"Faggot,!" Uh... Sapaan yang tidak enak di dengar untuk mengiringi perjalanan pulangku yang hanya berjarak tiga rumah lagi.
"Thank you asshole,!" Balasku sambil mengacungkan jari tengah sebagai salam favoritku dan tetap berlalu.
Bukan perkara langka atau menyakitkan mendapat 'pujian' disaat kepulanganku. Hal lumrah, aku menyebutnya. Menjadi seorang yang 'berbeda' harus memiliki banyak hal yang dimasukan dalam kategori lumrah.
Hak mereka untuk mengeluarkan apapun kata dari mulut, dan aku juga punya Hak untuk melawan dengan apapun caraku.
"Fuck you,!"
Wow... Sapaan tegas menemuiku seketika aku ingin membuka pintu rumahku. Tapi, makian itu setidaknya bukan ditunjukan padaku, serta....
Prang.....
lemparan vas bunga itu juga bukan ditujukan padaku, tapi sial, karena nyaris mengenaiku.
"Jangan pernah perlihatkan wajahmu lagi di hadapanku brengsek,!"
Aku bilang sekali lagi, itu bukan kalimat untukku. Karena....
"Kamu pikir aku sudi melihat wajahmu lagi jalang..!!"
Akhirnya Orang yang bersangkutan, memberi respon. Dia berhenti sejenak melihat kehadiranku, dia... Cukup menawan. Aku tersenyum menggoda padanya, tapi sayang, aku tidak sudi memakai 'barang' yang sama dengan wanita yang dia panggil jalang atau lebih tepatnya kakak perempuanku.
"Pergi brengsek..!!!"
Prank...
Satu vas bunga mengakhiri 'diskusi' mereka. Dia yang mempesona langsung berlalu dengan makian.
"Aku butuh uang,!"
Wow, kalimat tidak enak di dengar itu sekarang yang menyambutku. Sial bagiku, karena aku yakin ucapan itu d tujukan padaku setelah aku memastikan bahwa tidak ada orang lain di ruangan ini.
Aku hanya memandang wajah kakakku dengan kening berkerut. Aku bahkan belum sempat mendudukan patatku di kursi.
"Aku bilang aku butuh uang," ulangnya.
"Aku tidak tuli," jawabku datar sambil berlalu menuju dapur untuk mengambil minuman.
"Kalau begitu beri aku uang, kamu baru pulang jam segini, itu artinya kamu banyak uang." Ocehnya terus membuntutiku sampai aku duduk di sofa depan tv.
"Untuk apa?"
"'Menyelamatkan' keponakanmu,"
"Lagi? Ini yang kelima untukmu" Tanyaku heran. Aku tahu pasti apa yang dimaksud dengan 'menyelatkan',. Dia ingin kembali menggugurkan kandungannya. Aku tidak menganggap apa yang dilakukan Jenny, kakakku itu benar, namun itu yang terbaik.
Melihat nyawa baru di rumah ini, artinya kamu kirim nyawa itu kedalam neraka. Aku berusaha memahami dan mengerti yang dilakukan Jenny.
"Ya ya ya, salahkan lelaki brengsek tadi,"
"Dan juga dirimu sendiri Jenny, bisakah kamu kurangi sifat liarmu di ranjang huh?"
"Shut up,! Just give me the money,"
"You see? This one?" Tanyaku menunjuk pipiku yang lebam.
"Bdsm huh? Itu membuatmu bisa mendapat uang lebih," jawabnya asal.
"Fuck you, aku mendapatkan ini gara-gara yang menyewaku lelaki kere. "
"Jangan membohongiku,"
"Aku tidak butuh kepercayaanmu,"
"Dasar bodoh, " makinya, kini dia beranjak meninggalkanku menuju kamarnya. Tapi hanya beberapa menit kemudian dia kembali keluar kamar dengan pakaian seksinya.
"Where're you goin'" tanyaku yang sebenarnya untuk basa-basi.
