Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh
Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.
Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.
Cerbung : BAYU DAN TRISTAN
Hey Yo Boyz.... gw orang Gila baru llho (Ilangin kata "Gila" disitu dunkz). yang coba ngadu nazip nulis cerbung buat zezuap nasi. tapi gak ada nasi dizini.
Zo, kalo komen jangan yang pedaz-pedaz ya. zoalnye aku gak biaza makan cabe. kalo berkenan gue lanjutin. kalo dibilang Ztop!!!! yah aku ztop aja... ok? :oops:
zlamat menikmati!!!!!! chaoooo........... (mo kerja dolo, tuh boz liatin aku.. jangan-jangan dia nakzir aku lage... hue-hue
Comments
Bayu memandang sahabatnya yang berbaring di sampingnya di pantai itu. Tristan mengoceh sambil menunjuk-nunjuk tanpa menyadari Bayu yang tertawa-tawa menaghadapnya.
“Nanti kalo kamu udah bisa terbang… bawa aku terbang juga. Awas kalo kamu lupa!! Aku nggak akan ngasih permen lagi…”
Terlihat pesawat terbang melintas di langit. Tristan berdiri dan menarik tangan Bayu. Mereka berlarian di sekitar pantai.
“Heyyy… burung besi!!! Turun dong… aku dan Bayu pingin ikuuutttt…”
Tristan melambai-lambaikan tangannya sambil melompat-lompat kearah pesawat terbang itu. Bayu memandang keceriaan di wajah sahabatnya itu. Meskipun Tristan memiliki kecerdasan dibawah anak-anak seusianya tapi dia memiliki hati bagaikan seorang malaikat. Melihat hal itu bisa menyenangkan sahabatnya, dia ikut-ikutan berteriak.
“Iya… turun dong!!! Namaku Bayu…. Dia Tristan… kami boleh ikut kan?...” Bayu berteriak kearah langit yang menatap mereka bisu.
Tristan menatap wajah Bayu dengan cemberut. Bayu mengerti perasaan sahabatnya itu. Dirangkulnya Tristan yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Tiap hari teriak… mereka gak mau dengar…. Sombong sekali mereka. Nanti aku suruh bapak beli sepuluh burung besi kayak itu.. biar mereka ditabrak.. baru tau!...”
Bayu mengacak-acak rambut sahabatnya sambil memeluknya ke dadanya. Terdengar tangisan Tristan yang menyayat membuat Bayu tak sampai hati melihatnya.
“Kita kan cuman pake kolor… gimana mo ikut mereka? Malu-maluin saja… ntar mereka ketawain kita dong…” Kata Bayu menghibur.
Tangisan itu terhenti. Wajah menengadah itu memandang Bayu. Dia tersenyum.
“Hahaha… iya yah.. aku lupa.. ntar besok kita pake seragam sekolah aja…” terlihat keceriaan itu kembali di wajah Tristan.
Bayu menggandeng sahabatnya menuju rumah.
“Aku akan melindungi kamu, Tan… gak ada yang bakalan ganggu kamu selama aku ada. Aku akan selalu membuat kamu tersenyum, sahabatku…” Kata Bayu dalam hati sambil menggandeng Tristan lebih erat lagi.
“Tristan…Bayu… cepetan!!! Ngeloyor aja kerjaan kalian. Tuh kayu bakar udah habis, Bayu… sana ambil lagi….” Teriak Ibu Tristan. Bayu dengan tergopoh-gopoh mendekat.
“Maaf, Bu… nanti aku ambilkan. Permisi…”
Bayu segera berlalu dari Tristan dan Ibunya menuju ke gudang.
Bayu merupakan anak yatim piatu yang dipelihara oleh keluarga Tristan sejak kecil. Mereka mengambilnya dari seorang bapak yang berpakaian compang-camping yang menggendong anak kecil berumur sekitar 5 tahun. Karena Tristan juga berumur seperti anak itu, mereka mengambil Bayu agar bisa berteman dengan Tristan.
Keluarga Tristan begitu baik sekali bagi Bayu. Mereka memberikan kamar tersendiri bagi Bayu meskipun letaknya dekat gudang. Bayu juga mendapatkan pakaian layak bekas punya Tristan. Mereka memberikan makanan yang enak bagi Bayu setelah mereka makan.
