It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku kemudian berdiri juga dan mengikutinya dari belakang. Dia berjalan dengan kedua tongkatnya. Kakinya yang patah ditekuknya ke atas, sehingga sama sekali tidak menyentuh tanah. Gerakan tubuhnya tetap terlihat maskulin, walaupun dia harus berjalan dengan cara seperti itu. Kaos hitamnya yang ngepas membuat bahu lebar dan pinggang rampingnya tercetak jelas. Garis punggungnya yang kuat kadang tampak sekilas diantara dua buah belikat yang menonjol, karena kedua tangannya bertumpu pada tongkat kruk. Sementara itu otot bisepnya sangat jelas terlihat lagi, putih, kontras dengan warna kausnya itu. Pada saat memandangnya dari arah belakang itu, rasa cintaku tumbuh begitu deras. Ingin rasanya kutopang tubuhnya, atau kugendong dia seperti aku menggendongnya dulu.
"Kelihatannya lebih parah, ya?" tanyaku dengan suara agak parau, menahan rasa yang memenuhi hatiku.
"Iya, lebih parah daripada dulu. Aku tidak boleh menggunakan kakiku ini selama dua puluh hari. Ini baru hari ke sepuluh, jadi terpaksa aku pake dua tongkat." katanya sambil menyeringai, menoleh ke arahku. Tapi kemudian dia tersenyum lagi.
"Sakit?"
"Banget....., sebenarnya dari tadi aku nahan sakit. Ga tahan kalau digantung terlalu lama. Apalagi kalau diinjakkan ditanah. Ngilu sekali. Di taksi saja aku duduk di belakang. Untung teman tadi mau bantu memangku kakiku." katanya.
"Sinikan kunci kamarnya, biar aku yang membukanya."
Dia menyerahkan kuncinya, dan kubuka pintu kamarnya. Begitu terbuka, langsung tercium bau debu bercampur bau kencing tikus dan bau kurang sedap dari kamar mandi. Setengah bulan kamar ini tidak ditempati, cukup waktu untuk tikus-tikus membuang kotorannya di kamar. Sebenarnya kamarnya cukup rapi, hanya saja kotoran tikus yang bertebaran di lantai dan di atas kasur, membuat belum layak untuk ditempati lagi.
"Ke kamarku aja dulu, kamarmu harus dibersihkan." kataku.
Nicky melongok ke dalam kamar. Dia tersenyum dan mengangguk setuju setelah melihat keadaan kamarnya, kemudian mengikuti ke kamarku setelah terlebih dulu mengambil ponselnya yang tertinggal.
"Belum, ...... tapi aku ngga lapar. Aku mau mandi dulu, belum mandi sejak kemarin...." katanya.
"Hah..!" aku heran dengan jawabannya. "Susah air kah disana?"
"Hahaha.... air disana sangat berlimpah, A, bahkan terbuang-buang, karena sumbernya dari gunung. Tapi aku belum bisa mandi sendiri. Kemarin pak tua yang biasa memandikanku tidak masuk, jadi ya mau ga mau aku harus tahan ga mandi." katanya. Walau begitu dia terlihat ceria. Aku tidak tahu apa yang membuatnya ceria, sementara aku sendiri dari tadi agak ragu untuk bersikap open kepadanya. Dilemaku masih menghalangiku untuk bersikap lebih akrab. Aku belum menentukan sikap.
"Ya sudah, mandi dulu kalo gitu....., banyak tuh air di kamar mandi." kataku santai.
"Kan aku udah bilang barusan, aku belum bisa mandi sendiri."
"Jadi?" aku masih belum nyambung.
"Ya mandiin aku dong, A." katanya, dengan muka ditengadahkan. Persis seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan permen. Tapi mulutnya masih tersenyum. Duh, kenapa dia dari tadi tidak berhenti tersenyum?
Aku bengong, baru menyadari arti dari omongan Nicky yang terakhir. Ya, Tuhan..................., maafkan aku. Bukan aku yang sengaja mencari peluang seperti ini. Apa artinya ini Tuhan? apakah Engkau mau mengujiku lebih jauh.
