It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ahhh....
. .--.--.
/ | \
'-..-^-..-'
/ /
/ \_____
____/ (_ __ )
( )(__ (____ )
_____( (____)
--,___ (___)
SI . SI . SI . Lanjutkan ЂёђёђёЂёђёђё
Aku pilih Penantian.. Suka banget sama susunan kalimatnya, terutama ttg tema yg diangkat..
Sampe ikut ngerasa sedih dengan kehidupan Eric. Hah, semoga hidupnya bs lebih baik!!!
Eh, iye ke???
:-/
ditunggu lanjutan A Photo-nya bli @abiyasha!! hehehehh
)
yg lain dilanjutin ya kak,, ;*
)
yg lain dilanjutin ya kak,, ;*
@andhi90 : Gak boleh lah, kasih kesempatan yan lain. Kan aku pernah bilang juga kalau nggak ada batas waktu. Mau sampai tahun depanpun juga bisa
@venussalacca : Masih boleh. Penantian? Oke, ntar aku masukin polling Thank you!!!
@jakasembung : #jitak
@tialawliet : It didn't. That's the fact Aku memang cenderung perfectionist kalau udah nyangkut cerita2ku, even though ini cuma buat forum and I don't get paid, ngerasa bersalah sama diri sendiri kalau ceritanya gak sesuai dengan yang aku pengen. So, yes, my standard is so high when it comes to my stories (and some other things too )
@zackattack : Huahahahaha. Gak kok. Di real life lagi happy2 aja. Mungkin, sad side nya perlu disalurkan melalui cerita2nya
@kiki_h_n :Ngapain kedip2? Ntar dilabrak baru tahu rasa #loh #eh
@chandisch : you're welcome!
@Emtidi : Ya dibuat jalan lah Bukan kontes ini juga, hahaha
buat pacarnya mas iyas, maafin kiki yah.. *bungkukin badan
kirain udah ada apdetan. hehehe..
“Welcome to my sanctuary!”
Aku hanya menatap seringai puas di wajah Pavo ketika menyambutku di rumah pohon yang disebutnya sebagai sanctuary itu. Napasku masih tersengal-sengal akibat tangga tali yang harus aku panjat untuk berada disini. Berada dalam kegelapan malam, sementara pikiranku berulang kali meminta penjelasan kenapa aku mau melakukan ini serta menjaga tubuhku agar tetap seimbang, membuatku benar-benar kehabisan napas.
“Apakah ini bagian dari rencana kamu, Pavo?”
Pavo hanya tersenyum tanpa dosa sambil mengulurkan tangannya. “Give me my phone, so I can lit up a candle and you can see what’s here.”
“Kenapa harus sekarang, Pavo? Can’t we wait until tomorrow?” protesku sambil menyerahkan ponsel miliknya sebelum akhirnya aku merebahkan tubuhku diatas karpet yang sepertinya memenuhi lantai rumah pohon ini, sambil mengatur napas.
“Tomorrow will be different,” jawabnya.
Dalam waktu singkat, aku melihat wajah Pavo yang diterangi cahaya dari ponselnya sedang mengeluarkan sesuatu dari laci kecil yang berada tidak jauh dari tempat kami berada.
Rumah pohon ini…sangat cozy. Sekalipun diliputi kegelapan, aku bisa membayangkan bagaimana nyamannya tempat ini di malam-malam biasa. Aku melihat satu single air bed yang menempati hampir setengah rumah pohon ini. Ada satu rak kecil yang terdiri dari tiga laci kecil berwarna biru langit, yang sangat kontras dengan warna kayu yang sangat dominan. Dua lukisan kecil tergantung di sisi kanan dan kiriku. Dua lukisan abstrak yang dibingkai, serta dua buah lampu dinding kecil, yang pasti dihidupkan jika saja ini bukan Nyepi.
Ya, aku memutuskan untuk mengunjungi Bali tepat ketika Hari raya Nyepi. Hari dimana sebagian besar orang yang bermukim di Bali, memilih untuk meninggalkan Bali daripada terkurung di dalam rumah/hotel tanpa bisa melakukan apapun di luar dan diliputi kegelapan.
Beruntung aku tidak harus menghabiskan Nyepi ku disini sendirian. Rick, sahabatku di Perth, tidak mau mendengar kata tidak dariku ketika dia menawarkan rumah keluarganya di Ubud untuk aku tinggali selama di Bali. Orang tua Rick yang sudah pensiun, beserta adik semata wayangnya, Pavo, memang tinggal di Ubud. Kami sudah saling mengenal selama sepuluh tahun, sejak aku dan Rick jadi roommate ketika kami sama-sama kuliah di Sydney.