Kini Bayu dan Tristan sudah berumur 13 tahun. Tristan selalu menganggap Bayu itu lebih dari seorang sahabat. Dia selalu memberikan apa yang dibutuhkan Bayu. Pernah sekali Bayu diberikan uang oleh Tristan untuk membeli sepatu di pasar karena sepatu Bayu sudah robek. Ketahuan oleh Ibu Tristan, Tristan dihukum tidak diberi makan malam itu. Dengan mengendap-endap, Bayu menyuap makanan ke Tristan yang menangis. Bayu tak akan pernah tega melihat tangisan Tristan.
“Kapan kapal datang lagi bulan ini, Yu….?” Tanya Tristan. Dia memang kurang tajam untuk menghitung.
Kapal kecil yang merupakan transportasi satu-satunya antara pulau itu dengan dunia luar hanya datang sebulan sekali. dan itu hari ini.
“Hari ini, Tan…. Kita ke dermaga yuk….” Ajak Bayu.
Mereka berlarian kearah dermaga yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Banyak sekali penumpang yang turun dari kapal kecil itu. Terlihat wajah Bayu yang menyiratkan sesuatu memandang dengan tajam kearah penumpang.
“Kamu menunggu orang tua kamu lagi, ya….??” Tanya Tristan sambil memeluk pinggang Bayu. Bayu terdiam sambil memandang kerumunan orang itu yang tentu saja tak akan peduli pada mereka. Tristan selalu melihat ekspresi wajah sahabatnya itu setiap kali saat memandang para penumpang yang turun tiap bulan. Kini para penumpang sudah berkurang. Tinggal satu-satu yang turun. Sebentar lagi kapal ini akan dipenuhi penumpang yang naik. Terlihat kotak-kotak buah-buahan hasil kebun petani di pulau ini.
Bayu memandang kotak-kotak kayu itu. Besarnya hampir sama tinggi dengannya. Bayu memandang Tristan. Dia ingin mengucapkan sesuatu tapi ucapannya terhalang oleh wajah polos Tristan yang memandangnya. Tristan mengerti pandangan itu.
“Kamu mau cari orang tua kamu, kan…?” Mata Tristan mendelik ke kiri kearah tumpukan kotak buah-buahan itu. Dia melepaskan pelukannya dari Bayu. Mendorong perlahan tubuh Bayu.
“Sana.. Tristan mengerti kok… ntar, kalo udah ketemu orang tua kamu. Kamu kesini lagi… pake burung besi…. Weeeeuuuwwww!! Asyik… bawa Tristan dari sini… ok??”
Bayu menelan ludah. Trsitan terlihat ceria sekali. ini saatnya, pikir Bayu.
“Aku akan meninggalkan pulau ini mencari ayah dan ibu. Setelah itu aku akan kembali kesini…” Batinnya.
“Iya… aku akan kembali dengan burung besi… tunggu aku ya..” kata bayu. Tristan memeluk sahabatnya itu erattt sekali. Bayu mencium pelipisnya sesaat setelah itu dia melepaskan pelukannya.
Bayu dengan mengendap-endap memasuki kotak kayu yang agak terbuka sedikit. Untunglah buah-buahan di kotak itu tidak terlalu banyak sehingga dia dengan mudah memposisikan tubuhnya di dalam kotak itu. Dari celah kotak kayu itu, Bayu melihat Tristan yang terus saja memandang kearahnya. Dari jarak seperti itu Bayu bisa melihat mata Tristan yang berkaca-kaca.
Tristan kemudian terlihat membalikkan badannya dan pergi menjauh. Tangan Tristan sekali-kali mengusap airmatanya yang tak berhenti turun. Bayu memandang sahabatnya yang telah hidup bersamanya selama bertahun-tahun. Keceriaan dan kesedihan mereka lalui bersama. Kini dia harus meninggalkan sahabatnya itu. Tanpa disadari Bayu, matanya berair. Mata yang selama ini tidak pernah menangis itu kini beair.
Bayu yang tabah, yang keras bagaikan batu karang di pantai itu, yang kuat bagaikan gelombang yang menerpa pantai itu menangis.. tapi tangisannya tidak terdengar tertutup oleh kotak kayu itu.
Tristan menatap kapal kecil itu yang menjauh dari dermaga. Matanya masih basah. Dia melambai-lambaikan tangan kearah kapal kecil itu.
