Prolog
I am Your Kitty adalah serial ketiga dari teenlit I’ll Be Your Heart. Hanya saja pembawaan cerita ini lebih eksentrik dan nakal. Berbeda dengan kedua serial sebelumnya, kali ini penulis akan membawa sebuah cerita yang lebih fun, seru dan naughty. Tapi tetap mengusung isi cerita I’ll Be Your Heart yang lebih mengedepankan perasaan sebuah hubungan. Ini juga sebagai ganti cerita On My Radar yang aku hentikan serialnya.
Kisah ini berawal dari tokoh utama awalnya yang hanya suka menggoda teman satu kelasnya, berubah menjadi sebuah perasaan penuh terpesona. Andi, sesosok pria muda yang memiliki semuanya, bertampang yang tampan, penampilan yang gaul, pintar dan disukai banyak orang yang akhirnya bisa jatuh cinta dengan teman yang dia goda bersama ganknya. Bagaimana ceritanya? Don't miss it guys/gals.
Rating : Adult
Premiere : 11.04.2012
OST : dressin' up by Katy Perry
FB : facebook.com/steverahardian (terblokir)
Comments
Bad Plan
Suasana kampus di salah satu kota besar begitu ramai sekali. Riuh mahasiswa yang tengah berjalan dan menikmati pagi di kampusnya. Ada yang tengah berlari ada juga yang lagi bergandengan tangan dengan pacarnya. Gedung-gedung kampus juga terlihat lebih modern dan baru. Pohon-pohon yang berada di sisi kampus membuat pagi kampus itu sangat rindang. Sampai akhirnya kita tertuju kepada salah seorang cowok yang lagi asyik bercengkrama dengan beberapa temannya.
Cowok itu tengah asyik membahas sesuatu yang menurut mereka lucu. Cowok yang menggunakan kaos berkerah merah dengan celana jeans birunya. Membuat siluet postur badannya yang berotot terlihat. Tawanya begitu keras bersama temannya. Giginya rapat seperti hasil dari penggunaan kawat gigi. Sorot matanya yang maskulin dipadukan dengan gaya rambut mohawknya. Urat tanggannya tersorot ingin keluar saat dia meninju lengan temannya. Cowok itu bernama..............
“Hei Andi”, sahut temannya yang baru datang.
“Wah telat nih Fajri”, ledek teman di sebelah kiri Andi.
“Kan belum masuk bro!”, jawab Fajri. Cowok yang mengenakan baju kaos biru dengan celana jeans hitamnya sembari membawa tas ranselnya dipunggung.
“Bukan gitu bro! si culun maksudnya”, jawab Andi yang menunjuk ke sosok orang yang sudah berjalan jauh. Sosok cowok yang mengenakan baju kemeja longgar dan kacamata yang besar.
“Tadi dia nangis lagi lho”, timpal cowok di sebelah Andi. “Nangis huuuhuuuuuuu”.
“Hahahahahahahaha, bisa aja nih Dennis”, balas Fajri yang memukul pelan kepala temannya itu.
“Ngga kasian apa kalian ngerjain anak orang”, Fajri memilih duduk di samping Andi dan menggeser Dennis.
“Weh, cieee perhatian neh”, balas Andi.
“Ada yang jatuh cinta euy”, ejek teman yang tadi duduk di sebelah kiri Andi.
“Eh, jangan asal ngomong, Billy ini”, kata Fajri yang mengacungkan tangannya seakan-akan ingin memukul Billy yang duduk di samping kiri Andi.
“Eits! Jangan rebutan lah”, Andi menahan kepalan tangan Fajri.
“Kalian tahu ngga, katanya si culun itu punya ilmu gaib lho”, bisik Fajri ke teman-temannya.
“Wah, serius bro”, tanya Dennis setengah tidak percaya.
“Kemaren ada teman satu kelas kita, si Fani ngikutin si culun itu ke rumahnya, dan di sana banyak benda-benda kayak punya dukun gitu”, jelas Fajri dengan mimik mukanya yang serius.
“Ah, nakutin neh bro!”, Andi malah tidak percaya.