“It’s better,” ucap Pavo ketika cahaya lilin sudah menerangi ruang kecil ini.
Aku menatapnya bingung, berusaha untuk tidak menunjukkan bahwa aku juga takut dan khawatir. “Bagaimana nanti kalau ada Pecalang yang melihat ini, Pavo? Are you sure it’s okay?”
Kali ini, Pavo tersenyum lebar. “Rumah pohon ini terlindung dari luar, Atlas. Paling tidak, terlindung dari jalan. Belakang rumah ini sungai, seberangnya penuh deegan pohon-pohon tinggi dan lebat, jadi, kita tidak akan ketahuan kalaupun menyalakan lampu disini. Come here, lazy man.”
“Hey, I’m not lazy! I’m trying to catch my breath.”
“How old are you?” tanya Pavo, kembali dengan seringai lebarnya untuk mengejekku.
Aku bangkit dari posisiku sebelumnya dan mendekati Pavo yang sedang duduk bersila di depan lilin yang baru dinyalakannya. Aku duduk di hadapannya. Selama beberapa saat, kami hanya saling berpandangan tanpa tahu harus mengatakan apa.
“Apa bedanya kalau kita kesini besok, Pavo? Bukankah jauh lebih nyaman kalau kita disini dalam keadaan terang? Paling tidak, kita tidak harus sembunyi-sembunyi seperti ini. I’m not as young as you anymore.”
Aku mendengar suara tawa Pavo, yang entah kenapa, selalu membuatku terhanyut dalam suara tawa itu. Apalagi kalau mataku menangkap deretan gigi putih itu dengan mataku. Aku seperti lupa bahwa kakiku masih menginjak tanah.
Sepuluh tahun mengenal Rick, aku hanya beberapa kali bertemu Pavo. Terakhir kali adalah dua tahun lalu ketika mereka pindah ke Bali dan Rick memintaku datang. Pavo sering tidak di rumah ketika aku mengunjungi rumah keluarga mereka di Perth. Aku bahkan tidak menyembunyikan keterkejutanku melihat betapa berubahnya Pavo selama dua tahun, ketika dia menjemputku di bandara dua hari lalu. Dua tahun cukup untuk membuat fisik Pavo berubah menjadi pria 18 tahun yang sangat menarik, jauh lebih menarik daripada Rick. Dengan mata biru, rambut pirangnya yang sengaja dibiarkan tumbuh panjang menutupi kedua telinganya serta kulitnya yang sudah tidak terlihat sepucat ketika dia baru saja pindah ke Bali, membuatku tertegun untuk beberapa saat. Jika dia tidak memegang kertas bertuliskan namaku, aku yakin tidak akan mengenalinya.
“You’re with a teenager now, so, you should be a teenager too.”
Kali ini, aku hanya menggelengkan kepalaku mendengarnya. Anak muda jahil!
“Kita sudah disini, jadi, what are going to do next? Kamu tidak bermaksud mengajakku kesini cuma untuk duduk hadap-hadapan sama kamu dengan lilin diantara kita kan?”
“I never knew that you could be so impatient like this, old man.”
Jika saja aku tidak melihat senyum itu lagi dari Pavo, aku pasti tersinggung dengan apa yang baru diucapkannya. Aku memang tidak semuda dia tapi menyebutku old man? Keterlaluan!
“Well?”
Pavo kemudian beranjak dari hadapanku sebelum merebahkan kepalanya diatas single air bed, sementara tubuhnya berada di atas karpet. Dengan santai, dia menepuk tempat kosong di sebelahnya.
“Come over here.”
“There?” tanyaku sambil menunjuk tempat yang tadi ditepuk Pavo.
“Kenapa?”
Aku masih berada di tempatku semula sementara mataku masih tidak lepas dari Pavo. Apa maksud dia memintaku untuk rebahan disampingnya?
“Just lie down here, okay? Setelah itu, aku yakin kamu tidak akan bilang apa-apa lagi.”
Lagi, aku menghela napasku, tidak tahu apa yang direncanakan Pavo, namun, akhirnya aku menuruti perintahnya untuk berbaring di sampingnya. Napasku terhenti begitu aku merebahkan diriku.
“See? I know you’re gonna be stunned.”
