It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
siang itu, Geja dan Gena datang ke rumah. Geja dan Gena berkata bahwa ada hal penting yang harus segera di sampaikan padaku dan aku harus mengetahuinya.
(sebenarnya, percakapanku dengan Geja dan Gena menggunakan bahasa burung. tapi, biar teman-teman mengerti, aku translit ke bahasa manusia).
di dalam kamar....
"ada apa Geja?" tanyaku.
"ini soal serius Ki...." kata Geja. "ada beberapa hal yang harus kamu tahu. ini pesan dari Peri Angsa...." kata Geja.
"memang ada apa?" tanyaku agak kalut.
"Peri Angsa bilang, kamu tak bisa lagi berlama-lama di dunia ini. karena setelah waktu itu, kamu akan hilang di dunia ini, dan tak bisa kembali ke duniamu." kata Gena menjelaskan.
"apa?" tanyaku kaget.
"iya Ki.... jadi kamu harus segera mendapatkan sayap itu sebelum batas waktunya...." kata Geja menjelaskan. aku menjadi semaki kalut.
Panji yang melihat ekspresi wajahku, menjadi terlihat kalut juga.
"memang, kapan batas terakhir aku harus mendapatkan sayap?" tanyaku lagi. dengan cepat Geja dan Gena menjawab.
"saat bulan purnama.... berarti, seminggu lagi...." jawab Geja dan Gena.
"seminggu... berarti 7 hari dong...." kataku.
"ya Ki.... dan, 1 lagi pesan dari Peri Angsa agar kamu bisa mendapatkan sayap yang kamu inginkan. yaitu, kamu harus mencium bibir orang yang mempunyai sayap." kata Gena. "karena, hanya itulah caranya sayap dari orang itu bisa berpindah padamu...." kata Gena menambahkan.
setelah berkata demikian, Geja dan Gena pergi meninggalkan aku yang agak syok. aku menceritakan semuanya ke Panji. Panji pun agak syok, karena cara aku bisa mendapatkan sayap itu terbilang sangat ekstrim dan sangat sulit. (salah-salah, aku bisa dibunuh sama Septi).
"ya dah Ki.... sekarang, kita harus membuat rencana yang baru lagi yang lebih matang." kata Panji setelah mendengar semua penjelasanku.
"kamu yakin bisa, Ji?" tanyaku agak khawatir.
"ya, harus di coba dong...." ujar Panji.
karena siang itu Panji ada keperluan lain, akhirnya pembuatan rencana di pending dulu. begitu pula dengan acara nonton film-film yang di janjikan oleh Panji. Panji hanya menyerahkan DVDnya saja.
Panji pergi tinggalin aku sendiri. nah, bodohnya aku, adalah aku tidak meminta Panji untuk mengajariku caranya mengoperasikan DVD. jadinya, aku menunggu Septi untuk membantuku setelah pulang dari kampus.
"film dari siapa ini?" tanya Septi saat aku memintanya untuk memutar DVD, setibanya dari kampus.
"dari Panji...." jawabku. "nyalain dong, aku mau nonton...." pintaku.
"nggak boleh...." kata Septi melarangku. "pokoknya nggak boleh...." kata Septi lebih tegas lagi.
"memang kenapa?"" tanyaku heran.
"pokoknya nggak boleh!" jawab Septi tegas. "kamu tahu nggak, film ini itu nggak pas untuk kamu...." Septi mengemasi film-film itu (ada ARISAN, COKLAT STROBERI dan BROKEBACK MOUNTAIN).
"aku nggak tahu Sep, makanya aku mau nonton...." kataku lirih. "Panji bilang, dengan nonton film-film itu, aku bisa terbantu...." kataku menambahi.
"membantu apa? hah?" kata Septi. dia terlihat agak marah. "pokoknya, nggak boleh...." tambahnya.
Septi berjalan meninggalkanku menuju kamar. aku tak berani memaksa Septi. aku hanya diam saja.
beberapa saat kemudian, aku mendekati Septi yang sedang terbaring di atas tempat tidur. aku mencoba untuk mendapatkan simpati darinya (rencana A sedang dilakukan).
"Sep, maaf ya.... aku dah bikin kamu marah...." kataku mencari simpati. Septi hanya diam. wajahnya masih agak marah. "kok diem aja....?" tanyaku.
