It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
:-S :-S
Tiba2 teringat adegan gay film Cloud Atlas gara2 namanya si Atlas ._.
Semester baru udah berjalan dua bulan, tapi tetep, aku nggak pernah suka yang namanya sekolah. Sejak SMP. SD masih seru karena aku tetep bisa main kelereng, bisa main gobak sodor, main congklak, bahkan lompat tali tanpa harus ngerasa malu. Elementary was my playground. Menginjak SMP, duniaku mulai dipenuhi cewek-cewek yang sok gaya, sok cantik, sok cari perhatian, sok bisa dandan, dan sok-sok yang lain. Sedangkan para cowok (yang sebagian pasti baru dikhitan) mulai ganggu dengan suara mereka yang pecah (aku termasuk), mulai ngejar-ngejar cewek populer, jadi sok atletis ikut tim basket (yang konon jadi ekstrakurikuler paling populer diantara para cowok, yang sayangnya nggak menarik buatku) padahal juga badan nggak tinggi-tinggi banget, jadi sok gaya, mulai pakai cologne dan berasa jadi a knight in a shining armor buat para cewek yang diincer (ini hanyalah opiniku sebagai cowok yang nggak pernah punya niat buat sok jadi pangeran tampan berbaju zirah) Apalagi sejak aku masuk SMA. Whoaaaa!!!! Duniaku rasanya cuma berpusat sama OSIS, mading, prom (yang masih setahun lagi), cewek-cewek yang makin sok genit dan centil (padahal juga nggak cantik-cantik banget), pacaran, putus lalu pacaran lagi putus lagi dan para cowok yang mulai keliatan bakat-bakat playboynya, mulai bikin geng berisi anak-anak populer (I hate that!!!) dan hal-hal yang nggak bisa aku percaya lainnya. Semuanya bikin aku makin benci sama yang namanya sekolah.
Mungkin, kalian bertanya-tanya. Aku hidup di belahan dunia mana sih kok masih main gobak sodor, congklak, lompat tali dan main kelereng sewaktu SD? Kalian pasti waktu SD mainnya udah playstation kan? Paling nggak, udah nggak main mainan tradisional tadi. Soalnya, aku tinggal di sebuah kampung di kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk kota besar. Anak-anak sih kenal playstation tapi nggak tahu kenapa, mereka lebih seneng main mainan tradisional itu. Bahkan, di kota kecilku ini, nggak ada mal dan nggak ada bioskop. Dua hal paling sakral ketika aku menginjak SMA. Kalian pasti nanya, apa aku nggak bosen tinggal disini? Jawabannya, amat sangat bosen sekali (kalau Pak Bagus tahu aku pakai amat dan sangat dan sekali dalam satu kalimat, aku pasti udah diminta buat berdiri didepan kelas dengan satu kaki terangkat. Yap! Beberapa guruku masih menerapkan hukuman jadul yang entah kapan ditemukan itu)
Tapi, tinggal di kota kecil bukan berarti aku jadi nggak update sama tren terbaru anak muda zaman sekarang. Facebook? 876 friends and 10 friend requests terakhir kali aku ngecek ponselku lima menit yang lalu pas Bu Anne keluar dari ruang kelas. Twitter? 127 followers and following 209. Foursquare? Baru tiga check-ins sewaktu aku ke Semarang dua minggu lalu, tempat -tempat di kota kecilku ini nggak pantes buat nampang di akunku. Path? Masih belum punya, mungkin nanti. Whatsapp? Helloooowww? Nggak punya whatsapp itu seperti nggak tahu apa itu internet. LINE? Cuma aku pakai emoticon dan stickernya aja. Lucu-lucu sih. Blackberry? Sekalipun banyak temenku yang pakai, aku team Android. Sekalipun nggak ngefans sama One Direction, Niall Horan jadi objek fantasiku di kamar mandi. Rambut pirangnya plus mata birunya itu cukup bikin aku meleleh. And aku jatuh cinta setengah mati sama Lucas Till (kebiasaan muter MVnya Taylor Swift yang You Belong With Me sebelum tidur berharap mimpi ketemu Lucas). He’s sooooo cuuuuteeee!!! Siapa lagi? Oh, aku pengagum berat Adam Levine. The sexiest front man of any band. Kalau ada yang nggak suka sama Adam Levine itu berarti perlu diperiksa otaknya.
