It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
For you all, kalo pengen baca sampe chapter 29, IYA chapter dua puluh sembilan, mending langsung mampir ke tumblr gue (http://ve-as.tumblr.com atau indeksnya http://ve-as.tumblr.com/archive ), karena itu asli gue sendiri yang terjemahin, nggak kayak di trid ini. ^.^
Dia stuck di chapter 17, karena mungkin dia ambil dari forum sebelah. Disana gue posting LS novel jcm sampe chptr 17. DIsana ga ada yang baca.
btw @anohito makasih udah ngasih tau gue. I owe you bro
*masih geleng-geleng kepala sambil ketawa*
buat @fends yg mau baca versi Indonesia nya, cek tumblr si veer aslant aja krn dia yg nerjemahin.
novel ini sendiri diterbitkan secara independent di thailand 6 thn yg lalu oleh p'hed (hedshew) lalu dipublish secara online juga (kalo ga salah inget di writedeck) dan ada tambahan2 chapter yg menarik banget di versi cetaknya.
setelah p'andy membawa lovesick ke layar kaca, tulisan hedshew di deck pun ikut ditarik, sehingga saat ini sumber yg saya ikuti pun hanya dr p'kuda (kudaranai) dan sempat ngobrol dgn dia, ternyata dia pun saat itu cmn tau versi online dan memang dia diijinkan utk menterjemahkan novel itu ke bhs inggris oleh hedshew dan men-sub serialnya dan klo ga salah, sub nya itu dipake utk dvd lovesick yg br terbit.
yg belum nonton ayo nonton, yg mau sambil baca juga silahkan :-)
terjemahan indo juga ada di VA Blogs
Aku mempersilahkan pihak lain untuk
melakukan apapun yang dia inginkan, tapi
sebenarnya tidak hanya hasratnya saja yang
berperan, melainkan juga hasratku sendiri.
Aku berhenti memperdulikan semua akal
sehat dan semua konsekuensinya.
Ciuman Phun merupakan ciuman ketakutan
tapi disaat bersamaan juga penuh dengan
emosi, sama halnya seperti cara dia
mendekapku. Kami berdua membiarkan
tubuh kami melaksanakan segala perintah
yang datang dari keinginan hati yang paling
dalam. Kami sedang berada dikeadaan
dimana kami tidak lagi mampu menahan
perasaan yang timbul dari dalam hati. Tidak
ada yang bisa menghentikan kami.
..
..
..
Aku tidak yakin berapa lama waktu yang
sudah terlewat saat akhirnya aku membuka
mata di dalam ruang gelap ini. Indraku
sudah kembali bekerja. Phun memelukku
dengan erat walau dia sedang tidur. Phun,
temanku ini sudah membuat kerusuhan
dalam benakku beberapa hari terakhir ini.
Aku bisa melihat wajahnya yang sedang
tertidur karena sinar cahaya bulan berhasil
menembus masuk ke ruangan ini. Bulu
matanya yang panjang seolah sedang
membelai pipinya, kelopak mata yang
sedang menyembunyikan indra
penglihatannya yang tadinya sempat
membakar emosiku beberapa jam yang lalu.
Aku bisa bilang dari napasnya yang stabil
saat ini, yang keluar dari hidung tepat diatas
bibir dengan warna alami itu, orang yang
memelukku ini sedang tidur pulas sekali.
Aku menatap wajahnya dengan emosiku
yang bercampur. Tapi yang paling kentara
dari banyak jenis emosi itu adalah rasa
takut.
Rasa sakit yang masih bisa kurasakan
mengingatkanku, kalau kami sudah
membuat kesalahan yang tidak bisa
diampuni. Aku sebenarnya orang yang telah
menyuruhnya untuk mengabaikan akal
sehat, untuk berhenti berpikir tentang apa
yang benar dan apa yang salah, dan
melupakan apa yang dipikiran orang lain
terhadap diri kami. Tapi setelah beberapa
jam kemudian, Aku mulai sadar kalau semua
yang aku sebutkan tadi adalah hal yang
tidak wajar kalau dilakukan.