"Like you care huh?" Ucapnya seolah tahu apa yang ada di dalam otakku. Kalimat itu menjadi perpisahan kami.
"You right," sahutku dengan senyum tidak peduli.
"Aku butuh uang," sahut suara lain yang baru saja menggantikan suara Jenny.
"Shit," umpatku bosan mendengar kalimat itu lagi datang dari mereka yang menyebutku sebagai keluarga.
"Aku butuh uang, bukan umpatan" balasnya dan berjalan mendekat.
"Aku tidak punya," jawabku tak peduli berbalik badan untuk menatap wajahnya.
"Kamu bahkan baru pulang jam segini, tidak mungkin kamu tidak punya uang," ujarnya memulai debat. "Aku sudah bilang, tiduri wanita, mereka lebih banyak memberi uang,! Tapi dasar anak bodoh" lanjutnya disertai tangannya yang tiba-tiba mendorong kepalaku dari belakang.
"Jangan menyentuhku,!" Ucapku tidak suka dan langsung menyingkirkan dengan kasar tangannya yang sempat berada di kepalaku.
"Kenapa? Aku berhak melakukannya, kamu anakku sendiri brengsek," jawabnya mencari alasan yang hanya aku tanggapi dengan senyum muak.
"Kau, ! Bukan ayahku, ingat itu"
"Aku menikahi ibumu, ingat juga itu,"
"Sayangnya itu tidak ada artinya untukku"
"Dasar anak brengsek!" Umpatnya langsung berniat melayangkan pukulan padaku yang tentu dengan mudah aku menghindar. Harusnya dia ingat, kalau dia tidak pernah menang dariku, apalagi dalam kindisinya yang tengah mabuk seperti sekarang.
"Siapa yang bodoh selakarang huh?" Ejekku melihat dia sempoyongan ingin memukulku dengan aku yang sangat mudah untuk mengghindar.
"Brengsek,!!" Geramnya keras dan sambil tetap berusaha memukulku namun mengakibatkan tubuhnya ambruk di sofa. Ingin memanfaatkan keadaan, aku langsung menindih tubuhnya yang dalam posisi tengkurap dan mengunci dengan keras kedua tangannya ke belakang.
"AAAGH...!!" Jeritnya kesakitan karena aku mengunci tangannya dengan kuat. "Lepas anak brengsek,!" Teriaknya masih saja menggunakan panggilan paling memuakan.
"Did you enjoy it asshole?" Ejekku makin mengeratkan kuncian yang membuatnya kembali berteriak layaknya pelacur jalang.
"Lepas!!" Usahanya untuk kesekian kalinya yang masih gagal. Aku ingin menikmati menyiksanya seperti ini lebih lama, namun berutung baginya karena sekarang aku teringat hal yang lebih penting.
"Sekarang pergi,! Jangan tampakan wajahmu di depanku saat aku di rumah" ujarku melepaskan kuncian tangannya.
"Fuck you!!" Makinya sambil berlalu dari hadapanku.
Tidak ingin menanggapi ocehannya, aku lebih memilih untuk masuk ke kamar yang entah sejak kapan terbuka. Disana ada sosok yang tengah memandangku.
"Harusnya kamu tidak perlu memasang ini tadi," ucapku menunjuk alat bantu dengar yang terpasang di telinga Nathan, adikku.
Senyum menjadi balasan dari ucapanku tadi. Aku hanya bisa memandang maklum dan bersalah padanya.
"Sisanya akan aku kasih seminggu lagi, tidak masalahkan?" Tanyaku seraya mengambil uang dari tempat tersembunyi di jaket lusuhku dan meletakannya di meja belajar Nathan. Nilai yang lumayan untuk membayar sebagian tunggakan bulanan sekolahnya.
Senyum dan anggukan menjadi jawabannya kali ini.
Ya, aku membohongi kakak dan ayah tiriku untuk adikku. Nathan tak mempermasalahkannya, karena dia tahu siapa prioritasku.
Comments
HAPPY READING....
