BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MENATAP BINTANG DI LANGIT LUWUK - TAMAT (Hal 7)

123457

Comments

  • ikkut mention bangggg
  • ϑαĥ the end ye?
  • MENATAP BINTANG di LANGIT LUWUK - (TAMAT)

    PUTRA terkejut saat ada yang merangkulnya dari belakang. Secara reflek dia mencoba melepaskan diri dan menepiskan tangan itu. Putra mundur beberapa langkah dan mencoba mencari tahu siapa yang baru saja memeluknya.

    Butuh waktu agak lama mengenali orang yang berdiri tak jauh dari Putra di kegelapan malam ditambah padamnya listrik. Putra pikir orang itu adalah Nemanja, tapi tubuh Nemanja lebih jangkung dari sosok itu. Orang itu ternyata... Dewo.

    "De..Dewo?" tanya Putra tak yakin.

    "Iya Put, ini gue.." sahut Dewo.

    "El.. Elo nyusul?" tanya Putra.

    Dalam kegelapan, Putra bisa melihat Dewo mengangguk. Rambutnya bergerak-gerak tertiup angin laut.

    "Kenapa...?" tanya Putra.

    "Gue nyusul elo karena... karena..." ucapan Dewo terhenti saat perhatian dia dan Putra teralihkan oleh seseorang di kegelapan yang menyalakan rokoknya.

    Dari korek api yang menyala, Putra bisa mengetahui bahwa orang yang merokok itu adalah James. Dia tak menyadari kehadirannya selain kehadiran Dewo dari tadi.

    "Ngapain dia di sini??" sahut Putra kesal. Dia segera berniat meninggalkan mereka berdua.

    "Put.. tunggu Put! kita bicarakan ini," tahan Dewo sambil meraih tangan Putra.

    "Seharusnya elo enggak perlu buang-buang waktu ke sini, Wo.." ujar Putra.

    Walaupun Putra bersikap dingin, sebenarnya ada rasa bahagia yang menyelusup ke dadanya karena Dewo menyusulnya ke kota ini. Itulah sebabnya, agak sulit bagi Putra untuk benar-benar marah kepada Dewo walau gestur tubuh dan mimiknya menampilkan sebaliknya.

    "Gue mau ngomong sama elo Put! dengerin gue!" ujar Dewo.

    Putra masih terdiam. Dia melirik James sekilas. Rasanya Putra benci sekali melihat pria itu. Putra kembali menatap Dewo. Ada tatapan memohon dengan sangat di matanya. Sebenarnya Putra pun tidak siap berbicara dengan Dewo. Dia masih bimbang dengan hubungannya dengan Dewo. Pikirnya, semua masalah akan hilang bila dia tidak bertemu lagi dengan Dewo, tidak mau tahu lagi tentangnya juga.

    "Seru juga nonton sinetron. Tapi lebih seru kalau enggak di tempat gelap begini dan pemerannya bisa kelihatan," ujar James tiba-tiba sambil mengisap santai batang rokoknya.

    "Ayo, aku antar kalian supaya bisa santai ngobrol," kata James sambil bangkit dari duduknya.

    "Siapa yang bilang gue mau ngobrol??" protes Putra. Tapi tampaknya Dewo dan James tak menerima segala macam penolakan.

    "Ayolah Put... kita kan udah bersahabat lama.. masak mau berakhir kayak gini aja?" rengek Dewo. Entah mengapa Putra selalu luluh pada rengekan Dewo. Akhirnya dia setuju untuk ikut mereka berdua walau dengan berat hati.

    "Oke. Gue ikut. Gue kunci kamar dulu..." kata Putra.

    "Apa.. elo tidur sekamar sama bule itu?" selidik Dewo.

    "Bule itu punya nama. Nemanja. Dan sejak kapan elo jadi perhatian dengan siapa gue tidur sekamar?" sindir Putra.

    Dewo terdiam.

    Setelah mengunci kamar, Putra menyusul Dewo yang menunggunya di lobi. Dia pun menitipkan kunci pada resepsionis sebelum pergi.