Sesuatu yang menghantui Phun kini juga
menghantuiku, rasanya sama seperti
membaca surat berantai. Aku menghadapi
kenyataan seperti apa yang Phun katakan
kepadaku, kenyataan yang tidak bisa
kuhindari. Phun dan Aku sama-sama
cowok. Masing-masing dari kami punya
pacar cewek. Dan yang lebih penting, kami
adalah sahabat baik dan aku tidak ingin
menghancurkan hubungan yang sudah
terbentuk diantara kami.
Secara pribadi, Aku tidak tahu perasaan
macam apa yang dimiliki oleh Phun. Phun
sendiri tidak tahu perasaan apa yang dia
curahkan kepadaku. Aku tidak berani
memikirkan bagaimana awal mula dari
semua ini.
Aku takut kalau semua hal yang terjadi
barusan hanya karena nafsu belaka.
Tapi ada sesuatu yang lain yang membuatku
makin ketakutan.
Aku takut kalau mungkin yang terjadi ini
adalah lebih dari sekedar nafsu. Lebih dari
sekedar ikatan sederhana satu sama lain.
Lebih dari sekedar kesalahan yang secara
tidak sengaja kami buat. Aku takut kalau
semua ini berarti melebihi dari segala hal
yang aku sebutkan itu.
Karena, kalau hatiku melangkah melewati
batas, Aku tidak tahu bagaimana caranya
menghadapi semua itu. Sejujurnya Aku tidak
tahu.
“Oh… Noh? Kamu nggak tidur?” Sayangnya,
suara Phun mengusik jalan pikiranku. Dia
menguap lumayan lebar sehingga
membuatku harus sedikit menyingkir karena
udara hangat yang ia hasilkan.
Tapi Phun hanya memberiku ruang gerak
terbatas diantara lengannya. Nampaknya dia
ingin terus memelukku seperti ini. “Anjir,
gerah banget.”
“Apa? Aku kencengin AC-nya ya.” Pinter
banget nih anak. Dia bergerak kepinggir
meraih remote AC dan menyesuaikan
suhunya, agar dia tidak perlu melepaskan
pelukannya terhadapku. Apa dia nggak
berpikir tentang pemanasan global? Aku
memandangnya dengan mimik muka kesal,
tapi mungkin ruangan ini terlalu gelap
baginya untuk bisa melihatku. Phun
meluruskan lengannya dan sedikit
melakukan peregangan sebelum menarik
tubuhku kembali dalam pelukannya.
“Besok pagi mau mampir kerumahmu dulu
nggak untuk mengambil keperluan
sekolahmu?” Dia menggumamkan
pertanyaan seperti orang yang terlalu malas
membuka mulutnya untuk berbicara.
“Tentu.”
Intonasiku yang sedikit berubah berhasil Ia
sadari. “Ada sesuatu yang sedang kamu
pikirkan?” Dia bertanya kepadaku, sekarang
dia benar-benar bangun.
“Em…”
“Ada apa?”
“Apakah kamu berpikir, yang kita lakukan ini
adalah sebuah kesalahan?” Aku tidak yakin
apakah itu tadi sebuah pertanyaan atau
pernyataan yang aku lontarkan untuk diri
sendiri. Aku bisa melihat sebuah foto
didalam bingkai dalam keadaan remang-
remang. Foto itu merupakan foto Phun dan
Aim yang sedang bersama. Phun berbalik
dan menutup bingkai itu sebelum dia
kembali memelukku. “Jangan berpikir
tentang itu dulu malam ini. Kita bisa
omongin besok aja, yah?”
“Tapi…”
“Jangan bicara lagi.” Dia menyumpal
mulutku dengan bibirnya sebelum dia
bergerak mundur sedikit. “Hanya ada kita
berdua, malam ini.”
Aku menutup mata dan menerima bibir itu
lagi sambil merasakan tubuh Phun, yang
dimana dia sedang berada di atasku,
menindih, menekanku, melawan kemauanku.
Itu adalah sinyal yang memberi tanda, kalau
kami akan melakukan hal - yang sudah
kami lakukan tadi - sekali lagi.
Aku bilang kepada diriku berkali-kali untuk
meninggalkan segalanya malam ini. Dan
tidak peduli apapun yang terjadi besok pagi.
Kami tidak akan pernah melupakan malam
ini.