"Haiiii....." Nicky melambai-lambaikan tangannya tepat di mukaku. "Kenapa Aa dari tadi banyak bengongnya?"
"Ah.... eh..... enggaaaa....aku ga apa-apa kok.... ya sudah, kalo gitu, buka bajumu." kataku sambil terus berjalan ke belakang, menyiapkan segala sesuatunya. Susah juga mau jadi orang baik, selalu ada peluang untuk membelokkan niatku.
Sambil menyiapkan perlengkapan mandi, aku berfikir, bahwa aku harus bersikap seolah-olah seorang lelaki straight yang tidak tergoda oleh kehadiran lelaki lain. Walaupun aku ragu akan kemampuanku menahan diri.
Ketika aku kembali ke tempat tidur, seperti yang aku kira sebelumnya, Nicky sudah telentang tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Pakaiannya sudah berserakan di lantai, di samping tempat tidurnya. Kaki kirinya tetap diletakkan di atas bantal. Aku cepat-cepat mengunci pintu, khawatir ada orang masuk tanpa permisi, seperti si Mukhlis yang sudah biasa keluar masuk kamarku. Bisa runyam kalau itu sampai terjadi.
Kuhamparkan handuk lebarku di tempat tidurku, baru kusuruh Nicky pindah ke sana. Kuganjal kaki lukanya dengan bantal, lalu kututup bagian selangkangannya dengan handuk kecil. Aku tidak bisa menahan mataku untuk selalu melihat bagian itu. Dia telentang pasrah, mulutnya tersenyum, dengan mata yang menatapku. Kali ini aku menerjemahkannya sebagai olokan kepadaku, seolah-olah mata itu berkata : "Aa suka kan?"
"Kenapa kamu senyum terus dari tadi, Nick?" kataku datar.
"Aku seneng bisa lihat Aa lagi. Rinduku sudah di ubun-ubun. Alasanku pulang sebenarnya adalah aku dah ga sabar pengen ketemu Aa." Katanya dengan ringan tanpa beban. Kuangkat alisku, sambil tersenyum suwir, menunjukkan sikap geli. Sebenarnya hatiku luluh, seperti mencairnya es yang membeku. Kalimat itu begitu nyaman terdengar di telinga. Membuat simpul-simpul saraf di seluruh tubuhku terbuka dan bergetar, mengirimkan sinyal ke neuron-neuron otakku dan membuat aliran di pembuluh darahku menjadi lancar, memacu kerja jantungku. Sehingga jantungku berdetak lebih keras, dan otakku tidak dapat berfikir obyektif lagi, tertutup oleh rasa bahagia yang memenuhi otak limbikku.
Aku tidak mengomentari ucapannya itu. Kugosok lembut dada atasnya dengan handuk basah, bahunya, kemudian lehernya. Matanya terpejam. Kulanjutkan gosokanku ke wajahnya, mulai dahinya, kedua kelopak matanya, hidung mancungnya, pipi dan dagunya. Ketika aku menggosok rahangnya, tiba-tiba kedua tangan Nicky bergerak, memegang tangan kananku yang sedang bekerja. Tanganku didekatkan ke bibirnya, lalu dia mencium punggung tanganku. Matanya masih terpejam, tapi kulihat ada air mengalir dari kedua pelupuk matanya. Dia menangis. Tangan kananku masih digenggamnya.
Kubiarkan saja dia melakukan itu. Aku hanya duduk diam di tepi tempat tidur, dekat dengan dada bidangnya yang telanjang. Mengamati wajah tampannya. Tangan kananku tetap dalam genggamannya. Diletakkannya tanganku itu di atas dadanya. Aku tetap diam, lidahku kelu, hanya keheningan yang ada pada saat itu.
"A..." lagi-lagi suara bas-nya menggetarkan hatiku.
"Ya...." jawabku pelan.
"Mau ga peluk aku?" tanyanya. Pertanyaan yang tidak kusangka. Tapi herannya matanya masih tetap terpejam, meskipun air matanya sudah berhenti mengalir.