    Putra duduk di bagian belakang mobil dan Dewo pun menemaninya. James bertindak sebagai supir. Dari penjelasan James, Putra mengerti sepertinya James memang memiliki banyak kenalan di mana-mana. Terutama di Sulawesi.

    Listrik rupanya telah kembali menyala saat James memarkirkan kendaraannya di dekat sebuah pantai. Putra dan Dewo keluar dari mobil. Putra berjalan lebih dulu menjauhi mobil dan Dewo segera menyusulnya.

    "Ya... kalian ngobrol aja, aku tungguin di sini," sahut James sambil menyalakan sebatang rokok. Di belakangnya sebuah warung makan menyala terang benderang dan dari dalamnya terdengar suara lantunan lagu lawas yang dinyanyikan seorang pria yang asyik berkaraoke.

    Putra berjalan di sepanjang pantai berbatu. Dia menikmati hembusan angin sekaligus merasa gusar oleh Dewo yang terus mengikutinya.

    "Put! kalau elo jalan terus kita enggak bisa bicara!" panggil Dewo.

    Putra menoleh pada Dewo. Dia menghela nafas dan memutuskan untuk duduk di sebuah batu besar menghadap ke pantai dan langit yang bertaburkan bintang.

    Dewo mengikuti Putra dan duduk di sebelahnya.

    "Kita enggak akan bisa ngelihat bintang sebanyak ini kalau di Jakarta, ya?" tanya Putra sambil tersenyum.

    "Iya," jawab Dewo sambil mengangguk.

    Putra terdiam.

    "Put..." ujar Dewo membuka percakapan.

    "Elo tega banget, Wo!" potong Putra dingin.

    "Maafin gue Put," kata Dewo.

    "Agak terlambat buat hal itu kan?"

    "Put.. awalnya gue enggak ngerti. Kita berteman udah cukup lama, elo selalu ada buat ngedukung gue, dan waktu gue ngambil langkah terlalu jauh... gue pikir elo bakal ngerti..." ujar Dewo pelan.

    Putra tak merespon. Dewo pun melanjutkan.

    "Ya! gue tergila-gila sama James. Waktu dia mengajukan syarat gila... dan gue setuju karena waktu itu gue berusaha buat dekat dengannya, gue... mengorbankan elo... Gue pikir, hey! kita kan bersahabat, pasti elo bakal nolong gue dalam hal apapun..." kata Dewo. Wajahnya mulai terlihat muram, bicaranya semakin terpotong-potong karena tenggorokannya serasa tercekat.

    "Dan satu hal yang enggak elo ketahui, kalau selama ini gue suka sama elo, wo... gue pikir.. waktu itu selama beberapa detik gue menyangka bahwa akhirnya elo menyadari itu semua saat elo nyium gue..." ujar Putra.

    "Iya. Gue baru sadar sekarang. Elo ngebalas ciuman gue penuh perasaan. Tapi terus terang, selama ini gue enggak berani, Put..." kata Dewo.

    "Enggak berani kenapa?"

    "Gue enggak bakalan berani punya pikiran buat suka sama elo! Coba lihat gue! cowok brengsek yang hobinya main-main sama orang, dibandingkan sama elo Put... Enggak sedikitpun gue berani berpikir buat suka sama elo karena.. karena gue enggak ngerasa pantas buat elo..."
    Ujar Dewo.

    Dewo kemudian bangkit dan mengacak-acak rambutnya sendiri sambil berteriak. "Arrrgghhh...!"

    "Tapi semua itu enggak bikin gue hilang suka sama elo, Wo... Dan selama ini gue gunain alasan klise enggak bilang sama elo: gue takut kehilangan elo saat gue bilang suka..." kata Putra.

    "Kehilangan? selama ini gue justru yang takut kehilangan elo, Put! Elo enggak pikir betapa mindernya gue di depan elo! setiap kali elo nyelamatin gue dari kopi darat penuh bencana, atau.. atau.. saat elo ngelihat gue keluar dari kamar dengan cowok yang baru gue kenal, gue selalu ngelihat tatapan kecewa di mata elo, Put! Dan itu semakin membuat gue ngerasa kecil dan kotor di hadapan elo!"

