It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Love Sick Capter 01 : Awal Mula
English translated by Kudalakorn.com
KL Notes : Postingan ini berisi alur cerita dari episode 1 Love Sick The Series. Novel ini aslinya berjudul [Love Sick Chunlamoon Noom Kang Keng Namgern by [IndryTimes] - Love Sick : Cerita kehidupan manusia bercelana biru.
“Noh! Gimana sih ini? Kok dana buat klub kita jadi sedikit banget!?” Pekikan Suara Om menyapa , tepat disaat aku datang. Belum ada sedetik aku masuk ke ruangan klub ini, tapi kertas laporan bermasalah itu sudah menghalangi jalan dan pandanganku.
Aku mengreyit saat mulai membaca semua detail di dokumen itu (yang dimana Om dengan penuh “kasih sayang” menyuguhkannya tepat di depan mukaku). Aku mengingat kembali dengan jelas kalau nominalnya lebih banyak dari biaya ulang tahun Aum Patcharapa. Jelas-jelas aku minta dana 25,000 baht untuk mengganti set drum yang sudah lapuk.
Tapi kenapa disitu tulisannya cuma 5,000?! Dimana sisa 20,000-nya?!
“Tai… Lo tau kan, tagihan drumnya bakal dianter kesini. Apa kita harus kabur, trus ngamen di pinggir jalan gitu?!” Om terus berteriak tidak ada habisnya. Sementara itu, anggota klub lainnya mulai kelihatan bingung dan kacau. Jadi sebagai ketua klub, aku harus ngapain sekarang?
“Aku pergi bentar!”
***
Suara decit sepatu kulitku menggema saat aku berlari ke Gedung Utama. Aku khawatir kantornya sudah tutup karena hari semakin sore. Saat ini otakku benar-benar tidak karuan. Aku masih tidak mengerti, bagaimana hal semacam ini bisa terjadi. Dan aku benar-benar ketakutan telah membuat kesalahan sebagai ketua klub. Brengsek! Kapan aku bikin salah kayak gini?! Aku sangat yakin kalau kami pasti akan mendapat dana sesuai yang kami minta. Aku yakin sekali kalau aku pesan drum setnya, dan barangnya segera diantar. Tapi kok bisa-bisanya mereka memotong dana kami seenaknya?!
YES! Ruang OSIS masih terbuka. Aku berharap bisa bertemu orang yang punya wewenang untuk memperbaiki semua ini.
“Halo, saya perwakilan dari klub musik. Saya ingin minta sesuatu, tolong periksa anggaran kami! Kami pikir, kalian melakukan kesalahan!” Nampaknya teriakanku sia-sia (NB: karena ruangan kosong). Tapi sesaat kemudian, aku melihat seorang cowok berdiri ditengah-tengah ruangan itu.
Phun Phumipat. Sekretaris OSIS dua tahun berturut-turut. Dia setingkat dengan aku (walaupun kami tidak terlalu akrab).
Iya dia solusinya. Aku yakin dia bisa bantu.
“Phun! Bisa nggak lo cek anggaran klub gue? Plis? Plis? Plis? 20.000 lenyap! Gue bisa gila sekarang!” Aku memutuskan untuk memanfaatkan persahabatan kita (yang tidak terlalu dekat juga) sebagai senjata rahasia. Sesaat dia nampak terkejut saat pertama kali melihatku, tapi kemudian dia berjalan ke rak dan membuka tumpukan dokumen untukku.
“Sebentar ya Noh.” Pasti. Aku bisa menunggu.
Aku berdiri disana melihat Phun sedang membalik-balik dokumen. Aku benar-benar berharap kalau kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah ‘O iya, kami ada kesalahan,’ atau ‘sisa uangnya di berikan minggu depan’ atau kata-kata semacam itu. Tapi sejujurnya harapanku memang tidak terlalu besar, karena OSIS jarang membuat kesalahan (khusunya kalau Phun yang memeriksa pekerjaan mereka). Ditambah lagi, kami tidak pernah menambah anggaran kami seperti ini.
“Kami tidak bikin kesalahan, anggarannya tertulis disini. Coba deh liat, Noh.” Phun mengatakan hal yang paling tidak ingin kudengar. Dia memberikan berkas itu kepadaku agar aku bisa melihatnya. Walaupun ukuran hurufnya sangat kecil, tapi angka 5.000 yang tertulis disitu benar-benar membuatku terperanjat dan hampir jatuh.
“Kok bisa sih!?”
“Waktu rapat anggaran, kamu tidak datang kan? Siapa kemarin yang kamu suruh untuk mewakili?” Kata-kata Phun membuatku berpikir sejenak ke masa lalu. Aku baru ingat. Rapat anggaran untuk klub dan aktifitas sekolah lainnya selalu diadakan tiap tahun. Tapi waktu rapat itu diadakan, aku sedang tidak ke Bangkok. Seluruh keluargaku pergi menengok nenek yang sedang sakit di Petchburi. Makanya, waktu itu perwakilan yang datang ke rapat itu adalah…
Dasar Ngoi*!
Nama aslinya Ngaw, tapi kalau aku naik pitam, aku memanggilnya Ngoi (toh dua nama itu sama-sama jelek menurutku). Dia anggota klubku. Kami membuat undian dan dia adalah yang terpilih karena kami semua tidak ada yang mau datang. Belum lagi, rapat itu biasanya berlangsung selama 12 jam. Belum lagi biasanya mereka suka memojokkan kami. Tapi kok, Ngoi bisa melakukan ini?!
“Waktu rapat kemarin aku datang. P’Aun dari klub Budaya Thailand terus-terusan memotong anggaran untuk klubmu. Karena kalau nggak, dia harus memotong anggaran klubnya sendiri. Ngaw terlalu takut untuk menghadapi p’Aun jadi dia cuma duduk diam disana. Akhirnya cuma 5000 yang tersisa buat klubmu. Sebenarnya, aku sendiri juga bingung dan berpikir apakah kamu keberatan atau nggak.”
“Ya iyalah gue keberatan! Trus gue harus ngapain nih sekarang?!” Aku mulai meneriaki diriku sendiri karena aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan selain berteriak. Sementara itu, ruang OSISnya sunyi senyap.
Berkas itu dilempar kemeja saat Phun mulai mengatakan sesuatu.
“Aku ada jalan keluarnya….”
“Kasih tahu, Phun! Kasih tahu sekarang juga! Aku rela melakukan apapun itu!” Kesempatanku ada disini, mana mungkin aku membuangnya begitu saja?! Aku menatap wajah temanku-yang-tidak-terlalu-akrab menunggu jawaban. Aku tidak sadar kalau dia melihatku dengan tatapan yang aneh.
Kalau saja aku tahu apa yang akan terjadi, aku tidak mungkin mau mengucapkan kata-kataku tadi ke dirinya.
“Noh, mau gak jadi pacarku?”
Novel asli ditulis oleh [INDRYTIMES -http://writer.dek-d.com/hedfuc/story/view.php?id=436675 - http://twitter.com/drytimes atau http://hedshew ] digubah ke bahasa inggris oleh [Kudalakorn - http://www.kudalakorn.com - http://twitter.com/kudalakorn ]
Catatan dari KudaLakorn :
1. Ngoi artinya lemah / cacat. Biasanya dipakai untuk panggilan seseorang yang bersifat hinaan / celaan terhadap orang timpang/ pincang
2. Saya berusaha untuk menjaga (makna) judulnya semirip mungkin dengan aslinya. Beberapa judul bab mungkin salah secara tatabahasa dan ejaan, tapi saya mencoba untuk tetap menghargai penulis alslinya. Dan nampaknya, masing-masing bab, semakin kebelakang, isinya semakin banyak, itu artinya, akan makin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk menggubahnya. Novel ini ditulis dengan sudut pandang Noh. Dia menambangkan banyak sekali catatan pribadi di dalam tanda kurung. (apakah itu familiar? Aku penasaran siapa yang melakukan hal itu lagi? Mungkin kebiasaan orang Thailand). Jadi semua tanda kurung itu adalah pikiran Noh, dan bukan catatan pribadi saya. Novel ini memiliki 65 Chapter
Translated by me from english translated at Kudalakorn.com
“Hey, Noh! Jadi gimana?!” Seperti biasanya, Om adalah orang pertama yang menyapaku saat aku terengah-engah kembali ke ruang klub kami. Dia mulai berbicara ketika belum sedetik aku disini.
Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Maksudku, Aku marah dan segala-galanya bercampur aduk. Bagaimana bisa Phun mempermainkanku seperti itu? Aku kenal dia (walaupun dari jauh) sudah lama, tapi aku tidak tahu kalau kalau dia ternyata sinting.
“Gue bukan homo, Asu!”
Kalimat itu aku teriakkan lima menit yang lalu sebelum aku kabur dari Ruang OSIS dan balik ke ruangan klubku. Aku tidak percaya akan pendengaranku. Aku tidak pernah berpikir akan mendengar kata-kata itu dari seorang Phun Phumipat yang segalanya terlihat sempurna. Penampilannya. Keluarganya. Tingkah Lakunya. Nilai-nilainya. Keramahannya. Dan bahkan dia juga punya pacar yang cantik.
Pacar cantik?!
