BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Krisis Global membuat AS,IMF,WB pelajari Perbankan Syariah

13»

Comments

  • wah bagus nih argumen2 nya kk Terry Sye ( master of the economic ) dan kk cream ( guru dalam forum ini )


    setidaknya kita akan tambah pengetahuan tentang keadaan sistem perekonomian dunia saat ini yang berimbas juga ke perekonomian negara kita


    ayo mana lagi nih komen dari master2 lainnya

    baik itu yang mengetahui sistem ekonomi yang dipakai saat ini ataupun sistem ekonomi syariah


    :wink: :wink: :wink: :wink: :wink: :wink: :wink: :wink:
  • Republika

    Selasa, 23 Desember 2008 pukul 11:17:00



    Banyak Non-Muslim Lirik Bank Syariah Mereka ingin sistem keuangan yang memberikan kepastian dan risiko rendah.


    SINGAPURA -- Minat kalangan non-Muslim terhadap perbankan syariah di tingkat internasional semakin tinggi. Sebagai contoh, separoh dari total nasabah Bank Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) Al Amin di sejumlah negara adalah non-Muslim.

    Pejabat eksekutif OCBC Al Amin di Malaysia mengungkapkan, mereka melirik sistem keuangan Islam terkait prinsip-prinsip pembiayaan yang ketat. Bagi dunia industri, misalnya, papar OCBC, memilih perbankan untuk menyokong bisnis mereka telah melampaui batas-batas keagamaan.''Masyarakat non-Muslim di seluruh dunia memahami arti penting sebuah sistem yang menguntungkan,'' kata pejabat OCBC, pekan lalu.

    Sistem keuangan Islam merupakan paduan ekonomi Islam dan prinsip-prinsip pembiayaan modern. Produk-produk keuangan Islam bisa dijual baik untuk umat Islam maupun non-Muslim.''Perbankan Islam mendapat sambutan lebih di pasar saat ini dan menarik perhatian non-Muslim tidak hanya di Malaysia, tetapi juga di bagian lain di seluruh dunia,'' kata Pejabat OCBC Al-Amin, Syed Abdull Aziz Syed Kechik.

    Pada awalnya, pasar keuangan syariah tergolong kecil dan terbatas pada nasabah Muslim yang ingin menghindari sistem riba bunga bank. Kini, keuangan Islam berkembang pesat termasuk di negara-negara Barat yang selama ini mengedepankan sistem finansial kapitalis. Alasan lain terkait masuknya nasabah non-Muslim, OCBC menyebut mereka mencari alternatif keuangan yang berisiko kecil sejak krisis mulai menghentak dunia setahun lalu. Kepercayaan terhadap praktik-praktik manajemen risiko ala Barat memudar, dan mereka lari ke bank-bank Islam.

    Banyak bank, termasuk OCBC, melebarkan sayap bisnisnya untuk merebut pasar industri perbankan Islam sebesar 1 triliun dolar AS. Bulan lalu, OCBC Malaysia meluncurkan anak usaha, Bank OCBC Al Amin.Produk keuangan Islam seperti pembiayaan perumahan (KPR) dan asuransi telah menarik perhatian etnis Cina di Malaysia dan kelompok minoritas India. Secara global, obligasi syariah berada di antara instrumen keuangan Islam yang berkembang pesat, yang belakangan Jepang ikut-ikutan menerbitkan obligasi syariah.

    Saat ini ada lebih 300 institusi finansial keuangan syariah di dunia dan nilai pasar sektor ini 1 triliun dolar AS. OCBC sendiri, kata Syed Abdull, akan mengembangkan produk-produk syariahnya untuk merebut pasar tersebut. Pertumbuhan peminjaman OCBC Malaysia, baik konvensional maupun syariah, secara keseluruhan diperkirakan meningkat tahun depan. ''Tahun depan ada kemungkinan tetap tumbuh, mungkin tak besar karena permintaan pembelian seperti rumah dan mobil akan turun sedikit,'' kata pimpinan eksekutif OCBC Bank Malaysia, Jeffrey Chew.

