It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Saya juga msh belajar kaka...
Belum saatnya... Masih terlalu dini, gw msh memikirkan orientasi mereka berdua... Hahaha
Raoul lemos, hitam besar kekar,,
Wowowowo..
banyak bulunya juga (kayak gendruo aja deh)
Ditempatku
km kelahiran tahun 92 ya? kita seumuran jangan panggil kaka... aku jg 92
susah emang ya jadi cewe.. kalo udah kodrat ga bisa ditahan.. (gw komen buat yang pake tanda petih tuuuh) hehehehehe
kalo gw, jangankan kembang 7 rupa.. kembang desa rela gw tumbalin buat jeung @arcclay.. pasti dia suka.. hehehehe
“Lagian jadi orang rakus banget sih, makan bistiknya sampai 3 porsi,” timpal Rissa. Raoul hanya memonyongkan mulutnya kearah Rissa dan ia segera melirik wajah Andrew yang sedang tersenyum kecil.
“Ngapain lo senyum-senyum sendiri?” tanyanya
“Nggak kok,” Andrew menyangkal.
“Bohong!” serunya lagi, “pasti lo ngetawain gue”
“Pede banget sih. Udah ah, gue mau ke ruang tengah dulu mau nyetem” balas Andrew. Lalu Andrew segera meninggalkan ruang makan dan menuju ruang tengah. Di ruang tengah tersebut, selain terdapat seperangkat home theater beserta LED TV, terdapat pula sebuah grand piano Yamaha C-7 yang terletak dipojok ruangan. Piano itu berwarna hitam namun sangat mengkilap. Ia tidak menghampiri piano itu, melainkan ia menghambil kotak besar berwarna hitam yang ia bawa tadi. Ia membuka kotak itu, dan mengeluarkan sebuah biola berwarna dark brown dengan sedikit corak romantic. Ia mengangkat biola itu, lalu menaruhnya pada bahu kiri dan menekannya dengan dagunya. Kemudian ia mengeluarkan bow yang masih sangat bagus yang tersusun dari rambut-rambut ekor kuda, lalu menggesekan bow itu pada string A.
“Aduh nggak pitch,” terdengar suara Raoul dari arah belakang. Andrew sedikit kaget dan melihat ke belakang.
“Iya nih, gara-gara tadi gw lari-lari ke sini, stem-annya geser deh. By the way, bantuin gw nyetem dong, tolong pencetin A,”
“Beres bos,” Raoul segera menuju grand piano di pojok ruangan itu, dan memencet tuts A.
TING…
Lalu, Andrew menggesekan bow lagi pada string A. Ia memutar fine tuner pada string A sampai ia merasakan bahwa bunyi yang dihasilkan biolanya sama dengan bunyi yang dihasilkan piano. Kemudian, tanpa perlu dibantu Raoul memencet tuts piano, ia kembali menyetem string E, D, dan G.
“Nah beres nih, coba gue tes dulu,” saat Andrew mau memainkan sebuah lagu tiba-tiba Raoul berkata
“Drew STOPPP!! Lu gila ya, jari-jari lu lagi diperban gitu. Lu mau gak bisa main biola lagi?”
“Apaan sih Raoul? Lu kok lebay banget,” Andrew tertawa, “lagian yang diperban kan tagan kanan. Toh cuma buat ngebow aja. Hahahaha,”
“Ya tapi kan, lu baru luka-luka,”
“Udah gak apa-apa Raoul. Mending sekarang lu accompany-in gue main satu lagu ya,”
“Nggak ah, ntar lu makin parah. Mendingan kita tidur aja,”
“Please brother, just one song. I want to know whether my skill decreases or not,”
“Ber le bi han,” jawab Raoul terputus-putus, “mau main lagi apa?”
“Yah yang ecek-ecek dululah, Canon in D”
“Oke,” lalu Raoul mulai menekan jari jemarinya pada tuts piano. Ia memainkan lagu itu dengan sangat halus. Ia memulai 4 bar pertama dengan lembut, lalu 4 bar berikutnya Andrew mulai menggesekan biolanya dan melanjutkan permainannya. Ia merasa begitu menyatu dengan permainan piano Raoul.
“Cuma permainan piano Raoul yang bisa menyatu selaras dengan permainan biola gue,” gumamnya dalam hati, “Apa karena kita sudah dekat sebagai teman, makanya kita bisa memainkan suatu lagu dengan selaras?” tanyanya lagi.
Permainan music Andrew dan Raoul terus mengalun dengan indahnya. Gesekan solo biola Andrew sangat khas, memiliki color yang tajam tapi soft saat didengar. Inilah yang mebuatnya sering menjuari berbagai violin competition di dalam dan luar negri.
“Ah cuma kayak gini mah standar,”
“Oy dah malem nih, tidur yuk,” ajak Raoul
“Duluan aja, gue masih mau main biola,” jawab Andrew
“Jangan over gitu dong mainnya,” tegas Raoul.
“Apaan sih Raoul, nggak usah berlebihan gitu deh. Sana tidur,” saat Andrew mengatakan hal itu, Raoul pun pergi meninggalkan dirinya sendirian di situ. Tanpa sadar, Rissa juga memperhatikan permainan Andrew dan Raoul tadi. Ia hanya bersembunyi di balik pintu penghubung ruang makan dan ruang tengah. Matanya yang bewarna coklat tidak pernah terlepas dari Andrew. Kemudian dia hanya mengguratkan bibirnya dan tersenyum. “Fix banget, gue suka sama Koko Andrew. Seandainya aja dia juga punya perasaan yang sama,” gumamnya dalam hati. Tanpa Rissa sadari, Andrew menoleh kearah pintu dan memperhatikan gelagatnya. Lalu Andrew berkata,
“Oy Rissa, ngapain senyum-senyum sendiri,”
Rissa pun terkaget, dan spontan ia kepalanya membentur pintu, “Awww,”
“Makanya hati-hati, ngapain sih senyum-senyum nggak jelas?” tanya Andrew, lalu ia menatuh biolanya di sofa, dan menlangkahkan kakinya kea rah Rissa.
“Sakit nggak?”
“Ya iyalah ko.” Jawab Rissa sambil mengelus-elus dahinya.
“Mau sembuh nggak?” tanya Andrew.
“Hah, emangnya koko bisa ngobatin?” balik Rissa bertanya dengan nda heran.
“Coba lu merem,” jawab Andrew. Spontan tanpa banyak berpikir Rissa memejamkan matanya. Lalu…
CUP
Andrew mencium kening Rissa. Rissa terkaget dan diam seribu bahasa.
“Tuh, sembuhkan?” kata Andrew sambil mengusap-usap rambut Rissa.
“Ih koko, sembarangan aja nyium-nyium,” jawab Rissa kesal. Lalu ia segera pergi meninggalkan Andrew sendirian. Beberapa langkah ia berjalan, ia membalikan tubuhnya,
“By the way ko,” dengan nada malu,
“Iya?”
“Thanks ya,” Andrew terdiam mendengar pernyataan Rissa. Ia hanya bisa tersenyum membalas kata-kata Rissa tadi. Lalu, Rissa benar-benar melangkahkan kakinya menuju ke peraduannya.
Andrew terus memandangi langkah Rissa, ia mulai mengutak-atik otaknya dan berkata dalam hati “Apakah gue suka Rissa? Tapi kenapa saat gue cium keningnya, I don’t feel anything? Apakah ini hanya usaha gue untuk menutupi perasaan lain yang ada di dalam diri gue?”