Iya… Dia sudah punya pacar, kan!? Pacarnya juga gadis populer di sekolahnya.
Ditambah lagi, Aku kenal Phun lama sekali. (Walaupun kita tidak terlalu dekat, karena Phun adalah temannya Nant yang dimana Nant itu temannya Rodkeng, dan Rodkeng itu teman sekelasku. Bingung nggak? Tapi memang seperti itulah hubungannya.) Kalau kita berpapasan, kadang aku tersenyum kepadanya. Atau, kalau Aku sedang beruntung dan dia ada didepanku saat mengantri sesuatu, aku pasti minta tolong untuk mengambilkannya untukku. Kadang kalau klub kami mengadakan konser, aku selalu datang ke hadapannya dan menjual tiket.
Rasanya, tidak mungkinlah kalau dia punya pikiran semacam “itu” terhadapku.
Dan sebenarnya, kalau kamu bertanya manakah anak yang gay disekolah kepadaku, (dan sebenarnya banyak juga), Phun adalah orang terakhir yang terlintas dibenakku.
Mungkin aku salah dengar?!
***
Cuaca sudah mulai dingin. Mungkin karena November sudah dekat dan biasanya menjadi awal musim dingin. Apakah baiknya aku mengurung diri dikamar dan menghabiskan waktu untuk main Video Game? Tapi ada sesuatu yang membuatku menyalakan sepeda motor dan pergi ke rumah yang besar ini.
Aku pernah masuk ke tempat ini dua tahun yang lalu. Anak sulung dari keluarga ini mengadakan pesta ulang tahun ke 15. Aku tidak terlalu dekat atau bagaimana. Tapi kita ada di tingkat yang sama dan rumah kami juga berdekatan. Temanku yang memang akrab dengan dia memohon kepadaku untuk menemaninya datang ke pesta itu.
Aku tidak pernah berpikir kalau bakal kembali ke tempat ini lagi - sendirian. Dan dengan tujuan yang kedengarnnya konyol pula.
Aku memarkirkan sepeda motorku di depan gerbang besar itu, dan mulai mondar-mandir didepannya. Aku bisa melihat bel pintu seolah-olah minta di tekan saat itu, tapi alasanku kesinilah yang membuatku sulit untuk melakukannya.
Anjir, kenapa gue jauh-jauh kesini? Si Phun sialan itu, kalau dia nggak menarik ucapannya tadi, aku akan tonjok mukanya.
Sebelum aku mulai berteriak sendirian, aku melihat bayangan orang yang tinggi sedang berjalan di sekitaran taman. Bayangan itu mencuri perhatianku.
Dirumah ini cuma ada satu remaja cowok.
“Phun! Phun!” Kucoba meneriakkan nama pemilik bayangan itu. Aku tidak mau berteriak terlalu keras (tapi tidak terlalu pelan juga) tapi aku berusaha menarik perhatiannya agar dia tahu aku ada disini (gitulah).
Nampaknya usahaku terbayarkan. Si tampan yang berengsek itu menoleh dan nampak terkejut. (Ya jelaslah, dia tidak mungkin berpikir kalau aku bakal datang kesini malam-malam seperti ini). Akhirnya dia berjalan keluar dari bayangan pohon, Aku sadar kalau dia sedang menelpon seseorang.
Oh, maaf kalau menganggu. -_-“
Tapi nampaknya pemuda itu tidak terlalu terganggu dengan semua ini. Dia memang masih terkejut saat melihatku. Aku bisa melihat saat itu juga kalau dia langsung menutup teleponnya.
“Hey. Gimana Noh?” Dia keluar melalui pintu kecil yang memang bagian dari gerbang itu. Sampai detik ini aku sama sekali belum menyusun apa yang ingin ku bicarakan.
“Uh…” Aku harus ngomong apa sekarang? “Ehh, Aku…” Sekarang gimana!? “Aku…”
“Apa kamu kesini mau ngomongin yang tadi sore?” Banzaai! Yes! Makasih udah mau mulai ngomongin itu!
“Iya, Itu.” Aku berbicara sambil menunjuk mukanya. “Kita harus bicara. Jadi tadi sore, aku pergi ke ruang OSIS dan lihat kamu disana. Aku tanya tentang pemotongan anggaran klubku. Lalu kamu bilang semuanya gara-gara Ngoi yang tidak mau bicara saat rapat anggaran yang kamu adakan, jadi aku—“
“Aku masih ingat apa yang terjadi, Noh.” Dia memotong pembicaraanku karena nampaknya dia tidak mau mendengar reka ulang keseluruhan cerita. Tapi terserahlah. Aku tahu dia ingat, tapi seenggaknya biarkan aku membangun suasana dulu kek!?
“Oh, terima kasih kalau masih ingat. Jadi mestinya kamu juga ingat kalo kamu mau bantu klubku. Tapi kamu ingin apa sebagai imbalannya? Aku merasa kalau aku salah dengar. Sesuatu… Tentang jadi pacarmu. Kemudian aku mengumpat kepadamu dan langsung pergi. Maaf ya, aku pikir pendengaranku agak terganggu.”
“Tapi kamu nggak salah dengar kok, Noh.”
“Iya kan Aku salah dengar!? Makanya aku kesini biar tahu yang benar itu kayak gim—! Hah!? Kamu barusan ngomong apa!?” Dia barusan berbicara apa kepadaku? Mungkin pendengaranku memang terganggu. Nanti kalau sudah sampai rumah, aku harus bersihkan telingaku.
“Aku bilang, kamu nggak salah dengar kok. Mau nggak jadi pacarku?”
Anjir Phun brengsek! Jadi kamu benar-benar gay?!
Trus udah jauh-jauh aku datang kesini! Apa dia akan melakukan sesuatu kepadaku!?
Mendadak tulang-tulangku serasa disiram air es saat aku berhasil mengolah semua ini. Dan aku yakin kalau mukaku saat ini pasti pucat pasi.
Aku menoleh ke arahnya saat mimik mukanya memberikan senyuman dengan maksud yang tersembunyi. Tentu saja aku tidak mau tahu apapun yang dia coba untuk sampaikan. Dan yang pasti, inilah saatnya aku pergi dari sini!
“Hey, Noh! Dengarkan dulu!” Dia gak mau melepas gue, guys! T^T Aku sudah dekat dengan sepeda motorku saat dia berhasil menangkap lenganku. T^T
Reaksi normalku adalah balik badan dan menghadapinya, karena aku merasa tidak aman kalau punggungku-lah yang mengadap kearahnya untuk detik ini.
Aku berusaha menutup mata dan dengan kalut aku mengayun-ayunkan tanganku sebisa mungkin untuk menghadapinya. Kondisiku saat ini? Bahkan kelewat menyedihkan hanya untuk dilihat. T__T
“Aku gak kayak gitu! Plis! Jangan suka sama aku! Aku minta maaf! Aku gak bisa jadi pacarmu!” Aku memohon-mohon kepadanya sekarang, aku bahkan rela kalau harus berlutut saat ini juga. Aku hanya ingin dia melepaskanku agar aku bisa meninggalkan tempat ini. Hari ini Aku tidak siap dengan semua ini! T__T
“Hey! Dengarkan sampai selesai dulu, Noh! Aku juga nggak kayak gitu!” Phun mengguncangkan seluruh badanku, yang akhirnya membuatku diam dan membuka satu mataku.
EH? Jadi aku salah paham?
“Ayolah masuk dulu, Aku jelasin semuanya.”
Kemudian dia menarikku masuk ke rumahnya. Apa aku bisa selamat keluar dari sini?!
Chapter 3 Deal!
Butuh waktu yang cukup lama bagi Phun agar berhasil menyeretku masuk kedalam rumah. (Sumpah demi apapun, aku sudah mencoba berontak, tapi sejujurnya aku tidak mampu melawan karena dia lebih kuat daripada aku). Setidaknya, pantatku yang dari tadi khawatir, sudah berkenan untuk didudukkan di bawah pohon di taman rumahnya.
Phun menatapku tajam, seolah-olah ada satu juta delapan ratus hal yang ingin dia sampaikan kepadaku tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
Secara pribadi, jelas aku ragu apakah aku benar-benar ingin duduk disini mendengarkannya. -_-“
“Noh!” Akhirnya dia memanggil namaku. Aku sempat terperanjat dari tempat dudukku. Jadi sekarang, apa yang harus aku lakukan pertama kali? Apa aku harus kabur? Menggali lubang? Telpon polisi? Atau mengirimkan Bat-signal? T__T
Phun menatap lekat-lekat wajahku, dia bisa bisa melihat dengan jelas betapa muaknya diriku saat ini. Dia mendesah.
“Aku bukan gay. Aku sudah punya pacar. Ce-wek. Kamu tahu dia. Aim itu pacarku.” Bocah ini kenapa? Kenapa dari tadi selalu mengulang kata-katanya? Bagaimanapun, apa yang dia biacarakan memang masuk akal. Perasaanku jadi sedikit lebih lega.