    Bank OCBC lahir di tengah gejolak hebat Great Deppresion 1930-an dari merger tiga bank --the Chinese Commercial Bank Limited (1912), the Ho Hong Bank Limited (1917), dan the Oversea-Chinese Bank Limited (1919).Sekarang ini, OCBC memiliki total aset 184 miliar dolar AS dan beroperasi di 15 negara. reuters/erd/c67
  • ada bahasan yang cukup kritis dari seorang ekonom muda tentang ekonomi islam.
    • http://ariperdana.blogspot.com/2007/06/ekonomi-islam-1.html
    • http://ariperdana.blogspot.com/2007/06/ekonomi-islam-2.html
    • http://ariperdana.blogspot.com/2007/06/ekonomi-islam-3.html
    • http://ariperdana.blogspot.com/2007/06/ekonomi-islam-4-selesai.html [/list:u]ps: penulisnya cakep ... LOL

      ***
      yang relevan dengan diskusi ini, artikel no 2

      Memikirkan kembali pemahaman Islam atas bunga

      Dari berbagai ranah perdebatan soal ekonomi Islam vs. konvensional (baca: kapitalisme), perbandingan mengenai praktek pembiayaan dan transaksi finansial adalah yang paling sering dibahas. Selain paling sering, perdebatan di ranah ini juga yang paling spesifik dan terstruktur dibandingkan, misalnya, persoalan moralitas dan keadilan. Hal ini tentunya tidak bisa terlepas dari sejarah ekonomi modern. Penemuan mekanisme pembiayaan transaksi, yang mendorong lahirnya sistem dan lembaga keuangan adalah hal yang tidak terpisahkan dalam kapitalisme. Uang adalah ‘darah’ bagi perekonomian. Adanya institusi yang kuat untuk mengatur peredaran uang adalah kunci kemajuan perekonomian.

      Perbedaan (dan pembedaan) antara sistem keuangan dan perbankan Islam dan konvensional berujung pada satu pertanyaan: apakah bunga itu halal atau haram (riba)? Perdebatan ini sudah berlangsung lama. Masing-masing pihak – baik yang mengatakan haram atau tidak – punya argumen yang valid. Tulisan ini tidak akan masuk ke ranah fikih atas perdebatan itu. Tapi, katakanlah bunga bank itu haram. Lalu apa? Solusi apa yang ditawarkan oleh pemikiran ekonomi Islam dalam hal transaksi keuangan?

      Menurut para pengusungnya, jawaban ekonomi Islam adalah bagi hasil dan bagi risiko. Ada tiga skema yang ditawarkan: mudharabah, musyarakah dan murabahah. Dalam skema mudharabah, seorang atau sekelompok investor memercayakan uang mereka pada satu pihak atau lembaga untuk dikelola ke dalam kegiatan yang produktif. Keuntungan dari pengelolaan uang itu akan dibagi sesuai dengan kesepakatan awal. Sebaliknya, kerugian yang terjadi juga akan dibagi sesuai perjanjian.

      Praktek musyarakah pada dasarnya mirip dengan mudharabah. Bedanya, dalam musyarakah pihak pengelola uang juga ikut menanamkan uangnya. Menurut proponen ekonomi Islam, ada dua hal yang membedakan praktek mudharabah dan musyarakah dengan praktek bunga konvensional. Pertama adalah unsur bagi risiko (risk-sharing). Kedua, besarnya nisbah bagi hasil ditetapkan atas dasar kesepakatan bersama, bukan ditetapkan sebelumnya seperti dalam bunga konvensional.

      Model bagi hasil dan bagi risiko memiliki kelebihan. Dalam model ini, pihak yang mengelola dana akan dipaksa untuk melakukan kalkulasi yang matang dalam memilih kegiatan ekonomi untuk dibiayai. Inilah yang menjadi alasan mengapa bank-bank syariah umumnya relatif lebih aman dan sehat. Saat krisis ekonomi menyebabkan kolapsnya sejumlah bank konvensional, bank-bank syariah tidak ikut kolaps, bahkan menjamur setelahnya.

      ***

      Ada tiga hal yang bisa dikritisi dari konsep ini:
      • Pertama, harus diingat bahwa praktek perbankan yang sehat seperti ini akan bisa terjadi jika skala uang yang berputar relatif kecil. Artinya, untuk tetap sehat dan aman, perbankan syariah memang tidak bisa menjadi besar. Konsekuensinya, jika perbankan syariah akan tetap kecil, kemampuannya menjadi penggerak ekonomi juga tidak akan signifikan. Sebaliknya, jika aset dan dana yang dikelola bank syariah jauh lebih besar dari yang ada sekarang, maka kapasitas yang ada sekarang akan terbatas. Bank syariah pun akan dihadapkan pada problem yang sama yang dihadapi oleh perbankan konvensional.
      • Kedua, seberapa konsisten perbankan syariah menjalankan praktek bagi hasil bagi risiko tanpa adanya rasio bagi hasil yang ditetapkan sebelumnya? Jika hal ini dijalankan konsisten, harusnya bank akan memiliki kontrak individual yang berbeda-beda untuk tiap nasabah. Ini bisa dijalankan jika jumlah nasabah yang dikelola relatif sedikit. Tapi jika jumlah nasabahnya banyak, biaya transaksi untuk memberlakukan kontrak spesifik akan makin besar juga, sehingga tidak akan efisien bagi pihak bank.