"udah ah.... nggak usah ngomong kayak gitu...." ujar Septi. "aku ngantuk sekarang, aku mau tidur siang.... o ya, aku sudah beliin kamu nasi padang. tuh, ada di meja makan." kata SeptI yang langsung memejamkan matanya.
ya ampun, rencana A yang sudah aku susun dengan Panji selama hampir 5 jam, ternyata nggak mempan. aku berjalan meninggalkan Septi yang ingin tidur siang. tapi, saat aku hendak keluar, aku merasakan suatu aura yang aku rasakan beberapa waktu yang lalu. aura cemburu, tapi di balut juga dengan rasa yang lain. seperti rasa ingin memiliki sesuatu yang teramat sangat. serta rasa nyaman dan sayang.
aku menoleh ke Septi. aku hanya mendapati Septi yang terpejam. rasa apa ini ya?
mang artinya apaan? aku nggak ngerti.... hehehehehe
sorenya, aku selalu melakukan hal-hal yang sudah aku baca dari buku-buku. juga dari apa yang Panji telah katakan padaku. sore itu, aku membuat makanan untuk Septi. nggak istimewa sih, hanya mie rebus pake telor. untunglah Septi mau. bahkan, Septi bilang masakanku enak. (wah, kayaknya bisa berhasil nih....).
malamnya, aku berusaha untuk selalu memberikan pehatian pada Septi. yang biasanya aku sibuk dengan Panji, tapi malam ini spesial untuk Septi. mulai dari bercanda, bercerita, bahkan aku pijitin Septi. malam ini, bahkan Septi sudah nggak manyun lagi. Septi tersenyum padaku. Septi juga minta maaf padaku karena telah marah padaku atas kejadian tadi siang.
saat aku hendak tidur, Neko datang entah darimana. Neko datang dan memberitahuku bahwa Nek Fatma sedang sakit. malam itu juga, aku langsung menuju kerumah Nek Fatma. Septi juga ikut. setibanya di rumah Nek Fatma, aku dan Septi mendapati Nek Fatma yang sudah tampak parah. wajahnya pucat dan nafasnya tersengal-sengal. lalu, aku dan Septi membawa Nek Fatma keumah sakit.
dalam perjalanan ke rumah sakit, Nek Fatma sudah sangat parah. pastinya, tak akan bisa tertolong lagi apabila tidak segera di obati.
dan tanpa aku bisa berpikir lebih jernih lagi, aku mengeluarkan auraku untuk menolong seorang nenek yang telah menolongku. dengan auraku, ternyata penyakit Nek Fatma bisa jadi lebih mendingan. belum bisa dibilang sembuh, tapi beliau tampak lebih baik.
di rumah sakit....
"Ki.... kenapa kamu menolong nenek?" tanya Nek Fatma. aku tak tahu harus bilang apa. aku hanya diam. "bukannya nenek nggak mau ditolong, tapi.... tasanya ini sangat sulit dan sangat aneh untuk nenek terima...." kata Nek Fatma menjelaskan.
"maksud nenek?" tanyaku heran.
"mungkin saja, nenek tidak seperti ini saat ini. mungkin nenek telah tiada.... tapi karena kamu telah menolong nenek, makanya nenek masih bisa seperti saat ini." jawab nek Fatma. aku tak mengeti apa yang dikatakan oleh Nek Fatma. "nenek takut bila apa yang kamu lakukan adalah melawan kehendak Tuhan. itu saja...." kata nek Fatma menambahi.
"memangnya apa kehendak Tuhan nek?" tanyaku.
"nenek juga tidak tahu. karena itu adalah rahasia Tuhan. tapi, terima kasih ya Ki...." ucap Nek fatma.
malam itu, aku dan Septi menemani nek Fatma di rumah sakit. bergantian aku dan Septi menjaganya. memang, malam itu, Septi lebih banyak menemani nek Fatma dibandingkan denganku. wajah Septi terlihat sangat menyayangi wanita tua itu.
"nek Fatma sudah aku anggap sebagai nenekku sendiri. aku sangat menyayanginya...." kata Septi saat aku tanya kenapa dia sangat memperrhatikan nek Fatma. "nenekku sudah lama meninggal, karena sakit. andai saja waktu itu ada kamu, mungkin saat ini nenekku masih hidup...." kata Septi menambahi.
"tapi ya sudah lah, pastinya ada rahasia tersendiri atas semua kejadian ini...." kata Septi dengan wajahnya yang dibuat setegar mungkin.
esoknya, hari ini, saat Septi berangkat kuliah, aku menjaga nek Fatma di rumah sakit. waktu agak siang, Panji datang. ketika itu, nek Fatma sedang tidur.
