gelap, hanya gelap yang ada di depan mataku.... aku sungguh tak kuasa untuk membuka mataku... terasa berat. punggungku, terasa sakit. entah apa yang terjadi dengan punggungku. juga....
"ya ampun, kenapa aku tak bisa menggerakkan sayapku? kenapa?" pikirku. aku jadi syok.
dan diantara segala ketakutanku. ku paksa mataku terbuka....
silau, sangat silau.... mataku sungguh tak terbiasa dengan keadaan ini....
"dimana aku?" tanyaku pada diri sendiri. setelah agak lama terbiasa dengan silaunya cahaya, aku melihat kepunggungku. dan....
"kemana sayap kananku?" aku benar-benar syok melihatnya.... aku sangat syok.
sayap kananku sudah tak ada, sedangkan sayap kiriku telah patah.... hingga tinggal separuh sayap yang ada. melihatnya, aku benar-benar sudah tak kuasa. saat itu juga, aku tak sadarkan diri lagi. aku larut lagi dalam pandangan yang hitam.
entah sudah berapa lama aku berada dalam ketidak sadaranku, yang pasti, kini cahaya tak lagi terasa membakar tubuhku. saat mataku kubuka pun, aku sudah tak lagi melihat silaunya cahaya. sayapku, walaupun masih terasa sakit, tapi aku tak terlalu merasakannya.
"syukurlah, kamu sudah sadar...." ucap seseorang yang sudah agak tua.
aku tak tahu siapa dia, yang jelas, bentuknya berbeda denganku. terutama, dia tidak bersayap. melihatnya, aku terdiam. aku merasa takut dengan orang tersebut.
"jangan takut.... aku tak akan menyakitimu...." kata orang itu lagi. sebenarnya, aku ingin bertanya dengannya, apa yang dikatakannya, tapi aku juga takut orang itu tak mengerti dengan apa yang aku katakan. jadinya, aku hanya diam.
mungkin orang itu tahu kalau aku takut, buktinya, dia tak memaksaku untuk mengatakan apapun. bahkan, dia tersenyum. melihat senyum orang itu, akhirnya radar kasihku menyala berwarna hijau. tandanya, orang tersebut tidak berbahaya.
"wah apa ini?" tanya orang itu melihat radar kasihku yang menyala hijau. "lucu sekali" kata orang itu. dan tersenyum lagi.
aku kaget saat mengetahui bahwa orang itu bisa melihat radar yang ada diatas kepalaku (seperti bando).
"kamu kenapa berwajah kaget seperti itu?" tanya orang itu lagi.... "kamu memang aneh, kamu mempunyai benda yang bisa menyala ini, juga memiliki sayap. tapi, kok sayapnya cuma segini...."
aku melihat sayapku yang kini terbalut kain berwarna putih bersih.
"maarif*...(maaf)" kataku. mendengar kataku itu, orang itu mengkerutkan dahinya.
"kamu ngomong apa?" tanya orang itu. "bahasa apa yang kamu pakai? kamu bukan manusia ya?" tanya orang itu lagi.
"arikuri peri...." kataku coba menjelaskan pada orang tersebut. entah orang itu mengerti atau tidak. tapi yang jelas, orang itu tersenyum mendengarnya.
lalu, orang itu mencoba menjelaskan siapa dirinya dan segalanya. sambil dia berkata, dia juga menggerakkan tubuhnya menjadi body language yang akhirnya aku paham (walau awalnya sangat susah). akhirnya aku tahu bahwa orang itu bernama Fatma. dan karena beliau sudah berumur, maka beliau memintaku untuk memanggilnya nek Fatma. dari beliau juga, aku akhirnya bisa mengucapkan kata-kata yang biasa diucapkan manusia di bumi.
"terima kasih nek Fatma..." ucapku ke nek Fatma. nek Fatma tersenyum mendengarnya. kalau di duniaku, bilangnya begini teriririmari karisirih nerik Faritmari....
duh, ku senang sekali belajar dari Nek Fatma. dah gitu, beliau baik sekali. bahkan beliau mempercayaiku saat aku bilang bahwa aku adalah peri. duh senangnya....
*)bahasa peri
Comments
aku menjelaskan pada nek Fatma tentang siapa diriku yang sebenarnya (tentunya sudah menggunakan bahasa menusia, walaupun masih terbata-bata). aku adalah peri, dan namaku adalah Ririkiri atau dalam bahasa manusia, namaku adalah Riki. aku terjatuh di bumi, karena aku telah kabur dan tak mau mendengar nasehat orang tuaku. aku jengkel karena orang tuaku tak memberikan sesuatu yang aku inginkan. akhirnya aku lari dan terjatuh dibumi. waktu aku jatuh, aku tak tahu seperti apa. yang jelas, sayapku patah.
"kamu jangan seperti itu lagi ya...." pinta nek Fatma. "orang tuamu tak memberikan apa yang yang kamu inginkan, pasti karena ada alasannya. apa kamu sudah menanyakan alasannya?" tanya nek Fatma. aku menggeleng.
"aku menyesal nek...." ucapku. nek Fatma tersenyum.
"bagus kalau kamu merasa menyesal." ujar nek Fatma. "lalu, bagaimana caranya agar kamu bisa kembali ke duniamu?" tanya nek fatma. aku menggelengkan kepalaku.
"Riki nggak tahu nek...." aku jadi bingung.
nek Fatma memelukku. disandarkannya kepalaku di dadanya.
"jangan sedih, pasti kalau kamu berusaha, kamu pasti bisa kembali ke tempatmu. ya...." ujar nek Fatma menghiburku.
"sedih itu apa nek?" tanyaku. nek Fatma menjelaskan padaku. dan aku, belum mengerti apa yang disampaikannya.
aku tak tahu kenapa, yang jelas, aku merasakan sesuatu yang sangat aneh, entah apa itu, aku tak tahu. karena aku belum pernah merasakannya di duniaku. jantungku rasanya hangat dan berdetak stabil. dan, tanpa aku sadar, ada air yang keluar dari mataku dan mengalir membasahi pipi-pipiku.
ku lepaskan pelukan nek Fatma. dan aku bertanya padanya tentang apa yang aku rasakan.
"itu namanya, kamu merasa nyaman. kamu pasti merasa tentram. dan air matamu itu, pasti karena kamu bahagia...." kata nek Fatma mencoba menjelaskan.