    "Itu bukan tatapan kecewa karena hal-hal itu, Wo! Gue kecewa karena.. karena elo enggak bisa ngelihat orang yang bener-bener suka sama elo padahal orang itu begitu jelas..." sahut Putra.

    Dewo kembali duduk di sebelah Putra.

    "Yah.. gue sekarang jadi ngerti setelah ngelihat langit malam di kota ini. Elo seperti bintang-bintang yang gue lihat di Jakarta. Bintang yang sama bersinar terang, tapi terhalang oleh udara kotor dan kalah oleh cahaya palsu buatan manusia yang menyilaukan... Dan setelah semua penghalang itu enggak ada, gue baru sadar.. betapa indahnya bintang itu..." sahut Dewo.

    Putra tak merespon. Hatinya terasa begitu pedih. Pedih karena akhirnya dia mengaku pada Dewo, dan betapa mereka berdua tak mengerti isi hati masing-masing walau persahabatan mereka begitu dekat.

    "Denger Put, gue mohon... elo balik ke Jakarta sama gue... Kita mulai lagi dari awal, Please..." pinta Dewo sambil menggenggam tangan Putra.

    "Enggak tahu Wo.. gue bener-bener enggak tahu harus ngapain sekarang..." jawab Putra. Dia kemudian perlahan menarik tangannya dari genggaman Dewo.

    Dewo menghela nafas putus asa. "Oke Put.. gue enggak bakal maksa elo. Perbuatan gue emang enggak bisa dimaafkan. Besok gue kembali ke Jakarta ikut penerbangan pagi jam tujuh. Gue udah beli tiket atas nama elo, kalau elo berubah pikiran..." Dewo tak melanjutkan kalimatnya.

    Putra tak menjawab.

    Dewo kemudian bangkit dari duduknya. "Ayo, kita antar elo ke hotel.." ajak Dewo.
  • Baik Putra, Dewo, maupun James, tak berkata sepatahpun saat ketiganya mengantar Putra kembali ke hotel. Ketika Putra meminta kunci kamarnya di resepsionis, rupanya Nemanja telah kembali ke hotel dan mengambilnya lebih dulu.

    Putra mengetuk pintu kamar hotel perlahan. Tak lama kemudian Nemanja membuka pintunya dan membiarkan Putra masuk.

    "Dari mana? enggak ada kabar," tanya Nemanja.

    "Um.. saya dari... um.." jawab Putra terbata. Matanya tak berani menatap pria bule itu.

    "Dewo datang ke sini ya?" tebak Nemanja.

    "H.. how did you know?" tanya Putra.

    "Resepsionis itu bilang sama saya, kalau kamu pergi dijemput orang. Dan karena saya cukup yakin, you doesn't know anyone in this town, so saya menebak kalau itu Dewo," ujar Nemanja.

    "Nemanja..." ujar Putra tak tahu harus berkata apa. Dia bingung antara tak bisa memaafkan Dewo, tapi juga tak bisa sepenuhnya bersama Nemanja.

    "Kamu... pulanglah sama dia ke Jakarta.." kata Nemanja.

    Putra menggeleng. "Saya enggak bisa maafin dia..."

    "Kalau begitu jangan! tapi menurut saya, kau harus kembali bersama dia. Bukan masalah memaafkan atau tidak, tapi pilihannya harus bersama dia atau tidak sama sekali," ujar Nemanja.

    Putra mulai terisak.

    "Ada apa sama saya? padahal di depan saya ada cowok oke, yang siap menerima saya apa adanya, tapi saya tidak mau untuk berbahagia. I choose not to be happy with this guy... tell me what's wrong with me?" tanya Putra memelas.

    Nemanja meraih tangan Putra dan meremasnya. "Because your happiness.. is to be with that guy.. not with me..." ujarnya pedih.