"Ji, kemarin aku sudah mencoba beberapa rencana, kayaknya dah mulai ada hasilnya deh...." kataku pada Panji di kamar tempat nek Fatma di rawat. lalu, aku menjelaskan banyak hal tentang semua yang sudah aku lakukan.
"jadi gitu, ya...." komentar Panji menanggapi ceritaku. aku mengangguk. aku tersenyum penuh semangat. "tapi Ki, sepertinya aku nggak bisa bantu kamu lebih jauh lagi...." kata Panji membuatku agak terkejut.
"memang kenapa Ji?" tanyaku kaget. Panji tak langsung menjawab.
"terlalu sulit di jelaskan...." jawab Panji. "mungkin, kamu juga nggak akan mengerti...." kata Panji menambahi.
"jelasin ke aku...." pintaku.
"sulit Ki.... aku merasa sangat sulit untuk mengatakannya...." kata Panji. "ini berhubungan dengan perasaan...." tambahnya.
"tapi...." kataku coba meminta penjelasan. namun, Panji memelukku. Panji memelukku errat.
"maaf Ki.... aku tak bisa lebih jauh menjelaskannya." kata Panji. "munhkin, bila kamu adalah manusia, kamu akan mengerti...."
Panji semakin memelukku erat. entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda. sangat membuatku nyaman. dan aku sunggah tak mengerti dengan apa yang di maksud oleh Panji.
pintu terbuka, Septi masuk dan melihat aku yang sedang dipeluk oleh Panji. aku segera melepaskan diri dari pelukan Panji. tatapan mata Panji, terasa sangat menghujam. aura dari dirinya, adalah aura yang selalu aku rasa sebelumnya. seperti aura cemburu.
"maaf, aku mengganggu...." ujar Septi yang langsung keluar lagi dari kamar.
Panji mengikuti Septi menuju suatu tempat. aku mengikuti Panji. dari jauh aku memperhatikan Septi yang tampak marah pada Panji. bahkan, aku juga mendengar beberapa kata yang di ucapkan oleh Septi.
"oh, jadi ternyata benar, kamu suka pada Riki?" kata Septi. Panji tak menjawab. "jadi karena Riki, kamu menolakku?" tanya Septi. Panji masih saja diam.
ya ampun, ternyata Panji suka padaku.... aku syok mendengarnya.
"Panji, aku cinta sama kamu...." ucap Septi.
Panji lalu beranjak meninggalkan Septi yang menahan tangis. sebelum mereka kembali ke kamar,aku terlebih dahulu menuju kamar. aku nggak mau mereka tahu bahwa aku mendengarkan apa yang mereka katakan.
aku sudah di kamar. tak beberapa lama kemudian, Septi masuk kamar. aku hanya menoleh ke arah Septi, aku tak berkata apa-apa pada Septi. aku, kembali merasakan aura cemburu. bahkan kini bercampur dengan aura benci dan kecewa.
sebelumnya, tak ada sesuatupun yang mampu membuatku bisa berkata pada Septi. apapun itu, yang ada hanyalah kata-kata yang sangat biasa saja. bahkan rencana pendekatanku padanya, aku urungkan. dan akhirnya, aku tak melaksanakannya sama sekali.
Nek Fatma sudah tampak lebih baik. Nek Fatma sudah bisa tersenyum dengan indahnya. tak ada lagi gurat rasa sakit yang tampak di wajahnya. aku suka melihatnya.
Nek Fatma tidur, aku beranjak dan duduk di teras rumah Nek Fatma. saat aku mulai kalut dengan keadaanku, serta dengan usahaku yang mungkin gagal, Geja dan Gena datang membawa berita yang tak kalah membuatku kalut. bahkan sangat kalut.
"Ki, ada satu hal yang sangat penting yang dikatakan oleh Peri Angsa...." kata Geja mengawali percakapan.
"apa itu?" tanyaku agak cemas jadinya.
"Ki, kamu masih ingatkan kalau kamu pernah menggunakan auramu untuk menolong orang? dan auramu belum kamu tutup?" tanya Geja padaku. aku mengangguk. "nah, itu akan berdampak buruk pada orang-orang yang telah mendapat auramu."
"maksudnya?" tanyaku semakin takut deh.
"memang, orang-orang itu akan menjadi cinta dan sayang padamu, tapi, orang-orang itu kan menjadi lupa pada orang yang sangat dicintainya saat kamu kembali ke duniamu." kata Gena menjelaskan.
-HAH?-
aku bener-bener kaget mendengarnya.