“Selamat jalan, Yu…. Smoga kamu ketemu sama orangtua kamu… jangan lupa… balik lagi ngambil Tristan pake burung besi…”
Dia melambai-lambaikan tangannya. Sesekali mengusapkan kedua tangannya pada kedua matanya.
“Tristan janji gak akan pake kolor lagiii… Tristan akan pake seragam sekolah buat nunggu kamu….. aaahhhhh…. Kamu dengaaaarrr?? ” Teriaknya.
Tristan terduduk di pantai yang sepi itu. Hanya terdengar deburan ombak yang memecah di batu karang. Batu karang yang biasanya tempat mereka duduk berdua.
Terdengar suara angin berbisik. Yang menentramkan hatinya merelakan kepergian sahabatnya bersama kapal kecil yang semakin kecil menjauh.
“Aku nggak akan meninggalkan kamu, Tan…..” terdengar suara angin berbisik.
“Tapi kamu udah meninggalkan aku, Yu….” Bisik Tristan.
“Gak kok…. Aku disini….” Bayu berbisik di telinganya.
Terasa tangan hangat itu memeluk Tristan. Tristan berbalik kearah Bayu. Tak percaya apa yang dia lihat.
“Bayuuuu…” Tristan memeluknya erat. Sampai mereka berdua berguling di indahnya pasir pantai itu. Terdengar kembali keceriaan diantara mereka. Bayu dan Tristan.
- Bersambung -
Lanjut
“…. Biasanya kamu tuh suka maen bola.. tumben gak maen..”
Bayu menggeleng sambil tersenyum kearah Tristan. Tristan melihat tangan Bayu yang memegang sepatunya yang sudah bolong bagian depan. Kemuadian kearah kakinya.
“Ya ampun, Yu… kakimu lecet, ya…” Tristan mengangkat kaki kiri Bayu yang lecet kearah pahanya dan meletakkannya disitu. Ditiup-tiupnya jempol Bayu yang lecet itu. Bayu terdiam sambil memperhatikan Tristan.
“Nggak apa-apa kok, Tan… ntar juga sembuh..” kata Bayu.
Tristan mengambil sapuntangannya dan membungkus jempol kaki Bayu yang lecet. Tristan tersenyum puas.
“Udah… kamu bisa pake sepatu kamu lagi…”
“Makasih, Tan…aku maen lagi skarang…” kata Bayu sambil berdiri setelah dipakainya sepatunya lagi. Kini lebih nyaman.
Tristan melambaikan tangannya kearah Bayu yang sedang bermain. Bayu membalas dengan melambaikan tangan kearahnya.
Besok paginya Tristan mengetuk kamar Bayu yang sedang memakai pakaian seragamnya. Bayu membuka pintu.
“Akhh…!!” Seru Tristan sambil menutup matanya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang sepasang sepatu.
Bayu segera menyadari bahwa dia tidak memakai apa-apa kecuali kemeja yang baru dikancing bagian atasnya sehingga bagian bawahnya terlihat jelas. Dengan cepat ditutupinya dengan handuk.
“Sori, Tan… hehe.. ada apa, sih…?” Tanya Bayu.
Tristan mengulurkan tangan kanannya kearah Bayu. Kini dia sudah membuka matanya kembali. Kening Bayu berkerut.
“Kenapa sepatunya, Tan…..??”
“Kamu pake aja dulu… Aku bisa pake yang ini..” kata Tristan sambil menunjukkan sepatunya. Kelihatan besar sepatu yang dipakainya.
“Nih ambil…. Nanti juga aku minta Ibu beli yang baru di pasar..”
Dengan ragu Bayu menerima pemberian sahabatnya itu. Sepatu yang masih kelihatan baru.
“Makasih, Tan….”
“Udah… pake aja sana…. Ntar kan kamu maen bola… nah, …. kaki kamu jadi aman skarang… gak akan lecet lagi.. “
“Cepetan pake baju kamu….. ntar telat ke sekolah. Aku tunggu di luar…”
Di sekolah, Tristan bisa melihat kegembiraan sahabatnya yang bermain bola. Sesekali terlihat lambaian tangan Bayu kearahnya yang menonton.
“Bayu….” Panggil ibu guru yang membagikan hasil ulangan. Bayu maju kedepan mengambil hasil ulangannya.