Secara alami, aku mengangguk sebagai responku. Karena memang aku tahu, kenyataannya Aim itu pacarnya Phun. Dia seumuran dengan kami, tapi dia tidak satu sekolah dengan kami. (Ya iya lah! Sekolah kami adalah sekolah khusus laki-laki.) Aim itu cantik sekali, dan aku benar-benar serius tentang kecantikannya. Dia nampak ayu, walaupun dia tidak memakai make-up sama sekali. Dia selalu mengenakan pakaian yang modis layaknya wanita berduit pada umumnya. Simpelnya, kalau dia itu pacarmu, gak mungkin kamu akan merasa malu punya pacar seperti dia. Apalagi kalau dia datang ke sekolah kami, semua orang menatapnya dan mulai meneteskan air liurnya.
Semua orang bilang kalau Aim dan Phun adalah pasangan yang diciptakan oleh surga. Kenyataannya, aku adalah salah satu yang juga bilang seperti itu. Mereka sangat cocok satu sama lain.
Jadi, mau tidak mau, aku jadi penasaran tentang apa yang akan Phun katakan selanjutnya.
“Tapi… Aku ingin pacaran denganmu, Noh.”
Anjir. Cukuplah aku mendengarkan semua ini!
“Baiklah, Phun. Aku tetap berpegang teguh pada pendirianku sebelumnya. Aku pikir aku harus pulang sekarang, aku tidak mau mendengar semua ini lagi.” Cepat-cepat aku beranjak dan berniat meninggalkan tempat itu. Aku tidak bercanda lagi. Aku sama sekali tidak pahan jalan pikirannya. Bagaimana bisa dia duduk disini mencoba untuk meyakinkanku kalau dia bukan gay? Bahkan sampai membawa-bawa Aim sebagai buktinya. Tapi sekarang dia bilang kalau dia ingin melakukan hal aneh itu bersamaku?
“Keluargaku memaksaku untuk berpacaran dengan seseorang. Aku tidak bisa melawan permintaan mereka. Aku hanya punya adik perempuanku yang bisa membantuku. Dia bilang kalau aku punya pacar cowok, barulah dia mau membantuku.”
Hah? Apa?! O.o Dia berbicara dengan cepat dan hanya samar-samar saja aku memahami apa yang dia bicarakan. Aku mulai sadar, kalau aku harus menaruh perhatian lebih besar saat ini.
“Apa tadi? Bicara pelan-pelan yang jelas.”
“Aku bilang, keluargaku memaksaku untuk berpacaran dengan seseorang.” Phun berdesah dengan keras sebelum dia melanjutkan. Semantara itu, aku kembali duduk di sampingnya seperti sebelumnya. “Oke?”
“Aku tidak bisa melawan orang tuaku. Kamu tahu kan kalau mereka itu sangat ketat, noh.” Dia benar. Aku ingat dengan baik saat pesta ulang tahun dua tahun yang lalu. Aku harus benar-benar mengendalikan diriku. Aku harus menahan diri agar tidak berbicara sumpah serapah, rasanya lebih mengerikan daripada harus menahan kentut. Maksudku, kalau kamu kentut mungkin orang-orang tidak akan tahu (Aku pikir gitu?) tapi kalau aku mulai bicara kotor, aku tahu saat itu juga aku akan diusir keluar dari rumah besar itu. Setelah pesta, aku menghampiri Om. Dia harus mendengarkanku mengeluh selama tiga jam. Telinganya mungkin sudah kebas.
“Tapi aku tidak tahu kenapa, mereka selalu menuruti apapun permintaan Pang.” Lanjut phun, dia berhasil menggoyahkan pikiranku. Apa? Dia barusan bilang apa? Oh iya, Pang itu adik perempuannya. Samar-samar aku ingat dia. Nong Pang lumayan mengintimidasi seingatku. Jadi kalau Phun bilang kepadaku bahwa orang tuanya juga takut terhadap Pang, Aku tidak terlalu terkejut dengan hal itu. -_-“
“Jadi, kalau dia membantuku berbicara kepada orangtuaku, maka Aku gak perlu pacaran lagi dengan wanita pilihan mereka. Tapi…” Aku menaikkan alis. Tapi? Tapi apa?! Dalam pelajaran bahasa Thailand, ajarn Ping bilang kalau apapun yang berada di belakang kata “tapi” adalah ide pokoknya. Maka dari itu, para siswa harus memperhatikan hal tersebut dengan seksama.
Tapi… saat ini aku agak tidak mau memperhatikan dirinya. -_-“. Apakah ide pokokku sudah jelas dan singkat?
“Boleh nggak kalau aku nggak mau mendengarkan ini?”
“Jangan gitu, Noh! Biarkan aku selesai berbicara.” Dia memang tukang paksa! T^T
Jadi aku duduk dengan muka lelahku menunggu dia melanjutkan, tapi juga ada rasa antisipasi. Perasaan apa ini yang mengalir di tulang-tulangku? Apa artinya aku bakal kehilangan keperawananku oleh Phun?! T__T
“Yaa, Pang itu… sama dengan gadis remaja pada umumnya, Noh. Dia sangat suka membaca manga Yaoi. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Dia beli banyak banget, semuanya ada di kamarnya.” Makin lama percakapan ini makin menakutkan.
“Makanya, dia bilang kepadaku kalau aku punya pacar cowok, dia akan berbicara ke orang tua kami demi aku. Dan kalau pacarku imut, dia akan berusaha lebih keras.”
Resek. Akankah seseorang memberitahuku kapan terakhir aku mengedipkan mata?
Aku mulai berdoa didalam kepalaku. Aku berharap agar aku tuli untuk 2-3 menit kedepan. Aku berjanji akan mengambili sampah selama tiga bulan di Sanam Luang kalau harapanku dikabulkan.
Tapi tidak ada yang mau mempedulikan hal itu. T__T
“Dan kamu itu… imut.” Itu adalah kalimat berikutnya yang aku dengar.
Resek! Ya maaf ya kalau aku lahir lebih kecil dari pada kamu. (Sebenarnya, aku nggak pendek atau gimana, dan Phun pun nggak tinggi juga atau gimana. Tapi yang jelas… Aku masih lebih pendek dari pada dia) Ya maaf ya kalau aku lahir dari keluarga cina sehingga kulitku lebih putih dan tidak pernah bisa lebih gelap lagi. Aku juga minta maaf juga walaupun aku punya kelopak mata ganda, mataku tetap besar dan bundar. Bibirku juga merah merona… teman-temanku sering mengejek kalau aku ini imut. Tapi semuanya tidak pernah aku pikirkan dalam-dalam. Sampai malam ini aku sadar, secara resmi dia berhasil memasukkanku …
… kedalam neraka!
Nampaknya Phun bisa membaca pikiranku tanpa perlu memberi tahunya.
“Aduh, Noh. Aku minta maaf. Bukan seperti itu maksudku. Tapi… gak mungkin juga aku bisa dapat orang seperti Shane dan bilang ke Pang kalau dia pacarku, kan?” Dia tahu caranya membuat contoh kasus yang baik. Dia membawa-bawa Shane. Shane itu atlit terbaik disekolah kami. Kamu mungkin bisa menduga kalau dia itu raksasa.
“Mengapa gak mencoba minta tolong Angels Gang?” Aku bertanya ke Phun, sambil mengacu ke sekelompok Katoeys yang selalu gaduh, yang bahkan mampu membuat cowok-cowok disekitarnya grogi. Pasti kalaupun Phun minta tolong ke mereka, mereka bakal bertarung satu sama lain untuk memperebutkan Phun.
“Pang tidak suka cowok semacam itu, Noh. Dia lebih suka cowok gay, bukan katoeys.” Dan sebenarnya seberapa gay-kah aku?! Rasanya ingin menyemprotkan kata-kata itu ke muka Phun.
“Kan ada Oak, Dul, Vit. Mereka juga manis dan imut. Mereka juga lebih pendek daripada aku. Kenapa kamu gak minta tolong ke mereka saja?!” Aku masih mencoba mengubah pikiran Phun. Nampaknya Phun juga sudah kehabisan akal. Dia mendesah sekali lagi.
“Mereka itu straight seperti kita. Mereka gak bakalan setuju dengan ide ini.”
“Trus kenapa harus aku?!”
“Karena kamu dan aku… bisa saling membantu satu sama lain.” Rasanya aku membeku ditempat. Apakah aku sekarang sedang diancam?
Aku hampir lupa kalau aku masih butuh bantuan Phun. Simpelnya, saat ini aku melihatnya hanya sebagai tumpukan uang.
“Oke? Kita gak perlu akting terus-terusan, cukup didepan Pang saja. Kamu pasti akan mendapatkan uang untuk klubmu.” Asem! Apakah aku benar-benar rela kehilangan harga diri hanya demi uang sebesar 20.000 bath dengan menjadi istrinya Phun?!
Aku menatap mukanya yang tersenyum sambil memikirkan ini secara matang. Tapi aku tidak sempat melanjutkan pikiranku karena mendengar suara dengan nada tinggi.
“P’Phun, ini siapa?”
“P’Phun, ini siapa?”
Suara itu membuatku merinding bukan kepalang. Tentu saja aku mengenalinya. Aku tahu pasti siapa gadis ini, dengan mukanya yang polos dan kelicikannya yang tersembunyi dalam matanya, nampak bingung berdiri di belakang Phun.
Itu dia! Nong Pang sang Legendaris!
