It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku meneguk juice di café yang biasa kudatangi. Ada apa, ya? Kenapa Andi dan Roni memintaku kesini? Jangan-jangan Aggie juga kesini.. tapi ada hal penting apa? Aku kan harus siap-siap ke Rully. Mereka belum datang juga…
“Maaf, Je…. Kami telat…” Aku tersenyum kearah mereka. Tak ada Aggie bersama mereka.
Kulihat wajah Roni dan Andi begitu tegang. Terlihat kecemasan yang ditutup-tutupi.
“Kenapa, Ron… Ndi?..” aku bertanya segera sebelum mereka duduk.
“Apa lo melihat Aggie 2 hari belakangan ini…?”
Aku tersedak. Minumanku hampir tumpah. Hatiku jadi nggak enak. Aku memandang mereka.
“Dia menemuiku kemarin.. emangnya ada apa? Aggie kenapa??...” jantungku berdetak kencang. Tanganku memucat dan ku yakin wajahku juga.
“Tenang dulu, Je…. Nggak apa-apa… lo jangan pucat gitu….” Roni menenangkan aku. Aku menarik napas panjang.
“Aggie udah dua hari nggak pulang… Hpnya gak aktif.. dia keluar rumah ama motornya setelah bertengkar ama ortunya…” Andi menjelaskan.
“Mereka semua cemas banget… minta kami mencarinya. Kalo kemarin dia menuin kamu berarti dia gak apa-apa. Cuman…. Kemana dia? Dia ngomong apa ama kamu?....”
Aku menelan ludah.
“Dia bilang…. Dia….” Kataku terputus-putus.
“Dia bilang… kalo dia mutusin gak jadi tunangan ama Amelia, gitu? “ Tanya Andi.
Aku cuman mengangguk.
“Kenapa dia berubah pikiran gitu?... padahal dia sayang banget sama Amelia. Tapi dia bilang ke Amelia dan ortunya kalo dia punya seseorang yang dia sayang bangett… kenapa kita semua gak tau ya?? Siapa orang itu??..”
Tubuhku bergetar. Kakiku jadi tak tenang. Mana bisa aku katakan kalo orang itu…. Aku…. Kenapa, Gie…. Kenapa kamu gitu. Apa kelebihanku dibanding Amelia? Kalo kamu pria sejati… kenapa gak milih Amelia?
“Je… kita cari Aggie, ya…. Kita berpencar saja. Kalo ketemu, kita saling nelpon..”
Andi menyadarkan aku.
“Iya, Ndi… Ron… nanti aku kabarin kalo ketemu dia…”
Mereka dengan cepat menghilang dari pandanganku.
Kemana aku harus nyari kamu, Gie… setelah semalam aku menolakmu. Oohh… kenapa hal ini harus terjadi? Apa aku jadi sumber dari kejadian ini? Ah…. Maafkan aku, Tuhan… Ini bukan jalan yang kupilih..
Aku menelusuri jalan yang biasanya aku lalui bersama Aggie dulu. Tidak ada dia disitu. Di tempat taxi juga nggak ada. Tepi pantai semalam kami bertemu juga nggak ada. Aku jadi capek. Kemana dia? Kemana aku harus mencarinya? Dia nggak mungkin ke Heaven’s karena masih tutup..
Aku duduk di tepi pantai tempat semalam kami bertemu. Indah sekali cahaya matahari yang bagaikan tenggelam ditelan bumi. Warnanya keemasan dipadu warna orange kesukaanku. Andaikan saja aku bisa melihat suasana seperti ini selamanya… aku akan duduk selamanya disini..
Seorang anak kecil menyodorkan air mineral kepadaku. Aku mengambilnya dan memberinya uang lima ribuan selembar. Aku menolak menerima uang kembaliannya. Dia menatapku dengan matanya yang bening.
“Terima kasih, Kak….” Katanya. Aku membalas dengan senyuman. Dia duduk disampingku.