"jadi gimana dong?" tanyaku pada Geja dan Gena. dalam pikiranku, langsung terlintas wajah Bu Lastri dan Sinta.
"sebenarnya, nggak masalah...." kata Geja hendak berkata.
"itu suatu masalah Ja.... masalah besar...." kataku.
lalau aku menjelaskan semua yang pernah aku lakukan pada Bu LAstri dan Sinta. aku khawatir Bu Lastri akan menjadi lupa pada Sinta. Geja dan Gena pun syok mendengarnya.
setelah Geja menjelaskan cara yang harus aku lakukan untuk menarik kembali aura yang telah aku keluarkan, lalu aku masuk kekamar Nek Fatma. sedangkan Geja dan Gena kembali ke sarang mereka.
sampai di kamar Nek Fatma, kulihat Nek Fatma masih tidur. dengan sangat hati-hati, serta rasa sayang yang sangat dalam, aku kecup kening Nek Fatma. ku rasakan, aku kembali menghisap aura yang telah aku berikan padanya. kehangatan kembali ke tubuhku. namun, Nek Fatma seolah-olah tak merasakan sesuatu yang aenh atau perubahan pada dirinya.
setelah itu, aku kembali duduk di teras, pikiranku kembali kalut. yang aku pikirkan paling utama adalah, aku harus bisa menemukan Bu Lastri secepat mungkin. dan aku harus bisa mengambil aura yang ada pada Bu Lastri.
sorenya, Septi datang ke rumah Nek Fatma. di rumah Nek Fatma pula, aku menjelaskan apa yang ingin aku lakukan. aku ingin mencari Bu Lastri. aku harus bisa mengambil kembali auraku. entah kenapa, Septi tak begitu tertarik dengan apa yang aku katakan. Septi hanya mengangguk, dan Septi mengijinkanku. bahkan, Septi tak bisa menemaniku. katanya, Septi sedang ada banyak tugas.
saat itu pula, aku meninggalkan Septi dan Nek Fatma. aku menuju rumah sakit tempat Bu Lastri dulu di rawat. untunglah, aku bisa mendapatkan alamatnya. setelah itu, aku langsung mencari tempat Bu Lastri seperti yang tercantum dalam alamat tersebut.
ternyata, tempat yang aku tuju, adalah sebuah tempat dengan lingkungan sekitarnya yang sangat kumuh. bahkan, orang-orang yang aku lihat, tampak tak begitu bersahabat. sebagai buktinya, baru saja aku datang, sudah ada preman yang mau malak aku. untunglah, tanpa aku sadari, Panji menolong aku.
Panji bilang padaku, bahwa Panji sering nongkrong di daerah ini. bahkan, preman tadi juga temennya.
"ngapain kamu kesini?" tanya Panji agak sewot. tapi, dibalik sewotnya itu, aku melihat ada segaris kekhawatiran yang tersirat di wajahnya.
aku menjelaskan semuanya pada Panji. dan senangnya, Panji mau menemaniku untuk mencari orang yang aku maksud. namun, ternyata Bu Lastri serta Sinta sudah pulang ke daerah asalnya. yaitu Yogyakarta.
"aku akan menemanimu, sampai kemanapun, sampai kamu bisa menemukan kembali Bu Lastri. dan kamu bisa kembali mengambil auramu darinya. aku janji." begitu kata Panji. dengan wajah yang sangat serius tentunya.
entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang mengaliri dadaku. hangat sekali.
mulai dari pagi kedatangan kami di Stasiun Tugu Jogja, sampai siang ini, aku dan Panji belum bisa menemukan tempat Bu Lastri berada. memang, kami mendapatkan alamat dari orang yang ada di jakarta, yang dulunya merupakan tetangga dari Bu Lastri. tapi, alamat tersebut tidak lengkap. jadinya, agak susah menemukannya.
dan ini adalah 3 hari terakhir aku ada di dunia manusia ini. waktuku, sudah tidak banyak lagi. setelah seharian mencari, untunglah akhirnya aku dan Panji bisa menemukan tempat Bu Lastri dan juga Sinta berada.
melihat wajah mereka, entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang sangat nyaman. entah karena apa, atau mungkin karena auraku yang ada di dalam tubuh Bu Lastri. apapun itu, yang jelas, aku merasa senang.
malamnya, aku menjelaskan maksud kedatanganku dan juga Panji kepada Bu Lastri. agak susah awalnya, tapi akhirnya Bu Lastri bisa mengerti juga.