“Namanya juga si culun ya gitu, sukanya main dukun-dukun, wakakakakakakakak”, ledek Billy sambil tertawa yang diikuti sama teman lainnya.
“Sudah ah, masuk bro! ntar telat”, ajak Andi kepada teman-temannya.
“Yuk ah, capcus cin”, lambai Dennis. Teman-temannya yang melihat gaya Dennis langsung tertawa terbahak-bahak.
Ke empat sahabat itu berjalan menuju gedungnya. Andi, Fajri, Billy dan Dennis persahabatan mereka sudah lama terjalin, banyak orang bilang kalau mereka itu bagaikan satu tubuh, tidak bisa dipisahkan, selalu bersama. Mereka berempat sudah bersahabat sejak masih duduk di SMA. Berawal dari hobi yang sama, akhirnya mereka memilih untuk menjadi saha....
“Hei! Kok dari tadi loe yang cerita!”.
“Iya Andi ada apa? Kan aku penulisnya”.
“Di sini gua yang jadi tokoh utamanya bukan loe!”.
“Lho? Kan gua yang bikin ceritanya bukan loe!”.
“Dasar penulis OON! Kan di dalam ceritanya ada gua!”.
“Ok ok! Udah cerita sana loe! Ampe PUAS!!!!!”. *lari sambil nangis*
“Dasar penulis payah! Cemen loe!”. *tertawa senang*
Halo, nama aku Andi, aku saat ini lagi kuliah semester 4 di salah satu kampus ternama di kotaku. Kalau kalian semua bertanya apa nama genk kelompok aku, genk aku tidak mempunyai nama atau sebutan apa pun. Dan aku lebih suka di sebut kumpulan sahabat dibandingkan genk, karena nanti kesannya lebih merusak dan lebay. Kami semua sudah bersahabat hampir lebih dari 5 tahun lamanya. Layaknya persahabatan biasanya pasti ada naik turunnya tapi kami lebih banyak dinaiknya.
Awalnya dari hobi yang sama, sama-sama suka menjahili orang lain. Dulu waktu SMA sudah ada 10 orang korban kejahilan kami, namun karena sekarang kami sudah sibuk kuliah kami hanya bisa menjahili satu teman kelas kami. Yah, kami berempat satu kelas, satu jurusan juga begitu juga dengan orang yang kami jahilin ternyata satu kelas dan satu jurusan sama kami.
Namanya Meza, cowok culun se kampus. Pakaiannya saja sudah kayak orang kampungan sekali. Baju kemeja merah yang dia pakai tiap kuliah, celana kainnya yang longgar dengan kacamatanya yang besar. Tujuan kami menjahili dia sebenarnya biar si culun itu mau berubah tidak terlalu kuper sama orang lain. Kadang aku juga sedikit risih, masa orang culun seperti itu dikasih otak yang pintar tapi fisik yang jauh di bawah sempurna.
Tapi jangan salah, Tuhan Maha Adil, aku memiliki fisik sempurna, bisa dibilang lumayanlah. Otakku juga tidak kalah sama si culun itu. Bedanya aku orangnya supel, mudah bergaul, banyak disukai sama remaja-remaja wanita saat ini. Banyak orang bilang daya sensualitasku berasal dari postur tubuhku yang bagus. Selain itu aku memiliki hobi renang setiap minggunya, yah sekedar berenang di kolam renang kampusku.
“Haaaa ayo duduk duduk teman-temanku”, ucap Dennis yang langsung duduk di tengah kelas.
“Hei, lihat tuh si culun”, tunjukku ke Meza yang memilih duduk di sudut pinggir kelas.
“Temeni lah”, kata Billy tersenyum licik ke arahku.
“Heee”, Fajri mengambil tempat duduk di samping Dennis. “Udah jangan usilin lagi dong”.
“Tumben loe bro ngomong gitu?”, ledek Billy.
“Ah, ngga enak aja perasaanku hari ini”, jawab Fajri sembari membuka isi tasnya.
“Ini orang malah nakutin lagi”, balas Dennis.