***
Anak SMP main bola basket dan sepak bola,
mereka membuat kegaduhan yang luar biasa
keras, hingga rasanya aku ingin
mengeluarkan kepalaku lewat jendela dan
meneriaki mereka. (Tapi tidak aku lakukan
karena aku sangat malas.) Biasanya, aku
tidak akan terganggu sekali seperti ini, tapi
badanku rasanya sedang tidak sehat dan
ditambah lagi suara berisik yang menganggu
itu.
Aku berbaring di sofa di ruang klub kami
sambil memutar-mutar rubik. Ini salahnya
Om si brengsek itu. Dia memberikan benda
kotak ini agar aku mainkan siang hari ini.
Jam sekolah sudah berakhir dan aku hanya
mampu menyelesaikan satu sisi saja. Benda
ini cukup melelahkan, aku bertanya-tanya
bagaimana bisa si Keng bisa ahli
menyelesaikan ini. Aku tidak paham.
Aku terus berpikir tentang benda ini sambil
merasa kesal. Pinggulku terasa sakit. Aku
tidak tahu bagaimana caranya
menyelesaikan Rubik Ini. Apakah ada
seseorang diluar sana yang hidupnya masih
lebih menyedihkan daripada hidupku untuk
saat ini?!
“Diiih, kamu kelihatan stress banget. Apa
kamu berencana untuk memainkan benda itu
sepanjang hari, p’?” Aku tidak perlu
mendongak untuk tahu komentar sok pintar
itu datang dari Per. Tapi bagaimanapun, aku
sedang tidak berminat untuk berdebat
dengannya, (aku sedang sibuk disini) jadi
aku menggumamkan jawaban untuk
memberitahunya agar tidak mengangguku
dulu.
Aku salah kalau berpikir anak ini bakal
meninggalkanku dengan damai. Dia meraih
gitar listrik dan memainkannya tepat di
hadapanku tanpa memperdulikan keadaan
dunia ini. “Bosan nih. Drum milik klub kita
kondisinya sudah parah sekali, nggak ada
yang mau menggunakannya sekarang. Aku
tidak bisa lathan.”
“Terus kenapa?” Dia gak bisa lihat apa, aku
lagi sibuk gini?
“Coba bilang ke p’Phun suruh cepetan kasih
uangnya?”
“Apa?! Gak semudah itu! Kamu berharap aku
datang ke ruang osis dan merampok mereka
pakai senjata?!” Aku bakal melakukan itu
sih, kalau boleh.
Per nampak sedikit kecewa setelah aku
usir. Aku paham kalau dia benar-benar ingin
latihan, tapi sejujurnya aku tidak tahu
caranya agar membuat proses jadi ini makin
cepat. Aku berpikir, merengek-rengek ke
Phun pun, tidak akan membawa dampak
yang baik. Aku terus berpikir saat kembali
memainkan Rubik ini ditanganku.
Siapakah yang bisa selalu baik setiap saat?
Aku bukanlah karakter yang dirimu lihat di
layar TV.
“Itu tuh! P’Phun yang telepon!” Apa?!
Gimana caranya dia tahu? Aku tersentak
dengan keras dan cepat-cepat meraih
teleponku untuk memeriksa. Aku hampir
melempar Rubik dan teleponku kearah
kepala Per.
“Phun pantatmu itu. Hallo, Yuri.” Aku
mengutuk Per sebelum mengubah suara
menjadi pura-pura mengantuk saat aku
menjawab panggilannya. Aku ragu kalau aku
akan bisa menyelesaikan Rubik ini,
makanya aku biarkan benda itu jatuh ke
lantai.
“Kamu masih di sekolah, Noh?”
“Aku masih di ruang Klub. Ada apa, Yuri?”
Yuri nggak biasanya meneleponku jam
segini. Kalau dia ingin mengajakku pergi
kesuatu tempat, biasanya dia telepon
sebelum jam sekolah usai, sehingga aku
bisa mengosongkan jadwalku. Kalau kami
sedang nggak ketemuan, maka dia akan
menelepon malam-malam, tepat sebelum
kami tidur.
“Aku… berdiri didepan gerbang sekolahmu.