Aku mengabaikan ucapan Pavo ketika mataku menangkap bintang-bintang yang terlihat begitu terang, seolah kami berada di sebuah tempat terpencil. Bagaimana mungkin aku tidak melihat ini ketika aku berbaring tadi? Dari tempat kami berbaring, aku bisa melihat sinar bintang-bintang dengan jelas karena tidak ada cahaya lain yang menghalanginya. Aku benar-benar terpesona.
“I’m still here.”
Aku mengalihkan pandanganku dari taburan bintang diatasku ke arah Pavo yang sepertinya, setiap kali aku memerhatikannya, dia selalu tersenyum. Jarak diantara kami begitu dekat hingga samar-samar, aku bisa mencium aroma Cedar dari tubuhnya. Entah cologne atau shower gel apa yang dia pakai, namun, aku menyukai bau ini di hidungku.
“Bagaimana bisa kamu tidak menunjukkan tempat ini kepadaku, Pavo?”
“Because I simply want to show it to you tonight.”
Aku mengerutkan alisku. “You simply picked the perfect time to show me,” jawabku sambil tersenyum sebelum kembali memanjakan mataku dengan taburan bintang diatas kami. “Apa rumah pohon ini memang tidak beratap?”
“Ada atap yang bisa ditutup. Tapi, aku selalu membiarkannya terbuka jika cuaca sedang cerah seperti ini.”
“It’s beautiful, Pavo.”
Hanya diam yang menyelimuti kami selama beberapa saat sebelum aku kembali mendengar suara Pavo.
“Aku percaya ini sebuah kebetulan.”
“Apa yang kebetulan?”
“Our names.”
Kali ini, Pavo berhasil membuatku mengalihkan pandangan kearahnya. “Memangnya, apa yang kebetulan dari nama kita?”
Kami saling bertatapan, seolah Pavo ingin mengejekku karena pertanyaan yang aku ajukan.
“Kamu tidak tahu kalau nama Atlas juga berarti salah satu bintang dari rasi Taurus?”
Aku berusaha untuk terlihat biasa saja, namun, sepertinya aku tidak berhasil untuk tidak menunjukkan rasa terkejutku di hadapan Pavo. “Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Well, kamu pasti berpikir kalau nama kamu itu berasal dari kumpulan peta or as we call it Atlas. Itu tidak salah, tapi, aku lebih suka mengartikan nama kamu sebagai salah satu bintang dari rasi Taurus. And in fact, you were born under Taurus sign. Am I right?”
“Jangan bilang kalau kamu tanya Rick tentang tanggal lahirku.”
Belum pernah ada seorangpun yang menganalisa namaku seperti yang sedang dilakukan Pavo kali ini. Apalagi, menghubungkan namaku dengan rasi bintang. This young guy really knows how to amaze me.
“I didn’t. Aku hanya tanya apakah zodiak kamu Taurus and he said yes, jadi, aku mengambil kesimpulan bahwa nama Atlas, mungkin saja ada hubungannya dengan apa yang aku bilang tadi. Apakah kamu tidak pernah tanya orang tua kamu tentang hal ini?”
Aku menggelengkan kepalaku. “Aku hanya tahu kalau nama Atlas itu diambil dari salah satu mitologi Yunani selain berarti kumpulan peta. That’s it. Aku bahkan tidak tahu ada bintang bernama itu.”
“Sudah kuduga.”
“Maksud kamu?”
“Orang seperti kamu pasti tidak pernah peduli tentang hal-hal seperti itu, jadi, sangat bisa dimengerti kalau kamu terkejut tentang Atlas.”
“When you’re at my age, there are more important things to be cared about rather than what you just told me.”
“How does it feel being a man?”
Kali ini aku tersenyum mendengar pertanyaan Pavo. “Kamu belum bilang kebetulan yang satu lagi. You told me about Atlas but you haven’t said a word about Pavo.”
Aku mendengar Pavo menghela napasnya sebelum mengalihkan perhatiannya pada bintang-bintang diatas kami.
“Pavo, also, is a constellation. Salah satu rasi bintang di langit selatan. Dalam bahasa Latin, Pavo berarti burung merak.”
“Oh.”
“Do you believe in myth?”
“Try me.”