“Ndu, mentang-mentang lagi jam kosong, pikiranmu jangan kosong juga dong. Lagi musim kesurupan kan?”
Aku cuma julurin lidahku sama Riko, mantan temen sebangku yang berkhianat dengan pindah tempat duduk di belakangku pakai alasan paling konyol yang pernah aku dengar. “Supaya bisa ngeliatin Rara dari belakang. Rambut panjangnya itu bikin aku klepek-klepek.” See? Kalian pernah denger nggak alasan konyol seperti itu cuma buat pindah tempat duduk?
“Hush! Kamu pikir kesurupan itu lucu ya buat dibecandain begitu?”
“Iye, nggak lucu.”
Seperti umumnya jam kosong di sebagian besar sekolah di penjuru dunia ini (Nggak tahu ya kalau di luar negeri ada istilah jam kosong), temen-temen sekelasku juga nggak mau jam kosong ini berlalu dengan sia-sia. Mulai dari yang bergaya ala K-pop Stars (yang menurutku cowok paling nggak macho sedunia, bahkan kadang aku bingung, lebih cantik mana cowok-cowok K-pop itu sama cewek-ceweknya yang cantiknya ngalahin barbie sampai nggak bisa bedain mana diantara K-pop stars itu yang nggak kena pisau bedah), yang diskusi tentang materi pelajaran Sejarah setelah jam ini, yang sibuk nulis (yang pasti sih bukan nulis surat cinta. Zaman gini? Surat cinta???) sampai yang sibuk sama ponsel masing-masing dan nggak lupa, foto narsis dengan bibir sedikit dimajuin ke depan.
Kalian mau tahu apa yang aku lakuin? Baca email-email dari Roma.
Bukan Roma Italia ya, tapi namanya memang Roma. Temen dari dunia mayaku yang udah kenal hampir setahun ini. Karena aku nggak besar saat MIRC masih jaya-jayanya, aku kenal Roma lewat sebuah forum kaum pelangi. Awalnya, kami hanya bales-balesan komen di topik-topik yang ada. Sama-sama suka cerita yang nggak mainstream alias yang sedikit serius untuk ukuran anak SMA dan sama-sama suka eargasm kalau denger suaranya Nate Ruess. Lama-lama, jadi tuker-tukeran alamat email karena kami sama-sama nggak mau hubungan jadi terlalu intens kalau tukeran nomor telepon. Kadang juga video call di Skype. Intinya, aku udah kenal Roma lumayan banyak. Apakah aku juga jatuh cinta sama dia? Dengan kepribadiannya, sangat sangat jatuh cinta. Juga dengan selera film dan musiknya. Tapi, yang bikin aku amat sangat jatuh cinta sekali dengan Roma, adalah karena Roma cowok yang pinter. Smart. Aku belajar banyak hal baru dari dia dan dia selalu ngasih tahu aku tentang hal-hal yang aku belum tahu. Jadilah aku pengagum berat dan teman baik Om Wikipedia dan Opa Google.
Ngomong-ngomong tentang Roma, jadi ingat obrolan kami semalam…
Me : capek banget hari ini, sampai nggak tahu kalau besok ada tugas Sejarah yang belum aku kerjain. Kamu sibuk hari ini?
Him : Mau aku pijitin?
Me : Emang bisa mijit?
Him : Nggak bisa sih, tapi buat kamu, apa sih yang nggak rela aku lakuin?
(Aku senyum-senyum sendiri. Roma memang suka becandain hal-hal kayak gitu. Dan maafin aku kalau jadi GR. Itu baru satu contoh ya? Banyak yang lainnya lagi yang bikin aku makin GR)
Me : Kamu kayaknya nggak pernah ngeluh masalah tugas deh. Kamu super human ya? Atau IQ kamu 200?
Him :
Him : Noooo!!!! Aku nggak sejenius itu. Aku selalu ngerjain tugas di perpus pas istirahat atau pulang sekolah langsung dikerjain, biar malamnya bisa chatting sama kamu atau ngelakuin hal yang lain. Papa ngedidik aku kayak gitu dari kecil. Apa yang bisa dikerjain, mending langsung dikerjain daripada ditunda-tunda. Karena, kalau ditunda, nanti ujung-ujungnya pasti males.