Aku perlu berbicara denganmu mengenai
sesuatu. Bisa nggak kamu menghampiriku
sebentar?” Aku hampir meloncar dari sofa
dan sesaat lupa dengan rasa sakitku ketika
mendengar kata-kata itu. Ada cewek, berdiri
sendirian, didepan gerbang sekolah, yang
isinya cowok semua! Mana mungkin aku
nggak khawatir mengenai keadaannya?!
“Tunggu bentar, Aku berlari kesana. Jangan
pergi kemana-mana, Yuri.” Aku buru-buru
memberi tahunya sebelum menutup telepon
dan bergerak memakai sepatu di pintu
masuk ruang klubku dengan tergesa-gesa.
“Pacarmu yang menelepon?” Pandangan Per
yang nampak bingung mengikutiku. Aku
memberinya angguknya sebelum menepuk
pundaknya. “Jaga ruang klub ini, Aku pergi
sebentar.”
***
Aku setengah berjalan, setengah berlari,
dengan sepatu yang tidak terpasang dengan
benar dan menyeret pinggangku yang masih
nyeri untuk bergerak menuju gerbang
sekolah. Yuri berdiri disana menunggu
sesuai perintahku tadi. Tapi dengan kulitnya
yang putih dan wajahnya yang lucu, tidak
bisa dipungkiri kalau cowok-cowok siswa
sekolah ini ternganga meilhatnya.
Aku bukannya cemburu, lebih ke khawatir
kalau ada kenapa-napa. -_-“ Cewek lucu
imut seperti Yuri tersesat keluar dari
kandangnya dan berakhir di tengah-tengah
sekumpulan laki-laki remaja? Bukan hal
yang baik.
“Kenapa kamu nggak telepon dulu kalau
mau mampir kesini? Lain kali kamu jangan
melakukan hal ini lagi.” Aku memarahinya
sedikit tepat saat aku tiba di situ. Aku
menawarkan untuk membawa tas
sekolahnya dan kemudian kami
meninggalkan komplek sekolah ini.
“Aku minta maaf. Aku terburu-buru kesini
dan Aku juga sedang menelepon seseorang
sepanjang perjalanan menuju sekolah mu.”
Kedengarannya ada sesuatu yang aneh, iya
kan?
“Memang ada sesuatu yang terjadi?”
“Noh… kamu tahu nggak apa yang terjadi
dengan Phun?” Aku berharap bisa lenyap
didetik ini ini.
Mata Yuri yang hitam dan bundar menatapku
tajam seolah-olah sedang mencari sebuah
kebenaran tentang sesuatu. Aku sejujurnya
tidak tahu apa yang dia cari atau kenapa dia
sungguh-sungguh berambisi mencarinya.
“Memang dia kenapa?”
“Haah…” Apa? Kenapa dia malah mendesah,
bukan mendapat jawaban dari dia? -_-“ Aku
sangat bingung dengan tingkah gadis ini
yang berakting sok misterius. Nampaknya
dia ingin bilang sesuatu kepadaku, tapi tidak
berhasil menemukan kalimat yang tepat.
“Ada yang terjadi?”
“Um, Noh… kamu tahu nggak dimana Phun
berada kemari malam?” Aku sedikit ragu
untuk menjawab, karena aku tahu benar apa
yang terjadi kemarin malam.
“K-Kenapa?”
“Argh, Aku udah bilang ke Aim kalau
seharusnya dia jangan menyuruhku
berbicara tentang hal ini kepadamu. Aku
tahu kamu dan Phun itu sahabat, kamu pasti
menutup-nutupinya untuk Phun. Kamu tidak
akan memberitahu kenyataan yang
sebenarnya.” Pada titik ini, aku bingung
kalau aku tidak yakin apa yang harus
kukatakan kepadanya.
Yuri berhenti membuat keributan sendiri
sebelum dia mendongak melihatku. Dia
mengunci pandangannya ke mataku yang
dimana aku tidak bisa menghindarinya.
“Tolong, Noh. Aim sangat tertekan dengan
hal ini.”
Bibir Yuri bergerak cukup lambat,
membuatku benar-benar mendengar dan
paham setiap butir kata yang dia ucapkan
dalam kalimat selanjutnya.
“Bisakah kamu memberi tahuku, siapa yang
tidur dengan Phun kemarin malam?”
Rasanya bagai disambar petir ketika aku
mendengar kata-kata itu.