Aku menangkap senyuman tipis Pavo dari ekor mataku. “Menurut mitos, burung merak adalah binatang kesayangan Hera, istri Zeus. She even had peacock to carry her carriage! One day, she asked Argus, a giant with hundred eyes, untuk mengawasi Io, simpanan Zeus yang diubah menjadi sapi agar Hera tidak mengetahuinya. Argus mengikat Io di sebuah pohon hingga kemudian Zeus meminta Hermes untuk melepaskan Io. Hermes spent a day with Argus and telling him stories until he fell asleep. Hermes kemudian membunuh Argus dan melepaskan Io. Hera, merasa Argus sudah melakukan tugasnya, took his eyes and placed them on the peacock’s tail as a way to honor him. Bintang paling terang di rasi Pavo adalah Alpha Pavonis in Latin or Peacock in English.”
Selama Pavo bercerita tentang mitologi Yunani itu, aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Mengabaikan bintang-bintang yang tadi sempat membiusku. Bagaimana bisa pria semuda Pavo bisa tahu hal-hal seperti itu? Terlebih lagi, dia adik Rick, pria yang bahkan lupa hari ulang tahunnya sendiri. Bagaimana mungkin dia punya adik seperti ini?
“So, our names are taken from stars. I call it coincidence.”
Mataku tetap terpaku pada Pavo, yang sepertinya tenggelam dalam kalimatnya sendiri serta kedua matanya yang sedari tadi tidak lepas dari bintang-bintang diatas kami. Aku tersenyum melihatnya. Apapun yang sedang melintas di pikiranku saat ini, aku tidak ingin mengekangnya. I let them be.
“Now, answer my question.”
Kali ini, kedua mata biru itu tepat menatapku. Jarak kami yang tidak terlalu jauh, membuat aku tahu bahwa tidak ada hal lain yang bisa dilihat oleh mata kami selain wajah kami berdua.
“Kenapa kamu ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang pria, Pavo? Being a man is full of responsibility. People take your words seriously. You can’t mess up with your own words. You have to work hard, earn money, buy things you don’t really need, live in an apartment, fall in love, broken hearted, failed, success, other men will hate you if you’re being too successful, women chase you, they want your money, they want to be in your bed….” Tatapan kami masih saling terkunci satu sama lain. “my advice is, just don’t trust woman. They’ll fool you. They’re the most dangerous human being.”
Senyum tipis kembali terpasang di wajahnya. “Rick seems enjoying his life.”
Aku tertawa kecil. “He always does.”
Pavo meraih ponselnya dan beberapa saat kemudian, aku mendengar sebuah suara mengalun dari ponselnya. Aku tidak tahu siapa atau lagu apa yang sedang diputar Pavo. Mata kami kembali bertemu.
“Aku selalu memutar lagu ini setiap kali ada disini. On a night like this. Her voice always calms me.”
“Siapa ini Pavo?”
“Billie Holiday, You Go To My Head.”
Ketika mengucapkan kalimat itu, Pavo memandangku lekat. Jantungku rasanya mulai berdebar tidak menentu.
Entah siapa yang memulai, jarak kami menjadi semakin dekat dan dalam hitungan detik, aku sudah mendaratkan tanganku di pipi Pavo dan merasakan hembusan napasnya. Ada begitu banyak yang melintas di pikiran dan hatiku saat ini, namun aku mengabaikannya.
You go to my head with a smile
That makes my temperature rise
Like a summer with a thousand Julys
You intoxicate my soul with your eyes
Aku membiarkan tanganku meraih bagian belakang leher Pavo dan ketika akhirnya tidak ada jarak yang memisahkan bibir kami, ada sesuatu yang luar biasa memenuhi hatiku. Ketika sadar bahwa aku lah yang memulai ciuman ini, aku membiarkan udara menyelinap diantara bibir kami. Mata kami saling bertatapan.
“Kiss me again, Atlas.” Aku mendengar Pavo lirih mengucapkan kalimat itu.
“Are you sure?” bisikku pelan.
Aku masih tidak yakin dengan apa yang baru saja terjadi diantara kami hingga aku tidak menyiapkan diriku untuk mendengar Pavo mengucapkan kalimat itu.
Jawaban yang diberikan Pavo adalah sebuah anggukan yang begitu pelan yang membuatku akhirnya mengunci bibirnya lagi. Kali ini, Pavo membalas ciumanku dan ketika akhirnya ciuman kami berakhir, aku menatap Pavo.
“Why Pavo?”
“I’ve been waiting for this, Atlas…. My first kiss. You. Darkness. Billie Holiday. And stars above us. I’ve been dreaming about this since the moment you stayed with us for four days after the graduation…”
Setelah acara kelulusan, aku memang menghabiskan empat hari di rumah Rick. Berarti Pavo masih 12 tahun saat itu….
“Apa Rick tahu?”