(Ini yang aku salut sama Roma. Disiplinnya itu luar biasa!)
Me : Ro, kamu nggak bakal pindah ke luar negeri kan?
(Papanya Roma ini seorang diplomat, jadi intensitas keluarga Roma pindah cukup sering. Sampai akhirnya tahun lalu, Roma mutusin pengen kembali ke Indonesia dan sekolah disini biar nggak pindah-pindah lagi nurutin tugas Papanya)
Him : Kenapa? Takut aku jauh ya? Hahahaha. Masalah itu, aku nggak tahu, Pandu. Denger-denger, papa mau dipindah, either ke Jerman atau Swiss. Kalau memang Papa jadi dipindah kesana, aku mungkin akan ikut. Tapi, alasanku murni karena pendidikan. Tapi, sejauh ini belum pasti. I’m still here
Me : Pasti seru ya bisa pindah-pindah?
Him : Awalnya mungkin iya, tapi lama-lama jadi nggak seru, Pandu, malah jadi capek. And I hate that. Makanya, aku pengen banget bisa menetap di Indonesia, paling nggak sampai aku lulus SMA.
Me : Aku pengen banget ke luar negeri, tapi, keliatannya mustahil banget ya? Siapa aku gitu. Cuma cowok biasa dari kota kecil yang aku yakin, sebagian besar penduduk disini nggak tahu apa itu internet kecuali yang muda-muda.
Him : Hahahaha. Nggak perlulah kamu jadi sarkastis gitu, Pandu. Kamu nggak tahu betapa pengennya aku pindah ke kota kamu. Besar dengan segala macam kemudahan di kota besar bikin aku terkadang muak sama kehidupan kota. Pasti disana nggak macet, lebih asri, orang-orangnya juga aku yakin nggak materialistis kayak orang-orang kota, nggak gila kerja. Kadang, aku benci jadi anak Diplomat.
Me : Hush! Jangan ngomong begitu! Bagaimanapun, kamu lahir dari benih Papa kamu, dibesarkan oleh kerja keras beliau. Nggak banyak orang terlahir dengan keadaan kayak kamu. Bersyukur, Roma. Nggak ada kan ya yang sempurna di dunia ini?
(Ini kejadian langka aku bisa bilang hal kayak gitu)
Him : Iya, maaf udah bilang begitu soal Papa
Him : Kamu belajar sana, kerjain tugas. Aku ganggu kamu lagi.
Me : Nggak ganggu kok, Ro. Malah seneng kamu temenin ngobrol.
Him : Aku off ya? Kamu kerjain tugas kamu. Besok kita ngobrol lagi. Aku janji, mulai besok, kita bisa bakal ngobrol lebih leluasa dan lama.
(Ngerutin dahi. Lama dan leluasa itu maksudnya apa ya? Bukannya selama ini kami memang selalu lama dan leluasa kalau lagi chatting?)
Me : Oke deh. Good night, Ro. Sweet dream.
Him : Kamu juga, Pandu. Mimpi indah ya?
“Pandu!!!!!!”
“Berisiiiiiiiikkkkk!!!!
Sejak Riko jadi teman sebangku waktu kami kelas X, memang suka manggil namaku dengan teriakan ala Rocker nggak kesampaian itu kalau dia lagi iseng (yang intensitasnya cukup sering). Selain berisik, jutaan partikel dari mulutnya itu sering berpindah dengan mulus ke wajahku. And I hate that! (Rasanya, kalian juga pasti benci kan ya?) Jadi, kalimat balasanku selalu seperti itu.
“Ngelamunin apaan sih Ndu? Dari tadi senyam-senyum mulu. Ada pengumuman tuh dari Kepsek, denger nggak?”
Dahiku langsung mengerut. Pengumuman?
“Ada apa memangnya?”
“Tuh! Dengerin!” jawab Riko sambil menunjuk speaker yang ada di pojok atas ruang kelas kami.