        Faktanya bisa dibilang semua bank syariah di Indonesia sekarang ini menetapkan nisbah bagi hasil secara ex-ante, baik untuk simpanan maupun pinjaman. Artinya dalam praktek, bank syariah sebenarnya menerapkan mekanisme yang tidak berbeda dengan bank konvensional yang berdasarkan bunga.

        Untuk pinjaman, bahkan, beberapa bank syariah bukan hanya menetapkan nisbah yang ditetapkan sebelumnya, tapi bahkan nilainya bisa lebih tinggi dari bunga pinjaman konvensional setelah adanya berbagai biaya dan fee tambahan. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan tambahan: seberapa jauh bank syariah konsisten dengan kritiknya terhadap bunga yang dianggap memberatkan dan eksploitatif.
      • Ketiga, pertanyaan lain adalah ke mana bank syariah memutarkan dana nasabah. Secara prinsip, dana yang dihimpun oleh bank syariah hanya dibenarkan untuk membiayai kegiatan produktif yang halal. Artinya, bank syariah tidak dibenarkan untuk memutar kembali uangnya di kegiatan-kegiatan spekulatif atau menanamkan dananya di investasi berbasiskan bunga.

        Seberapa konsisten bank syariah dalam menjalankan usahanya bisa dilihat dari besaran nisbah bagi hasil yang ditawarkan dari waktu ke waktu. Jika bank syariah benar-benar memutar dana nasabah ke kegiatan produktif, kita akan melihat pergerakan nisbah bagi hasil antar waktu yang lebih fluktuatif dari pergerakan bunga konvensional.

        Faktanya, merujuk pada statisik bulanan yang dikeluarkan oleh Divisi Syariah Bank Indonesia, fluktuasi nisbah bagi hasil bersih rata-rata hampir sama dan sebangun dengan pergerakan suku bunga deposito bank konvensional. Sebagai perbandingan, ekonom Timur Kuran (2004) menemukan hal yang sama di Turki. Pergerakan yang sejalan ini mengindikasikan besarnya kemungkinan bahwa dalam mengelola dana nasabahnya, bank syariah masih menanamkan uang di investasi berbasiskan bunga. Setidaknya, kondisi ideal bahwa seluruh dana ditanamkan di kegiatan produktif tidak terjadi.

        Bentuk pembiayaan yang ketiga, murabahah, sederhananya adalah mark-up. Seorang konsumen ingin membeli mobil tetapi tidak punya uang. Ia bisa datang ke bank atau lembaga keuangan syariah yang akan membeli mobil tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, si konsumen akan membayar kembali ke bank ditambah jumlah tertentu. Di kalangan praktisi ekonomi Islam sendiri ada perdebatan mengenai kehalalan model transaksi ini. Beberapa pihak menganggap bahwa transaksi murabaha termasuk syubhat karena melibatkan nilai mark-up yang berfungsi sebagai ‘bunga siluman.’

        Menariknya, transaksi murabahah ini adalah model yang paling populer di banyak negara yang memiliki sistem perbankan Islam. Timur Kuran menyebutkan bahwa 80-90 persen transaksi bank Islam di dunia menggunakan metode ini. Di tahun ‘80an, 80 persen portfolio aset milik Islamic Development Bank juga berasal dari pembiayaan murabahah.

        Ada juga yang menilai murabahah tidaklah haram, atas tiga alasan. Pertama, praktek ini pada dasarnya adalah jual-beli. Nilai mark-up adalah laba usaha,bukan bunga. Dalam Islam, laba tidaklah haram. Kedua, transaksi tidak haram selama nilai mark-up ditentukan atas kesepakatan bersama. Ketiga, adanya mark-up yang dibayarkan bisa dibenarkan karena itu mencerminkan risiko yang harus ditanggung oleh bank selama periode dimana barang sudah dibeli tetapi kepemilikan belum berpindah ke tangan konsumen.