Udah terlambat kan kalau mau mengirim sinyal betmen buat minta tolong?!
Aku terkejut karena melihat gadis imut ini bagai melihat setan. (Tapi sejujurnya, setan pun lebih baik kalau dalam situasi saat ini.) Sementara itu, nampaknya Phun berhasil mengendalikan situasinya. (Kayaknya?) Dia cuma mengambil satu napas dalam-dalam sebelum balik badan dan memberikan senyuman ke adik perempuannya.
Woi… Bro. Bisa nggak sih kamu nggak kelihatan ‘bahagia’ gitu? Aku… ketakutan…
“Lhoo, tadi bilangnya mau tidur?” Aku mengernyit saat suara lembutnya Phun menyapa adiknya. Pantas, tidak heran kalau gadis-gadis di sekolah khusus perempuan itu, klepek-klepek terhadapnya. Pikiran itu menyeruak masuk kedalam otak saat aku mengangkat alis mataku pas dia menepuk lembut kepala adiknya yang masih SMP. Phun memang kakak yang baik. Entah kenapa, gambaran keadaan ini membuatku sedikit santai. Aku tidak bisa menjelaskan kenapa.
“Aku tidak bisa tidur, jadi aku turun kesini untuk menunggu Ayah pulang. Tapi kemudian ada kalian.” Si kecil pembawa masalah itu menjawab namun terus menatapku dari tadi. Ya kan, aku kelihatan familiar bukan? (Terakhir kali aku melihatnya yaitu saat kompetisi sepak bola tahun lalu. Nong Pang datang untuk menemui Phun, Phun sedang mengurusi barang-barang. Sementara itu, aku sedang beraktivitas dengan band-ku. Aku sendiri yang memanggil Phun untuk Pang.)
Aku tersenyum lebar dan ramah, sampai berhasil menunjukkan ke-32 buah gigiku. (Aku sempat berpikir akan menyobek gusiku) Aku melihat Phun berbalik kearahku dan dia ikut-ikutan tersenyum. Rasa dingin langsung menjalar keseluruh tubuhku.
“Oh, ini… ‘teman’-ku main kesini.” Dia berbalik lagi ke Pang. Kenapa kata teman-nya di jelas-jelasin gitu sih? (Bahkan sampai pelan-pelan menyebutnya)
“Teman?” Aku bisa melihat tatapan nakal di matanya Pang. Semua rasanya mulai serba salah sekarang bagiku. Apakah dua bersaudara ini sedang ngerjain habis-habisan diriku saat ini?!
“Sebenarnya…” Phun bicara saat menoleh ke Pang, tapi tetap mencuri pandang kearahku disaat bersamaan. Nampaknya dia sama sekali tidak peduli dengan tatapanku yang sedang panik ini!
“Katanya kamu ingin bertemu p’Noh, jadi aku minta dia datang kesini.” Apa-apaan?! Kalau berani, tatap mataku dan bilang sekali lagi! Aku bakal habisi orang ini! Bajingan! Aish! Bocah brengsek! Dia harus hati-hati mulai dari sekarang!
“Aku ingin bertemu p’Noh?”
“Kamu bilang kan… kalau ingin bertemu dengan pacarku, iya kan?”
Sejak kapan aku setuju dengan semua ini!?
Apakah aku emang amnesia atau kamu cuma mengada-ada saat ini!?
Aku sudah mau berdiri dan memukul kepalanya, tapi dia menarik dan menggenggam lembut tanganku sebelum aku bisa melakukannya.
Jadi inilah takdir hidupku…?
***
Akhirnya aku diseret masuk ke dalam rumah keluarga Phumipat. (Jangan salah, tadi aku juga sudah mencoba memberontak.) Dua bersaudara ini sama-sama anoying. Sekalinya Pang tahu kalau aku bakal jadi kakak iparnya, (Aku udah mulai gila disini!) dia memaksa kakaknya untuk mengambil segelas air untukku. (Kenapa nggak Pang sendiri aja sih?) Kalau Phun, dia selalu mendukung adiknya. Phun juga bilang kalau diluar nanti digigit nyamuk. (Semuanya bakalan lebih sederhana, kalau kamu membiarkan aku pulang Phun!)
Jelas, aku selalu kalah kalau beradu argumen. Ada pepatah “Mulutmu tenggelam, kangkungnya hanyut terbawa air.*” Sekarang Aku akhirnya paham apa artinya pepatah itu. (Eh, pepatahnya benar nggak ya?) Jadi sekarang aku duduk manis di sofa ruang keluarga Phumipat. Sementara itu, Pang duduk di sofa lain didekat kami. Kalau Phun… dia duduk dekat sekali denganku, sampai bisa dibilang dia memangkuku.
“Kenapa sih kamu deket-deket gini?! Panas tau!” Aku berbisik ke Phun agar Pang yang sedang melihat Drama Barat tidak mendengarnya. Si bajingan ini memandangku sambil memasang mimik muka mengejek.
“Kamu kepanasan? Suhu AC-nya perlu aku turunin?”
“Nggak! Minggir aja sana!” Kenapa dia tidak bisa berpikir yang lebih sederhana sih? -_-“
Malah dia memberi senyuman licik. “Mana bisa aku minggir? Kita harus ‘meyakinkan’, Noh.” Meyakinkan apanya!? Dia yang selalu melakukan segalanya diluar kehendakku!!
“Kamu ngomong apaan sih? Geseran lah!” Aku mulai sedikit kasar kepadanya. Aku pantang menyerah agar dia mau memberikan jarak dariku. Dia mendengar dan nampaknya kali ini dia mau memenuhi keinginanku.
Aku menghela napas keras-keras karena akhirnya Phun mau bergeser sedikit (walaupun kami masih duduk bersebelahan satu sama lain). Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama karena Phun memutuskan untuk mencondongkan badannya ke arahku dan menaruh lengannya di pundakku!
Lo bercanda, men?!
Aku sadar sekarang nong Pang mengamati kami. Matanya bersinar namun ada yang aneh tentang pancaran itu. Nampaknya saat ini dia dipenuhi dengan kehangatan dan kebahagiaan, tapi aku tidak bisa benar-benar menjelaskannya. Tapi apapun itu, tanganku sekarang merinding.
Tolonglah Pang, nonton televisinya saja! T___T
“P’Noh, kamu nanti pulangnya gimana? Ini udah terlalu malam.” Nong Pang meluncurkan pertanyaan kepadaku. Tapi… apakah ada sesuatu yang ganjil tentang pertanyaan itu? Nggak, nggak, nggak. Ini tidak bagus. Aku harus mengubah arah pembicaraannya, agar lebih aman. Aku memeriksa jam tanganku dan sadar sebenarnya ini memang sudah terlalu malam. Saatnya kabur dari neraka level 18.
“Aku naik sepeda motor kesini. Mungkin aku harus pulang saat ini juga. Dah, Phun.” Aku berbalik sambil melambaikan tangan ke kakak dari pembuat-masalah-itu yang juga akan berdiri untuk mengantarkan aku ke gerbang rumah. Tapi nampaknya si adik pembuat masalah itu tidak rela melepaskanku dan membiarkanku bereingkarnasi dengan mudah dari sini.
“Kok kamu tega membiarkan p’Noh pulang malam-malam begini sih, p’Phun?! Kalau ada apa-apa dijalan gimana!? Siapa yang mau tanggung jawab?!” Apa-apaan!? Aku 17 tahun! Aku bisa jaga diri juga, Pang!
“Eh…”
“P’Noh, menginap disini saja? Plis? Kamu bisa tidur di kamarnya p’Phun. Kamu tidak boleh pergi malam ini, bahaya sekali diluar.” Apa yang bisa aku lakukan saat anak kucing sedang bergantung di tanganku? -_-“ Kalau bisa, aku bakal menendang dan melihatnya terlempar dari arahku.
Bibir kecil itu terus-terusan bergerak dan nampaknya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. “P’Phun, kamu tidak bisa seenaknya bilang ke aku kalau udah punya pacar dan minta tolong berbicara kepada Ayah. Kalau kamu tidak menjaga p’Noh, aku tidak akan membantu kakak!” Anjir! Apa-apaan ini?! Ada tanda seru di wajahku dengan ukuran 500pt, aku bisa terjatuh karena itu.
“Em, Noh. Kamu harus menginap disini malam ini. Kalau pulang sekarang… heh… nanti bahaya. Heh… heh…” Coba lihat anak ini. Dia jelas-jelas cekikian. Anjir Phun, kalau emang nggak mau bantu, jangan buat keadaan makin runyam. Kata-kata jorok apa yang pantas kusebutkan untuknya!?
“Mana mungkin? Besok kami sekolah. Aku tidak membawa seragam ganti.”
“Kamu bisa pakai punya p’Phun, p’Noh.”
“Nggak bisa dong. Nomor Induk Siswanya nanti beda.” Inilah contoh kesia-siaan. Kita lihat siapa yang memenangkan debat ini.
“Nggak papa. Bruder** jarang memeriksa hal semacam itu. Dan kalau memang besok ditanya, bilang aja kemarin kamu menginap di rumahku, jadi kau terpaksa pinjam seragamku.” Kamu itu nggak membantu sama sekali, Phun! Setan alas! Aku benar-benar tersentuh dengan kebaikanmu!