Steve pov
"Nice jacket," ucapku sebagai salam pertemuan dengannya. Ucapan salam di jalanan malam penuh hiasan Tuhan dalam wujud lelaki indah di mata.
"Oh, thank you" sahutnya memandang jaket lusuhnya namun tetap memberi senyum khas sesuai profesinya. Tidak perlu perintah, karena hanya dengan sapaan, dia akan mendekat.
"Nice car," pujinya mendekati pintu mobil dan sepintas memandang isi dalam mobil.
"Come in!" titahku yang dengan senang hati dia lakukan.
Tak butuh waktu untuk bersapa lebih lama, aku tinggalkan jalanan itu dengan hadiah yang kuinginkan.
"So..., where we are going?
"Hotel"
"Okey," jawabnya singkat. "I like you," lanjutnya yang sukses mengalihkan sejenak perhatianku dari jalanan. "Orang yang tidak banyak bicara," ucapnya seolah aku menuntut penjelasan.
"Aku meminta setengah bayaranku sekarang," Ucapnya yang kali ini memang harus aku tanggapi.
"Hanya berjaga agar nasib sial tidak menimpaku lagi," jelasnya.
"Oke, tapi aku punya permintaan"
"What's that?"
"Aku ingin kamu menerankan seseorang selama bersamaku," lanjutku.
"Oh, role play?"
"Yeah,"
"Oke, who am I?"
"Brian. Your name is Brian,"
"Ok, my name's Brian, and you?"
"I'm Steve,"
"and you're my boyfriend?"
"Yes,"
"How long we've been together?"
"Five years,"
"Wow, that's long enough for people like us,"
"I really appreciate with people whose keep theirs commitment.," lanjutnya.
Aku hanya memandangnya sekilas dan tak berniat untuk menanggapi ucapannya.
"What I like?" Tanyanya.
"Anything about music and guitar is your favorite instrumen."
"Am I singer? Song writer? Or just playing instruments"
"You're singer and song writer"
"I live with that?"
"Yeah"
"What song I sing?"
"Anything, with your lovely guitar."
"So, where's we first met?"
"In a bar"
"Gay bar?"
"No, normal bar"
"Did I sing, at that time?"
"Yeah"
"Love by first sight huh?"
"Not really,"
"What first conversation between us?"
"You ask me, did I've lighter, and I say no, cause I'm not a smoker"
"Who are the first asked the name?"
"You,"
"Oke, my name's Brian. Who's your name?" Aktingnya.
"My name is Steve," jawabku tak bisa sembunyikan senyum karena tingkahnya.
"I like your smile,"
Aku memilih tak menanggapinya.
"Did I love you?" Tanyanya ternyata masih belum usai.
"You must be"
"And you love me?"
"Yeah,"
"Okay,"
"Interesting person," sambungnya mengakhiri pembicaraan mengenai sosok Brian.
*
"Nice room," suaranya mengawali malam kami di hotel.
"And beautiful view," sambungnya kini tengah berada di dekat cendela.
"Lepas bajumu,!"
"Tentu," balasnya langsung menghampiriku dan memberi ciuman khas pekerjaannya.
"Stop it,!" Ujarku menghentikan tingkahnya. "Kamu Brian, bukan siapapun, dan dia tidak melakukannya seperti itu"
"Ups, sorry,"
"Pakai parfum ini,! Dan jangan terlalu banyak," jelasku mengarahkannya sebagai Brian.
"Se,.."
"Aku menyukai wangimu," selaku langsung memeluknya dari belakang dan menghentikan kata yang akan keluar dari bibirnya.
"Sekarang aku harus menciummu,?" Ekspresi menggoda pekerjaannya tak juga luntur.
Ciumanku mengakhiri banyak kata dari mulutnya. Dua orang dewasa tak perlu banyak suara.
Ketika tangan menyentuh apa yang ingin ia sentuh. Hidung menyapa setiap aroma wangi baru disekitar. Mata tertutup yang melihat dengan rasa. Senyum menyela diantara ampitan bibir. Dan otak, dia tak mau berfungsi logika sekarang, dia kini berfungsi insting. Tak bisa terelakkan sebuah nyaman sesaat kini tercipta.