Aku tak tahu harus jawab apa? Kalau kujawab "iya mau", bagaimana pula aku harus memeluknya? apakah aku harus ikut berbaring di sampingnya dan memeluk tubuh telanjangnya? Melihat kondisinya sangat tidak memungkinkan. Tempat tidur itu sempit, tidak cukup untuk ditempati oleh berdua. Belum lagi kakinya yang belum pulih, tentu akan bermasalah kalau aku memeluk dia sambil berbaring. Selain itu kurasakan ada sesuatu yang menghalangiku untuk melakukan itu, meskipun ada bagian lain yang menyuruhku untuk segera memeluknya. Tapi kalau dijawab "tidak", tidak tega rasanya untuk menolak permintaannya.
Akhirnya aku hanya mengulurkan tangan kiriku untuk mengusap bekas air mata di kedua pipinya. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya, sampai harus mengeluarkan air mata. Padahal tadi dia begitu ceria, senyumnya diumbar setiap saat. Dan berubah ketika aku mulai mengelap wajahnya dengan tanganku. Seperti ada ketidakstabilan pada jiwanya. Aku kini malah mengkhawatirkannya.
........................................
Mungkin karena tidak ada respon atas pertanyaannya, kulihat kemudian kedua matanya terbuka. Merah, dan masih ada sisa air mata di dalamnya, membangkitkan rasa iba dari dalam hatiku.
Dia bangkit duduk. Tanganku kemudian dipindahkannya ke atas pangkuannya. Untung ada selembar handuk yang menghalangi, kalau tidak tentu tanganku akan menyentuh bagian kemaluannya. Cepat-cepat kuangkat tanganku dari posisi itu, sebab aku merasa khawatir akan reaksi yang terjadi setelah itu, pada diriku atau pada dirinya.
"Hold me plis, A." suaranya terdengar lirih. Kali ini bukan pertanyaan, tapi sebuah permintaan.
Oke, pikirku. Aku kalah. Tak bisa menahan diri untuk mengikuti sebagian dari diriku. Terlalu lemah pertahananku, godaannya begitu kuat, sehingga permintaannya begitu sulit untuk tidak kupenuhi.
Aku bergerak ke belakangnya. Memeluknya dari belakang. Kedua kakiku mengapit pinggulnya.
Dia menyandarkan kepalanya di dadaku, membuat tubuhku terdorong ke belakang, sehingga aku bersandar di kepala dipan. Kurasakan punggungnya yang hangat menempel di perutku. Kulit dadanya yang kencang tapi halus, bersentuhan dengan kulit lenganku.
Aku diam tak bersuara. Entahlah.........., akupun tidak tahu persis, kenapa sejak bertemu Nicky hari ini, rasanya enggan sekali untuk mengucapkan sesuatu dengan lidahku.
Kulihat mata Nicky terpejam lagi. Kami terjebak dalam keheningan. Aku diam, dia pun diam. Hanya saja kurasakan tangannya begitu erat memeluk tanganku yang memeluk dadanya.
Teringat permohonanku kepada Tuhan beberapa hari yang lalu : "Ya Tuhan, bila kedekatanku dengan Nicky membawa banyak kebaikan untukku, maka dekatkanlah aku dengannya." Apakah ini sebuah jawaban dari Tuhan untukku, sebab pada saat ini Nicky bukan hanya dekat, tetapi dia betul-betul ada dalam dekapanku. Seperti tak ada batas di antara kami.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus diam terus? Menunggu dia mengucapkan sesuatu?
Aku mengenal Nicky sebagai orang yang irit dalam berbicara. Kalau belum terlalu akrab, atau tidak terlalu penting untuk berbicara, maka dia lebih suka menjadi pendengar saja. Jadi seharusnya aku yang bicara duluan. Tapi kok, berat sekali lidahku untuk mengucapkan sesuatu..............