Speaker di kelas kami ini (dan seluruh kelas yang ada di sekolahanku) memang berfungsi sebagai alat untuk nyiksa murid-muridnya. Gimana nggak coba? Pengumuman kapan ulangan dan kapan ujian, lewat speaker. Pengumuman jam kosong juga lewat speaker yang pasti dibarengi dengan tugas segambreng. Pengumuman sekolah kita kalah lomba juga lewat speaker. Intinya, speaker di sekolah ini jadi musuh besar kami semua. Belum lagi kalau suara Pak Gita, Kepala Sekolah kami, yang tiap kali ngasih pengumuman, entah berasa kayak lagi kebelet mau ke belakang atau berasa bicara di depan dua ratus juta rakyat sampai nada bicaranya harus dibuat mirip kayak Bapak Presiden Republik Indonesia kita yang tercinta ini.
Namun kali ini, pengumuman Pak Gita bikin semua orang yang ada di kelasku jadi anteng mirip patung yang dikutuk Bandung Bondowoso.
Aku cuma denger kalimat terakhir Pak Gita yang meminta semua murid untuk membantu dan menerima serta membimbing dan mengharapkan tidak ada senioritas di sekolah.
“Apaan sih Ko? Nggak denger lengkap.”
Belum sempet Riko jawab pertanyaanku, temen-temen sekelasku langsung duduk manis di bangku masing-masing (Sayangnya nggak pakai acara kedua lengan dilipat di atas meja macam zaman dulu) karena Bu Inne, wali kelas XI B muncul di kelas.
“Anak-anak, tadi dengar pengumuman dari Pak Gita?”
“Dengar Bu!!!”
Koor suara kelas kami untungnya nggak separah itu setiap kali kami dapet tugas untuk jadi paduan suara upacara Senin.
“Jadi, murid ini akan jadi teman kalian. Ibu minta, kalian jangan usil sama dia karena dia anak baru. Kalau nanti Ibu dengar atau tahu ada yang usil sama dia, Ibu akan langsung panggil orang tua kalian ke sekolah dan memberikan skorsing selama satu minggu. Jadi, apa kallian bisa janji sama Ibu tidak akan usil?”
“Bisa Bu!!!!”
Lagi-lagi, suara temen sekelasku bikin telingaku sakit. Apaan sih mereka ini? Kan di antara kami belum ada yang tuli, ngapain juga harus sekenceng itu coba jawabnya.
Kelas kembali sunyi.
Kali ini, karena Pak Gita sendiri yang mengantar murid baru ini ke kelasku. Begitu sosoknya masuk ke kelas, aku langsung tutup mulut pakai tangan.
Ini nggak mungkin!
“Anak-anak, perkenalkan, murid baru di sekolah kita dan juga teman kalian, Roma Pradipta.”
“Nama saya Roma Pradipta, biasa dipanggil Roma atau…Ro,” kami saling bertatapan ketika Roma bilang bahwa dia biasa dipanggil Ro. Kenapa? Karena menurutnya, aku orang pertama yang memanggilnya Ro. “Saya pindahan dari salah satu sekolah swasta di Jakarta dan semoga nggak ada yang ngerjain saya nanti.”
Beberapa cewek mulai bisik-bisik antar bangku (Karena bisik-bisik tetangga sepertinya kurang pas kan?) dan para cowok mulai berspekulasi siapa yang akan jadi pacar pertama Roma di sekolah baru ini. Yang pasti, kelas nggak sesunyi tadi.
Kalian tahu apa yang aku lakuin? Garuk-garuk kepalaku yang nggak gatel sekaligus natap Roma.
Garukanku makin keras ketika Bu Inne bilang : “Pandu, bangku sebelah kamu kosong kan? Kamu tidak keberatan Roma duduk di sebelah kamu?”
Aku cuma bisa gelengin kepala.
Aku udah nggak gitu merhatiin lagi omongan Pak Gita ataupun Bu Inne. Pikiranku udah mulai penuh sama kenapa dan bagaimana mungkin. Bahkan, ketika Roma udah duduk di sebelahku, aku masih berusaha buat sadar bahwa teman sebangkuku ini Roma. My Ro. Cowok yang udah bikin aku insomnia hampir tiap malam sejak beberapa bulan lalu. Kok beberapa bulan? Kalian pasti protes karena di awal, aku cerita kalau udah setahun aku kenal Roma. Kenalnya memang udah setahun, tapi amat sangat jatuh cinta sekali-nya itu baru beberapa bulan, kalau nggak salah, sekitar 7 bulan (kalau kalian protes itu lama, ya silakan. Buatku, tetep beberapa bulan itu hitungannya)
“Aku Roma, semoga kamu nggak jahil dan bisa jadi temenku,” ucap Roma sambil ngulurin tangannya.