Tubuh manusia dewasa tahu bahasa sesamanya. Mereka saling menyentuh untuk merasa nyaman. Mereka saling menyapa kulit sesamanya untuk sekedar menandai. Butuh banyak waktu untuk
saat bersama. Satu kali menjadi perkenalan indah, dua kali menjadi menyenangkan, tiga kali menjadi kebiasaan, hingga kesekian kali menjadi kebutuhan.
"Hah,.. That's amazing"
"Yeah I know"
"Shit," umpatku pada sinar matahari yang mengganggu.
"Bangunlah,"
Uh, masih ada sosok lain ternyata. Kondisi tidak biasa aku kira.
"Minumlah,!"
Kalimat memerintahnya tidak hilang ternyata.
"Thanks" ucapku menerima kopi yang dia sodorkan dan tak memusingkan keadaannya yang masih di kamar yang sama dengan ku.
"I want make a deal," ucapnya tegas masih berdiri di dekat jendela.
"What deal?"
"I want you to continue play as Brian in five days forward"
"It's easy for me, but I want you to pay me at fist" ucapku. "Oh, don't forget your half last night"
"That's easy for me too," jawabnya angkuh.
"I want my money now,"
"Take easy boy,!" Jawabnya yang langsung membuka dompetnya dan membayar setengah dari uang semalam.
"Senang berbisnis denganmu, Steve" ujarku yang dengan senang hati menerima uang darinya.
"Bayaran untuk lima hari akan aku transfer,"
"No problem," jawabku enteng masih menghitung uang kas darinya.
"Sekarang bersiaplah, kita pergi dari sini,"
"Kemana"
"Nanti kamu akan tahu,"
"Ok"
*
"It's your home?" Tanyaku saat mobil yang aku dan Steve tumpangi berhenti di sebuah rumah besar.
Tidak ada jawaban darinya.
"Huft" hela nafasku menghadapi sikap dinginnya.
"Come,!" Titahnya mendahuluiku masuk ke dalam rumah.
"So, we will live here for five days?"
"Aku ingin buat aturan dalam kesepakatan kita," ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku.
"Oke,"
"Jangan tanya apapun tentang kehidupan pribadiku. Selama bersamaku, kamu adalah Brian. Jangan pernah bawa kehidupan pribadimu saat bersamaku."
"Oke" jawabku menyetujui.
Pembicaraan terhenti saat dia langsung meninggalkanku ke lantai dua. Tak mau ambil pusing, kuedarkan pandanganku pada setiap sudut rumah, hingga pandanganku terpaku pada kolam renang. Senyum mengembang mengiringku mendekat kolam. Tanpa pikir panjang aku langsung melepas semua pakaian dan terjun ke kolam.
"It's amazing," gumamku seketika setelah kulitku bertemu segarnya air kolam.
"Apa yang kamu lakukan?" Suara Steve menginterupsi.
"Come join me,!" Ajakku.
"No, pakai kembali pakaianmu,! Kita tidak punya waktu."
"Oh come on, ini sangat meneyegarkan Steve, kamu pasti akan menikmatinya"
"I said no,"
"Come on...I'm begging you"
"No, we haven't time," finalnya yang kini sudah berjalan meninggalkanku.
"Shit," umpatku kalah.
*
"Kita tidak tinggal di rumah besar itu, jadi sekarang, kita akan kemana?" Tanyaku mengawali suasana sunyi dalam mobil.
"Apartemen," jawabnya dengan nada khasnya.
"Wow, memang orang kaya ternyata." Celetukku yang sama sekali tak di tanggapi olehnya. Oke, aku mulai terbiasa dengan sifatnya.
Memerankan orang lain dalam pekerjaanku belum pernah aku lakukan sebelumnya. Menjadi orang lain, terdengar menarik dan aku sekarang berusaha menikmatinya.