Kini tanganku merasakan gerakan dadanya yang naik turun secara teratur perlahan, seiring dengan gerakan perutnya yang kulihat naik turun perlahan juga. Kulihat wajahnya dari atas................. Hmmmm........ rupanya dia tertidur. "Ga sopan banget...., aku setengah mati berpikir untuk membuka obrolan, malah ditinggal tidur.........."
Kucoba untuk menarik tanganku perlahan dari dekapannya. Tapi kurasakan tangannya yang kuat menahan gerakan tanganku, sehingga kubatalkan niatku untuk menarik tanganku. Ya sudah..........., kalau begitu aku tidur juga.
Mungkin ada pembaca bf yang membayangkan, tentunya gairahku timbul karena memeluk Nicky yang tak berpakaian sehelaipun. Ternyata itu sama sekali tidak terjadi. Padahal justru itu yang paling kukhawatirkan, sebab kalau itu sampai terjadi, tentunya Nicky sudah langsung merasakan apa yang terjadi pada diriku. Setelah kupikir lagi, ternyata itu bisa terjadi disebabkan oleh rasa khawatir yang cukup besar melihat kondisi fisik dan jiwa Nicky pada saat itu. Terutama setelah melihat dia menangis tanpa aku tahu penyebabnya.
Tidak tahu berapa lama aku tertidur, tapi kerasnya kepala dipan serta rasa pegal di tangan dan dadaku membuatku terbangun. Kakiku kesemutan, tidak enak rasanya diam terus dalam posisi seperti itu. Dan yang berasa paling tidak enak adalah, penuhnya kandung kemihku, menuntut untuk segera dikeluarkan. Terasa sakit sekali.
Tapi bagaimana caranya? Kulihat Nicky masih tertidur sambil mendekap kedua tanganku. Nyenyak sekali tidurnya, karena terdengar suara dengkur yang amat halus dan panjang keluar dari mulutnya. Huh, enak banget dia bisa tidur nyenyak seperti itu, sementara aku tersiksa karena pegal dan menahan kencing, pikirku.
Tak bisa menahan diri, akhirnya kucubit dadanya. Pelan, tapi kupikir cukup untuk membuat dia bangun.
"Aw!.... sakit, A!" katanya
Tapi bukannya bangun, tanganku malah lebih didekapnya lagi. Badannya bergerak sedikit, seolah memperbaiki posisi tidurnya.
"Bangun, Nick.., aku kebelet pipis nih...!!"
"Kenapa kamu tadi nangis, Nick?" Tanyaku setelah terbebas dari rasa sakit di kandung kemihku. Aku kembali duduk di belakangnya, karena dia memaksaku.
Tak kudengar jawabannya.........., yang kurasakan malah tangannya kian mempererat genggamannya pada kedua tanganku.
"Kamu aneh......." kataku akhirnya, setelah sekian lama menunggu jawabannya. Sedikit jengkel dengan kebisuannya. Kubiarkan nada jengkel mewarnai kata-kataku.
Tetapi dia tetap tidak menjawab. Kini yang kudengar malahan isak tangisnya lagi yang semakin lama semakin jelas. Sikapnya itu malah membuatku tambah tidak nyaman. Kenapa Nicky jadi cengeng begini? Seperti anak kecil yang susah berkomunikasi karena keterbatasan perbendaharaan kata, sehingga yang bisa dilakukan hanya menangis saja.
Akhirnya aku kehilangan kesabaranku, kukeraskan nada suaraku : "What's wrong, Nick? What have i done to you? Jangan bikin aku bingung gini, plis ............................ ngomong dong, Nick!"
Nicky tersentak mendengar nada suaraku yang tidak seperti biasanya. Kudengar dia menarik nafas panjang, sebelum akhirnya dia mengeluarkan kata-kata yang kunantikan sejak tadi.
"Aku ga yakin akhirnya bisa ketemu Aa lagi..."
"Aku ga mau kehilangan lagi, A." katanya terisak.
"Dua minggu ini aku ga tenang mikirin Aa terus. Takut Aa ga balik lagi." suaranya terdengar terbata-bata.