"kalau memang seperti itu, akibatnya, bolehkah aura ini terus bersama Ibu?" pinta Bu Lastri.
"memang kenapa Bu?" tanyaku. Bu Lastri tak langsung menjawab.
"aura itu nantinya akan membuat ibu bisa menghilangkan kenangan seseorang yang sangat disayanginya, kan?" tanya Sinta. aku mengangguk. "kalau begitu, aku juga berharap, mas Riki mau membiarkan ibuku terus menyimpan aura itu...." pinta Sinta.
"tapi, ibumu akan melupakanmu, Ta...." kata Panji.
"itu tak mungkin...." kata Sinta. aku dan Panji agak heran dengan kata-katanya. "karena, yang membuat ibuku terpuruk selama ini adalah kenangan ibuku kepada ayahku yang telah meninggal. ibu tak bisa sedikitpun melupakan sosok ayah...." kata Sinta lagi menjelaskan.
mendengar kata-kata Sinta, entah kenapa akhirnya aku menjadi paham tentang keadaannya. memiliki serta menyayangi orang yang sama sekali tak menyayanginya. Sinta juga berada di bawah bayang-bayang ibunya yang selalu saja memikirkan serta selalu menyayangi ayahnya yang telah meninggal. sepertinya, rasanya sakit sekali.
aku dan Panji menginap di rumah Bu Lastri malam itu. aku tak tahu harus bagaimana mencoba menjelaskan pada Bu Lastri. jujur saja, aku sebenarnya tak masalah apabila harus membiarkan auraku ada pada Bu Lastri. tapi, aku takut bila aku tak bisa kembali ke duniaku.
pagi itu, entah kenapa dan entah karena apa, Bu Lastri mengijinkanku untuk mengambil kembali aura yang ada pada dirinya.
"mungkin aku memang makhluk yang benar-benar lemah, yang tidak mau mencoba untuk terus melangkah ke depan. biarlah kenangan itu terus ada, tak apa...." kata Bu Lastri. aku diam saja tak tahu harus berkata apa. "aku yakin, suatu saat aku akan bisa melupakannya. selain itu, aku punya Sinta...." kata Bu Lastri. dimatanya, air mata mulai menetes membasahi pipi.
akhirnya, aku mengambil auraku yang ada di dalam tubuh Bu Lastri. setelah itu, aku dan Panji pamitan pulang lagi ke Jakarta. aku dan Panji pulang dengan menggunakan kereta.
"hati-hati ya nak, semoga kamu selamat dan bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. dan terima kasih." ucap Bu Lastri.
dalam perjalanan di kereta.
"terima kasih ya Ji, kamu dah mau temenin aku sampai sejauh ini...." kataku.
"ya...." ucap Panji.
"tapi Ji, bolehkah aku tanya padamu?" tanyaku.
"bukannya kamu baru saja bertanya padaku?" kata Panji. aku tersenyum.
"kenapa kamu mau sejauh ini menemaniku?" tanyaku. Panji tak menjawab. "ternyata, kamu baik juga ya Ji...." kataku.
Panji merangkulku. kepalaku aku sandarkan dipundaknya. terasa nyaman sekali.
"Ki, aku hanya ingin mengatakan ini padamu. aku takut aku tak sempat mengatakannya bila kamu telah kembali ke duniamu...." Panji tak langsung melanjutkan kata-katanya.
"apa itu Ji?" tanyaku.
"aku, sayang ma kamu Ki.... mungkin lebih tepatnya, aku mencintaimu...." kata Panji.
aku hanya diam. aku tak berkata apa-apa. aku juga tak melepas rangkulan Panji padaku.
"aku tak meminta kamu membalas cintaku ini, karena aku tahu, kita ini berbeda...." kata Panji. aku jadi merasa haru mendengarnya. "tapi, apapun kamu, yang jelas aku cinta ma kamu...."
air mataku menetes membasahi pipiku. aku merasa senang dan bahagia. namun saat itu pula aku merasa sedih.
"Ji, andai saja manusia yang bersayap malaikat itu kamu...." aku tak bisa melanjutkan kata-kataku lagi. aku benar-benar merasa tak kuat membayangakn sesuatu yang benar-benar sulit untukku.
"tak apa Ki.... dengan menyayangimu saja, itu sudah lebih dari cukup untukku." ucap Panji.
siang ini, aku berada di rumah Panji. aku di kamarnya, kamar yang serba hijau. dari dinding ber cat hijau, sprei, tirai dan banyak yang berwarna hijau. nyaman sekali rasanya.