Aku tersentuh!
“…” Lidahku kelu saat ini. Aku akan diam saja. Aku tidak punya bahan sangkalan yang tersisa saat ini untuk melawan mereka.
“Kalian naik dan mandi dulu sana. Kalian berdua. Dan aku akan mencoba berbicara dengan Ayah tentang itu nanti, p’Phun.” Pang memberi tahu sambil mendorong punggung kami, memaksa untuk segera beranjak dari ruang keluarga sehingga kami bisa pergi menuju ke kamar bulan madu kami(??). Mata Phun berbinar ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh adiknya. Sementara itu, Aku benar-benar tertekan mengenai semua ini.
Apa maksud adiknya dengan kata ‘mencoba’? Sampai kapan aku harus terjebak dalam situasi semacam ini?!
“Jangan khawatir dengan uang untuk klubmu. Aku akan menanganinya untukmu.” Phun berbisik kepadaku. Aku hampir lupa tentang hal itu.
Tapi, apakah hal itu pantas diperjuangkan sekarang?! Jawab yang jujur!
Catatan dari KudaLakorn :
1. * : Noh sebenarnya salah mengingat pepatah yang disebutkan. Secara harafiah, harusnya berbunyi “Ladangmu tenggelam maka kangkungmu akan hanyut.’ Yang berarti seseorang yang berbicara panjang lebar, tapi tdak ada yang bisa dipelajari / digunakan. Noh mencampurnya dengan pepatah lain yang berbunyi ,”mulut yang terisi air” yang artinya, dalam kondisi tertentu kamu harus tetap diam bergeming.
Aku datang ke sekolah dengan keadaan super berantakan.
Em, jangan terlalu pikirkan. Aku tahu apa yang ada di benak kalian, secara teknis aku kurang tidur semalam. -_-“ Tapi sumpah, tidak ada hal macam-macam yang terjadi semalam! Sumpah!
Gini, bagaimana caranya aku bisa tidur dengan nyenyak kalau disebelahku ada Phun!? Memang jelas, kita saling kenal satu sama lain, tapi seperti yang aku bilang sebelumnya, kita juga tidak terlalu akrab. (Pada kenyataannya, kita sama sekali tidak akrab, titik. Kita hanya sekedar tahu satu sama lain, yang kadang kala berpapasan di jalan.)
Makanya, mana mungkin aku nyaman berbagi kasur dengannya? Dirumahnya lagi? Tempat terdalam yang pernah aku masuki dulu, hanya tamannya saja (itu saja dua tahun yang lalu). Jadi kalau tiba-tiba hubungan kami jadi semacam ini, apalagi kami menghabiskan malam hanya berdua saja? Semuanya terjadi terlalu cepat. Ditambah lagi, sejauh ini semuanya terjadi hanya dalam satu hari.
Aku hanya benar-benar tidak siap menghadapi semua ini.
Tapi kalau boleh jujur, sebenarnya tidak kenapa-kenapa juga aku menghabiskan malam itu disana. Aku tidak terlalu khawatir. Aku mandi, dan ganti baju dengan piyamanya. (Aku biasanya memakai baju tank top kalau mau tidur, tapi aku sadar, aku harus selalu menutup badanku sebisa mungkin untuk keselamatanku sendiri.) Kita bahkan sempat ngobrol basa-basi. Awalnya, kami mau main Xbox 360 yang mahal milik Phun, karena dia menawarkannya. Tapi aku sedang tidak berminat. Akhirnya, Phun mematikan lampu dan kami segera tidur.
Karena keluarganya cukup kaya, ranjangnya pun sangat besar. Kami bisa bergulung kesana-kemari semau kami. Faktanya, tiga atau empat orang pun, masih muat dan bisa tidur dengan nyaman.
Tapi, aku tidak tahu dosa apa yang pernah aku lakukan sehingga aku pantas menerima ini.
Nong Pang tiba-tiba membuka pintu kamar.
Phun menarikku. (Tadinya dia ada di ujung lain kasur ini, dan bahkan kami sampai membuat batas dari guling diantara kami.) Aku hampir terlelap tidur saat Phun memelukku.
Iya, dia memelukku! Hal ini benar-benar terjadi! Sialan!
Aku mencoba membebaskan diri semampuku. Aku mencoba mendorong dia, tapi kekuatannya bukan tandinganku. Si brengsek ini kuat sekali! Dia memang kelihatan kurus, tapi jangan kamu remehkan dia. Dan satu hal lagi, dia berada diposisi yang lumayan menguntungkan dirinya. Yang aku mampu lakukan hanya, memberontak didalam pelukannya.
“Hanya sebentar.” Phun berbisik untuk menenangkan aku supaya aku berhenti memberontak. Kemudian, dia pura-pura baru bangun tidur dan mendongakkan kepalanya untuk melihat adiknya yang berdiri tanpa ekspresi. Adik perempuannya nampak sangat terkejut melihat kakaknya mendekap pacar-cowoknya di kasur. (Perhatikan baik-baik! Aku mencoba untuk berontak disini!)
“Ada apa, Pang?” Kapan dua bersaudara ini selesai berbicara dan cepatlah pergi sana?!
“Aku… bawa selimut lebih… karena aku takut p’Noh kedinginan…” Dia nampak benar-benar terkejut, tapi juga ada setitik kebahagian di ekspresi mukanya. Oh, tidak. Nong Pang! Apa yang terjadi didalam pikiranmu?!
“Gak papa, Pang.” Phun memberitahunya, Aku bisa merasakan kalau pelukan Phun makin erat.
Aku hanya berpura-pura mati dan mengabaikan semua kejadian di alam semesta ini.
“P’Noh gak akan kedinginan.” Aku tidak perlu sampai membuka mata hanya untuk tahu ekspresi Phun saat ini. Aku juga bisa menebak ekspresi yang dibuat Pang saat itu.
Kenapa dua bersaudara ini selalu merepotkan orang lain sih?!
“Oh benar… Aku lupa. Hehe, Aku gak akan mengganggu kalian lagi. Aku akan kunci pintunya untukmu.”
Klik.
Dan kami meneruskan tidur secara terpisah malam itu. Tidak ada satupun dari kami yang menggunakan selimut (agar adil, karena selimutnya cuma ada satu). Phun menaikkan suhu A/C menjadi 25 celcius agar tidak terlalu dingin. Mau bagaimanapun, aku menjadi susah tidur.
***
Kembali ke masa kini. Saat aku membuka pintu kelas dan masuk kedalamnya, semua orang menatapku.
Apa? Gak pernah lihat Dome*?
“Apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu?” Aku bertanya sambil melempar tasku (punya Phun) ke meja sekolahku. Aku mencoba menghindari segala macam tatapan teman sekelasku. Aku hanya tak ingin terlihat mencurigakan. (Tapi aku lupa, kalau apa yang sekarang aku lakukan membuatku terlihat makin mencurigakan.)
“Seragam siapa yang kamu pakai?” Anjir. Kok Keng bisa tahu ya? Dia benar-benar canggih sesuai dengan namanya.
“Apa maksudmu?” Noh yang sekarang tidak akan menyerah begitu saja! Aku gak peduli benar atau salah, aku hanya ingin berdebat dengan mereka. Walaupun aku menghindari tatapan mata mereka, aku penasaran mereka percaya denganku atau tidak.
“Kenapa kamu menyangkalnya? Jelas-jelas itu bukan seragammu. Itu juga bukan Nomor Induk Siswa milikmu. Seragamnya juga kebesaran buat kamu, kecuali kamu menciut tadi malam.” Penglihatannya sungguh awas sekali!
“Plus lagi, tas sekolah itu bukan milikmu. Punyamu ada sticker jeleknya, disini nggak ada.” Coba liat dia, memperhatikan segala macam detailnya!
“Jadi… Kamu tidur dimana semalam? Aku nungguin kamu main DotA tapi kamu gak online-online.” Jadi sebenarnya kalian tahu apa yang terjadi, bahkan sebelum kalian melihat aku pagi ini? Tapi kenapa mesti diterus-terusin dah?
Aku mendesah dan melihat Kang dengan tatapan lelah karena dia berusaha mengulik kenyataannya dariku. Om disana cuma mengangguk-angguk mengikuti yang lain.
“Iyee, Aku gak dirumah semalaman.”
“Wow, wow, wow! Jadi cewek mana yang bersama kamu semalaman?!” Om brengsek itu. Dia selalu menambah perkara. Kalau emang sama cewek, harusnya aku gak kelihatan seperti ini kan!?
“Kamu ngomong apaan sih? Aku terjebak sama Phun dari kelas 1 sepanjang malam.” Kalimat itu cukup membuat Om mundur kembali ke kursinya. Keng menghampiri, mengangkat tanganku, menepuk punggungku dan memeriksa keadaanku.
“Jadi, kamu kehilangan keperawananmu dengan seorang cowok. Aku tahu itu. Jadi gimana? Rasanya sakit nggak, karena ini pertama kali? Aku dengar gosip, Phun barangnya yang besar.” Keng sungguh cepat tanggap kalau berhubungan dengan segala sesuatu yang memojokkan seseorang. Tapi beneran gak ya punya Phun itu besar? Dih apaan sih aku!
