semuanya yang menunggu ANTOLOGI kapan diupdate
@kiki_h_n @Venussalacca @Matt_Ivan @Zackattack @tialawliet @ananda1 @Adam08 @yuzz @masdabudd @chandisch @BB3117 @Adra_84 @kimo_chie @faghag @nutz76 @RifqiAdinagoro @DarrenHat @arieat @rarasipau @tyo_ary @Kim leonard @tama_putra @WinteRose @Alvian_reimond @andhi90 @Zhar12 @hwankyung69 @yeltz @marobmar @raroma @Emtidi @jakasembung @christian9denny @hangatkuku @Putra Abu-abu
Maafkan kalau ada yg kelewat ya?
Cheers,
ABI
suka sama temanya suka sama endingnya jg
ntar kalo nikah, undang kita2 ya Om
I LOVE IT
Impian semua insan di muka bumi ini. Semuanye dapet!!