“Udah, pokoknya nanti sore kita kerjain dia lagi gimana?”, usulku sambil berbisik ke temanku.
“Sip, aku ngikut kamu”, ucap Billy.
“Pokoknya siapin tenaga aja kalian semua”, kataku sambil tersenyum senang.
“Aku ngga ikut-ikut lho”, balas Fajri.
“Ah gitu bro! ikut aja lah”, sungut Dennis yang menarik lengan baju Fajri.
“Iya iya, aku ikut nontonnya aja”, jawab Fajri terpaksa.
“Gitu bro”, tepuk Billy. Kemudian aku memilih duduk tepat duduk di belakang Dennis sedangkan Billy memilih duduk di belakang Fajri.
Selang 15 menit dosen kami masuk ke kelas. Kali ini kami belajar soal-soal ekonomi dari luar negeri. Yah, memang begini rasanya masuk kuliah di jurusan ekonomi, harus tahan sama dongeng dari dosennya. Tapi jangan salah, aku masuk jurusan ekonomi memang karena jiwa ragaku sudah ada di pelajaran ekonomi. Ekonomi itu mengasyikan, banyak sekali hal-hal bisa kita pelajari dari jurusan ekonomi, mulai dari ekonomi usaha kecil masyarakat sampai perusahaan besar terus tentang. Ilmu-ilmu ekonomi lainnya. Indonesia bisa maju seperti ini semuanya berkat orang-orang cerdas dari ekonom kita juga kan? Makanya aku bangga bisa masuk jurusan ekonomi.
Hanya saja di kelasku itu ada saingan yang sok pintar, siapa lagi kalau bukan si culun. Banyak dosen yang simpatik sama kemampuannya. Padahal orangnya culun habis, berbanding terbalik dengan aku. Meskipun begitu, aku akan bersaing secara sehat cuma sifat usilku tidak bakal aku kurangin. Ada satu alasan lagi kenapa kami maksudku aku, suka jahilin si culun, apalagi kalau bukan dia orangnya cengeng dan gampang putus asa. Mana ada cowok yang hobinya nangis. Tapi, kadang aku miris juga melihat si culun itu, banyak orang yang mendekati dia hanya karena ingin memanfaatkan kepintarannya. Dasar orang munafik, berteman karena ada maunya saja, tapi aku tidak peduli mau si culun itu dimanfaatin sama semua orang yang penting bagiku adalah tetap menjahilinya sampai dia nangis.
..................................................................................................................................................................
Riuhnya suasana kantin kampus mulai terasa di siang hari. Pujasera, begitu nama tempat kantin yang menjual beraneka ragam makanan dan minuman. Tempatnya pun luas dan sangat eksotik, arsitektur yang digunakan di Pujasera tersebut memiliki keunikan motif bangunan kota tersebut. Tiang-tiang kayu dioles sedemikian rupa sehingga menyerupai kain batik pada catnya. Lalu atapnya, tepat di bawahnya bertuliskan nama kampus tersebut.
Layaknya sebuah konferensi, Andi dan kawan-kawan lagi duduk di meja segiempat. Saling berhadapan, Andi dengan Fajri menghadap ke arah Dennis dan Billy. Di tengahnya ada gorengan kentang yang cukup banyak. Sesekali Billy mengambil banyak kentang itu. Lalu jus beraneka ragam terhidang dihadapan mereka masing-masing.
“Apa rencana kita bro?”, tanya Dennis yang tengah asyik mangaduk jusnya.
“Ini kan lagi rame neh tentang badut”, ucap Andi berbinar-binar. “Jadi...............”, Andi mengeluarkan benda seperti make up dari tasnya. Satu-persatu benda itu dikeluarkan, mulai dari bedak perias, lipstik dan eyeliner.
“Terus?”, Billy penasaran.
“Nah, ntar kamu berdua”, tunjuk Andi ke Dennis dan Billy. “Sekap si culun itu, ntar kita bawa ke tempat sepi terus kita dandanin kayak badut”.
“Wuih.... keren tuh”, puji Billy.