“Mati aja lo! Aku cuma ngobrol sesuatu sama dia. Tapi kemalaman jadinya aku menginap sekalian. Cuma itu saja!” Om kembali duduk disebelahku. Aku sudah cukup muak dengan jahanam itu.
“Sejak kapan kamu dekat dengan Phun? Aku pikir kalian cuma sekedar kenal saja.”
“Itu semua salah si geblek Ngoi nih. Dia alasanku harus mendekati Phun. Oh iya. Omong-omong, Aku sudah mengatasi 20.000 yang kita butuhkan untuk klub kita.”
“Jangan bilang kamu jual pantatmu kepada Phun!”
Plak!
Pukulan itu membuat sakit tanganku, tapi aku harus melakukannya. Aku sudah cukup berurusan dengan Om!
“Aw! Kenapa kau memukulku?!” Dia masih berani bertanya kepadaku.
“Aku melihatmu terus memuntahkan tahi kerbau, jadi aku membantumu. Karena kayaknya kamu gak bisa bernapas karena mulutmu penuh tahi. Gimana kamu selalu dapat ide bodoh tentang pantat-pantatan itu?” Aku terus-terusan menghinanya sambil melihat jam tanganku. Emosiku makin menjadi-jadi karena aku melihat jam, dan pelajaran masih lama mulainya. Berapa lama lagi aku harus mendengar celotehan mereka ini?!
… If when time passes by, for so very long, will you have forgotten about me then?
Ringtone berbunyi “Do You Miss Me” oleh Cocktail. Om memakai nada itu tiga bulan terakhir ini (aku sudah mulai jenuh dengan nada itu). Tapi nada dering itu bagaikan suara lonceng yang mengakhiri pertandingan tinju. Haah. Aku merasa lebih baik sekarang karena tidak perlu lagi mendengarkan celotehan mereka yang selalu sok pintar. Aku melihat Om dengan tatapan hina sebelum aku memeriksa tugasku apakah sudah diselesaikan atau belum. Tapi saat aku melihat Om kembali, dialah yang melihatku dengan tatapan hina.
“Mamahmu telepon.” Apa-apaan? Mamaku?
Aku mengrenyit sambil mengamati layar telepon LG itu. Aku terbelalak, “Bilang ke dia aku sedang tidak disini.”
“Apa? Dia kan pacarmu. Kenapa kamu sok susah untuk dijangkau? Apa yang salah dengan Yuri?” Yah, aku tidak suka dengannya semacam itu, terus apa yang harus kulakukan?! Ditambah lagi, aku sangat lemah kalau harus berhadapan dengan cewek, apalagi dengan cewek yang selalu mengejarku setiap saat.
Pertanyaan Om tidak ku jawab. Dia mengangkat bahunya tanda dia tidak terlalu peduli, sebelum menjawab panggilan masuk itu. Aku menepuk pundaknya dua kali untuk mengkonfirmasi rencananya. Dia menyingkirkan tanganku tanda dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan.
“Ya? Noh… dia nggak disini. Aku belum lihat dia.” Bagus. Bagus sekali.
“Oh… hahaha. Kamu pintar sekali, tunggu bentar ya.” Apa!?
“Mamahmu tahu apa rencanamu.” Dia menutupi teleponnya dengan tangan sambil membisikkan hal yang tidak ingin kudengar. Aku tidak mengerti. Aku tidak paham caranya. Tapi bagaimana cewek ini bisa tahu segalanya?
Pada akhirnya, akulah orang yang harus mendesah keras dan menerima telepon kotak hitam itu dari Om. “Ya? Ada apa?”
“Kok aku selalu gak bisa menghubungimu, Noh?” Samar-samar aku mendengar celotehan banyak cewek dan menyaru dengan teriakan Pang. Dia mungkin sudah berada di sekolah sekarang. Aku berpikir dengan sedikit khawatir di mukaku.
“Batreiku habis.”
“Semalam kamu juga nggak online?”
“Aku menginap di rumah temanku. Ada yang kamu butuhkan, Yuri?” Kenapa sih dia nggak berbicara langsung pada intinya saja?!
“Oh, hehehe.” Tawanya tidak bisa dipercaya. Sekarang aku berkeringat walaupun ACnya sudah menyemburkan udara dengan kencang. “Mau makan bareng setelah sekolah hari ini?” Nah, iya kan.
“Aku ada rapat klub hari ini, aku keluar dari sekolah agak sore.”
“Oh, gapapa. Aku akan menunggu di Siam Center. Restoran Baanying, di lantai dua seperti biasa.” Dia memutuskan sendiri secara sepihak. Inilah Yuri. Sayangnya, aku adalah tipe orang yang tidak mampu berkata tidak pada orang lain. Khususnya Yuri, aku benar-benar tidak bisa. (Omong-omong, Aku juga tidak bisa ngomong tidak kepada Phun juga, kan?)
“Aku baru bisa kesana benar-benar sore.”Hanya itu yang bisa kujanjikan saat ini. -_-“
“Ah, gapapa. Aku juga tidak terburu-buru. Sampai nanti.” Dia berbicara dengan nada riang sebelum menutup panggilan ini. Kenyataannya, Yuri itu gadis yang sangat baik. Dia tidak pilih-pilih. Dia juga tidak rewel. Dia tidak seperti gadis lainnya yang selalu berasaskan ‘pokoknya.’ Cuma masalahnya, keputusan yang dia buat seolah-olah selalu memihaknya. Sekarang, statusku dengan dia adalah ‘pacaran’ tapi aku tidak ingat kapan aku setuju dengan hal itu. Waktu sadar, semuanya sudah terlambat, dan aku sudah menjadi ‘pacarnya’ Yuri.
Tapi kalau dihitung-hitung, akupun tidak mengalami kerugian sedikitpun. Yuri itu orangnya imut. Ayahnya orang Jepang, jadi dia memiliki darah jepang. Kulit yang putih dan cerah, dengan mata yang besar. (Oh… dia juga punya gingsul.) Dia suka ngobrol dan tidak pernah kecapekan. Kadang, aku merasa dia itu ‘rame’ tapi juga mengganggu disaat bersamaan, haha.
Aku harus menemuinya nanti. Kami belum pernah bertemu seminggu terakhir. Aku tidak mau orang-orang menuduhku sebagai pacar yang tidak bertanggung jawab.
“Noh! Jadi apa yang terjadi dengan drum kita?!” Wow, luar biasa. Mereka benar-benar menyayangiku. Hal pertama yang di tanyakan saat mereka melihat batang hidungku adalah uang.
“Tidak banyak yang terjadi. Aku masih hidup, tapi terluka parah. Sekarang aku masih kabur dari polisi. Mungkin aku akan bersembunyi di daerah Phuket.”
Plak!
“Geblek. Ga lucu tau. Aku ngomongin uang drum, bukan pembunuhan. Kamu harus mulai berhati-hati. Semua orang yang pergi ke phuket selalu mendapatkannya.”
“Bukan. Itu samed, p’….” Pada titik ini, aku tidak tahu permainan kata-kata siapa yang lebih lucu1.
Aku berjalan keliling sambil tetawa saat melewati p’Nont yang barusan memukul kepalaku. Aku melempar tasku (milik Phun) ke sofa disamping piano. Aku mencari pembuat semua masalah ini yang dimana dia sedang menghindari tatapanku. Oh, jadi dia sadar apa yang telah ia lakukan.
“Aku… Aku ijin mau ke kamar mandi.” Hoho, dia mencoba untuk kabur! Apa dia pikir, dia bisa kabur begitu saja?!
“Tunggu dulu, Ngoi! Kamu yang menyebabkan semua masalah ini!” Dari sananya, bocah ini tidak lebih cepat daripada aku. Dia pendek. Aku menggenggam kerahnya sebelum ia berhasil kabur. Aku menyeretnya kembali agar dia bisa kita habisi di tengah ruangan ini.
“Si lubang-pantat ini hanya duduk diam saja selama rapat anggaran kemarin. Dia membiarkan p’Aun dari Klub budaya Thailand mengambil jatah kita. Apa yang harus kita lakukan untuknya?” Aha, pelan-pelan semua anggota klub mulai terpancing emosinya terhadap Ngoi.
“Plorotin celananya dan gambarin ‘sosisnya’ pakai spidol permanen.” Anjir, Per memang ahli kalau punya ide yang benar-benar kelewat parah. Idenya terlampau aneh. Aku juga tidak mau menyaksikan ‘sosis-nya’ itu.
“Suruh dia menari tarian ayam di dekat tiang bendera pas pagi-pagi.” Kalau ide ini terlalu menghibur.
“Suruh dia mengerjakan tugas kita semua selama sebulan!” Terus itu hubungannya apa coba!?
“Kita bisa memperbudaknya dari sekarang sampai nanti akhir semester. Dia harus mau melakukan apapun yang kita minta.” Hmm…
“Ide bagus tuh, Om. Sudah 11 tahun kita saling kenal, dan baru kali ini aku setuju dengan apa yang kamu bicarakan.” Aku balik badan dan menepuk punggungnya. Dia tersenyum lebar namun hanya untuk sesaat sebelum senyumnya pudar.
“Trus 11 tahun terakhir, kamu melihatku seperti apa?”