Steve adalah sosok baru bagiku, sama seperti banyak orang terdahulu yang membayarku. Mereka yang membayarku menawarkan pengalaman berbeda namun monoton, dan ketika Steve datang dengan penawaran berbada, aku cukup menyukainya. Sebuah permainan yang ditawarkannya belum pernah aku lakukan sebelumnya. Dia datang dengan sifatnya yang tak banyak bicara, dan percayalah aku lebih memilih karakter sepertinya.
Brian, nama baru yang sekarang atau tepatnya lima hari kedepan akan aku sandang. Sosok yang tidak aku pahami dan juga kenali. Sosok yang sangat sedikit digambarkan oleh Steve. Terlepas dari semua misteri Brian, aku katakan sekali lagi jika aku cukup menikmati nya.
"Sampai kapan kamu akan tetap di dalam?" Tanya Steve membuyarkan lamunan singkatku.
"Sorry," ujarku langsung keluar dari mobil dan mengikutinya yang sudah berjalan lebih dulu.
*
"Wow," aku kembali dibuat terkagum dengan apartemen milik Steve. Apartemen yang sangat sempurna untuk mengeksplor keindahan kota dari ketinggian.
"Kemarilah,!" Titah Steve yang tengah berdiri di balkon.
"Wonderful,!" Pujiku terkagum melihat pertunjukan sunset.
"Kemari,! Mendekat," titah Steve kembali terdengar.
"Seperti ini?" Tanyaku yang kini berdiri dihadapannya.
Tidak ada jawaban darinya. Dia langsung membalikanku untuk menghadap arah matahari dan langsung memelukku dari belakang.
Aku tersenyum dengan tingkah yang menurutku cukup romantis. Kutumpukkan tanganku diatas tangannya yang ada di perutku.
Tidak ada banyak suara di moment ini. Steve kini menyandarkan kapalanya di bahuku. Hembusan nafasnya membuat suasana makin hangat. Tangannya makin erat memelukku. Aku memejamkan mata untuk menikmatinya. Nyaman, itu yang aku rasa.
Aku tidak tahu kapan wajah kami mulai berhadapan. Biru matanya sekarang yang dominan dalam pandanganku. Nafasnya masih tetap hangat seperti semula. Tangannya memelukku erat untuk semakin mendekat. Dan bibirnya, tidak menunggu komando untuk langsung menyapa bibirku.
Dia menciumku lembut, sangat lembut. Pergerakan pelan bibirnya membuatku menggila. Tangannya dengan lincah menari disetiap titik menyenangkan di tubuhku. Aku tidak pernah berciuman seperti ini sebelumnya. Aku terbawa olehnya. Aku tidak tahu apa Brian melakukan hal yang sama denganku, yang aku tahu, jika Steve tidak protes, maka aku melakukannya dengan benar.
Detik demi detik berlalu begitu sempurna, hingga kecupan hangat di keningku menjadi akhir.
"Bersiaplah,!" Suara steve menjadi yang pertama.
"Kita akan pergi?" Tanyaku.
"Kita makan malam di restoran." Jawabnya.
"Makan malam?" Tanyaku baru menyadari bahwa matahari kini sudah tidak tampak.
"Oh, oke" jawabku tak ingin bertanyanya lebih banyak.
"Rambutmu terlalu panjang," ucapnya menghentikan sejenak langkahku.
"Aku menyukainya," jawabku. Lama menunggu respon darinya, namun nihil. Steve tetaplah steve.
@lulu_75
@melkikusuma1
@liezfujoshi
@kikyo
@hendra_bastian
@hajji_Muhiddin
@sogotariuz
@junaedhi
@abiyasha
X pov
"Dia Brian?" gumamku melihat foto yang ada di dekat washtafel dengan setelan pakaian dan.... Alat potong rambut. Aku yakin Steve yang meletakannya disini.
"Jadi dia ingin aku terlihat sepertimu?" Tanyaku pada foto yang sekarang aku yakini sebagai Brian.
"Siapa sebenarnya kamu?" Gamamku dengan senyum miris.