        Terlepas dari apakah murabahah termasuk transaksi yang halal, haram atau syubhat, tidak ada perbedaan signifikan dalam substansinya dengan bunga. Artinya, kalau murabahah bisa dianggap halal, pengharaman atas bunga menjadi sesuatu yang aneh dan tidak konsisten. Selain itu, argumen bahwa nilai mark-up adalah kompensasi atas risiko yang ditanggung justru menjadi kontradiksi, karena di saat yang sama proponen ekonomi Islam tetap menolak justifikasi bunga sebagai kompensasi atas risiko. Artinya, fakta bahwa murabahah adalah model pembiayaan yang paling populer menunjukkan ketidakmampuan ekonomi Islam dalam memberi jawaban atas haram dan eksploitatifnya sistem bunga.[/list:u]***

        Tulisan ini hendaknya dijadikan tantangan bagi proponen ekonomi Islam untuk terus menemukan praktek keuangan dan perbankan yang otentik sekaligus tetap relevan dengan tantangan ekonomi modern. Alternatifnya adalah mendefinisikan kembali pemahaman dan posisi Islam mengenai bunga bank.
  • @terry-sie,

    maksudne, islam atau gama apapun pasti setuju dengan sistem perkongsian, namun dalam perkembangannya, manusia makin 'pintar', agama jaman nabi gak mengatur bursa,..

    bursa memungkinkan transasi saham, beli-jual, atau pegang-lepas (kyknya ni lebih pas .. :wink: ) terjadi bertubi2 dan menjaid bisnis baru,.

    sistem ini (kapitalisme), emnyebabkan ada spekulan2 yang punya modal kuat, ataupun modla kecil yg jumlanya jutaan orang sehari melakuan transaksi ini, yang menyebabkan nilai saham bisa naik turun bukan lagi karena fundamental eknomi tapi krn permainan spekulan.

    nah , bermain saham adalah haram, dan ini jelas karena unsur spekulasinya (tidak jelas) sangat dominan..

    memiliki saham boleh, yang tdk bolhe, mencari uang dr jual beli saham (spekulan), ..kelihatan ka bedanya?

    kalo aku beli saham, aku simpan 3 thn, ..jual..
    beda dgn kalo aku tiap hari jual beli, jual beli, itu namanya spekulan, yg ini yg diharamkan..

    memang sih garus batasnya makin kabur, yg membedakan niat dan waktu (T), dlm agama unsur niat sangat penting,.
    nah inilah yg musti dipalikaiskan untuk sitem perekonomian syariah,.

    dgn sistem kapitalis, lihat saja microsoft bisa kaya raya berlipat2 hanya dalam waktu pendek, bukan karena penjualan softwarenya,..tapi dominan justru karena kenaikan nilai sahamnya,.

    sistem syariah yg konvensional tdk mengijinkan spekulasi, dan memang dampaknya lebih anyak negatif,., suatu emiten musti berbohong utk memperbaiki citranya, dirut terpeleset di kamar mandi, sahamnya bisa melorot, anaknya owner merit ama siapa, aham pengaruh, ka jadi lucu, nah inilah subyektifitas sentimen para spekulan..


    jujur aja, spekulan itu emang judi, entah dgn segala dalih sistem, itu judi,.
    dan kia2 juga tau en mrasa, kalo maen saham, duitnya kayaknya bukan utk dipake nabung naik haji, atau bayar kurban, paling banter sehair laba 200rb pake makan, nonton,.dsb

    kalo maen besar2 yah siap2 aja jd org gila, berlarian di jalan make kolor,..

    spekulan saham lebih banyak negtifnya drpd positif.




    oek, perusahaan butuh modal lewat brdsa, knp?
    krn mengandalkan pembiayaan hanya dari perbankan/finance tentu diangap cost tinggi, bunga bank dsb..


    bukan soal bunga bank, tapi soal pentingnya ada bursa,
    bursa pada awalnya kan, tuk menjembatani pemilik modal dan perusahaan, namun karena makin canggihnya dan sistem liberal memungkinkanny, dgn aturan yg makin fleksibel, akhirnya bursa sudah menjadi ajang perjudian terbesar di jagat raya (kalo ufo gak doyan judi di planetnya..)