"aku tidak pernah seperti ini nek di duniaku...." kataku. "lalu, kenapa ada air dimataku?" tanyaku lagi.
"itu namanya menangis.... pasti itu karena kamu senang dan bahagia...." kata nek Fatma.
oh, jadi begitu, ternyata ada yang namanya "nyaman" serta "bahagia". dan aku menangis.... rasanya aneh deh. aku menangis karena bahagia. kalau begitu, aku akan sering menangis saja biar bahagia. aku tertawa.
aku tak tahu dengan saat ini, yang jelas, aku melihat burung-burung yang berkicau di pepohonan. dan udara masih terasa agak dingin. dengan air yang turun dengan lembutnya. semua hal ini, belum pernah aku lihat di duniaku.
"hai burung.... sini...." aku memanggil sepasang burung gereja yang ada di dahan pohon. mereka lalu menghampiriku.
"hai.... kenapa kamu bisa berbicara dengan kami?" tanya burung gereja jantan. namanya Geja.
"loh, memangnya aneh?" tanyaku pada Geja.
"itu sangat aneh sekali...." jawab burung gereja betina. namanya Gena. aku jadi heran. "karena, manusia tak bisa berbicara dengan makhluk seperti kami...." tambahnya. "atau, kamu bukan manusia, ya?" tanya Gena.
"bukan, aku peri...." jawabku. lalu, aku menjelaskan semua yang terjadi padaku. bahkan aku juga bertanya pada mereka bagaimana caranya aku bisa mempunyai sayap lagi.
"kami tak tahu soal itu...." jawab Geja. "tapi, nanti akan kami tanyakan ke Peri Angsa. mungkin dia tahu jawabannya...." Kata Geja. aku senang mendengarnya.
Geja dan Gena pamitan dan meninggalkanku. mereka ingin segera bertemu dengan Peri Angsa tentang bagaimana caranya aku bisa mendapatkan sayap kembali.
aku kembali masuk kerumah nek Fatma. saat aku masuk, aku melihat ada orang yang lain lagi di dalam rumah. aku diam melihatnya. aku hanya diam. begitu juga dengan orang itu. kami hanya bertatap muka saja, saling melihat.
"Riki, ini Septi...." kata nek Fatma memperkenalkanku pada orang tersebut. "dia cowok...." tambah nek Fatma menjelaskan.
"halo Riki, aku Septi...." kata Septi sambil mengulurkan tangannya.
aku tak tahu maksud Septi mengulurkan tangan. aku hanya diam melihatnya. melihat itu, nek Fatma berkata....
"Riki, kenapa kamu diam? dibalas dong salamnya...." kata nek Fatma.
mendengar kata nek Fatma, lalu aku memeluk Septi. tentu saja, Septi kaget bukan main. tapi, memang begitulah salam di duniaku.
"bukan begitu caranya...." kata nek Fatma. lalu beliau menjelaskanku cara-caranya. mengetahui itu, Septi tertawa. karena kata Septi, dia sempat berpikir aneh tentang diriku.
lalu, hari itu, Septi banyak mengajariku tentang banyak hal. bahkan, dia mengajakku berkeliling melihat-lihat sebagian daerah terkecil dari bumi tempat manusia tinggal. indah sekali ya bumi itu....
disuatu taman.... aku dan Septi duduk sambil makan kacang kulit rasa bawang. mmmm.... enak sekali rasanya.
"kamu tadi pagi bicara dengan burung, ya?" tanya Septi.
sambil menikmati kacang, aku mengangguk. dan, Septi kelihatan heran. aku menjelaskan ke Septi tentang semuanya. tentang diriku dan segala macamnya. pastinya, Septi nggak percaya langsung 100%.
setelah asyik ditaman, lalu Septi mengajakku kerumahnya. dia juga banyak meminjamiku baju. di rumah itu, Septi tinggal sendiri, orang tuanya sedang dipindahkan keluar kota. dan Septi masih tetap tinggal untuk kuliah.
"kamu tinggal di rumahku saja, biar aku ada temannya...." pinta Septi. aku tak langsung menjawab.
saat di rumah nek Fatma, Septi mengatakan bahwa dia ingin aku tinggal dengan Septi. nek Fatma mempersilahkan.
begitulah, mulai hari ini, aku tinggal dengan Septi.
"agar kamu bisa kembali ke asalmu, kamu harus meminta sayap kepada seorang manusia yang memiliki sayap...." kata Geja.
"tapi, bagaimana caranya?" tanyaku. "memangnya, manusia juga punya sayap?" tanyaku heran.
"tak semua manusia punya sayap. hanya orang-orang tertentu saja...." jawab Gena. "kamu bisa menemukan orang tersebut setelah kamu melakukan 5 kali kebaikan yang sangat membantu makhluk di bumi ini...." tambah Gena menjelaskan.
"kebaikan bagaimana?" tanyaku. Geja dan Gena menggeleng.
"kami tak tahu seperti apa kebaikan yang dimaksud itu...." kata Geja.
"dan satu lagi, kamu hanya bisa mendapatkan sayap dari orang yang kamu sayangi, dan juga dari orang yang menyayangimu. intinya, kalian harus saling menyayangi biar sayap itu bisa kamu miliki....." kata Gena menjelaskan panjang lebar.
"sayang? seperti apa?" tanyaku lagi. mereka menggeleng lagi.
Geja dan Gena pergi meninggalkanku sendiri. mereka ingin mencari makan untuk anak-anak mereka yang saat ini ada disarang dipohon jambu dekat rumah nek Fatma.
setelah mereka pergi, beberapa saat kemudian, aku sendirian. aku melihat seluruh taman. ku hirup udara dengan hidungku sampai puas. wah.... segarnya. hingga beberapa jam selanjutnya, aku asyik bercanda dengan makhluk yang ada di taman. ada kupu-kupu, kumbang dan kucing. asyik sekali ngobrol dengan mereka.
"wah, asyik sekali ngobrolnya...." kata Septi. dia berdiri disampingku yang duduk di kursi taman.
melihat kedatangan Septi, kupu-kupu, kumbang dan kucing pergi ketakutan. aku mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa Septi tidak jahat. dan akhirnya mereka mau kembali lagi dan bermain lagi denganku. tentunya, dengan Septi juga. hingga tanpa terasa, hari sudah siang.
siang ini, aku dan Septi makan bakso di sebuah kedai bakso dekat taman(wah, enak sekali.... dan juga unik. bulet-bulet dan rasanya enak).
saat makan, Septi mengeluarkan benda yang akhirnya aku tahu bernama HP. dia berbicara dengan benda itu (lucu sekali, pikirku). lalu, setelah beberapa saat, dia mengajakku ke suatu tempat.