    Putra tak bisa menahan kesedihan dan rasa bersalahnya kepada pria ini. Dia pun memeluknya dan terisak di bahunya. "Thanks..." bisiknya.

    ****

    Langit perlahan sudah mulai terang ketika fajar mulai menyingsing. Dewo menunggu dengan gelisah di Bandara berharap Putra menunjukkan batang hidungnya. Kakinya bergerak-gerak tak sabar dan mengganggu James yang berdiri di sebelahnya.

    "Itulah yang saya enggak suka sama cerita sinetron..." ujar James sambil mengisap batang rokoknya.

    "Maksudnya?" tanya Dewo tak mengerti.

    "Kenapa juga harus pakai kalimat 'gue tunggu elo di bandara kalo elo berubah pikiran?' padahal jemput aja temenmu tadi di hotel.. sok-sokan romantis tapi jadi ngerepotin," sahut James.

    "Gue enggak mau maksa sama dia.." kata Dewo.

    "Tapi akibatnya, kegelisahan kamu bikin saya kesal, tahu enggak?"

    Kalimat terakhir yang dilontarkan James tak didengar Dewo. Wajahnya terlihat sumringah saat melihat sebuah taksi berhenti dan Putra keluar dari dalamnya. Dewo segera melepas ranselnya dan berlari turun menjemput Putra dan memeluknya.

    "Akhirnya, makasih ya Put.." kata Dewo sambil memeluk Putra.

    "Gue belom bisa maafin elo, Wo.. Tapi gue sadar, gue harus pulang sama elo.." kata Putra sambil tersenyum.

    Dewo nyaris menangis mendengar ucapan Putra. Dia merangkul bahu sahabatnya itu dan naik menghampiri James.

    "Oh, so sweeet..." kata James dengan nada mengejek. Wajah Putra mendadak cemberut melihat pria itu masih saja dekat dengan Dewo.

    "Jadi kalian baikan nih? sekaligus pacaran?" tanya James yang membuat Dewo dan Putra salah tingkah.

    "Eh, ehmm... kalau soal itu sih, belom dibicarakan.." kata Dewo. "Kita cek-in aja sekarang..." ajaknya.

    "Eng.. kalian aja yang pergi. Saya mau tinggal." kata James.

    "Hah? enggak jadi pergi?" tanya Dewo. Pesawat ke Jakarta ini akan transit ke Makassar. Rencananya James memang berencana akan pergi ke kota itu.

    "Yup. Ada bule patah hati di kota ini, baru saja ditinggal sama.." James melirik Putra, "jadi saya pikir mungkin dia butuh hiburan... tari striptis misalnya..."

    "Serius, lo??" tanya Dewo tak percaya.

    "Ya. Lagipula kayaknya saya enggak akan tahan deket-deket pasangan yang aura percintaannya lagi tinggi kayak kalian. Macam obat nyamuk aja. Blah.."

    Dewo tertawa.

    "Kalian pergi ajalah... Semoga setelah kembali ke Jakarta kalian bisa nikah.. eh, jadian.. atau apalah namanya..." kata James sambil berbalik arah dan melambaikan tangannya pada Dewo dan Putra.

    "Dan, kalau kalian butuh variasi, trisome misalnya, just give me a call..." sahut James.

    Dewo terbahak. Namun saat melihat Putra yang menatapnya tak senang, Dewo menghentikan tawanya.

    Sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta, senyum tak henti-hentinya mengembang pada wajah Dewo. Dia bahagia sekali. Putra pun sebenarnya merasa senang. Tapi nampaknya masih ada satu hal yang masih menjadi pikiran baginya.

    ***
  • "Ah.. akhirnya sampai juga di rumah..." ujar Dewo ketika masuk ke apartemennya dan melempar ranselnya begitu saja ke atas ranjang.

    "Wo, kalau gue ngerepotin, gue langsung balik aja ke rumah gue ya?" kata Putra.

    "Ah! apaan sih elo? kayak baru kenal ama gue? nyantai dulu lah..." ujar Dewo sambil melepas jaketnya.