“Tristan….”
Tristan melangkah dengan segan. Wajahnya kaku waktu mengambil hasil ujiannya.
“Pasti kamu dapet sepuluh lagi, kan….” Tanya Tristan kearah Bayu yang tersenyum.
Tristan menutupi hasil ujiannya dengan buku di meja. Pelan-pelan digesernya buku itu. Wajahnya tegang. Tangannya gemetaran.
“Delapan…. Delapan…. Delapan…. Ayooo… delapan….”
Bayu memandang sahabatnya. Keringat dingin mengucur di ubun-ubun Tristan. Masih digesernya perlahan buku itu.
“Aaaaakkkkhhhhh……. Tujuh lagiiiii…. Kenapa sih aku bodoh amat…” Tristan meremas rambutnya dengan keras.
Bayu mengusap punggung sahabatnya untuk menenangkan dia. Tristan memandang Bayu.
“Maaf ya, Yu….” Katanya.
“Lho…. Kok minta maaf..??” Bayu memandang Tristan dengan heran.
“Ibu janji padaku… kalo aku dapet nilai ulangan Delapan, aku akan dibelikan sepatu baru. Jadi aku mau ngasih sepatu itu buat kamu…. Gak jadi deh…”
Bayu tersenyum. Hatinya tersentuh dengan ketulusan sahabatnya itu. Pantasan terlihat Tristan belajar sepanjang malam beberapa hari ini. Ternyata karena ini….
“Aku nggak apa-apa dengan sepatu ini, tan…. “ kata bayu menghiburnya. Tapi Tristan masih menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
Siang itu sepulang dari sekolah mereka memancing di sungai dekat rumah. Sungai itu terlihat jernih menyejukkan. Panas terik siang itu membuat gerah. Tristan sudah mendapatkan beberapa ekor ikan, tapi Bayu belum satupun didapat.
“Kalo mancing aku kalah deh sama kamu, Tan….. jago banget kamu mancingnya…”
“Mujur aja, Yu….. entah kenapa ikan-ikannya pada mau sama umpanku…”
“Panas sekali ya…. Kita mandi dulu, Tan…” kata bayu sambil membuka kaos yang dipakainya. Kemudian celananya. Tristan membalikkan badannya ketika Bayu membuka celana dalamnya.
“Ayo, Tan… sini kita mandi bareng..” ajak Bayu.
“Iya… nanti aku nyusul…” Bayu melihat Tristan membuka kaosnya kemudian celananya. Kemudian Tristan menghadap kearah bayu yang sudah berendam setengah badannya. Tristan turun ke sungai.
“Kenapa nggak dibuka semuanya, Tan…. Ntar basah…” Seru Bayu. Tristan jadi gugup.
“Iya… kamu balik dulu sana…”
“Ihhh… kok malu….” Bayu membalikkan badannya sambil berendam.
Kini Tristan sudah bergabung dengan Bayu yang dengan riang menyiram kearah Tristan. Tristan membalas siraman itu. Mereka bermain gembira menikmati alam.
Suatu saat, Tristan menyelam dan tanpa sadar matanya melihat dengan jelas “milik” Bayu. Besar sekali,... batinnya. Nggak seperti punya dia yang kecil. Punya Bayu juga mulai kelihatan ada rambut yang tumbuh meski sedikit, sedangkan “milik” dia belum ada biar sehelai. Kenapa begitu, ya? Tristan kelihatan memikirkan sesuatu. Bayu menghampirinya.
“Kenapa, Tan….” Tanya Bayu.
Wajah Tristan memerah. Entah kenapa Tristan jadi ingin melihat Bayu telanjang seperti itu. Badannya tegap dengan warna kulit agak gelap. Kini dengan keadaan basah seperti ini, membuatnya kelihatan lebih gagah.
“Nggak apa-apa, Yu… yuk mandi lagi….”
Kini mereka mandi dengan riang di sungai itu. Mereka bermain tanpa menghiraukan hari yang semakin senja. Matahari menatap dengan cerahnya kearah mereka. Dua manusia tanpa dosa. Bayu dan Tristan.
- Bersambung -
kayak di pelem-pelem.
Lanjut
dah pengin tau kelanjutannya....