Septi mengajakku kerumah sakit. Septi bilang mau donor darah. aku tak tahu apa itu donor darah. Septi menjelaskan padaku bahwa ada orang yang sedang membutuhkan darah yang golongannya sama dengannya. dan aku, tak paham.
Septi lama sekali. aku merasa tak nyaman sendirian. lalu, aku berjalan. aku ingin melihat-lihat rumah sakit. saat di depan sebuah pintu (aku tak tahu pintu apa namanya), aku melihat seorang anak kecil yang sedang menangis. disebelahnya, ada seorang wanita paruh baya yang berwajah tampak pucat. aku tak tahu kenapa wanita itu.
anak kecil itu (cewek), menghampiri sebuah tempat yang didalamnya ada seorang wanita berpakaian putih. anak kecil itu bicara dengan gugup dan menangis.
"mbak.... suster.... tolong ibu saya...." kata anak kecil itu diantara isak tangisnya. suster itu tampak tak terlalu peduli.
"adek, harus sabar ya, dan silahkan diisi dulu syarat-syaratnya. baru nanti kita bisa tindak lanjuti..." kata wanita yang di panggil suster oleh anak kecil.
"tapi mbak, ibu saya sudah sangat parah.... dan saya nggak tahu apa-apa dengan syarat-syarat yang dimaksud...." ujar anak kecil masih dengan tangisnya. tanpa sadar, aku juga mengeluarkan air mata.
"ada apa ini?" tanyaku dalam hati. mengapa hatiku terasa sakit.... bukankah nek Fatma berkata bahwa saat kita menagis adalah karena kita merasa bahagia. tapi, kenapa sekarang hatiku terasa sakit? apa aku juga sedang bahagia?
aku berjalan menghampiri si ibu yang sudah sangat pucat. aku duduk disampingnya. aku merangkulnya. ku harap si ibu bisa merasakan nyaman seperti saat aku dipeluk oleh nek Fatma. si adik kecil menghampiri aku dan ibunya.
"kak.... tolongin ibuku...." pinta anak kecil. dia menangis makin jadi. aku bingung, aku tak tahu harus bagaimana.
"ternyata kamu disini, ya...." kata Septi. wajahnya tampak khawatir. wajahnya, jadi semakin khawatir lagi saat melihatku dan anak kecil menangis.
"Septi, tolong ibu ini, ya...." pintaku.
si anak kecil lalu memeluk perut Septi sambil terisak.
"kak.... tolong ibu...." pintanya. Septi tampak sedih wajahnya sekarang. Septi mengangguk.
Septi berjalan kearah suster tadi sambil menggandeng si anak kecil. entah apa yang dikatakan Septi dengan orang itu, yang jelas, beberapa saat kemudian, beberapa orang membawa si ibu menuju suatu tempat. kata mereka, si ibu akan di periksa.
di depan sebuah ruangan, aku dan Septi menemani si adik kecil yang bernama Sinta. Sinta tak banyak bicara, dia hanya terisak. aku merangkulnya.
"Septi, kamu jagain Sinta sebentar ya.... aku mau pipis...." kataku. Septi mengangguk dan gantian merangkul Sinta.
aku berjalan menuju toilet. setelah di toilet, aku mengeluarkan auraku untuk menolong sang ibu.
"pergilah dan obati si ibu...." bisikku ke aura yang berbentuk bulat berwarna hijau. "hilangkan semua rasa sakitnya ya...." ucapku lagi. aku meniup auraku yang langsung menembus dinding menuju ke si ibu.
aku kembali. aku duduk di sebelah Septi dan Sinta. tak beberapa lama kemudian, seseorang (yang dipanggil dokter) keluar dari ruangan tempat ibu Sinta tadi di bawa masuk.
"syukurlah, ibu anda sudah tidak parah lagi. tinggal istirahat semalam saja disini, dan besok sudah boleh pulang...." kata dokter itu.
mendengar kata-kata itu, Sinta tersenyum dan tampak senang. begitu pula dengan Septi. dan aku, juga tersenyum karena melihat mereka.
malamnya, Septi dan aku menemani Sinta menjaga ibunya yang sedang istirahat. aku dan Septi tidur gantian. namun, ada sesuatu yang aneh dengan Septi. saat ia tidur (aku yang jaga), aku melihat sesuatu yang putih seperti sayap di punggungnya. masih samar-samar.... apakah Septi salah satu manusia yang bersayap? tapi kenapa bisa? tanyaku dalam hati.
berkali-kali bu Lastri serta Sinta mengucap terima kasih ke Septi. aku heran melihatnya.
"memang apa yang sudah dilakukan oleh Septi, sampai-sampai mereka seperti itu?" tanyaku dalam hati.
lalu, aku, Septi berpisah dengan Sinta dan Bu Lastri. kami ingin istirahat hari ini, karena kami kurang istirahat (tidur di rumah sakit nggak asyik, badanku rasanya pegal semua). aku dan Septi pulang kerumah.
waktu berjalan melewati taman....
aku mendengar suara jeritan meminta tolong. aku menjadi panik dan berusaha mencari asal suara.
"Septi, kamu dengar nggak suara meminta tolong ini?" tanyaku ke Septi. Septi tampak heran.
"nggak...." jawab Septi. "aku hanya mendengar suara kucing yang lagi mengeong dengan kerasnya...." kata Septi.
"nah, itu dia...." kataku.
aku berlari menuju sumber suara. itu adalah suara kucing yang meminta tolong. saat aku mendapatkannya, aku melihat kucing yang sedang diikat dan ditarik-tarik oleh beberapa anak kecil usia 10 tahunan.
"hei.... kalian jangan sakitin dia...." kataku sambil berusaha menolong kucing belang hitam orange. ku pegang kucing itu.
-DUK-
aku mendapati tubuhku di lempar oleh salah seorang dari mereka.
"woi.... jangan ganggu kami dong.... biarin aja napa sih?" teriak anak yang melemparku tadi.
"kalian nggak boleh gitu, kalian nggak boleh sakitin Neko...." ujarku sambil teriak pula. Neko adalah nama kucing itu.