"kamu istirahat dulu Ki, aku mau mandi dulu...." kata Panji yang meninggalkan aku sendiri dikamar. sedangkan dia pergi untuk mandi.
"jangan lama-lama ya...." pintaku. entah kenapa, rasanya berat sekali aku untuk bisa jauh dari Panji. Panji mengangguk, bibirnya tersenyum.
"mmmm..... atau gini aja, gimana kalau kita mandi bareng aja?" ajak Panji.
"mandi bareng?" tanyaku heran dengan usul Panji. Panji mengangguk dan tersenyum lagi. "apa nggak...."
Panji menarik tanganku dan dibawanya aku ke kamar mandi.
"kenapa dengan punggungmu ini Ji?" tanyaku ke Panji setelah selesai mandi.
aku dan Panji berbaring diatas tempat tidur. aku masih teringat dengan punggungnya yang penuh dengan luka-luka yang aku lihat saat mandi dengan Panji barusan.
"maaf Ki, sulit untukku menceritakan semuanya padamu...." kata Panji dengan bergumam. aku menjadi tak enak hati.
"tapi, untukmu, aku akan mencoba untuk cerita. karena, aku mulai percaya padamu." kata Panji yang lalu memulai ceritanya. tentang asal muasal luka yang ada dipunggungnya.
Luka yang ada di punggungnya adalah luka yang di dapat oleh Panji saat masih kecil. saat Panji masih tinggal di Bandung dengan kedua orang tuanya. sekarang Panji tinggal hanya dengan ayahnya saja. orang tuanya bercerai karena ibunya Panji selingkuh dengan pria lain. ini pula lah yang membuat Panji menjadi tak suka dengan perempuan. ya, nggak semua perempuan sih.... dan luka di punggungnya itu di dapat karena kekejaman ibunya.
"maaf ya Ji, dah buat kamu harus mengingat kembali semua kenangan burukmu...." kataku setelah selesai mendengar cerita dari Panji.
ku peluk Panji. aku merasa menjadi semakin sayang sama dia. rasanya, semakin berat aku untuk melepasnya.
"mungkin karena itu pula, aku menjadi sangat benci dengan ibuku. dan sulit rasanya bagiku untuk bisa percaya lagi dengan perempuan...." gumam Panji.
malam ini, sepertinya aku hampir tak percaya dengan sebuah kalimat yang di ucapkan oleh Panji. yang menurutku sangat susah dan sangat sulit untuk kulakukan. sebenarnya sangat mudah, karena aku memang bisa. tapi, entah kenapa, hatiku terasa berat untuk melaksanakannya. walaupun, itu adalah caraku untuk bisa mendapatkan sayap dari Septi.
"Ki, kamu keluarkan aura cintamu pada Septi, pasti Septi menjadi suka dan cinta sama kamu. nah, saat itu, kamu cium dia untuk mendapatkan sayapnya. sekalian, kamu ambil kembali auramu itu. gimana?" kata Panji memberikan cara.
"Panji...." sulit rasanya aku untuk berkata. yang ada adalah air mataku yang membasahi pipi. aku menangis.
melihatku menangis, Panji memelukku. aku tak membalas pelukannya. karena aku takut, aku takut bila aku tak bisa melepasnya untuk selamanya.
hati berbunga rindu jiwa tak tentu arah
ini kah yang di sebut cinta
bulan kedua itu pertama ku dengan kamu
dua hati terpaut suka
oh, beritu cepat waktu berlalu
perpisaha tak di duga
ku ingin denganmu tak terbatas waktu
kau tetap s'lalu di hati
bulan kedua by melly goeslow
sepanjang pagi hari ini, Panji selalu memarahiku. karena aku dengan sangat berani mengatakan bahwa aku tak mau menggunakan auraku untuk membuat Septi menjadi cinta padaku. dan aku juga berkata bahwa aku tak akan melakukan semua ide gila itu. lebih baik, aku tak kembali ke duniaku, kataku. karena aku tak mau menyakiti hati Panji.
"Ki, hatiku ini sudah sejak dulu sakit.... sakit dengan segala siksaan yang aku dapatkan sejak kecil. sakit dengan segala kesepian dan kesendirian...." kata Panji sambil tetap memaksaku agar aku mau melakukan ide darinya.
"tapi, aku nggak mau menambah sakit itu Ji...." kataku mencoba membuatnya mengerti segala gundah dalam hatiku.
"Ki, lakukanlah, demi aku...." paksa Panji.
"aku nggak bisa..." sanggahku.