“Indah sekali yah kak… waktu matahari terbenam… kata kakek mataharinya kecapean seharian menyinari kita.. makanya dia tidur…”
“Iya, dik… sayang sekali kakak udah lama gak melihat matahari terbenam.. karena kehidupan kakak terbalik.. siang menjadi malam dan malam jadi siang…makanya kakak senang banget liat itu lagi.”
Anak kecil itu memandangku dengan heran. Aku tersenyum padanya sambil mengacak-acak rambutnya.
“Nanti juga kamu akan ngerti… kalo udah dewasa… udah ya… sampai jumpa..” Aku berdiri setelah mataharinya sudah lenyap dan hanya menyisakan sinarnya yang tak seberapa. Sebentar lagi hari menjadi gelap.. segelap hidupku…
Angin dingin mulai menerpa kulitku. Aku menelusuri kembali jalan dari kosan menuju Heaven’s. Aku sudah menelpon Mas Roy buat minta ijin dengan alasan ada hal penting mendadak. Rina dan Chika nggak mau menegurku di kosan. Aku tak tau kenapa mereka begitu terhadapku. Tapi pikiranku hanya tertuju pada satu hal. Dimana Aggie?? Apa dia marah terhadapku.. karena semalam kita tidak ngomong waktu dia ngantar aku pulang…
Ciiiiiiiitttttt!!!
Terdengar suara mobil ngerem mendadak mengagetkan aku. Oh, aku hampir ditabraknya…. Aku menelan ludah. Ternyata aku di tengah jalan. Aku menghadapnya sambil membungkuk meminta maaf… Ada apa denganku?? Aku terduduk di trotoar pinggiran jalan. Kakiku gemetaran. Aku memeluk lututku untuk menenangkan hatiku.
“Kamu mau cari mati, ya….??” Aku kaget lagi mendengar suara itu.
“Kalo kamu mati…. Aku ikut kamu…”
A… Aggie..!!! bibirku tak bisa mengucapkan nama itu. Dia di depanku diatas motornya.
Aku berdiri dan memeluknya. Aku membenamkan wajahku kedadanya. Dia membalas pelukanku. Tak peduli suasana malam itu yang begitu ramai. Tak peduli kata orang-orang yang lewat memperhatikan kami. Dia memakaikan aku Helm. Dia memakaikan aku jaketnya yang tebal sehingga aku merasa hangat. Aku memeluk tubuhnya dari boncengan. Aku berharap bisa memeluknya selamanya. Dia membawaku pergi entah kemana. Aku tak peduli… bawa aku, Gie… bawa aku menembus pekatnya malam.. menyibak dinginnya malam..
Kami berhenti di stasiun Bis. Ternyata disini dia beberapa hari ini. Kami duduk terdiam sambil memandangi para penumpang yang baru turun dari Bis. Aku memandang wajahnya yang terlihat pucat. Kasihan Aggie… pasti dia menderita beberapa hari ini. Aku menggenggam tangannya.
“Tadi Roni dan Andi menemuiku di café….”
Kulihat wajahnya ada sedikit perubahan. Dia memandangku dengan penuh tanya.
“Mereka menceritakan segalanya… soal kamu ngebatalin tunangan kamu… mereka seolah mojokin kamu , ya…?”
Aggie menggenggam erat tanganku. Tak ada suara terdengar.
“Aku tau… kamu gak salah.. seandainya mereka ada di posisi kamu… mereka juga pasti akan melakukan seperti yang kamu lakukan…”
Dia merengkuh pundakku. Aku bersandar padanya.
“Cinta emang gak pernah salah, Gie….”
Aku menatap wajahnya.
“Tapi cara pandang mereka beda sama cara pandang kita….. dimana-mana cinta kita tidak akan pernah diterima… apapun cara yang kita tempuh.. mereka akan tetap memandang kita salah… karena itu, waktu itu aku pingin kamu kembali pada ‘cinta yang sebenarnya’ menurut mereka.. dan bukan ‘cinta terlarang’ sepertiku..”
Aggie memeluk erat pundakku. Menarikku berdiri.
“Aku nggak peduli….. ayo kita pergi…” wajahnya jadi serius. Aku menarik tanganku dari genggamannya. Tapi dia terlalu kuat menarikku.