"Neko.... hahahahahaha...." mereka semua tertawa.
namun, tak berapa lama, tertawaan mereka berhenti. karena Septi telah menangkap dan mengancam salah seorang dari mereka.
"oh.... jadi kalian ternyata nakal ya...." kata Septi geram. anak yang di pegangnya langsung mengkerut ketakutan. wajah Septi terlihat sangar. "pergi nggak...." bentak Septi.
mereka lalu kabur meninggalkan aku, Septi dan Neko. Neko tampak pucat dan kesakitan. kulepaskan ikatan yang ada dilehernya.
"terima kasih...." ucap Neko (tentunya memakai bahasa kucing dong).
"ya.... kembali kasih...." balasku (tentunya pake bahasa kucing juga. hehehehe).
"kalian lagi ngomong apa?" tanya Septi yang heran melihat aku dan Neko bicara.
"Neko bilang, terima kasih...." jawabku.
aku membawa Neko pulang kerumah. sampai dirumah, aku merawatnya. kubersihkan tubuhnya. saat aku membersihkan tubuhnya, Septi mandi. aku juga memberi plester ke kepalaku yang tadi dilempar (duh, sakit....).
aku mengajak Neko bicara sambil menunggu giliranku mandi (Septi mandinya lama sih....). Neko menceritakan semua yang terjadi dengannya sampai tertangkap oleh anak-anak kecil tadi (ingat ya, aku dan Neko menggunakan bahasa kucing. biar temen-temen ngerti, aku terjemahin pake bahasa manusia).
Septi selesai mandi. Septi keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk. dia langsung menuju lemari pakaian dan membelakangi aku.
"ya ampun.... ada apa tuh di punggung Septi?" tanyaku dalam hati.
"kamu juga bisa melihatnya?" tanya Neko padaku.
"iya.... memang kamu bisa melihatnya juga?" aku balas tanya pada Neko.
"iya. sayap yang ada di punggungnya...." jawab Neko.
"kenapa dia bisa bersayap ya?" tanyaku lagi.
"pastinya, karena kebaikannya.... Septi sangat baik sekali...." ujar Neko.
aku memang melihat sesuatu seperti sayap di punggung Septi. tapi masih tampak samar-samar. lalu Neko menjelaskan padaku tentang Septi. Neko bilang, sebelumnya dia sering melihat Septi melakukan banyak sekali pertolongan ke banyak orang. bahkan, barusan Neko juga di tolong olehnya. makanya, Neko yakin bahwa sayap dipunggungnya karena kebaikan yang telah diperbuatnya.
"kalian lagi ngomongin apaan?" tanya Septi yang sekarang duduk disebelahku (aku duduk di atas tempat tidur).
"mmmm.... nggak koq, aku hanya bercanda aja dengan Neko...." jawabku.
"wah, aku mau dong diajarin bahasa Neko...." pinta Septi. aku dan Neko saling pandang.
"kayaknya susah deh Sep.... kayaknya kamu juga nggak bisa...." kataku.
"hhhmmmm.... ya dah nggak apa-apa..." ujar Septi agak kecewa. "ya dah, kamu mandi dulu sana...." suruh Septi.
aku beranjak ke kamar mandi untuk mandi. sedangkan Neko keluar untuk main-main dulu. Neko janji akan tinggal di rumah Septi. Duh.... senangnya. berarti waktu Septi kuliah, aku ada temennya di rumah, yaitu Neko.
di dalam kamar mandi....
aku berpikir, kenapa Septi bisa punya sayap? apakah memang karena kebaikan yang dikatakan oleh Neko.... lalu, kenapa kali ini aku bisa melihatnya lebih jelas daripada tadi malam di rumah sakit.... aahhh, bingung deh.
"Riki, masih lama ya?" tanya Septi dari depan kamar mandi. aku tak menjawab. "jangan lama-lama ya, aku dah laper banget nih.... dah gitu ngantuk lagi...." kata Septi menambahi.
setelah aku selesai mandi (Septi bilang aku mandinya lama banget kayak cewek....), aku dan Septi keluar rumah untuk beli makan. kali ini, dia mengajakku makan Soto ayam yang asli kudus (gitu kata Septi). wah.... enak deh. dah gitu, nasinya terendam air yang rasanya enak. (aku kepedesan karena nggak tahu dengan sambel. jadinya aku kasih sambel banyak-banyak deh).
saat makan, aku sering memperhatikan bayangan putih di punggung Septi. mungkin Septi sadar dengan perhatianku.
"kamu dari tadi lihatin punggungku terus. memang ada apa sih?" tanya Septi. aku hanya menggeleng-geleng. aku bingung mau menjelaskan seperti apa ke Septi.
Sorenya, setelah tidur siang, Septi mengajakku jalan-jalan di sebuah bangunan yang namanya Mal. ya ampun.... bagus banget deh. banyak hal yang aku temui. setelah puas, aku dan Septi pulang. duh, kakiku capek. aku ingin segera istirahat. aku ingin segera tidur. sebelum tidur, Septi bilang padaku bahwa besok dia akan mengajakku ke kampusnya. Duh, jadi nggak sabar menunggu besok deh....
saat tidur, aku melihat Septi biasa aja dengan bayangan putih dipunggungnya (mungkin dia tak menyadari dan melihatnya). waktu aku pegang bayangan putih itu, tanganku tak bisa menyentuhnya. selalu tembus.
ya sudahlah, pikirku. aku mau tidur aja. beso kan mau ke kampusnya Septi.
sampai di halaman kampus, aku heran melihat orang yang berpakaian rapi, bersih dan wangi. dan yang jelas, di kampus ternyata ramai. pasti aku bakalan betah deh, pikirku.
di kampus, aku di kenalkan ke teman-teman Septi (Septi bilang keteman-temannya bahwa aku adalah saudaranya yang baru datang entah darimana tempatnya, aku lupa). ternyata teman-teman Septi orangnya baik-baik loh. terutama seorang cowok bernama Panji. cowok berkulit agak putih dan bermata agak sipit. wajahnya manis banget deh. hehehehehe
tapi, ternyata kuliah tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. karena, saat aku diajak oleh Septi untuk ikut dia di dalam ruang kelas, aku merasa nggak senang dengan seorang bapak yang di panggil dosen. banyak omong banget deh. dah gitu nggak menarik lagi apa yang di katakannya. ngomongin soal hukum-hukum.
setelah selesai kuliah hari itu, aku dan Septi, serta Panji makan di kantin. nah di kantin ada makanan yang namanya mie goreng. tentunya, aku pesen mie goreng dong. dan ternyata, enak juga loh....
sorenya, Panji ikut main ke rumah Septi. dalam perjalanan, ternyata Panji banyak omong. tapi, nggak seperti dosen tadi, Panji orangnya asyik banget. bahkan sering melucu. sampai di rumah Septi, dia masih saja mengajakku bercanda. saat Neko datang, aku memanggilnya....