"Aku ga punya siapa-siapa lagi selain Aa." Genggaman tangannya tambah erat, seolah dia tidak ingin melepaskan aku.
"Tau ga A, ketika aku terbaring lagi sendirian di Rangkasbitung, aku seperti mengalami deja vu....., seperti dikembalikan lagi ke saat aku kehilangan semuanya.............."
"Saat itu aku ke Lamno untuk mencari keluargaku setelah tsunami...........
Aku berkeliling bekas kampungku untuk memeriksa mayat demi mayat, atau orang-orang yang kehilangan saudara, siapa tau ada saudaraku diantara mereka. Tapi aku tidak mendapatkannya satupun, biar mayat ataupun manusia hidup, semuanya tak ada yang kukenali."
"Berhari-hari aku melakukan itu. Setiap pagi aku bangun dengan sebuah harapan, akan menemukan minimal satu orang dari keluargaku. Tapi harapan itu semakin menipis setelah hampir dua minggu aku berkeliaran diantara mayat-mayat yang berbau busuk, atau berkeliling dari kem ke kem untuk meneliti satu persatu para penghuninya. Akhirnya aku pasrah, aku menyerah. Semua terasa mimpi, aku telah kehilangan orang-orang yang kucintai dalam waktu yang sekejap. Kuterima kenyataan itu dengan hati yang sakit. Banyak temanku terganggu jiwanya, karena kehilangan keluarganya. Aku tidak mau seperti itu, maka aku bertahan. "
"Di Rangkas, selama disana bayangan itu selalu muncul kembali dalam mimpi-mimpiku. Setiap pagi aku selalu terbangun dengan rasa takut. Aku takut sesuatu terjadi sama Aa, sehingga aku ga bisa ketemu lagi."
Kini aku mengerti kenapa dia menangis. Sama dengan kegalauan hatiku karena takut kehilangannya. Hanya saja aku tidak berani mengungkapkannya, karena ada sesuatu yang menghalangiku untuk melakukannya.
Lidahku kelu, tak ada satu pun kata yang terucap dari bibirku. Menyesal dengan nada kerasku tadi.
"Aku sudah ga punya apa-apa lagi, A. Rumah peninggalan orang tuaku dan ladang-ladangnya semua hancur oleh tsunami. Tidak jelas dimana lokasinya, karena sudah tersapu oleh gelombang laut. Aku sama sekali tidak dikenal oleh orang di kampungku, karena sejak kecil ikut nenek. Jadi tidak bisa ikut mengklaim tanah. Kalaupun dapat, aku tidak punya modal sama sekali untuk mengelolanya. Sementara rumah nenek sudah lama dijual semenjak kepindahannya ke rumah orang tuaku."
"Kuputuskan untuk kembali ke Banda Aceh, menumpang truk pengangkut ransum. Kulihat keadaan di Banda Aceh sama seperti di Lamno. Aku bingung harus pergi kemana lagi........ sehingga ketika ada teman mengajakku bergabung dengan sebuah LSM, kuiyakan saja tanpa bepikir panjang."
"Maka aku bergabung dengan sebuah LSM untuk menangani anak-anak Aceh pasca tsunami. Kuharap aku bisa menekan kesedihanku dengan cara itu. Setiap hari aku disibukkan dengan anak-anak yang selalu menangis karena teringat orang tua mereka. Bukan hanya satu atau dua anak, tetapi puluhan, bahkan ratusan. Sampai kemudian aku tidak tahan lagi, karena kesedihanku bukannya hilang, tetapi malah semakin bertambah. Akhirnya aku pindah bergabung dengan LSM asing selama dua tahun. LSM ini lebih banyak bergerak di pengadaan sarana-sarana umum untuk korban tsunami, jadi aku lebih banyak berhubungan dengan pekerjaan fisik daripada dengan para korban secara langsung."
Nicky terdiam........ Baru kusadari, bahwa selama dia bercerita tadi, matanya terus terpejam. Kuusap kedua pipinya dengan tangan kiriku untuk menghapus air matanya. Lalu kupegang kedua pelipis dan pipinya dengan kedua tanganku, sehingga kelopak matanya menjadi terbuka. Matanya merah, dan masih ada sisa air mata didalamnya. Tapi aku tidak mampu mengatakan apapun.