Pekerjaanku kali ini menuntutku untuk bertotalitas ternyata. Tidak hanya berperan, namun juga penampilan. Aku benci diatur, namun aku juga tidak ingin dicap sebagai pecundang. Aku menyukai penampilanku yang sekarang, namun berhadapan dengan Steve, dibutuhkan profesionalisme.
"Kuharap hasilnya tidak mengecewakan." Gumamku berlahan memangkas rambutku.
Ini gila, tapi aku cukup gugup untuk memperlihatkan wajahku sekarang pada Steve. Aku tidak pernah berekspetasi bahwa orang akan memujiku, namun kali ini aku benar-benar nervous pada penilaiannya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam otakku, namun yang aku tahu pasti, aku tidak ingin mengecewakan Steve. Sebagai pikiran rasional, mungkin aku tidak ingin dia mengurangi bayaran karena kecewa dengan pekerjaanku.
"Bagaimana?" Tanyaku begitu keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang diberikannya dan tentu potongan baru rambutku.
Dia memandang sejenak penampilanku sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat.
Mulutnya tetap tak berkata, melainkan tangannya yang pertama merespon. Tangan besarnya berlahan menyusuri inci wajah dan rambutku. Sentuhannya lembut dan membuatku terbuai. Aku tidak bisa untuk tidak menutup mata guna menikmati nya.
"Open your eyes,!" Suaranya kini terdengar memberi perintah. Tanpa bantahan aku menuruti ucapannya.
"Beautiful eyes," ucapnya dan sukses membuatku sedikit senang.
"You like it?" Tanyaku akhirnya bisa bersuara.
"Yeah," jawabnya tanpa ragu disertai dengan ciuman singkat.
"You looks so adorable now Brian," ucapnya yang entah kenapa aku memilih untuk memberi respon senyum miris.
"Thank you," ucapku merespon.
Bibirnya menampilkan senyum tipis sebelum akhirnya dia mencium dan membawaku ke tempat tidur. Aku tahu apa yang akan terjadi, dan aku menyukainya. Persetan dengan rencana untuk makan malam, Ada urusan lebih penting yang harus kita lakukan sekarang.
X pov
*
"Jadi, kita batal pergi ke restoran untuk makan malam?" Tanyaku memualai percakapan setelah mengakhiri sesi dewasa.
"Kita akan tetap makan malam, akan aku buat sesuatu untuk makan malam," jawabnya langsung pergi ke dapur. Tidak mau bosan menunggu, aku putuskan untuk mengikutinya.
Otak liarku sekarang tidak hentinya menatap pemandangan indah. Steve dengan short tengah sibuk bergerak di dapur entah apa yang akan dibuatnya. Aku tidak bisa memungkiri bahwa Steve memiliki tubuh sempurna di usia 42 tahun. Semua pahatan tubuhnya masih terlihat sempurna di mataku.
"Puas memandangku?" Tanyanya membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya yang kini berdiri membawa dua piring berisi makanan. Senyum nakal aku tawarkan, namun dia menepisnya dan memberikan makanannya padaku.
"Makanlah,!" Ucapnya yang kini duduk di seberangku dan siap untuk menyantap makanannya.
"Okay," responku masih menampilkan senyum dan langsung mengikuti kegiatannya untuk menghabiskan hasil karyanya.
*
"Aku tidak suka film action," selaku saat kulihat dia akan memainkan film bertema action.
"Brian menyukainya," jawabnya pasti dan tidak bisa aku protes.
"Oke."
"Posisi dudukmu terlalu jauh," ucapnya protes.
"Come,!" Ujarnya menepuk tempat kosong di sofa.
"It's better?" Tanyaku yang sekarang duduk menempel padanya.
"Yeah," jawabnya langsung mendekap bahuku agar lebih nyaman. Tidak mau ambil pusing, aku juga menyandarkan kepalaku di bahunya.
Selera film Brian tidak begitu buruk. Menit demi menit aku mulai bisa menikmatinya. Posisiku yang sekarang juga membantu meningkatkan moodku untuk menikmati film ini. Aku nyaman berada di dekat Steve, and I admitted before.