“Kayak seseorang yang membutuhkan berangus buat dipakai…” Semuanya tertawa terbahak-bahak kecuali Om karena dia adalah orang yang aku hina.
“Geblek, kamu hati-hati aja mulai sekarang. Kalau Yuri telpon lagi, aku gebet dia.”
“Tidak ada yang menghentikanmu kalau kau mau. Aku malah berharap kalau kamu bakalan sukses.” Amin! Tuh, bahkan aku sampai rela berdoa buat dirinya. Jangan salah paham, Yuri itu memang imut dan manis. Tapi kenyataannya, aku suka tapi bukan dengan perasaan seperti yang kalian bayangkan.
“Iya benar, Khun Phaen2! Coba lihat dirimu sendiri sok akting terjebak dengan gadis cantik yang mencoba meng-gebet dirimu. Baru tahu rasa kalau dia membuangmu nanti.”
“Ha. Aku sebenarnya adalah Romeo.”
“Bukankah seharusnya kau sekarang sedang dalam perjalanan untuk menemui Wan Thon2? Aku dengar kau membuat rencana denganya?” Si brengsek ini. Sejak kapan Romeo bertemu dengan Wan Thong? Oh, iya. Aku jadi ingat. Aku bilang ke Yuri kalau akan datang terlambat, tapi sekarang tidak ada lagi yang bisa aku lakukan untuk klub ini. Mereka semua berlatih drum-band untuk pertandingan sepak bola nanti. Tapi itu tugas Film, bukan tugasku.
“Iya, Aku mau pergi. Pokoknya, aku sudah ngobrol dengan OSIS tentang dana 20.000 yang kita butuhkan. Mereka sedang menanganinya, kita tidak perlu khawatir lagi… Aku rasa.” Saat aku berbalik badan untuk pergi, aku bisa mendengar Om menggonggong lagi.
“Ya jelas lah, kamu sampai menjual pantat ke Phun juga.” Siapa sih yang sudah menginjak ekornya? Kenapa dia melolong terus? Barusan aku bilang kalau aku ingin pasang berangus dimulutnya. Mungkin aku harus beli satu buah. Aku celingukan mencari sesuatu yang bisa ku sumpalkan ke mulut Om.
“Itu beneran, p’Noh?!”
“Kalau kamu percaya omongan Om, harusnya sekarang kamu melahirkan kambing, Knott. Pokoknya, aku udah menangani masalah keuangannya. Itu saja untuk hari ini. Kalau mau, kalian tungguin saja Film. Aku mau pergi. Ngoi! Kamu perginya terakhir saja dan kunci ruangan ini! Kalau ada yang hilang atau rusak, kamu bakalan mati!” Aku memberikan perintah yang dicampur dengan ancaman. Aku tidak bisa menahan tawa melihatnya pucat pasi dan mengucurkan keringat dingin. Aku memang marah terhadapnya, itu kenyataannya. Tapi rasanya, dari awal aku ingin mengerjainya lebih dari ini.
“Oke, dah. Sampai bertemu besok ya semuanya.” Aku berjalan menuju pintu setelah berpamitan kesemua orang.
***
Sebenarnya, Aku meninggalkan sekolah tidak terlalu sore juga. Tidak seperti yang aku kasih tahu ke Yuri sebelumnya. Tapi memang jalanan menuju Chareon Krung Road macet, (Aku sempat tertidur 10 kali) dan selanjutnya mencoba untuk mencapai jantung kota Siam Center.
Langit mulai berubah warna menjadi oranye. Taksi merah yang kutumpangi berhenti dengan lembut di Center Point. Aku mengeluarkan uang lembaran yang sewarna dengan taksi ini dan memberikannya ke supir taksi sebelum aku melanjutkan perjalannanku melewati keramaian yang berjalan melewati Screen Shake.
Dan saat ini… juga belum terlalu terlambat. Akankah Yuri membuat asumsi yang aneh-aneh kalau aku datang lebih awal? Akankah nanti dia berpikir aku terburu-buru datang karena aku benar-benar jatuh cinta kepadanya?!
Ah, Itu bukan masalah. Aku juga tidak tahu sekarang harus melakukan apa. Aku tipe orang yang suka berbelanja di mall. Aku sebaiknya cepat-cepat menemui Yuri jadi aku bisa pulang lebih cepat kerumah dan main Video Games.
Aku sudah membuat keputusan jadi aku buru-buru datang ke Baanying Restaurant.
Suara ceria dari pelayan restauran menyapaku saat aku masuk kedalamnya. Dengan ramah dia menunjuk ke meja kosong. Yap, pelayanan disini memang selalu baik. Tapi bagaimanapun, orang yang akan kutemui mungkin sudah duduk disuatu tempat di lantai dua dan sedang tertawa riang.
“Tidak apa-apa, Aku menemui temanku disini.” Aku memberinya jawaban singkat dengan sedikit anggukan sebelum naik ke lantai atas. Tidak terlalu susah untuk menemukan mana meja Yuri mengingat disitu ada kelompok besar cewek-cewek duduk mengelilingi meja yang cukup panjang, yang aslinya gabungan dari beberapa meja.
Apa seluruh sekolah datang kesini?!
“Noh, kamu datengnya lebih awal!” Wan Thong-err-maksudku Yuri langsung mengenaliku. Jelaslah, matanya sangat jeli! Aku membeku sejenak karena aku jadi ragu, haruskah aku bergabung dengan kumpulan 20 gadis ini atau tidak.
“Eh? Noh?” Tunggu sebentar. Suara itu aku pernah dengar. Itu juga bukan suara perempuan.
Dan kalau aku tidak salah ingat, suara itu adalah suara…
“Oh!” Apa yang dilakukan disini?!
“Kenapa kamu nggak bilang kalau akan datang juga? Kita bisa jalan bebarengan.” Dia punya nyali untuk bicara kepadaku. Bukankah sudah cukup mengerikan untuk tidur bersamamu sepanjang malam? Sekarang aku juga bertemu denganmu seusai sekolah? Di kuil manakah aku pernah berdoa bersama orang ini di kehidupan sebelumnya? Aku ingin pergi lagi kesana untuk membatalkan permintaanku. Aku terus mengoceh dalam hati saat mengamati wajah Phun. Aku tidak yakin kalau aku harus terkejut, marah, atau bosan saat menemuinya. Kok aku bisa lupa kalau Yuri dan Aim berteman? Dan karena semua anggota grup berkumpul bersama, jadi tidak heran kalau Phun juga ikut didalamnya.
“Noh, kesini. Aku sudah pesan ‘brake take’ yang kamu suka.” Suara Yuri melintasi ujung meja ke ujung yang lain. Aku melihat wajah putih itu tersenyum kepadaku. Aku senyum kembali, berpikir kalau aku kesana keadaan akan makin mengerikan. Aku memutuskan untuk tetap duduk disamping Phun. “Eh?” Dia mengerang curiga.
“Ayolah, biarkan aku duduk disini. Disana menakutkan.” Aku berbisik kepadanya sambil menunjuk menggunakan daguku ke ujung meja disana tempat Yuri duduk. Disiana juga ada kumpulan cewek. Phun tertawa, dia melihat situasi ini lumayan menghibur.
“Benar, benar. Aku juga takut pada awalnya. Tapi aku lega kamu ternyata kesini juga.” Dia berbicara kepadaku dengan nada ceria. Hmph! Kalau situasinya tidak memaksaku untuk melakukan semua ini, aku juga gak bakalan duduk disampingmu dan menggantungkan setengah pantatku!
“Sejak kapan kalian jadi akrab begini?” Oh iya, Aku hampir lupa kalau Phun duduk disamping pacarnya. Aku sadar ketika mendengar suara merdu dari gadis yang duduk di seberang kami. Jadi aku duduk menghimpit pacar orang. Aku jadi merasa bersalah, iya kan?
“Oh! Aku lupa kalau kamu datang bareng pacarmu. Aku pindah dulu. Sori, bro.” Aku tidak punya kesempatan untuk menjawab pertanyaan Aim (karena aku tidak tahu harus menjawab apa) dia mengangguk dengan cepat ke Phun sebelum aku beranjak dan pergi ke kursi sebelah Yuri. Dia masih melambaikan tangan mengajakku duduk bersama.
Seharusnya aku sudah duduk disebelah Yuri dan makan ‘brake take’ dengan bahagia kalau Phun tidak menggenggam tanganku tiba-tiba saat ini.
“Hey, gak usah khawatir. Kamu boleh duduk disini kalau tidak mau kesana.” Tidak hanya menghentikanku, dia juga menariku duduk kembali di kursi yang sama dengan posisi seperti sebelumnya. Aku benar-benar tertangkap basah. Yuri masih melambaikan tangannya sambil mengerenyit. Dia mungkin kecewa denganku.
Hey, hey. Aku juga tidak akan minta maaf ke Yuri juga kalaupun dia marah, sekedar info saja.
“jadi teman yang Phun cerita kalau dia menginap di rumahnya adalah kamu, Noh?” Suara manis Aim meneruskan kembali pertanyaan tadi. Aku kehabisan kata-kata. Aku tidak tahu harus bilang apa. Rasanya aku sedang memakai berangus milik Om saat ini. Jadi… aku harus jawab apa? Apakah nggak terlalu aneh kalau aku menjawabnya dengan jujur? Aku mulai gelisah.