    nah lihat positif negatifnya..
    gara2 sentimen negatif aja, belum tentu fundamental ekonomi udha benar2 seburuk prasangka spekulan,.
    namun aksi jual jual, jual, akhirnya saham suatu emiten jatuh, sampe dititik terendah,

    akibatnya seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula, akhirnya masalah yg mustinya gak segede itu, justru makin menggunung krn uah spekulan..


    perusahaan yg masih bagus fundamental ekonominya, terpaksa ditopang pemerintah, nah dana yg musti disiapkan makin besar, krn biaya2 diluar corepermasalahn,.membangun citra, dsb,.

    coba saja, iklan, pembuatan logo, design dsb sudah makan banyaak dana, itu tujuan utamanya hanya membangun image, apalagi akhir tahun window dressing, akal2an perusahaan tuk kasih kabar bagus,.agar sahamnya menarik.

    padahal orang2 ngerti, itu hanya dalam rangka menaikan citra, api efeknya bursa /masrakat terpengaruh juga,..sentimen positif, coba lihat istilahnya aja sentimen, inika bukan pake logikan, cuman sentimen,.

    dalam syariah, menghindari semua yg ragu2, ..


    kalau sistem syariah sudah makin terakomodasi, tentunya aturan bursa tdk sebebas sekarang..


    upaya melirik syariha sebenarnya upaya manusa mencari solusi,.sambil mempelajari, menjajaki,.
    dlaam prakteknya,gak mungkin 1-2 th tiba sistem konvensional langsung dihapus jadi syariah..kedepannya bagaimana, mau amerika kek, asia kek, terserah meeka, wong gak dipaksa, yang pasti sebagai muslim ada aturan tuk itu..

    soal mayoritas muslim belum sepenuhnya bersyariah, yah semua butuh waktu, namun skrg perkembangan bank syariah sampe ke pelosok menunjkan perkembanga yang pesat..aku saja hanya make syariah tuk kredit, simpana gak, krn aku gak menyimpan, tapi memutar modal.


    masih pake bca, kemudahan fasilitasnya,.dsb..


    mau syariah mau gak, yah tergantung nya,..
    yan dilaang miras aja maish miras,.
    apalagi cuman soal nyimpan duit.. :wink:
  • de Hati wrote:
    ada bahasan yang cukup kritis dari seorang ekonom muda tentang ekonomi islam.
    • http://ariperdana.blogspot.com/2007/06/ekonomi-islam-1.html
    • http://ariperdana.blogspot.com/2007/06/ekonomi-islam-2.html
    • http://ariperdana.blogspot.com/2007/06/ekonomi-islam-3.html
    • http://ariperdana.blogspot.com/2007/06/ekonomi-islam-4-selesai.html [/list:u]ps: penulisnya cakep ... LOL

      ***
      yang relevan dengan diskusi ini, artikel no 2

      Memikirkan kembali pemahaman Islam atas bunga

      Dari berbagai ranah perdebatan soal ekonomi Islam vs. konvensional (baca: kapitalisme), perbandingan mengenai praktek pembiayaan dan transaksi finansial adalah yang paling sering dibahas. Selain paling sering, perdebatan di ranah ini juga yang paling spesifik dan terstruktur dibandingkan, misalnya, persoalan moralitas dan keadilan. Hal ini tentunya tidak bisa terlepas dari sejarah ekonomi modern. Penemuan mekanisme pembiayaan transaksi, yang mendorong lahirnya sistem dan lembaga keuangan adalah hal yang tidak terpisahkan dalam kapitalisme. Uang adalah ‘darah’ bagi perekonomian. Adanya institusi yang kuat untuk mengatur peredaran uang adalah kunci kemajuan perekonomian.

      Perbedaan (dan pembedaan) antara sistem keuangan dan perbankan Islam dan konvensional berujung pada satu pertanyaan: apakah bunga itu halal atau haram (riba)? Perdebatan ini sudah berlangsung lama. Masing-masing pihak – baik yang mengatakan haram atau tidak – punya argumen yang valid. Tulisan ini tidak akan masuk ke ranah fikih atas perdebatan itu. Tapi, katakanlah bunga bank itu haram. Lalu apa? Solusi apa yang ditawarkan oleh pemikiran ekonomi Islam dalam hal transaksi keuangan?