“Pandu. Semoga betah jadi temen sebangkuku,” balasku.
Roma tiba-tiba tersenyum dan ngedipin matanya tepat ketika Pak Amal, guru Sejarah kami masuk kelas.
“Jangan marah ya aku ngasih kejutan ini ke kamu?”
Aku mandang Roma yang keliatan tulus banget ngucapainnya dan aku cuma bisa senyum balik, sekalipun ada banyak banget yang pengen aku tanyain ke Roma.
“Jadi ini maksud kamu kita bisa ngobrol lebih lama dan leluasa?”
Roma ngangguk. “Kita punya banyak waktu buat ngobrol, Pandu. Tapi, buat sekarang, let’s concentrate on the History lesson, okay?”
Roma ngasih senyumnya ke aku dan kayak kerbau dicocok hidungnya (peribahasa yang menurutku sangat nggak banget itu), aku cuma ngangguk.
“I’ll try,” jawabku.
Tentu saja aku bohong. Bagaimana mungkin aku bisa konsentrasi ke pelajaran kalau Roma duduk di sebelahku dan aku sama sekali belum dapet penjelasan apapun dari dia?
I'm baaaaacck!!! Menjawab tantangan tentang bikin cerita remaja, semoga yang ini kerasa 'feel' nya, hehehe. Prosesnya sama kayak pas nulis Sehabis Prom dulu. In one sitting. jadi, semoga suka ya semuanya?
@yuzz : yg cerpen terakhir kmrn udah dibaca belum???
@hwankyung69 : lah, kan yang bule cuma si Pavo doang
@yeltz : Komen kamu selalu singkat, padat dan nggak bertele2 ya? hihihihi
@tialawliet : Hahahaha. AKu juga pengen sih punya rumah pohon
@kiki_h_n : Hahahaha. Ini sebenernya mau dimasukin ke adegan di Twenty Four, Satya sama Lukas rebahan di taman sambil natap bintang gitu, cuma nggak jadi. Lupa!!! Hahahaha. AKhirnya dibikin lah ini
@Adam08 : Aku masih suka salah masalah dirubah sama diubah itu Thank you udah diingetin terus. Hihihihi, emang aku punya tendensi bikin cerita yg udah bagus endingnya jadi sedih ya?
@tyo_ary : ya, kalau nggak ada yg vote ya udah, hahahaha.
@tama_putra : ada lah, cuma mungkin jenis romantisnya beda
@Adra84 : c'mon! make it happen!
@arieat : Kayaknya dulu aku udah pernah kasih jawaban atas pertanyaan kamu deh
@chandisch : you're welcome
@andhi90 : Aku yang seneng dan terharu kalau ada yg ngerasa gimana gitu tiap kali abis baca cerita2ku It's the biggest reward for me.
@Zhar12 : Hahahaha, memang biasanya yang pertama yang berkesan ya?
@zackattack : Hahahaha. He must be
@BB3117 : Maap salah mention ya? hahaha.
@alvian_reimond : Absen juga ya buat yg ini?
@masdbudd : Hahahaha, maaf. Kebiasaan mention cuma yang terakhir komen maish belum ilang
@Emtidi : Aku belum liat filmnya
@marobmar : Bali udah rame, jangan pindah kesini, lol.
@faghag : Iya, lagi nggak pengen mellow2 ini
@christian9denny : Thank you!!
Colek2 @budhayutzz @jakasembung @WinteRose @adinu @hangatkuku @Putra Abu-abu @rarasipau @Venussalacca
Maaf yang nggak ke-mention ya?
Suka bgt ma cerita ini. Dapet bgt feelnya. Bli emang penulis multigenres deh. Wkwkwk. Ditunggu next storynya bli..
Kan diantara kami: seharusnya di antara (keterangan)