“Oh, lihat? Dia masih pakai seragamku. Lihat.“ Phun berhasil mencuri perhatian Aim dan dia yang akhirnya menjawab pertanyaan itu. Tidak cuma menjawab, tapi dia memakai jarinya untuk menunjuk NIS di dadaku. Kamu tidak takut apa kalau pacarmu curiga akan sesuatu? Kalau seseorang tahu kenyataan tentang alasanku menginap di rumahmu…? Aku bahkan tidak mampu membayangkan olok-olok orang lain!
Aku masih terpaku saat Phun masih berbicara mengenai seragam yang memang miliknya. Kemudian ada suara keras dari orang yang berjalan ke arahku.
“Kamu jahat, kenapa gak mau duduk denganku.” Aku masih butuh jalan keluar untuk menghentikan kegilaan ini. Aku menggaruk kepala, merasa kesal. Nggak hanya temanku yang sok dekat denganku, tapi juga ada Yuri yang tersenyum sambil berdiri dibelakangku. (Apa yang mereka inginkan dariku?!) Kalau aku bisa loncat kedalam gelas berisi air itu dan renang ke samudra hindia, aku sudah melakukannya dari tadi.
“Yah… temanmu ternyata banyak juga yang duduk bersamamu, Aku tidak ingin menganggumu.”
“Siapa yang bilang kamu menganggu? Aku hanya ingin duduk bersamamu, Noh. Aku belum melihatmu selama seminggu terakhir ini. Aku rasa tidak apa-apa kalau aku pindah kesini dan duduk disebelahmu. Dengan itu, kamu juga bisa duduk disebelah Phun, gimana?” Dia bertanya dengan baik tapi tidak perlu jawabanku. Dia pergi mengambil kursinya sehingga dia bisa duduk disebelahku. T__T Jadi inilah hidupku sekarang.
“Aku nggak tau kalau kamu pacaran dengan Yuri.” Phun berbisik kepadaku saat Yuri berhasil menemukan kursinya. Aku hanya mampu memberikan senyum masam setelah mendengar kalimat itu. Lebih baik Aku pura-pura tidak tahu apapun. Aku sedang tidak berminat untuk menjelaskannya lebih lanjut. Intinya, Aku tidak mau membuat Yuri memiliki kesan yang buruk.
“Aku disini! Aku disini! Kenapa kamu memepet Phun? Sini duduk denganku. Aku merasa tidak enak terhadap Phun. Dia pasti terganggu.” Yuri kembali dengan kursinya dan duduk disebelahku sembari memarahi aku. Bahkan dia sampai memukul bahuku. (Aw, lumayan sakit) Tapi… haruskan aku berbagi kursi dengan Yuri? -_-“
“Gak papa, aku tidak merasa terganggu kok.” Wah, gentlemen sekali dia. Aku menatapnya tajam, mataku berisi dengan kebencian (walapun dia sudah cukup baik membiarkanku duduk bersamanya).
“Gak mungkin, Phun. Ayolah Noh, duduk disini.” Jangan pikir Yuri akan menyerah egitu saja. Haah. Terserah deh kalian mau apa. Aku merasa sebagai sebuah tali dan mereka bermain tarik tambang dengan tubuhku. Tarik kesana. Tarik kesini. Tidak banyak yang bisa aku lakukan kecuali mendesah dengan keras. Aku memindahkan tubuhku dan duduk di kursi yang sama dengan Yuri. Nampaknya dia benar-benar bahagia dan tersenyum lebar. (Senyumnya selalu lebar sih seperti biasa.) Sekarang dia mengambilkan makanan ke piring untuk nanti aku makan.
“Ugh, Aku udah cukup muak melihat orang yang kasmaran. Mereka bertingkah manis satu sama lain tanpa mempedulikan perasan temannya yang masih jomblo.” Salah satu temannya bercanda membuatku berkeringan makin banyak. Tapi Yuri senang-senang saja mendengar kalimat itu. Senyumnya bahkan makin lebar sekarang.
“Makanya cari pacar sana.” Kenapa… kamu harus mengatakan itu kepada mereka? Sampai kapan aku harus terjebak disini? T___T
***
Sudah lama sekali sejak cewek-cewek ini selesai makan dan saling mencurahkan isi hatinya satu sama lain. Matahari sudah tenggelam satu jam yang lalu. Aku melihat sisa-sisa peradaban yang berserakan di atas meja ini. Aku masih tidak percaya mereka mampu menghabiskan semuanya.
Usus cewek itu memang menakutkan. Bahkan pelayannya tadi sempat mengambil piring yang sudah tidak terpakai.
Aku meninggalkan restoran dan berjalan di sepanjang pertokoan yang bercahaya sangat cerah. Akhirnya aku mencapai halte bus didepan bioskop dan mengamati gadis-gadis itu menghilang disekitar Payathai Road.
“Kamu pulangnya gimana, Yuri? Ini sudah malam.” Aku bertanya dengan sopan sebagai seorang pacar (?). Dia menoleh dengan senyum lebar tergambar diwajahnya. Matanya bersinar.
“Apa kamu mau mengantarku, Noh?” Oh… Bukannya ini sudah aku antar?
Tapi seperti yang aku bilang, Yuri bukan tipe gadis seperti itu. Dia tertawa setelah menyelesaikan kalimatnya. “Cuma bercanda! Jangan khawatir, aku naik taksi bareng May. Sampai bertemu lagi, oke?” Aku lega mendengar dia mengatakan itu. Aku lega bukan karena tidak mau mengantar dia pulang, tapi lebih karena dia pulang bersama seseorang.
“Telpon aku kalau sudah sampai rumah ya?” Aku bukan pacar yang buruk, asal kalian tahu. ^_^
Sekarang gantian aku yang (bisa) pulang setelah melihat Yuri dan yang lainnya pergi. (Aku tidak lupa memotret nomor taksi menggunakan teleponku.) Aku belum balik badan sepenuhnya dan melangkah sebelum aku menghadap pemuda yang sudah menghancurkan hidupku ini.
“Ah!” Gak peduli betapa gantengnya kamu, tapi kalau ada orang yang berdiri persis dibelakangmu tanpa membuat suara sama sekali tetap saja menakutkan! Aku pikir dia setan! Seseorang selamatkan aku!
Aku tadi sempat berteriak ketika tahu dia menungguku. Rasanya mengkhawatirkan kalau dia berdiri tanpa suara dibelakangku, jadi cepat-cepat aku memutar badan untuk menghadapinya.
“Kamu ternyata pacar yang baik, Noh.” Dia berbicara sambil menyeringai. Rasanya kalimat itu adalah pujian yang nggak lazim.
“Maksudmu apa?”
“Bukan, bukan kayak gitu! Maksudku, kamu benar-benar memperhatikan Yuri. Aku pikir kamu bakal galak terhadapnya.” Apa kau serius berusaha membenarkan diri sendiri dengan mengatakan hal itu? -_-“
“Aku cowok, sudah sewajarnya kalau aku memperhatikan dia. Aku pikir kamu mengantar Aim ke rumah.” Aku berbicara kepadanya sembari menaiki lift untuk menuju halte didepan Siam Center. Wajarlah kalau Phun mengikutiku karena kami tinggal di lingkungan yang sama.
Bisakah kamu tidak berjalan dibelakangku? Apakah kamu sadar kalau kamu membuatku merasa aneh?
“Biasanya sih begitu, tapi Aku perlu menemanimu pergi kerumahku kan?”
Dia barusan ngomong apa?!
“Hah!? Buat apa!?” Mungin aku pacarmu (hanya pura-pura saja) tapi aku tidak menikah dan pindah serumah denganmu juga kali! Apa dia mengharapkan kalau aku tinggal dengan dia?!
“Memang kamu tidak mau mengambil motor yang kamu tinggalkan kemarin?” Oh, iya. Aku hampir lupa. Jalan pikiranku kacau sekali hari ini.
“Bener! Iya, aku mau mengambilnya. Pang sudah dirumah?” Aku perlu menanyai posisi si pembuat keonaran itu sebelumnya.
“Dimana lagi kalo dia nggak dirumah? Haha” Dia menertawaiku seolah-olah aku sudah mengajukan pertanyaan yang bodoh. Tapi emang sih, itu pertanyaan bodoh.
Jadi sore ini aku menghabiskan waktu sebagai pacarnya Yuri, dan malam ini aku menjadi pacarnya Phun juga!? Akankah ada kemerdekaan dikehidupanku nanti!?
1 — Dialog antara Noh dan Nont adalah permainan kata-kata dalam bahasa Thailand. KudaLakorn sendiri mengakui, agak susah menterjemahkan dialog itu dengan membawa joke-nya. Kalau dalam bahasa indonesia, dialognya menggunakan kata-kata semacam ‘apel’ buah dan ‘apel’ upacara pagi. Sama, tapi dengan ejaan yang berbeda.
2 — Nama-nama tersebut ada di cerita rakyat dari Thailand. Kudalakorn sendiri tidak memberikan penjelasan, namun alih-alih dia memberikan Iink untuk informasinya.
Belom liat Filmnya tapi uda didownload..