Seru sambil ngayalin gitu dehh hehehhe
Bayu menatap wajah cantik itu tanpa berkedip. Sementara Tristan sibuk dengan gambarnya. Tristan dengan serius menekuni gambar yang dibuatnya dengan sapuan pensil. Dia baru berhenti dan mengangkat kepalanya ketika seisi kelas jadi ribut berjabatan tangan dengan anak perempuan itu.
“Ada apa, Yu? “ Tanya Tristan polos sambil memandang Bayu disampingnya.
Bayu yang masih terpaku tak mendengar pertanyaan Tristan.
“Heyy…. Kok melongo? Ada apa?” Tristan menutup muka Bayu dengan buku gambarnya membuat Bayu segera tersadar.
“E-ehh.. apa Tan?” Bayu memandang Tristan.
Tristan memandang kearah anak perempuan itu yang berjalan kearah mereka. Ternyata anak perempuan itu mendapat tempat duduk di depan mereka.
“Kalian siapa?” tanya Andini kearah Bayu dan Tristan.
Dengan cepat bayu mengulurkan tangannya.
“Bayu…”
“Aku Tristan…” kata Tristan pelan sambil mengulurkan tangannya juga.
“Andini…” terdengar suara lembut anak itu.
Bayu masih memandang Andini meskipun hanya belakangnya saja. Tristan sudah sibuk kembali dengan gambarnya.
“Nggak maen bola, Yu…?” Tanya Tristan yang merasa aneh dengan sikap temannya yang biasanya sudah di lapangan bola saat bunyi lonceng istirahat.
“Hmmm… nggak, Tan… aku ada perlu sebentar dengan Andini..” jawab Bayu.
“Ooo.. yawda. Aku ke kelas sebelah ya.. mo ngembaliin komik Budi.” Kata Tristan sambil berlalu.
Sekilas Tristan melihat Bayu duduk di samping Andini.
“Kamu dari Jakarta, Ya?” Tanya Bayu memecah suasana. Andini yang menikmati roti yang dibawanya dari rumah, memandang Bayu sambil tersenyum. Andini mengulurkan kotak makanannya kearah Bayu.
“Makasih… aku udah…”
“Ambil aja atuh… cepetan jangan malu-malu..” Potong Andini.
“Kamu udah pernah ke Jakarta? “ Tanya Andini. Bayu menggeleng sambil menggigit roti pemberian Andini. Bayu menunduk sambil memikirkan sesuatu.
“Kamu pingin ke Jakarta?” Tanya Andini lagi.
Bayu mengangguk.
“Kalo kamu mau ke Jakarta. Ntar aku kasih petanya ke kamu biar gak kesasar..”
“Emang Jakarta itu besar, ya?” Tanya Bayu.
“Besar banget…. Banyak gedung2 yang tinggi. Trus kendaraannya juga sangat banyak… beda banget ama disini..”
Bayu masih terpana dengan cerita Andini. Mulutnya ternganga lebar.
Pulang sekolah, Bayu kelihatan mencari-cari seseorang.
“Nunggu siapa, Yu?” tanya Tristan dengan wajah polosnya.
“Anu.. aku nunggu Andini. Ada yang ingin aku tanyakan….” Jawab Bayu jujur.
Wajah Tristan berkerut memikirkan sesuatu. Tetapi kemudian wajahnya cerah kembali.
“Ooh.. kirain siapa.. kamu mau nanya Andini tentang orang tua kamu, ya? Iya.. kali aja Andini tau.. dia kan dari jakarta..” kata Tristan.
“Iya, Tan…”
“Kalo gitu aku nunggu kamu aja di pohon besar di persimpangan itu, Yu… sambil baca komik..” Kata Tristan menawarkan.
“Iya deh… tunggu aku, ya…”
“Siipp….”
Tristan mengancungkan ibu jarinya kearah Bayu kemudian membalikkan tubuhnya. Terlihat Andini keluar dari halaman sekolah.
“Andini… bisa aku nanya lagi?” Teriak Bayu kearah Andini.
Andini tersenyum. Ternyata anak ini masih penasaran dengan ceritanya tentang Jakarta, batin Andini.
Merekapun berjalan menuju kerumah Andini. Sementara hari semakin sore. Tristan yang sudah selesai membaca komiknya duduk di bawah sebuah pohon besar sesekali melihat kearah jalanan. Diambilnya ranting kayu kemudian diikatnya menggunakan akar pohon membentuk sebuah pesawat terbang.