"mmm.... kamu bisa bicara dengan kucing?" tanya Panji melihatku berbicara dengan Neko.
"iya...." jawabku. Panji jadi heran.
"bagaimana bisa?" tanya Panji lagi.
"ya, aku memang bisa koq...." jawabku lagi nggak bisa menjelaskan.
untunglah ada Septi yang datang dan mengalihkan pembicaraan. jadinya, aku tak perlu menjelaskan kenapa aku bisa berbicara dengan kucing.
malam ini, Panji mengajak aku dan Septi untuk keliling-keliling kota dengan mobilnya. wah, aku senang sekali. kami jalan-jalan hingga larut. dan malam itu, Panji tidur di tempat Septi.
karena Septi sudah sangat capek, dia pergi tidur terlebih dahulu. sedangkan aku dan Panji asyik ngobrol sambil main PS. wah, ternyata seru banget berteman dengan Panji. tapi, entah kenapa, mungkin ada sesuatu yang aneh denganku kali, buktinya Panji sering mencuri-curi kesempatan untuk melihat aku. terutama wajahku. aku jadi merasa agak risih deh. tapi, aku merasa senang berteman dengan Panji. aku dan Panji main sampai jam 3 pagi. lalu, kami tidur.
pagi ini, aku bangun awal. karena Neko membangunkanku dan dia bilang ada sesuatu yang ingin di sampaikan oleh Geja dan Gena.
aku menghampiri Geja dan Gena di halaman depan rumah Septi. pagi itu, suasana masih sepi. maklumlah, masih jam 5.30 pagi.
"ada apa Geja, Gena?" tanyaku sambil menahan ngantuk.
"maaf sebelumnya Riki, karena sudah mengganggu kamu." kata Geja.
"tapi, ada sesuatu yang ingin kami sampaikan.... ini pesan dari Peri Angsa...." kata Gena.
"Peri Angsa? mang ada apa?" tanyaku lagi pada mereka. Neko sedang tidur dipangkuanku.
"Peri Angsa berpesan, katanya kamu tidak boleh menggunakan auramu. tidak boleh sedikitpun mengeluarkan auramu...." kata Geja. aku bingung mendengarnya. "karena itu bisa berdampak tak baik dengan semua yang berada disekitarmu...." kata Geja lagi menambahkan.
"nggak baik bagaimana?" tanyaku lagi. kini menjadi heran dan agak takut.
"kata Peri Angsa, apabila kamu telah mengeluarkan auramu, maka aura itu tak akan pernah bisa ditutup lagi. dan akibatnya, orang-orang yang ada disekitarmu, akan menjadi selalu ingin berada di dekatmu...." jawab Gena.
hah.... aku syok mendengarnya. kan aku sudah memakai auraku untuk menolong Bu Lastri.
"memangnya, itu hal yang buruk, ya....?" tanyaku agak khawatir.
"sebenarnya sih nggak, tapi, takutnya aura itu terkena ke orang yang salah, tidak pada orang yang seharusnya." jawab Gena. "padahal, auramu adalah salah satu cara untuk mendapatkan sayap-sayapmu kembali." tambah Gena.
"tapi, aku sudah memakainya.... gimana dong?" tanyaku. aku benar-benar jadi bingung. Gena dan Geja hanya menggeleng. "tapi, aku pakai auraku untuk mengobati seorang ibu yang sedang sakit. apa itu salah?" tanyaku lagi.
"kami tak tahu Riki.... tapi, nanti akan kami tanyakan lagi dengan Peri Angsa. sekalian, kami akan mencoba mencarikanmu obat untuk menutup auramu yang sudah terbuka itu." kata Geja. aku mengangguk. aku senang mendengarnya.
Geja dan Gena pamitan. aku masuk lagi kerumah (aku mau ngelanjutin tidurku), aku menggendong Neko yang sudah lelap tidurnya. saat aku lewati ruang tamu, suara Panji mengagetkanku.
"habis darimana Ki?" tanya Panji. aku kaget.
"habis dari depan...." jawabku agak gugup.
"ngobrol sama burung, ya...." kata Panji. aku tak menjawab. aku bingung harus ngomong apa ma Panji. "hebat, ya, kemarin ngomong sama kucing, eh sekarang ngomong sama burung." kata Panji lagi. "sebenarnya, kamu siapa?" tanya Panji dengan wajah yang tampak menakutkan bagiku.
aku diam saja. aku nggak bisa mengatakannya pada Panji.
"itu memang kelebihannya, Ji..." kata Septi yang berdiri di pintu kamar. aku dan Panji menoleh kearahnya. "dia memang bisa bicara dengan binatang. itu sudah dari kecil...." tambah Septi.
aku diam. dalam hati aku senang karena Septi berkata seperti itu. Panji diam sebentar. lalu, dia berkata.
"wah, hebat banget.... berarti, kamu bisa ajarin aku, dong....?" pinta Panji padaku.
"mana bisa, aku aja yang saudaranya nggak pernah bisa...." kata Septi. Septi berjalan dan duduk disebelah Panji.
aku lihat Panji masih belum bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Septi. mengetahui itu, aku pamitan pada mereka untuk pergi tidur lagi.
jam 7 pagi, Septi berangkat ke kampus lagi karena ada kuliah pagi. sedangkan Panji, nggak ikut berangkat. dia bilang masih ngantuk karena sudah begadang denganku sampai jam 3 pagi. setelah Septi pergi beberapa menit, Panji menghampiri aku yang sedang tidur dikamar. Panji membangunkanku. dengan wajah yang kembali menakutkan dan serius, Panji kembali bertanya padaku.
"aku belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dikatakan oleh Septi." kata Panji. aku yang ketakutan melihat wajahnya, hanya bisa diam.
"siapa kamu sebenarnya?" tanya Panji.