Sesekali aku tak hanya menikmati totontonan di layar, namun juga menikmati wajah orang di sampingku. Wajah seriusnya membuatku kagum dengan beberapa kepribadiannya. Ekspresinya lebih didominasi wajah datar.
Ingin melihat wajahnya dari sisi yang lain, aku putuskan merebahkan kepalaku di pahanya. Dia tidak memprotes, wajahnya masih tetap pada layar, namun telapak tangannya memberiku kenyamanan lain. Telapak itu dengan lembut membelai rambutku. Aku kembali memejamkan mata untuk menikmati nya.
Kecupan kecil di bibir membuatku membuka mata. Dia dengan senyum kecilnya menyambut mataku yang baru terbuka. Aku menyukainya. Kuraba tiap inci structure wajahnya. Tidak butuh waktu lama untukku menarik tengkuknya dan membawanya kedalam ciuman uang lebih lama.
Steve tidak menolaknya. Dia tetap memberi ciuman balasan yang selalu aku sukai. Setiap sentuhan bibir dan lidahnya benar-benar membuatku melayang.
Dia mengakhiri ciuman. Aku menatapnya dan senyuman lembut dia berikan. Aku membalas senyuman itu. Memutuskan untuk kembali menikmati film, kualihkan pandanganku pada layar. Steve tidak henti membuatku nyaman. Tangan yang tidak berada di rambutku kini bersandar nyaman di pinggangku.
Malam ini akan menjadi malam indah. Aku sangat menikmati malam Brian bersama Steve. Ya, aku harus ingat aku masih menjadi Brian.
"Ini, tangkap" aku lempar bungkus rokok yang biasa Brian pakai.
"Aku tidak memakai merk ini,"
"Mulai sekarang kamu memakainya"
"Brian menyukainya?"
"Ya, walau aku tidak suka merokok, tapi Brian selalu memakainya"
"Aku bukan perokok aktif, jika kamu tidak menyukainya, aku tidak akan merokok,"
"Brian juga bukan perokok aktif, tapi dia selalu membawanya. Dia akan merokok jika sedang ingin,"
"Oke,"
"Kemari," titahku memberikan pematik api padanya.
"Kamu ingin aku merokok sekarang?"
"Brian merokok pagi hari,"
"Oke,"
"Kita akan pergi kemana?" Tanyanya.
"Pantai"
"I like it"
Tiga puluh menit perjalanan, tak ada lagi terdengar suaranya. Dia kini berada dalam dunianya, dunia yang Brian juga miliki. Dia membuatku nyaman, semuanya berjalan indah.
*
Tempat yang sama dengan yang dulu. Memori itu seketika menyapa ingatanku. Dia bersamaku, berada di tempat ini dengan tingkahnya yang selalu aku sukai. Dia yang membuatku merasa dan mengerti, dia juga yang membuatku merasa tak berarti.
"Dimana ini?" Suaranya akhirnya terdengar.
"Kamu bangun tepat waktu," ujarku tak berniat menjawab pertanyaannya.
"For what?"
"Look at that,!"
"Another sunset?"
"Brian menyukainya,"
"Yeah, dan aku harus menyukainya" ujarnya berjalan mendekatiku.
"Jadi kita akan kembali bermesraan di suasana seperti ini?" Tanyanya langsung mengalungkan kedua tangannya di leherku.
"No, kita ke pantai,"
"Oke," responnya tanpa banyak protes. Dia bahkan sudah berlari mendahuluiku menuju pantai.
"Wow, kamu tahu,! Aku sudah lama tidak ke pantai, ini akan menyenangkan." Teriaknya.
"Yeah," jawabku.
"Hey, apa yang kamu lakukan?"
"Tentu menyatu dengan pantai," jawabnya ringan sambil melepas pakaiannya dan menyisahkan underwear.
"Hey, come join me,!" Ajaknya yang kini sudah berada di dalam air.