      Menurut para pengusungnya, jawaban ekonomi Islam adalah bagi hasil dan bagi risiko. Ada tiga skema yang ditawarkan: mudharabah, musyarakah dan murabahah. Dalam skema mudharabah, seorang atau sekelompok investor memercayakan uang mereka pada satu pihak atau lembaga untuk dikelola ke dalam kegiatan yang produktif. Keuntungan dari pengelolaan uang itu akan dibagi sesuai dengan kesepakatan awal. Sebaliknya, kerugian yang terjadi juga akan dibagi sesuai perjanjian.

      Praktek musyarakah pada dasarnya mirip dengan mudharabah. Bedanya, dalam musyarakah pihak pengelola uang juga ikut menanamkan uangnya. Menurut proponen ekonomi Islam, ada dua hal yang membedakan praktek mudharabah dan musyarakah dengan praktek bunga konvensional. Pertama adalah unsur bagi risiko (risk-sharing). Kedua, besarnya nisbah bagi hasil ditetapkan atas dasar kesepakatan bersama, bukan ditetapkan sebelumnya seperti dalam bunga konvensional.

      Model bagi hasil dan bagi risiko memiliki kelebihan. Dalam model ini, pihak yang mengelola dana akan dipaksa untuk melakukan kalkulasi yang matang dalam memilih kegiatan ekonomi untuk dibiayai. Inilah yang menjadi alasan mengapa bank-bank syariah umumnya relatif lebih aman dan sehat. Saat krisis ekonomi menyebabkan kolapsnya sejumlah bank konvensional, bank-bank syariah tidak ikut kolaps, bahkan menjamur setelahnya.

      ***

      Ada tiga hal yang bisa dikritisi dari konsep ini:
      • Pertama, harus diingat bahwa praktek perbankan yang sehat seperti ini akan bisa terjadi jika skala uang yang berputar relatif kecil. Artinya, untuk tetap sehat dan aman, perbankan syariah memang tidak bisa menjadi besar. Konsekuensinya, jika perbankan syariah akan tetap kecil, kemampuannya menjadi penggerak ekonomi juga tidak akan signifikan. Sebaliknya, jika aset dan dana yang dikelola bank syariah jauh lebih besar dari yang ada sekarang, maka kapasitas yang ada sekarang akan terbatas. Bank syariah pun akan dihadapkan pada problem yang sama yang dihadapi oleh perbankan konvensional.
      • Kedua, seberapa konsisten perbankan syariah menjalankan praktek bagi hasil bagi risiko tanpa adanya rasio bagi hasil yang ditetapkan sebelumnya? Jika hal ini dijalankan konsisten, harusnya bank akan memiliki kontrak individual yang berbeda-beda untuk tiap nasabah. Ini bisa dijalankan jika jumlah nasabah yang dikelola relatif sedikit. Tapi jika jumlah nasabahnya banyak, biaya transaksi untuk memberlakukan kontrak spesifik akan makin besar juga, sehingga tidak akan efisien bagi pihak bank.

        Faktanya bisa dibilang semua bank syariah di Indonesia sekarang ini menetapkan nisbah bagi hasil secara ex-ante, baik untuk simpanan maupun pinjaman. Artinya dalam praktek, bank syariah sebenarnya menerapkan mekanisme yang tidak berbeda dengan bank konvensional yang berdasarkan bunga.

        Untuk pinjaman, bahkan, beberapa bank syariah bukan hanya menetapkan nisbah yang ditetapkan sebelumnya, tapi bahkan nilainya bisa lebih tinggi dari bunga pinjaman konvensional setelah adanya berbagai biaya dan fee tambahan. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan tambahan: seberapa jauh bank syariah konsisten dengan kritiknya terhadap bunga yang dianggap memberatkan dan eksploitatif.
      • Ketiga, pertanyaan lain adalah ke mana bank syariah memutarkan dana nasabah. Secara prinsip, dana yang dihimpun oleh bank syariah hanya dibenarkan untuk membiayai kegiatan produktif yang halal. Artinya, bank syariah tidak dibenarkan untuk memutar kembali uangnya di kegiatan-kegiatan spekulatif atau menanamkan dananya di investasi berbasiskan bunga.

        Seberapa konsisten bank syariah dalam menjalankan usahanya bisa dilihat dari besaran nisbah bagi hasil yang ditawarkan dari waktu ke waktu. Jika bank syariah benar-benar memutar dana nasabah ke kegiatan produktif, kita akan melihat pergerakan nisbah bagi hasil antar waktu yang lebih fluktuatif dari pergerakan bunga konvensional.