TBC....
setelah Panji pulang kemarin, aku nggak bisa tidur lagi. aku seharian menghabiskan waktuku hanya dengan curhat ma Neko. sedih deh.... dah gitu takut juga. untung Neko bisa nenangin aku. dan bisa menghiburku.
hari ini, aku juga hanya menghabiskan pagi dengan nonton tv (sebenarnya aku ingin main PS, tapi Neko nggak bisa....). ya sudah lah, aku hanya nonton acara-acara yang selalu membahas tentang gosip, gosip dan gosip.
siang hari....
aku masih nonton di temani Neko. aku nonton sambil makan keripik. asyik juga sih. setidaknya, rasa takut dan khawatirku bisa lebih mendingan.
jam 12 siang, Septi sudah pulang dari kampusnya. ternyata Panji juga ikut dengan Septi. saat aku melihat Panji, entah kenapa aku jadi deg-degan lagi. jadi takut lagi. aku terus memperhatikannya.
"kamu kenapa Ki?" tanya Panji karena aku terus memperhatikannya. aku diam. Septi melihat ke arahku.
"memang kenapa sih?" tanya Septi.
"nggak napa-napa sih...." jawab Panji. "cuma aneh aja, karena si Riki lihatin aku terus dari tadi...." kata Panji menjelaskan.
"mang ada apa Ki?" tanya Septi padaku. aku tak menjawab, hanya menggelengkan kepalaku.
aku masuk ke kamar sambil menggendong Neko. Septi dan Panji ngobrol di ruang tamu.
"Ki, aku bawain kamu Siomay tuh.... kamu mau nggak?" tanya Septi dari ruang tamu.
"ntar dulu.... belum lapar...." jawabku yang sedang rebahan di tempat tidur.
"ntar kamu sakit loh...." kata Panji. duh, mendengar suaranya, aku menjadi jengkel deh. selera makanku, malah rasanya sudah hilang. aku tak menjawab apa yang dikatakan Panji. biarin sajalah, pikirku.
sepertinya mereka asyik ngobrol. buktinya, tak ada lagi yang peduli denganku yang sedang kelaparan di kamar (sebenarnya mau langsung makan, tapi aku malu tadi dah terlanjur bilang belum lapar.... hiks hiks).
saat aku merintih dalam lapar, aku melihat Gena yang sedang terbang dan berusaha masuk ke kamarku. dia sepertinya panik sekali.
"kenapa?" tanyaku ke Gena setelah aku membuka jendela dan menyuruh Gena masuk.
"Riki.... gawat... kamu harus tolongin aku...." jawab Gena dengan suaranya yang panik.
"gawat kenapa?" tanyaku lagi. aku jadi kalut.
"Geja... Geja tertangkap sama orang.... dan sekarang di bawa ke pasar untuk dijual...." jawab Gena. aku kaget.
"terus, dibawa kemana sekarang? di pasar mana?" aku menjadi benar-benar panik karenanya.
"ikut aku...." ajak Gena yang langsung terbang lewat jendela.
aku keluar kamar dan langsung keluar rumah untuk mengikuti Gena. saat Septi dan Panji tanya, aku tak menjawabnya.
aku terus berlari mengikuti Gena yang terbang menuju suatu tempat. menuju pasar tempat seseorang yang menjual Geja. saat tiba di pasar, aku sudah ngos-ngosan.
"mana Geja?" tanyaku ke Gena.
"disebelah sana Ki...." kata Gena yang langsung menghampiri sebuah sangkar burung. dalam sangkar itu, aku melihat Geja yang berusaha keras untuk keluar dari sangkar.
aku yang melihat hal itu, langsung mengambil sangkar itu dan berusaha untuk membukanya. tapi seseorang menarik dan merebut sangkar itu dari tanganku sambil marah-marah.
aku berusaha menjelaskan bahwa Geja adalah temanku dan aku ingin orang itu melepaskannya, tapi orang itu nggak mau. dia bilang, dia akan melepaskan Geja asal aku mau memberinya uang. aku merogoh kocekku, tapi tak ada uang sepeserpun.
aku terus meminta (bahkan aku memaksa) orang itu untuk melepaskan Geja, tapi tetap saja nggak mau. aku mulai rebutan sangkar burung dengan orang itu. hingga beberapa saat kemudian, Panji datang dan langsung menonjok orang itu.
untunglah orang-orang langsung bisa melerai Panji dan orang itu. hingga nggak sampai parah. lalu, Septi memberikan uang untuk membeli Geja (bapaknya ngotot banget deh, pokoknya harus bayar....). setelah beres, aku, Septi dan Panji pulang ke rumah. Geja dan Gena sudah ku lepaskan duluan.
dalam perjalanan pulang....
"kenapa sih, orang itu jahat.... menangkap Geja. padahal kan, Geja nggak salah sama orang itu...." kataku.
"bener tu Ki.... untung saja aku sudah menonjok orang itu sekali...." ujar Panji.
"untung gimana?" kata Septi. "kamu tu malah memperkeruh keadaan, tahu...." kata Septi menyalahkan Panji.
"loh, tapi kan niatku baik.... mau menolong burung itu...." kata Panji tak mau di salahkan.
"tapi kan nggak harus dengan kekerasan, kan?" kata Septi.
"loh, apa salahnya.... jangan selalu berpikir bahwa uang bisa menyelesaikan segalanya...." kata Panji. "iya, kan Ki...." Kata Panji meminta dukunganku.
"aku nggak paham dengan apa yang kalian maksud. yang aku mau, nggak ada namanya menangkap burung seperti itu...." kataku. Panji tampak kecewa. Septi hanya senyum saja. "tapi, kenapa kamu memukulnya?" tanyaku ke Panji.
"yah.... kan barusan dah dibahas...." jawab Panji. aku bingung. "yah, itu juga sebagai hukuman karena sudah menangkap burung seenaknya..." kata Panji. bibirnya tersenyum puas, tapi matanya terlihat tajam. jadi ngeri deh.
"jujur, aku nggak ngerti deh...." kataku.
aku, Septi dan Panji pulang kerumah. ternyata, jauh juga jarak antara rumah dan pasar. sampai di rumah, aku langsung makan siomay yang dibelikan oleh Septi. saat aku makan, Panji dan Septi nonton tv. sedangkan aku makan di temani oleh Neko.
saat aku makan, tanpa sengaja aku melihat ke arah punggung Septi. dan kali ini, sayapnya sudah terlihat lebih jelas. setiap helai bulu sayap yang ada dipunggungnya sudah terlihat.
waduh, aku jadi kepikiran. jangan-jangan Septi adalah orang yang bersayap dan orang yang bisa menolongku agar aku bisa kembali bersayap dan bisa pulang ke duniaku. saat aku memperhatikan sayap itu, ternyata Panji memperhatikanku. mata Panji tajam, seolah-olah ingin menerkamku. duh, takut ah....