“Wiuuwww…… Aku bisa terbang…..” ucapnya menirukan suara pesawat terbang. Tangannya diayunkan keatas kepalanya.
Hari mulai gelap. Bayu yang keasyikan mengobrol dengan Andini dan orang tuanya tidak menyadari hari semakin beranjak malam. Orangtua Andini menyukai kepolosan dan keramahan Bayu. Mereka menawarkan untuk membantu Bayu mencarikan orangtuanya, meskipun mereka tau, dari cerita Bayu itu saja tidak mungkin menemukan orangtuanya.
“Kamu bisa kesini lagi, nak Bayu… belajar bersama Dini..”
Terlihat kecerahan diwajah Bayu.
“Iya… terima kasih… saya permisi…”
“Eh… udah malam… nanti saya antar pake motor aja..” Kata papa Andini menawarkan.
Bayu diantar papa Andini dengan motornya. Sebenarnya mereka punya mobil, tapi kondisi daerah ini tidak memungkinkan mereka untuk membawa mobil kesini. Mobil mereka ditinggalkan di Jakarta.
“Sampai disini aja, pak… tuh rumahnya….” Kata Bayu sambil menunjuk kearah rumahnya.
Rumah kelihatan sepi. Ayah dan ibu Tristan belum kelihatan. Mereka menghadiri acara saudara mereka yang di kampung sebelah. Biasanya tengah malam baru mereka pulang.
“Tan… Tristan….” Teriak Bayu.
“Kemana dia, ya? Udah malam keluyuran… pinjam komik kali ke rumah Budi..” Batin Bayu.
Bayu membuka pakaian sekolahnya dan menggantungnya di dinding kamar dan menggantinya dengan celana pendek dan singletnya. Ia kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya. Bunyi “Kriett” selalu mengiringi gerakan tubuh Bayu. Pikirannya menerawang jauh ke Jakarta. Wajah Andini mulai terbayang. Senyuman Andini memang memikat hatinya. Bayu tersenyum-senyum.
Duar!!!
Terdengar suara petir diiringi hujan deras. Bayu merapatkan tubuhnya untuk menghindari rasa dingin yang mulai menusuk. Pikirannya kemudian menuju ke Tristan.
“Kenapa dia belum pulang? Udah jam segini…. Biasanya dia udah mulai belajar.. kenapa?”
Tiba-tiba Bayu terlonjak dari tempat tidurnya. Dengan cepat Bayu menerobos gelapnya malam yang kini bertambah gelap dengan guyuran air hujan. Tanpa alas kaki dia berlarian. Akhirnya dengan terengah-engah Bayu menatap sesosok tubuh yang meringkuk di bawah sebuah pohon besar. Tristan memandangnya dengan polos masih dengan seragam sekolahnya.
“Yu… itu kamu ya? Udah selesai ngomongnya ama Andini?” katanya bergetar karena kedinginan.
Tas sekolahnya diletakkan diatas kepalanya. Bibirnya terlihat membiru ketika cahaya petir menerangi mereka. Bayu menggigit bibirnya. Lidahnya tidak bisa mengeluarkan suara. Dadanya bergemuruh menahan segala rasa.
“Udah nanya tentang orang tua kamu, ya?” Tanya Tristan lagi dengan polosnya.
Bayu merengkuh sahabatnya ke pelukannya. Tristan yang kedinginan merasa hangat dengan pelukan Bayu.
“Kita pulang.. Tan..” Akhirnya keluar juga suara Bayu.
“Sini kugendong…”
Bayu membungkukkan badannya. Tristan yang heran dengan kelakuan Bayu akhirnya mau juga digendong Bayu.
“Asyikkk… udah lama gak digendong Bayu….” Teriak Tristan ditengah guyuran air hujan.
Bayu masih terdiam.
“Aku mau gendong kamu sampai kapanpun kalo kamu mau, Tan… kemana aja” batin Bayu.
Suara hujan malam itu bagaikan suara merdu ditelinga Tristan. Sementara ada air hangat yang merembes dari mata Bayu membaur dengan air hujan malam itu. Kegelapan malam akhirnya mengukir lagi sebuah kenangan bagi mereka berdua. Bayu dan Tristan.
- Bersambung -
lanjutin ceritanya yah..