"kamu bisa...." bantah Panji.
"tapi...."
"Ki, asal kamu tahu saja, satu hal yang bisa membuatku bahagia saat ini adalah, bisa membuatmu kembali menjadi peri, yang bersayap...." kata Panji.
aku sudah tak bisa berkata apa-apa. aku pasrah dengan segalanya. apapun yang bisa membuat Panji bahagia, aku harus melakukannya.
sore hari, aku pulang menuju rumah Septi. saat aku melewati taman, aku bertemu Geja dan Gena. mereka mengingatkanku bahwa malam ini adalah waktu yang terakhir, aku bisa mendapatkan sayap dari Septi.
aku berpamitan dengan Geja dan Gena, ku ucapkan terima kasih atas semua kebaikannya.
aku pulang. kini, tinggal beberapa langkah saja aku tiba di rumah Septi. tapi, entah kenapa, kakiku terasa berat. saat aku hendak mengetuk pintu, aku teringat dengan Nek Fatma. wanita yang telah menolongku saat aku terjatuh dari duniaku. aku menuju rumah nek Fatma.
setibanya di rumah nek Fatma, aku memeluknya, aku menangis dipelukan Nek Fatma. berjuta-juta terima kasih kuucapkan untuknya.
aku kembali kerumah Septi setelah beberapa saat aku dirumah Nek Fatma. dan sekarang, sudah jam 8 malam.
di rumah Septi.
Septi tak banyak bicara denganku. hanya diam saja baik aku maupun Septi. yang pasti, Septi marah padaku karena aku telah pergi ke Jogja tanpa permisi dulu padanya.
malam ini, bulan purnama. sangat indah bila dilihat. tapi, semua itu tak bisa menghibur hatiku yang rasanya perih, entah karena apa. aku bingung. hingga akhirnya, jam menunjukkan pukul 10 malam.
aku harus melakukannya sekarang. karena, semakin lama aku diam, semakin sakit rasanya hatiku. aku memulai untuk konsentrasi, aku ingin mengeluarkan auraku untuk membuat Septi mencintaiku. namun, saat aku sedang konsentrasi, Neko datang menghampiriku dan mengatakan sesuatu yang membuatku sangat syok.
"Panji sedang dihajar sama preman saat dia mabuk Ki.... sekarang dia ada di taman. sepertinya, tak ada seorangpun yang menolongnya, karena di taman tak ada orang lain...." kata Neko menjelaskan.
hatiku miris, pikiranku galau dan gundah. aku terdiam. pikirku kacau. konsentrasiku benar-benar buyar.
-AAARRRGGGHHHH-
aku, sekarang ada di taman, aku duduk di sebuah bangku taman. aku memangku kepala Panji yang sedang kesakitan dan terbaring di sampingku.
"kamu kenapa kesini?" tanya Panji.
"aku nggak tahu Ji. aku nggak tahu kenapa aku bisa sampai disini.... mungkin hatiku yang telah menuntun langkah-langkah kakiku ini...." jawabku. aku mengelus-elus rambut Panji. kembali, rasa sayangku menjalari seluruh hati dan tubuhku.
"tapi Ki, kamu harus segera mengambil sayap yang ada pada Septi. kalau tidak, kamu nggak akan pernah bisa kembali lagi ke duniamu...." kata Panji.
entah kenapa, mendengar kata-kata Panji, hatiku menjadi sangat benci rasanya. kenapa Panji terus memaksaku. jujur, aku tak suka pada Septi, dan aku suka pada Panji. aku tak berkata apa-apa untuk menanggapi setiap kata-kata Panji yang barusan terucap. aku, tak mau meninggalkan Panji sendiri.
Panji tampak menahan sakitnya. setelah mengerang beberapa saat, Panji tak sadarkan diri. namun, pikirku tak juga kalut. aku merasa bahwa apa yang terjadi ini, pastinya adalah suatu takdir.
"mungkin, ini bukanlah hal yang bisa membuatmu bahagia Ji. tapi hal inilah yang membuatku bahagia...." kataku membisiki telinga Panji yang tak sadarkan diri. "maafkan aku karena harus egois.... tapi, aku melakukan ini semua karena rasa cintaku padamu."