"Aku pernah disakiti oleh tentara ketika masih bergerilya, maka aku tidak terlalu percaya sama orang Jawa. Jadi aku sulit berinteraksi dengan mereka secara spontan, selalu ada perasaan negatif mendahuluiku sebelum aku mengenal lebih dekat orang yang berasal dari pulau jawa, termasuk Aa tadinya."
"Tau ga A....? Aa hadir seperti obat bagiku....., menyembuhkan rasa sakit yang berkepanjangan setelah bencana itu."
"Waktu Aa pergi ke Bontang, rasanya aku seperti akan kehilangan lagi......., traumaku muncul lagi, sampai-sampai aku marah kepada Tuhan, kenapa Engkau selalu mengambil orang-orang yang aku sayangi? Aku takut, aku takut sekali Aa ga kembali lagi ke sini. Apalagi kemudian aku kehilangan kontak dengan Aa. Gelisah sekali aku di Rangkas, ingin segera kesini, tapi kondisiku ga memungkinkan."
Akhirnya menetes juga air mataku mendengar ceritanya. Betapa jahatnya aku yang selalu berfikiran kotor, sementara dia membutuhkanku untuk menyembuhkan trauma jiwanya. Kupeluk dia lebih erat, aku berjanji dalam hati untuk selalu menjadi kakaknya. Aku berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkannya lagi dalam kesendirian.
"Aa mungkin ga ngerti perasaanku...., sorry ya A, aku terlalu cengeng."
"Aku ngerti banget, Nick. Bukankah perasaanmu seperti ini?" Aku mulai bersenandung. Sebuah lagu yang liriknya kuambil dari lagu latin, namun melodinya kukarang sendiri.
i wake up at dawn among ashes
i go shivering and can't even speak
i go dragging my wounds
but i don't even know where you are
being the air you breathe
being the owner of your love
Ending this silence that has broken my heart
I need to find you again
and to feel that my sea merges into your sky
and to huge you again until you are mine
your love is a labyrinth
a colour i cannot decipher
in my life there is a gap
an emptiness so difficult to fill
i lost you and didn't realize
that leaving you was a mistake
Today i die in the silence of this broken heart
i need to find you again
and to feel that my sea merges into your sky
and to huge you again until you are mine
............. until you are mine
{terbangunku di antara kabut fajar
menggigilku tak mampu berbicara
kuseret luka-lukaku
tetapi aku tidak tahu dimana kau berada
udara mana yang kau hirup
siapa yang menjadi pemilik cintamu
Untuk mengakhiri keheningan yang telah membuatku patah
ku perlu bertemu denganmu
dan merasakan leburnya samuderaku dalam lazuardimu
dan memberimu pelukan hingga kau menjadi milikku
cintamu bagaikan sebuah labirin
sebuah warna yang tak dapat kuurai
di dalam hidupku ada ruang hampa
sebuah kehampaan yang sulit untuk diisi
aku kehilanganmu dan ku tak menyadarinya
meninggalkanmu adalah sebuah kesalahan
Hari ini aku mati dalam kehampaan hati yang patah
Ingin ku bertemu denganmu
dan merasakan leburnya samudraku dalam lazuardimu
dan memberimu pelukan hingga kau menjadi milikku
............... hingga kau menjadi milikku}
Dia menangis sambil mendekap kedua tanganku.
"Jangan pergi lagi A."
Oh...Hi @bunny.blue salam kenal.....hehehe...
Unbelievable! I just can say that I really love this story.
Ow yeah, mr. @bunny.blue, how's about 'no country for gay man'?
Will u continuou that story?
Unbelievable! I just can say that I really love this story.
Ow yeah, mr. @bunny.blue, how's about 'no country for gay man'?
Will u continuou that story?
Indah nya sebuah karya... Salut buat bang @bunny.blue.... LOve your story... ditunggu ya kelanjutannya........