It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
CEMANGKAAAA .... !!
:P
sy selalu setia menunggu (^^,)
Pas ℓαgi ml kebo kyk liat sosok bayangan org, jgn2 itu gilang ℓαgi ngintip..
@xchoco_monsterx mau bikin jadwal udpdate-an'y.. Atur ajee..d best for u, baby :P tetep setia nunggu koq..
Aku nenda dulu baca ntar..
si mamah ato bokapnya kebo, atau mimihnya miki yg memang sdh mulai curiga sama mereka yang ketika ultahnya miki mereka malah kabur..
bikin konfliknya yg rumit ya sist, biar kayak sinetron, huehehehe....
Yg penting mah geboy euuyy..........
Hujan mengguyur Jakarta hampir seminggu lebih dan sekarang matahari sedang tersenyum riangnya. Aku menatap lurus kelangit mencari secercah pelangi yang biasa muncul setelah hujan. Tapi tak ada.
Aku terduduk lemas, pasrah dengan nasib. Aku ingin menangis lepas, tapi aku tak bisa. Aku harus kuat untuk dia. Dia yang saat ini masih tercengang atas kenyataan pahit yang datang pada kami minggu lalu. Sejak saat itu dia tak lebih hanya sebuah cangkang kosong.
Minggu lalu…
Seperti hari biasanya aku dan dia sedang mempersiapkan diri untuk memulai aktivitas kami, tapi kami berhenti saat handphoneku berdering. Kulihat dilayar ternyata telepon dari papah. Papahnya si sapi. Segera kumenjawab, “Assalamu’alaikum pah?”
“Wa’alaikum salam Miki. Sekarang kamu sama aa masih dikosan?” Tanya papah diseberang sana.
“Iya pah. Ada apa gitu?”
“Kalau bisa sekarang ke rumah.”
Aku mengkerutkan dahi, “Ada apa pah?”
“Mamah sakit,” Aku menahan napas. Mamah sakit? Mamah jarang sekali sakit. Kalau pun iya, mamah bukan perempuan yang manja minta di urusi. Jadi kenapa papah meminta kami datang?
Aku melihat ke arah si sapi yang juga sedang penasaran. “Sakit apa pah?”
“Lebih baik kalian ke pulang dulu dan jangan khawatir soal kuliah. Urusan keluarga lebih penting,” Ucap papah tegas.
Ada apa ini? Mamah sakit dan papah bersikap begini. Tiba-tiba aku merasakan perasaan yang aneh. Perasaan yang sama seperti pernah kurasakan dulu saat aku akan kehilangan dia. Tidak, tidak, tidak. “Iya pah.”
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam pah,” Kututup pembicaraan.
“Ada apa yank?”
“Mamah sakit dan papah minta kita pulang sekarang.”
Perasaan cemas menghinggapi benak kami berdua. Kami membuat hipotesa tak berkesudahan. Tapi kuyakinkan dia semuanya pasti baik-baik saja.
Dirumah. Papah sudah menunggu kami di ruang keluarga. Kuperhatikan wajah papah yang kumuh dan sendu. Entah kenapa tanganku gemetar hebat, tapi kusembunyikan dari dia. Papah menatap kami tajam dan perasaan itu meluap tak terbendung.
“Pah,” Ucap dia pelan.
Papah berjalan menuju kami dan aku ketakutan setengah mati.
Kucengkeram kaus dia. Dia menatapku bingung.
“A,” Panggil papah dan dia pun menoleh. Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipinya. “Kalian...? Kalian...? Apa yang salah dengan mamah dan papah?” Tanya papah lirih.
Dia yang tak mengerti hanya bisa menahan sakit dan menatap papah bingung, “Maksud papah apa?”
“Apa yang kurang dari mamah dan papah? Semua mau kalian selalu dituruti dan sekarang?” Papah meneteskan airmata. Aku tercekat.
“Kenapa pah? Apa salah Miki dan aa?” Aku tak kuat lagi menahan pedih ini.
“Dua hari lalu setelah aa pulang kekosan sehabis mengantar mamah dan papah ke Bandung. Mamah lupa dengan kue yang harusnya kamu bawa buat Miki. Akhirnya mamah dan papah memutuskan untuk mengantar sendiri kue itu karena mamah dan papah kangen Miki. Tapi kalian tahu apa yang mamah dan papah lihat dari luar jendela kalian,” Papah memalingkan wajahnya. Wajahnya terlihat jijik dengan apa yang diingatnya.
Hatiku membelesak jatuh dan kujatuh terduduk. Kuraih kaki papah dan meraung sejadinya, “Maafin Miki pah. Maafin aa. Maaf pah.” Tak ada kata maaf yang rasanya cukup untuk meyakinkan siapa pun.
“Kenapa? Kenapa baru menyesal sekarang? Apakah kalian tidak mempedulikan perasaan mamah dan papah?”
“Mah buka pintu mah,” Dia menggedor-gedor pintu kamar mamah. “Mah buka pintunya. Maafin aa mah. Maaf,” Dia merintih.
Rasa sakit ini terlalu menyakitkan. Tak ada satu kata pun yang mampu memperbaiki segalanya.
Apa yang bisa kulakukan sekarang?
Aku teringat pembicaraan antara aku dan Gilang. Aku tertawa perih. Apa yang dikatakan Gilang sekarang semuanya benar-benar menjadi kenyataan. Sekarang yang menjadi pertanyaanku, bisakah aku melakukan apa yang telah kukatakan pada Gilang?
Bisakah aku melepasnya?