“Ah, kenapa aku yang nyekap?”, protes Dennis, sedangkan Fajri masih asyik menyeruput jusnya.
“Ya kan siapa ntar yang dandaninnya?”, balas Andi. “Eh, bro! kok diem aja!”, senggol Andi.
“Em”, gumam Fajri yang masih asyik minum.
“Ah, ga seru, biasanya kan situ heboh juga”, protes Andi.
“Ya kan aku udah bilang aku ikut nonton aja”, jawab Fajri yang sedikit malas,
“Masa nonton aja?”, tanya Dennis.
“Yahh gimana ya”, Fajri menggaruk kepalanya. “Perasaan aku ngga enak aja neh ama rencana kita”.
“Nakutin kamu bro!”, elak Billy.
“Yah, kan sapa tahu ada apa-apa”, jawab Fajri setengah takut.
“Ah, yang gitu dipercaya, udah ah!”, tepis Andi. “Pokoknya rencana kita mesti berjalan dengan lancar, selesai kuliah sore, sekap tuh si culun”.
“Sip bos”, jawab Dennis dan Billy barengan. Sedangkan Fajri hanya bisa menghela nafas saja melihat ketiga temannya.
“Sekarang kita isi tenaga kita sama jus-jus”, Andi mengangkat jusnya. “Ayo cheers”.
“Cheers”, Dennis dan Billy mengikuti bersamaan. Fajri dengan lemah gemulai juga ikut mengangkat minumannya. Gelas mereka hantukan berbarengan.
..................................................................................................................................................................
Sore hari pun sudah menjelang. Banyak mahasiswa berlalu lalang untuk kembali ke kos mereka masing-masing. Sementara itu di kelas Andi dan Meza, sudah terlihat mahasiswanya merapikan buku-buku pelajarannya. Mereka semua sudah bersiap untuk pulang, Billy dan Dennis memilih keluar terlebih dahulu karena mereka ingin menyekap Meza di luar secara diam-diam. Mereka pikir lebih baik tidak ada orang yang tahu dengan perbuatan mereka.
Sedangkan Andi dengan lihainya berpura-pura mendekati Meza yang masih sibuk memasukan perlengkapannya.
“Hai Meza”, sapaku yang sembari mendekati Meza, si culun itu.
“Apa?”, jawab Meza ketus kepadaku. Sebal juga kalau lihat dia bersikap ketus ke aku, ingin rasanya aku kerjain biar dia tidak ketus seperti itu.
“Boleh pulang bareng ngga?”, tanyaku yang berpura-pura menawarkan kebaikan ke Meza, padahal niatku ingin menjebak dia.
“Emang temanmu ke mana?”, Meza terlihat menengok temanku yang sudah aku usir lebih dulu.
“Mereka pulang duluan, lagian aku pengen nanya pelajaran yang tadi, sambil jalan pulang gitu”, aku berpura-pura lagi memelas di muka culun. Melihatnya saja bikin muntah, kacamata besar, rambut dengan belah pinggir dengan minyak rambut yang banyak sehingga rambutnya terkesan licin dan menjijikan.
“Em............”, Meza bergumam. Kelihatannya dia curiga dengan sikapku yang mendadak baik, yah siapa juga yang tidak curiga dengan gelagatku, hampir tiap hari aku kerjain si culun ini.
“Ayolah, aku janji ngga jahil nih”, aku memelas seperti seorang pengemis. Sebenarnya paling malas kalau sudah melakukan hal kayak gini.
“Gimana ya?”, Meza menatapku penuh curiga.
“Plis....”, aku memelas dengan gaya menyakinkan.
"Ya deh”, Meza akhirnya mengalah. Yes! Akhirnya berhasil, siap-siap aku kerjain habis-habisan.
“Yuk, kita pulang”, ajakku berbaik hati.
“Iya”, Meza berdiri dan mengikuti aku dari samping. Kami pun mulai berjalan keluar dari ruang kelas. Segera aku kasih kode ke temanku yang sedang berjaga tepat di depan aku. mereka sedang berlindung dibalik gedung depan ruang kelas kami. Aku pun melambai pelan tanganku untuk kode “berhasil dan siap-siap”.