WAaaa...... ><
d tunggu y ^^, Good Luck
satu hal yg bikin gue rada kritik sih.... Septi pas nolongin ibu Lastri di rumah sakit kan buntut2nya nelpon ortu minta dana..... kesannya nolong tapi ngga niat gitu, pengorbanan tapi masa minta ortu sih hahaha....
overall ceritanya bagus trus!
mungkin karena memang aku takut sama Panji kali ya, walaupun aku selalu berusaha untuk tidak bercerita, tapi ujung-ujungnya cerita juga. semakin lama di perhatikan, semakin menakutkan saja wajah Panji (kata orang, seperti yang aku dengar di sinetron-sinetron, muka seperti itu adalah muka ib**s atau muka se**n).
lebih parahnya lagi, sekarang Panji sering datang dan menginap di rumah Septi. tentunya, aku jadi semakin susah untuk menghindarinya. dah gitu, saat Septi pergi kuliah, Panji masih saja di rumah Septi. duh, aku bingung.
hari ini, di rumah Septi. dalam kamar....
"kamu kenapa sih Ki, koq sering memperhatikan Septi?" tanya Panji yang duduk disebelahku. aku tak langsung menjawab. "kamu kenapa diam?" tanya Panji lagi dengan kalimat yang lebih tegas dan nada mengancam.
"mmmm.... aku.... aku...." kataku gagap. rasanya, takut banget.
"ngomongnya biasa aja, nggak usah pake gagap gitu dong...." kata Panji sambil tertawa kecil. aku diam.
saat aku hendak bicara, Neko datang padaku. lalu Neko duduk di pangkuanku. Neko tak banyak aksi ataupun bicara. dari raut wajah Neko, tampak sekali bahwa dia juga takut pada Panji.
"hai Neko...." sapa Panji pada Neko. entah Neko tak mengerti bahasa Panji atau karena takut ma Panji, yang jelas Neko hanya diam saja. bahkan Neko lalu menunduk.
"kamu kenapa diam?" tanyaku ke Neko (dengan bahasa kucing).
"aku takut melihatnya, Ki..." jawab Neko.
"kenapa?" tanyaku lagi, heran.
"entahlah.... tapi, aku melihatnya sangat berbeda dari manusia yang lainnya.... auranya sangat menakutkan." jawab Neko menjelaskan alasannya.
"sama, aku juga...." kataku.
"kalian ngomongin apaan sih?" tanya Panji dengan nada tinggi. "koq, rasanya aku jadi nggak nyaman...." kata Panji.
"nggak koq...." jawabku takut.
"jangan boong, ya...." kata Panji mengancam. aku rasanya langsung menciut saja, sedangkan Neko, langsung kabur dan keluar kamar.
aku hanya diam ketakutan. aku rasanya sulit untuk berkata. Panji juga diam hingga beberapa saat.
"maafin aku ya,Ki...." pinta Panji dengan lirih.
entah apa yang membuat Panji meminta maaf padaku. entah karena memang dia merasa bersalah atau karena Panji tak tega melihat aku yang sudah ketakutan.
"kamu mau maafin aku, kan?" pinta Panji lagi. aku masih diam.
"Ki, sebenarnya, aku nggak ingin memaksa kamu untuk cerita...." kata Panji memulai perkataannya yang panjang. "aku juga nggak tahu kenapa aku selalu memaksamu untuk bercerita. mungkin karena aku sudah tahu siapa kamu sebenarnya, jadi.... aku merasa kasihan sama kamu." Panji berhenti sejenak.
"aku ingin membantu kamu Ki...." ujar Panji dengan wajah seriusnya. "sungguh, aku ingin membantu kamu...." Panji mempertegas kata-katanya. "untuk itulah Ki, aku ingin, kamu mau cerita padaku...."
aku masih diam saja. aku melihat ke wajah Panji, hanya sekilas, karena aku kembali menunduk.
"ceritalah padaku Ki, jangan takut.... semuanya akan tetap menjadi rahasia kita....." ujar Panji.
Panji memegang lalu menyandarkan kepalaku ke dadanya. aku diam. entah karena takut atau karena aku merasa nyaman, yang jelas, aku masih belum bisa bercerita padanya.
hingga siang aku dan Panji hanya diam di kamar. selama itu pula aku masih menyandarkan kepalaku di dada Panji.
"kamu masih belum mau bercerita?" tanya Panji memecah keheningan.
"kenapa aku harus bercerita?" kataku balas tanya dengan suara serak.
"karena aku ingin tahu...." jawab Panji.
"hanya ingin tahu?" tanyaku lagi, aku melepaskan kepalaku dari sandaran di dada Panji.
"karena aku ingin membantumu Ki, karena aku ingin menjadikanmu makhluk yang bersayap lagi, seperti yang kamu ceritakan padaku dulu...." jawab Panji. aku menunduk, aku diam beberapa saat.
awalnya aku khawatir, tapi akhirnya aku bercerita juga pada Panji. entah ada apa yang membuatku mau bercerita pada Panji. tapi, disaat dan setelah aku bercerita pada Panji, aku mendapatkan sedikit ketenangan. dan saat aku mencoba memperhatikan Panji, ternyata dia juga nggak begitu menakutkan.
"mmmm...... jadi gitu...." ujar Panji setelah aku bercerita panjang lebar padanya. ternyata, bercerita ke Panji asyik juga, karena dia selalu benar-benar memperhatikanku.
"kamu hanya bisa mendapatkan kembali sayapmu dari orang lain.... dan, kalian harus bisa menyayangi untuk bisa memilikinya...." kata Panji sambil manggut-manggut.
"dan, orang yang memiliki sayap, yang aku ketahui adalah Septi." kataku menambahi.
"berarti, kalian harus saling menyayangi, kan...." kata Panji. aku mengangguk.
"gimana caranya ya? kan Septi seorang cowok...." kataku bingung.