“Mau kemana kita, Gie…??”
“Ke rumah orang tuaku… biar mereka tau siapa yang kupilih… nggak ada yang bisa halangin aku..” suaranya bergetar.
“Apa kamu udah gila, Gie…. Lepaskan aku…” aku berusaha sekuat tenaga menarik tanganku.
Dia berhenti lalu memandangku. Orang-orang mulai memandang kami.
“Iya… aku udah gila… aku gila karena kamu, Ki…. Karena aku cinta kamu….” Suaranya yang keras membuat orang-orang mulai mengerti keadaan kami. Aku jadi malu sekali.
“Kita pergi dari sini… jangan bikin ulah, Gie…aku nggak mau masuk koran jadi berita utama….” Aku kini yang menarik tangannya menjauh dari kerumunan orang. Aku melihat wajahnya yang memerah kembali. Dia memandangku sambil tersenyum.
“Kenapa kamu senyum…? Puas kamu malu-maluin aku di depan banyak orang…??”
Kulihat dia masih tersenyum.
“Gila……” kataku.
Dia masih tersenyum. Aku berhenti di bangku panjang yang kosong di stasiun itu. Aku mendorong tubuhnya.
“Duduk disini… dan jangan bikin ulah!!! Aku mau beli minuman….” Aku menjauh meninggalkan Aggie yang duduk di bangku itu. Tak lama kemudian aku kembali padanya dan menyerahkan minuman kaleng ke tangannya. Tapi dia tidak meminumnya. Aku duduk diam disampingnya sambil memandang penumpang yang lalu lalang.
Di samping Bis yang diparkir terlihat turun seorang nenek yang menjinjing beberapa bungkusan. Dia kewalahan membawa bungkusan itu. Aku mendekati nenek itu.
“Mari nek kubantu… istirahat aja dulu disana.. “ aku menuntun nenek itu ke arah tempat duduk yang kududuki. Aku meletakkan bungkusan-bungkusan itu di samping nenek itu. Kulihat Aggie terdiam sambil memandangku.
“Kenapa bepergian sendiri, nek…? Kenapa nggak ajak keluarga?” tanyaku.
“Nenek baru dari ngunjungi anak. Skarang pulang lagi kesini… sudah biasa.. tiap enam bulan sekali..” kata nenek itu.
“Wah…. Nenek hebat ya… kemana-mana sendiri… nenek mau minum?” Aku mengambil minuman dari tangan Aggie yang hanya dipegangnya dari tadi. Kulihat wajah protesnya, tapi aku tak peduli.
“Nih minum… pasti haus…” aku meletakkan minuman itu di tangannya. Nenek itu meminumnya. Kasihan dia haus…
“Makasih…. Wahhh jadi segar enak lagi …. Hehehe..” terlihat gigi nenek itu yang ompong. Kulihat Aggie tertawa sambil menutup mulutnya. Aku melototinya.
“Apa??.. ketawa..” Kataku kearah Aggie.
“Trus… mo pulang gimana?... kan banyak bungkusan…” tanyaku pada nenek lagi.
“Tenang saja…..” kata nenek itu. Dikeluarkannya sesuatu dari saku bajunya. Sebuah HP? Gile nih nenek… canggih!!
“Aku telpon anakku yang satunya lagi… sebentar…” dia menekan tombol Hp itu. Kemudian terdengar percakapan serius nenek itu dan anaknya. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang nggak gatal. Aggie masih menutup mulutnya dengan tangannya. Aku mencubit lengannya. Aggie menghindar.
“Udah, nak… anakku udah di jalan… lima menit lagi sampe katanya…”
Aku memandang nenek itu dengan takjub.
“Ya udah, nek… kalo udah sampe rumah telpon gue ya… atau SMS aja…” kataku becanda.
“Nomer kamu….?” Nenek itu memegang Hpnya kembali. Aku memandang Aggie yang kini terbahak-bahak. Kini cubitanku telak di lengannya. Aggie meringis. Aku belum melepaskan cubitanku.
“Ahhhh….. sa..kitt… Ki…” Rintih Aggie pelan. Aku nggak peduli.