"Waktu yang pas”, pikirku dalam hati yang melihat suasana yang begitu lengang.
“Emang mau nanya apa?”, Meza mulai bertanya.
“Oh, itu soal rumus perhitungan bunga bank”, jawabku berpura-pura. Kami berdua melewati koridor depan ruang kelas kuliah.
“Emang sulit apanya? Kan kamu pintar?”, Meza malah berbalik menyindir aku. Hatiku sudah mulai risih dengan sikap soknya (menurutku).
“Ya tapi kan aku belum paham dapat koefisiennya dari mana?”.
“Koefisiennya kan sudah dari rumusnya sendiri”, jawab Meza. Menurutku benar juga, sudah dari rumusnya, bodohnya aku malah nanya soal koefisien itu harus cepat-cepat nyekap si culun nih, kalau tidak bisa gawat. Aku langsung memberi kode ke temanku untuk keluar dari persembunyiannya.
“Tangkap!”, teriak Dennis yang langsung memeluk si culun dari belakang.
“Ah, kenapa ini?”, jerit Meza ketakutan. “Andi?”.
“Hehehe, sorry”, jawabku tersenyum licik. “Cepat bawa masuk ke dalam kelas sebelah”, tunjukku ke ruang kelas yang sepi.
“Ayo”, seret Dennis.
“Ngga mau!”, berontak Meza. Akhirnya Billy datang dan ikut-ikut memeluk Dennis dan Meza.
“Eh! Kok malah meluk aku juga?”, protes Dennis.
“Eh sorry”, jawab Billy nyengir. “Kita pegang tangannya terus seret aja”, usul Billy.
“Iya, cepat aja”, kata Dennis sembari memegang sebelah tangan Meza sedangkan Billy sebelahnya. Mereka berdua sudah mulai menyeret Meza ke dalam kelas. Sedangkan Fajri hanya mengikuti dari belakang.
“Lepasin.............”, erang Meza yang mulai menangis. Kuat dekapan Dennis dan Billy membuat dia tidak bisa lari, kecuali bertindak anarkis.
“Sabar ya manis, ntar kalo sudah jadi badut baru kami lepasin, hahahahaha”, aku tertawa senang. Dennis dan Billy mulai menyandarkan Meza ke dinding kelas tersebut. Aku mulai mengeluarkan benda-benda kosmetik itu, aku keluarkan terlebih dahulu lipstiknya.
“Nah, kita mulai dari bibir ini”, aku mulai menggosok lipstiknya. Tanpa sengaja, kacamata si culun itu jatuh karena dia banyak tingkah. Wajah aslinya pun terlihat, mata coklat yang selama ini tidak pernah aku lihat sama sekali dari balik kacamatanya sekarang terlihat jelas. Lentik bulu matanya, pupil coklatnya, begitu seksi. Kenapa aku jadi terpesona begini?
“Hei diam! Gimana mau dandan”, protesku saat kepala si culun itu mulai banyak bergerak sampai lipstikku tergores diluar bibirnya yang tipis.
“Uh...”, Meza menangis dan terus berusaha melepaskan dekapan Dennis dan Billy. Sampai akhirnya dengan berani Meza menginjak kaki Dennis dan Billy.
“Au!”, erang Dennis dan Billy saat kaki mereka diinjak. Badanku pun tidak luput dari Meza, di dorongnya badanku hingga ke belakang. Fajri? Jangan tanya lagi dia hanya menonton.
“Eh, kabur tuh”, teriakku. “Kejar!”.
“Uh...”, Dennis masih mengelus kakinya, sedangkan Billy sudah melesat terlebih dahulu mengejar Meza. Aku pun buru-buru memasukan kembali kosmetik yang aku pegang.
“Eh, napa diam?”, tanyaku ke Fajri. “Kejar..”.
“Iya”, jawab Fajri agak malas.