"No,"
"Oh come on... Look! There's no people around here"
"No,"
"Please," pintanya dengan tangan memohon, Brian juga melakukan hal itu.
"Oke"
Tingkahnya mirip dengan Brian, aku nyaman dengan ini.
"Semuanya lebih indah dari sini," ujarnya langsung menarik tanganku untuk mendekap tubuhnya. Tangannya selalu mengalung di leherku, ini nyaman.
"Yeah"
"Apalagi yang Brian suka?"
"Aku akan menunjukannya nanti,"
"Yeah, nanti. Kita nikmati saja suasana indah ini." Ujarnya dengan sebuah kecupan di akhir kalimat.
"Why?" Tanyaku melihatnya menatapku intens.
"You're beautiful, I like you" akunya kembali diakhiri dengan kecupan yang kali ini lebih lama karena aku membalasnya.
"Kamu juga menyukai pantai?" Tanyanya setelah melepas ciuman.
"Yeah, tapi khusus pantai yang sepi, itu menenangkan."
"Yeah, terlihat jelas dari sifatmu,"
"Hey look!!" Serunya tiba-tiba.
"What?"
"Lihat itu,! Matahari tepat di garis laut, ini moment yang aku suka dari sunset" jelasnya sambil menunjuk apa yang dia katakan.
"Yeah, terlihat lebih sempurna."
"Steve?"
"Yeah?"
"Look at my eyes,!"
"What?"
"Just look at my eyes, please?"
"Ok. Now what?"
"Good,"
"Why you want me to see your eyes, and then closed yours?"
"Ssttt.... just feel it,"
"Feel what?" Tanyaku mulai jengah.
"The voice."
"What voice?,"
"Hug me,!" Pintanya kembali membuatku bingung. "Please," ucapannya kali ini tidak bisa aku bantah.
"Now what,?"
"Enjoy it!" Ucapnya dengan tubuh yang kini mulai bergerak berlahan seolah mendengar musik pengiring.
Tak ingin banyak berdebat, aku mengikutinya. Berlahan detik berlalu, dan aneh aku benar-benar bisa menikmatinya. Kupejamkan mata dan mengikuti gerakannya dalam pelukanku.
Dia bergumam lembut seolah bernyanyi. Aku sungguh larut. Brian terasa sangat nyata, aku bisa merasakannya. Kueratkan pelukanku dan menghirup parfum yang selalu dipakainya, ini sangat nyaman. Brian, dia ada.
"Why?" Tanyanya saat aku melepaskan pelukan.
"Ssttt," kutangkup wajahnya, dan tanpa komando aku menciumnya.
Rasa terkejutnya terasa diawal, namun dia langsung bisa dengan sempurna membalasnya. Brian tidak pernah mengecewakanku disaat seperti ini dan dia juga melakukannya sekarang. Bibirnya sangat lembut, aku menyukainya.
"Faggot,!" Umpatan yang berhasil mengakhiri ciuman kami.
"Oh, want to join us asshole,!" Balasan itu berasal dari sosok di depanku.
"Oh, look at this,!" Lanjutnya langsung menarik tengkukku dan menciumku di depan para pengumpat.
"Did you want to kiss me too asshole,?" Dia kembali berlanjut dan sukses membuat para pengumpat pergi dengan tatapan jijik.
"Why?" Tanyanya melihatku menatapnya.
"Brian tidak mengumpat," ujarku beranjak meninggalkannya.
"Aku buka.......Hey, Steve,! Tunggu,"
"Aku tidak berniat berkata kasar di depanmu, hanya saja, kamu lihat tadi siapa yang memulainya kan?" Dia coba menjelaskan.
"Lagipula hal seperti itu sudah wajarkan? Aku sudah biasa menghadapi orang brengsek seperti mereka. Bahkan beberapa keluargaku juga....." Lanjutnya sukses menghentikan aktivitasku memakai pakaianku kembali.
"Jangan pernah bawa kehidupanmu di depanku," selaku telak dan berjalan meninggalkannya menuju mobil.