“He knew long ago about me but he just found out about you few months ago.”
Aku menelan ludahku. Apakah ini alasan Rick memaksaku untuk tinggal di rumahnya karena dia tahu bahwa adik semata wayangnya menyimpan perasaan terhadapku? Rick memang tahu aku seorang gay dan dia tidak pernah mempermasalahkan hal itu selama kami jadi sahabat. Tapi, kenapa dia tidak memberitahuku tentang ini? Maksudku, seorang Kakak biasanya akan sangat protektif terhadap adiknya kan?
“Why me?”
Pavo tersenyum dan aku merasakan sentuhan tangannya di pipiku. Meraba rambut-rambut halus yang mulai tumbuh karena aku belum bercukur sejak kemarin pagi.
“Apakah aku bisa memilih dengan siapa aku jatuh cinta, Atlas?”
Mendengar Pavo mengungkapkan perasaannya kepadaku, membuatku sedikit takut dengan apa yang mungkin dan bisa terjadi diantara kami.
“Aku teman baik Rick, ada sepuluh tahun jarak diantara kita, I know your parents too well, apa yang akan mereka….”
Pavo menggelengkan kepalanya sembari meletakkan jarinya di bibirku. “Bisakah kita tidak membawa mereka malam ini, Atlas? I want this moment to be ours.”
Pavo pasti melihat kekhawatiran yang aku rasakan dari wajahku, karena detik berikutnya, dia kembali mendekatkan bibirnya kepadaku. Kali ini, dia hanya mendaratkan ciuman singkat sebelum kembali menatapku.
“I want to spend the whole night with you, Atlas.”
Aku mengerutkan dahiku, awalnya tidak begitu memahami apa maksud kalimatnya. Namun kemudian, aku mendapati dirikku menggelengkan kepala ketika sadar maksud dibalik permintaan Pavo.
“Don’t, Pavo. You’re going to regret it.”
“How?”
Aku seperti menangkap kekecewaan dalam tatapan Pavo dengan apa yang didengarnya, namun, jika memang ini akan menjadi sebuah hubungan yang sama-sama kami inginkan, aku harus melakukannya dengan cara yang seharusnya dilakukan pria seusiaku. Terlebih lagi Pavo adalah adik sahabat baikku. Aku tidak ingin melakukan sesuatu hanya karena aku ataupun Pavo menginginkannya.
“Kamu masih ingat dengan apa yang aku bilang tentang menjadi seorang pria?” Pavo masih terdiam. “Kalau kamu ingin kita memulai sebuah hubungan, I want to do it the right way, Pavo. I have to ask your brother and your parents. I need their blessings. Once I get that, then, we can do things what lover can do. But not now. Not tonight.”
Kami saling bertatapan dalam diam sebelum senyum tipis terpasang di wajahnya. Aku mengangguk pelan dan membiarkan jemariku menelusuri wajahnya.
“I can’t wait for that.”
Aku tersenyum. “I promise you that I’ll be gentle.”
“Can I put my head on your chest?”
Aku mengangguk dan tanpa menunggu lama, Pavo langsung merebahkan kepalanya di dadaku. Aku tidak tahu perasaan mana yang harus aku rasakan. Hingga akhirnya, aku hanya mendaratkan kecupan lembut di rambut Pavo sebelum pandangan kami berdua kembali menatap langit. Jemariku membelai rambut Pavo sementar tangan Pavo menunjuk bintang-bintang diatas kami.
“Can you see that? Itu rasi bintang Hydrus yang bentuknya segitiga dan itu rasi bintang Crux! Those 4 stars which shaped cross? Do you see that? Oh, and that one which surrounds Crux is Centaurus, one of the largest constellation.……”
Sementara telingaku mendengarkan ocehan Pavo tentang rasi bintang diatas kami, aku hanya diam. Berusaha untuk melupakan semua ketakutan serta kekhawatiran yang memenuhiku. Mungkin Pavo benar, bahwa Rick serta kedua orang tua mereka, akan senang mengetahui bahwa aku pria yang dipilih hati Pavo untuk dicintai. But, a man at my age just can’t ignore some logic facts that could come between me and Pavo. Things that would make us both suffer in the future. Aku lebih punya banyak pengalaman dalam hal ini daripada Pavo. I just don’t want to hurt him. Sengaja ataupun tidak.
Tapi saat ini, it’s just us. And darkness. And Billie Holiday singing another song. And the stars above us and whatever constellation that I can’t recognize. And a flickering light from the candle. And us. Just us.