Adegan kejar-kejaran tidak terelakkan lagi. Si culun itu sangat cepat berlari melewati koridor. Bahkan Billy bisa tertinggal cukup jauh dari si culun itu. Sayangnya, kacamata si culun tadi sudah terjatuh jadi dia berlari sambil tersandung ke sana kemari. Namun, dengan sigap aku dan teman-temanku mulai mendekati Meza yang sudah tidak sanggup berlari lagi.
Saat ini kami masih berlari, saling kejar di luar gedung kuliah. Sekarang kami sudah dekat dengan pintu gerbang luar kampus kami. Untungnya suasana sepi, jadi tidak ada yang melihat kami mengejar si culun itu. Billy yang masih memimpin pengejaran, disusul Dennis kemudian aku dan Fajri mulai sudah mendekati Meza. Tapi, Meza sudah berada di luar gerbang pintu kampus. Aku melihat dia sedikit syok dan menangis sambil berlari. Sesekali dia mengusap bibirnya yang tergores oleh lipstik yang aku gores tadi. Sampai akhirnya......
TTTTTTTTTTTTTTTTTIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT (bunyi klakson mobil)
Brak! Meza tertabrak karena dia terus berlari tanpa memperhatikan keadaan di jalan raya. Aku bersama temanku tiba-tiba berhenti mengejarnya karena melihat Meza tertabrak dengan kerasnya.
“Gimana ini?”, tanyaku yang kaget melihat kejadian tu.
“Waduh gawat”, ucap Billy ketakutan.
“Ayo kabur”, ajak Dennis yang malah berlari terlebih dahulu.
“Ayo cepat”, tarik Billy ke aku yang masih kaget melihat kejadian tersebut. Kami pun akhirnya memilih untuk kabur dari kejadian itu. Kami terus berlari memasuki gedung kampus hingga ke ruangan yang tadi.
“Haaa haaaa”, suara nafas Billy tidak karuan. “Gimana ini?”.
“Aduh, apes ini malah pake ketabrak lagi”, ucap Dennis yang terduduk di pinggir kelas karena capek berlari.
“Haaaa”, aku bersama Fajri sampai di tempat Billy dan Dennis berada.
“Bisa gawat kalo ketahuan kita yang ngejar si culun itu”, Billy semakin ketakutan.
“Ya kan, apa aku bilang, perasaanku ngga enak”, sindir Fajri.
“Sudah-sudah, pokoknya kita diam aja”, ucapku menenangkan temanku. “Mumpung ga ada yang tahu, pokoknya jaga rahasia ini”.
"Kalo dia mati gimana?", tanya Dennis takut-takut.
"Jangan doain gitulah!", balasku menyundul kepala Dennis. "Pokoknya kita tutup mulut aja!".
Billy dan Dennis mengangguk tanda setuju sedangkan Fajri malah bertampang sedikit marah. Tapi biarlah, yang penting saat ini tidak ada saksi mata yang melihat adegan kejar-kejaran kami.
“Ayo cepat pergi”, ajak ku ke teman-temanku. Kami pun akhirnya meninggalkan ruangan itu setelah membereskan tempat kejadian awal. Walau pun saat ini perasaan aku berkecamuk. Tapi aku dan teman-temanku harus bisa tutup mulut, menjaga kejadian ini. Aku berdoa jangan sampai hal buruk terjadi dengan Meza, apalagi sampai dia kehilangan nyawa, bisa-bisa polisi datang menyelidiki ke sini. Gawat..............
Saya juga minta saran dan komentar teman-teman buat cerita aku.
Terima kasih ">
@pokemon : part 2 nya aja blm nongol kok minta part 3 nya, gmn to ~(˘▾˘~) ~(˘▾˘)~ (~˘▾˘)~
btw kitty?? apanya hello kitti?
hehehe ....
@Rez1 : oke rez, bakal lanjut kukz
@monstermungil : aku gini2 korban bully di kampus
@asik69 : ini bkn sodaranya hello kitty, wakakakakakak pkokx critanya sdikit "nakal" dan "dewasa" mkax ditambah kata kitty = nama kucing xixixixixixi
@Alvalian-Danoe : hmmmmm aku penulis yg ga bertanggung jwb ya ya bakal aku lanjut kok hikss hikkss