        Faktanya, merujuk pada statisik bulanan yang dikeluarkan oleh Divisi Syariah Bank Indonesia, fluktuasi nisbah bagi hasil bersih rata-rata hampir sama dan sebangun dengan pergerakan suku bunga deposito bank konvensional. Sebagai perbandingan, ekonom Timur Kuran (2004) menemukan hal yang sama di Turki. Pergerakan yang sejalan ini mengindikasikan besarnya kemungkinan bahwa dalam mengelola dana nasabahnya, bank syariah masih menanamkan uang di investasi berbasiskan bunga. Setidaknya, kondisi ideal bahwa seluruh dana ditanamkan di kegiatan produktif tidak terjadi.

        Bentuk pembiayaan yang ketiga, murabahah, sederhananya adalah mark-up. Seorang konsumen ingin membeli mobil tetapi tidak punya uang. Ia bisa datang ke bank atau lembaga keuangan syariah yang akan membeli mobil tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, si konsumen akan membayar kembali ke bank ditambah jumlah tertentu. Di kalangan praktisi ekonomi Islam sendiri ada perdebatan mengenai kehalalan model transaksi ini. Beberapa pihak menganggap bahwa transaksi murabaha termasuk syubhat karena melibatkan nilai mark-up yang berfungsi sebagai ‘bunga siluman.’

        Menariknya, transaksi murabahah ini adalah model yang paling populer di banyak negara yang memiliki sistem perbankan Islam. Timur Kuran menyebutkan bahwa 80-90 persen transaksi bank Islam di dunia menggunakan metode ini. Di tahun ‘80an, 80 persen portfolio aset milik Islamic Development Bank juga berasal dari pembiayaan murabahah.

        Ada juga yang menilai murabahah tidaklah haram, atas tiga alasan. Pertama, praktek ini pada dasarnya adalah jual-beli. Nilai mark-up adalah laba usaha,bukan bunga. Dalam Islam, laba tidaklah haram. Kedua, transaksi tidak haram selama nilai mark-up ditentukan atas kesepakatan bersama. Ketiga, adanya mark-up yang dibayarkan bisa dibenarkan karena itu mencerminkan risiko yang harus ditanggung oleh bank selama periode dimana barang sudah dibeli tetapi kepemilikan belum berpindah ke tangan konsumen.

        Terlepas dari apakah murabahah termasuk transaksi yang halal, haram atau syubhat, tidak ada perbedaan signifikan dalam substansinya dengan bunga. Artinya, kalau murabahah bisa dianggap halal, pengharaman atas bunga menjadi sesuatu yang aneh dan tidak konsisten. Selain itu, argumen bahwa nilai mark-up adalah kompensasi atas risiko yang ditanggung justru menjadi kontradiksi, karena di saat yang sama proponen ekonomi Islam tetap menolak justifikasi bunga sebagai kompensasi atas risiko. Artinya, fakta bahwa murabahah adalah model pembiayaan yang paling populer menunjukkan ketidakmampuan ekonomi Islam dalam memberi jawaban atas haram dan eksploitatifnya sistem bunga.[/list:u]***

        Tulisan ini hendaknya dijadikan tantangan bagi proponen ekonomi Islam untuk terus menemukan praktek keuangan dan perbankan yang otentik sekaligus tetap relevan dengan tantangan ekonomi modern. Alternatifnya adalah mendefinisikan kembali pemahaman dan posisi Islam mengenai bunga bank.

    hmmmm
    gw pribadi meragukan, klo sistem yg berjalan sekarang benar2 syariah. wel, mungkin beberapa orang "cuma butuh" akad, apakah itu syariah ato ribawi.

    gw ragu,
    sebab pada dasarnya sistem bagi hasil adalah juga sistem bagi rugi (sebab tidak mungkin sebuah usaha selalu untung, pasti ada ekmungkinan untuk merugi)
    tapi prakteknya, ga perna ada penjelasan klo rugi, selalu penjelasan klo untung. dan siste, bagi rugi iru sendiri, setahu gw, ga perna diberlakukan.

    kasus yg pernah gw jumpai, nasabah dan bank saling menuntut, hanya gara2 usaha bersama mereka rugi, saling menyalahkan, dan ujung2nya asetnya disita bank.
    nah lho?
    syariah kok gitu?

    syariah judule doang klo gitu
    berarti namanya doang dong
Sign In or Register to comment.