Panji menatapku dengan sangat serius. aku hanya menjadi seperti kambing congek jadinya.
sore ini, aku dan Panji pergi ke toko buku. Panji bilang, di toko buku banyak sekali terdapat buku-buku yang membahas soal bagaimana caranya mendekati seseorang. kata Panji, ada juga yang membahas caranya agar orang lain bisa menjadi suka dan sayang sama kita. wah, ternyata hebat ya toko buku itu.
saat tiba di toko buku, ada satu hal yang aku baru ingat. yaitu, aku tak bisa membaca. saat aku ceritakan ke Panji kalau aku nggak bisa membaca, Panji tertawa terbahak-bahak. lalu, dengan rasa agak jengkel, aku tarik Panji ke toilet (dengan sangat memaksa). untungnya toiletnya sepi. jadinya, aku langsung saja mengeluarkan kekuatanku untuk menarik sebagian kepintaran yang ada diotak Panji. kutempelkan keningku ke kening Panji.
Panji hanya diam, wajahnya tampak heran. beberapa saat kemudian, aku menjauhkan keningku dari kening Panji. wajah Panji masih bingung.
"kamu ngapain barusan?" tanya Panji yang bingung.
"aku hanya meminta sedikit kepintaranmu, biar aku bisa membaca juga." jawabku. "ayo, kita cari bukunya." ajakku.
aku dan Panji langsung menuju buku-buku yang membahas tentang cara-cara mendapatkan seorang pacar, cara membuat orang menjadi suka dan semuanya yang masih ada hubungannya. ada beberapa buku yang akhirnya aku pilih dan aku beli (sebenarnya, yang beli si Panji, karena bayarnya pake uang Panji.... aku nggak punya uang).
saat dalam perjalanan pulang, Panji bilang padaku bahwa dia akan mengajakku nonton film yang ada hubungannya dengan buku yang telah ku beli. Panji bilang, dia akan mengajakku nonton film "ARISAN, COKLAT STROBERI ataupun BROKEBACK MOUNTAIN".
sebenarnya aku ingin langsung menonton film itu, tapi Panji bilang, film-film itu DVDnya sedang dipinjam temannya. aku jadi penasaran dengan film-film yang dimaksud oleh Panji. pasti bagus banget deh....
saat keluar dari sebuah pusat perbelanjaan (toko bukunya di pusat perbelanjaan), aku melihat seseorang yang sedang dikejar-kejar oleh orang banyak. orang itu lari dengan kencang. dan orang-orang yang mengejarnya, berteriak "COPET!!! COPET!!!"
mengetahui hal itu, Panji langsung ambil posisi untuk menghadang copet itu. karena, arah larinya copet itu menuju tempat aku dan Panji berdiri. saat copet itu dekat, Panji langsung menjegal dan menangkapnya. dan saat itu pula, Panji menghajar copet itu. setelah beberapa saat, orang-orang yang mengejar copet tadi langsung ikut menghajar.
aku syok melihat kejadian itu. aku tak bisa berkata apa-apa. aku ketakutan. setelah agak lama, dan setelah copet itu babak belur, baru orang-orang yang menghajar copet tadi membawa si copet ke keamanan. Panji tampak puas, terlihat dari raut mukanya. Panji tersenyum. tapi, entah mengapa, senyum Panji, terlihat seperti seringai di mataku.
di rumah Septi, malam hari setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Panji membahas tentang copet yang dihajarnya tadi. Panji menyumpah serapah si copet. dia berkata bahwa itu adalah hukuman yang tepat untuk si copet. bahkan, Panji bilang, mendingan si copet diarak aja ke jalanan, daripada di bawa ke keamanan. mendengar kata-kata Panji, Septi ikut ambil suara.
"ya nggak gitu dong Ji...." kata Septi. "biarpun dia copet, nggak seharusnya dia dihajar seperti itu. mungkin dia mencopet, karena sedang terjepit suatu kebutuhan...." kata Septi menambahi.
"Sep, yang namanya orang salah, ya meski di hajar, di hukum...." ujar Panji. "kalau dia memang nggak mau di hajar, ya jangan mencopet...." tambah Panji.
"ya.... tapi kan nggak harus di hajar dulu... negara kita itu kan negara hukum.... ya biar di selesaikan secara hukum...." kata Septi tak mau kalah. aku hanya diam mendengar kata-kata Septi dan Panji.
"itu kan salah satu hukumannya...." kata Panji. "udah deh.... kamu nggak usah membela tu copet...."
"hhhmmmm.... terserah kamu lah...." ujar Septi. Septi beranjak menuju kamar.
"mau kemana?" tanya Panji. aku menoleh ke arah Septi.
"mau ke kamar aja... males aku ngomong ma kamu...." ujar Septi sambil terus menuju kamarnya.
setelah Septi pergi, Panji mendekatiku. Panji mulai membahas cara-cara yang tepat untuk membuat Septi menjadi suka dan sayang padaku. sementara aku dan Panji asyik membuat rencana yang banyak, dari rencana A sampai rencana Z, dari dalam kamar, di balik pintu kamar Septi mendengarkan percakapanku dengan Panji. untunglah dalam percakapan itu, aku dan Panji tak menyebut-nyebut nama Septi. dari dalam kamar, dari balik pintu kamar, ada rasa cemburu yang amat sangat. ada lara yang pastinya membara.
"Ji, kamu ngerasa ada yang nggak nyaman, nggak?" tanyaku ke Panji. aku merasakan aura cemburu yang amat kuat.
"nggak...." jawab Panji. "hanya perasaanmu saja kali...." kata panji menambahi.
lalu, aku dan Panji larut lagi dengan rencana-rencana yang akan dilaksanakan.
malamnya, Panji pamitan pulang. malam ini, dia tidak menginap di rumah Septi, karena sudah seminggu dia tidak tidur di rumahnya sendiri. saat melepas kepulangan Panji, samar-samar aku melihat sesuatu bayangan hitam di punggung Panji. seperti bayangan yang ada di punggung Septi waktu pertama aku melihatnya di rumah sakit.
di dalam kamar....
"kalian ngomongin apaan sih?" tanya Septi padaku yang baru masuk kamar. aku bingung mau menjawab apa. "kamu hati-hati ya dengan Panji...." kata Septi menambahi. aku jadi agak heran.
"mang kenapa dengan Panji?"tanyaku.
"dia itu, nggak baik orangnya...." jawab Septi.
"nggak baik gimana?" tanyaku lagi yang semakin jadi heran.
"pokoknya jangan deket-deket dia deh.... ntar nyesel lagi kamu...." kata Septi tak menjawab pertanyaanku.
aku hanya diam dan pikirku menjadi bertanya-tanya.