    Putra berdiri diam. Menyadari hal itu Dewo pun menyapanya "Put? elo kenapa?"

    Putra tak menjawab. Dia malahan menghampiri Dewo dan mulai mencium bibirnya. Tak menyangka Putra akan berbuat itu, Dewo segera mengatasi keterkejutannya dan mulai membalas ciuman Putra.

    Keduanya larut dalam cumbuan romantis dan dalam. Putra dan Dewo saling berpelukan. Putra mendorong Dewo ke atas ranjang dan terus menciuminya. Tangannya kemudian meloloskan kaus Dewo hingga dirinya bertelanjang dada. Putra pun melepas kemejanya dan kembali mencium Dewo.

    Menyadari bahwa Putra menginginkan lebih dari sekadar cumbuan, Dewo menghentikan gerakannya. "Elo.. elo yakin Put?" tanya Dewo hati-hati.

    Putra mengangguk. Matanya menatap mesra Dewo. Dewo kemudian memeluk Putra dengan penuh kasih sayang. Dia berikan cumbuan terbaik yang bisa dia lakukan kepada sahabatnya itu. PUtra memejamkan mata. Dia akan serahkan semuanya pada Dewo hari itu.. saat itu juga...

    ***
  • Entah sudah berapa jam Dewo tertidur pulas. Dia bermimpi indah sekali. Dalam mimpinya dia sudah berpacaran dengan Putra. Kemana-mana berdua. Betapa indahnya ketika dua orang yang sudah kenal bertahun-tahun, akhirnya memutuskan untuk menjalin ikatan romantis percintaan. Tanpa sadar Dewo tersenyum sendiri dan mencoba memeluk Putra setelah sesi percintaan panas mereka sepulangnya dari Luwuk, untuk pertama kalinya.

    Senyum Dewo langsung lenyap ketika menyadari Putra tak lagi berada di sampingnya. Dia terlonjak kaget. Tubuhnya masih telanjang. Dia melihat sekeliling kamarnya dan memanggi sahabatnya. "Put? elo di mana?" sahut Dewo.

    Tak ada jawaban. Dewo pun turun dari ranjang dan menutupi tubuh bagian bawahnya dengan selimut dan keluar kamar hendak mencari Putra. Tapi tampaknya sahabatnya itu sudah tak ada lagi di apartemennya. Tasnya pun rupanya sudah ikut menghilang. Dalam kebungungan Dewo kembali ke kamar dan melihat sebuah kertas berisi catatan menempel pada meja di sebelah ranjang.

    "Baca email dari gue." begitu isinya.

    Dewo yang masih bingung meraih ponselnya. Dia tidak langsung mengecek email seperti perintah Putra, namun berusaha menghubungi ponselnya. Namun sayang, usaha Dewo sia-sia. Nomor Putra tak aktif. Dewo berusaha mengembalikan kesadarannya dan duduk di atas ranjang sambil mengusap wajahnya. Setelah dia tenang, dia membuka email yang dikirim Putra padanya.

    "Wo, gue lega karena akhirnya gue bisa bilang bagaimana perasaan gue ke elo selama ini. Maafin gue ya? enggak bilang dari awal... Selama ini gue nunggu. Berjanji untuk menyerahkan diri gue sama orang yang gue cintai. Dan orang itu adalah elo, Wo! Dan betapa bahagianya ketika akhirnya hal itu gue lakukan sama elo. Cowok yang selama ini gue kagumin.

    Tapi gue enggak bisa pungkiri. Masih ada hal yang enggak bisa berubah begitu aja secara instan. Gue harus menata hati gue dulu sebelum bener-bener gue percayakan kepada elo buat dijaga. Gue pikir elo juga masih perlu waktu buat meyakinkan diri elo sendiri... apakah elo melakukan itu supaya gue enggak ninggalin elo, atau memang elo akhirnya bener-bener tulus menyukai gue Wo.