"apapun yang terjadi nanti, kita pasti akan berpisah. tapi, aku tak mau berpisah dengan terus membawa cintaku padamu. itu akan membuatku terus sakit diwaktu yang akan datang. lebih baik, aku tak pernah ada lagi, biar cintaku padamu, tak lagi menyakitiku dan juga hatimu.... maafkan aku."
aku mencium Panji dengan semua aura yang aku miliki untuk menyadarkan serta menyembuhkan sakit yang di derita oleh Panji. semua rasa hangat serta sayang yang ada di hati dan tubuhku, terasa keluar dan beralih ke tubuh Panji melalui bibirku. tubuhku, menjadi dingin. partikel-partikel terkecil tubuhku, mulai melayang menjauh dari Panji yang masih terbaring di bangku taman. jauh sekali. beberapa saat kemudian, aku lenyap, tak bersisa.
mataku terbuka. ku lihat, rembulan yang purnama bersinar menyinari aku dan seluruh bumi yang sedang malam. aku duduk. ku lihat, aku masih memiliki tubuh. aku sangat terkejut. disampingku, aku melihat Neko yang sedari tadi menemaniku di bangku taman.
"Neko?, kamu kenapa disini?" tanyaku pada Neko.
"Panji, sejak kapan kamu bisa bicara dengan bahasa kucing?" kata Neko balas bertanya.
"Panji?, ini aku Riki, bukan Panji...." kataku pada Neko.
"tapi, saat ini, yang aku lihat adalah tubuh Panji." kata Neko menjelaskan.
"berarti, jiwaku ada di tubuh Panji...." kataku.
entah apa yang terjadi, tapi yang jelas aku sekarang ada di tubuh Panji.
"Panji...." suara seseorang mengagetkanku dari belakang. ternyata itu adalah suara Septi. "maafin aku, ya...." kata Septi.
Septi duduk disampingku.
aku mencoba menjelaskan kepada Septi, bahwa sebenarnya jiwa yang ada didalam tubuh Panji adalah aku. Septi tampak terkejut. bahkan, Septi sempat tak percaya. namun, setelah aku berkata sesuatu yang sangat penting antara aku dan Septi, akhirnya Septi percaya.
"berarti, kamu belum pulang ke duniamu?" tanya Septi. aku mengangguk.
"aku jadi bingung dengan ini semua. mungkin, sebentar lagi, aku akan hilang. tentunya setelah jam 12 malam ini...." kataku yang bingung. Septi diam. "Septi, bila aku telah lenyap, pasti Panji akan melupakan aku. saat itu dan seterusnya, aku minta padamu, jagalah Panji, cintai dia...." pintaku pada Septi.
"aku memang mencintainya Ki...." kata Septi.
"ya, aku tahu...." kataku.
"aku janji, walaupun nantinya Panji tak mencintaiku, bahkan bila dia membenciku sekalipun, aku akan tetap mencintainya...." ujar Septi.
"terima kasih...." ucapku.
"tapi, sebelum jiwamu pergi dan jiwa Panji kembali, bolehkah aku mencium Panji?" pinta Septi.
"kenapa?" tanyaku.
"karena jujur, sebenarnya aku takut bila saat jiwa Panji kembali pada raganya, dia akan meninggalkanku. mungkin, ini adalah ciumanku yang pertama dan terakhir untuk orang yang aku sayangi. boleh?" pinta Septi lagi. aku mengangguk.
Septi mencium bibir Panji, dengan aku yang ada di dalam raga Panji. sungguh hangat ciuman yang kurasa. mungkin inilah ciuman dari seseorang yang benar-benar mencintai. hangat, nyaman dan penuh rasa sayang.
punggungku terasa hangat. dan, sepasang sayap tumbuh dipunggungku. saat itu pula, aku terlepas dari tubuh Panji.
"Riki...." sapa Septi yang tampak terkejut.
aku heran melihat tubuhku yang kini bersayap. kulihat, Septi tak lagi memiliki sayap seperti yang aku lihat sebelumnya.
"aku, bersayap...." kataku. senang hatiku tak terkira.
Septi tersenyum. tubuh Panji kembali tak sadarkan diri.
tubuhku, melayang melawan gravitasi bumi. sepertinya, tengah malam sudah datang. tak sempat aku berucap banyak pada Septi maupun Panji.
"terima kasih...." ucapku yang terus menjauh dari bumi. Septi tersenyum sambil melambaikan tangan. aku juga membalas lambaiannya.
aku, kini, telah berada diduniaku kembali.
THANKS UNTUK SEMUANYA YANG DAH MAU BACA. TAPI MAAF SEBELUMNYA, KARENA AGAK LAMA KETIKNYA JADI BIKIN SEMUANYA BETE TUNGGUINNYA.
MASUKANNYA JANGAN LUPA YA....