    Waktu di Palu, gue nerima email dari perusahaan. Gue dipilih untuk belajar di Jerman selama setahun. Dan.. walau rasanya berat buat ninggalin elo, kayaknya ini adalah keputusan yang harus gue ambil. Kali ini, gue mau ngelakuin sesuatu yang benar-benar gue pilih bukan karena pertimbangan ada tidaknya elo dalam hidup gue. Dan kalau elo cukup bersabar, mungkin musim dingin pertama nanti elo bisa tahu bagaimana perasaan gue mengenai hubungan kita Wo. Dan gue juga siap menerima, kalau dalam jangka waktu itu, elo nemuin orang yang lebih baik dari gue, yang bisa elo cintai sepenuh hati, dan bisa bikin elo bahagia...

    Selamat tinggal ya Wo, walau bukan buat selamanya. Gue sayang elo selalu...

    -Putra-"

    Dewo tak kuasa menahan rasa sakit yang mulai timbul di dadanya. Nafasnya terasa tercekik. Belum pernah dia merasa sesedih ini. Tak hanya akan kehilangan orang yang baru saja sadar dia cintai, dia juga kehilangan sahabat terbaik yang selama ini selalu mendukungnya


    ***
  • Awal Desember. Dewo baru saja kembali ke kantornya setelah makan siang bersama teman-temannya. Walau Dewo nampak baik-baik saja, bercanda tawa bersama teman-temannya, diam-diam dia masih merasa sedih ditinggal Putra. sudah lewat enam bulan sejak kepergiannya. Tak ada kabar apapun dari Putra. Dia sepertinya sengaja tak berinteraksi dengan siapapun di dunia maya. Hampir semua akun sosial medianya tak lagi aktif sejak kepergiannya ke Jerman.

    Dewo, terkejut dengan perilakunya sendiri. Rasa ingin membuktikan kepada Putra bahwa dirinya telah berubah membuatnya tak lagi berburu pria kesana kemari untuk mencari kesenanangan. Dia sibuk dengan pekerjaannya, menghindari godaan dari sana-sini, dan setiap hari menunggu kabar dari Putra.

    Sebuah pesan di akun facebooknya membuat Dewo berdebar. Akun mati suri milik Putra mengiriminya sebuah pesan.

    "Hi Wo! apa kabar? udah berapa cowok yang berhasil elo taklukan selama enggak ada gue? heheheh.. becanda. Oh iya! tau enggak? mulai Desember ini gue liburan sebulan penuh! Dan gue pergi ke kota kecil dekat perbatasan Belanda. Di sini udah mulai turun salju. Dan gue bisa ngerasain tumpukan salju buat pertama kalinya! norak ya? hehehe.. gue enggak sabar buat balik ke Indonesia. Gue kangen sama elo! kangen banget! Nah, gue enggak bisa kirim-kirim foto dulu, buat surprise kalau kita ketemu nanti. Tau sendiri kan? gue demen cerita. Elo harus siap-siap kupingnya panas sampai ngantuk-ngantuk kalo gue pulang nanti dan ceritain tentang semuanya di sini. Tapi, gue kirimin foto salju buat elo Wo! biar elo ngiri. Enjoy.. hehehe.. Salam sayang selalu buat temen gue yang paling ganteng: DEWO"

    Dan Dewo tak bisa menahan tawa bahagia melihat foto yang dikirimkan oleh Putra padanya.



    -TAMAT-
  • Inilah enak nya baca cerita dri penulis yg udah mumpuni, selalu ada kejutan kisah sekalipun di detik akhir, jdi lebih hidup n ga flat :-)

    gd job, Bg Remy
  • Mantap bg remi
  • habibah.. fin..

    tq ts buat ceritanya
  • ahh bang rem....tambah suka ma elu bang, ending yg bener2 tak biasa :)
  • akhirnya kelar juga ceritanya setelah 30 bulan! sampe ganti akun.
    terima kasih cerita kerennya.
  • Indahnye ........
    Makaseh mas @Remy_linguini
    Di tunggu cerita laennye.
Sign In or Register to comment.