“Simpan yah nek…. 081523824010… udah??” tanyaku pada nenek itu.
“Beres!!…. Nama kamu?”
“Kiki, nek… “
“Punya email?” tanya nenek itu. Hampir saja pingsan aku mendengarnya. Cubitanku terlepas. Aggie sedikit menjauh. Kudengar cekikikannya lagi. Aku memandang nenek itu. Apa dia serius?
“beneran nih, nek..?? nenek suka internetan?....”
“Iya…. Diajarin cucu nenek.. dia ngajar nenek chatting sama anak nenek yang di Amrik. Makanya nenek bisa… punya email, kan?”
“I-iya nek.. [email protected]..”
“Itu alamat YM juga yah?....”
“I-iya….” Lemas sudah kakiku. Kulihat Aggie nggak lagi memegang mulutnya, kini dia memegang perutnya.
“Nek… temanku ini cakep, gak?...” Aku menarik tangan Aggie menghadap nenek itu.
Nenek itu memandang dengan seksama dari ujung rambut sampe ujung kaki Aggie. Kulihat Aggie merinding.
“Lumayan… tapi cucu aku lebih cakep… mau liat? Nih….” Nenek itu menunjukkan sesuatu dari Hpnya. Kulihat sebuah foto close up seorang cowok yang cakep.
“Wahh…. Cakep abis nek…. Kenalin sama aku yah… kasih aja emailku…” Kurasakan pinggangku sakit mendadak. Aku dicubit Aggie.
“Aww…. Knapa sih??.. gak mau liat orang senang aja…” Kataku kearah Aggie.
“Tuh anakku udah datang….. “ Nenek itu menunjuk seseorang bapak yang datang menghampiri kami.
“Sampai jumpa yah, nek….”
Bapak itu tersenyum kearahku. Aku membalas senyumnya.
“Nanti nenek ngirim email……!!” teriak nenek itu.
Aku mendekat kearah Aggie dan meninju lengannya. Dia tersenyum kearahku.
“Awas kamu…. Yuk cari makan… udah lapar…” Aku menariknya berdiri. Aggie memeluk pundakku. Kami berjalan menelusuri sepanjang stasiun Bis itu bersama. Malam masih panjang….
lo bisa memainkan emosi pembaca melalui cerpen lo
ttp nulis
pasti gw baca selalu karya lo!
smangat!
u never will be alone
pgn nangis dari tadi
“Mana bisa kenyang kalo kamu cuman makan tahu sama pisang goreng, Ki….”
“Udah kenyang, kok…” kataku sambil mengelus perutku.
“Emang porsiku cuman segini… gak kayak kamu tuh.. nambahnya sampe 3 kali..”
Aggie tertawa.
“Maklumlah, Ki… udah dua hari gak makan beneran kayak gini…”
“Hah..??” keningku berkerut.
“Kalo makan sama kamu… jadi pingin makan banyak…”
“Iya deh… asal jangan piringnya sekalian kamu makan…” gurauku.
Sesuatu tiba-tiba terlintas di pikiranku.
“Gie,…” kataku pelan sambil meletakkan penggalan pisang goreng di piring.
Aggie mengangkat kepalanya menatapku.
“Apa gak sebaiknya kamu hubungi keluarga kamu… atau setidaknya, telpon Andi dan Roni… biar mereka nggak kuatir..”
Dia tertunduk kembali. Menatap gado-gadonya yang masih setengah piring. Aku tahu dia mencerna sesuatu dari perkataanku. Aku menambah air minum di gelasnya dan menyodorkan kearahnya. Aggie mengambil gelas dari tanganku dan meneguknya beberapa tegukan. Kemudian dia kembali menatapku. Aku melihat seuntai senyum di bibirnya dan aku tahu itu merupakan suatu persetujuan darinya. Aku menghubungi Andi.
“Halo, Je… gimana? Udah ketemu?” Tanya Andi di telpon.
Aggie kulihat kembali menyuap gado-gado ke mulutnya.
“Udah, Ndi….” Kataku pelan.
Terdengar nada seruan kekagetan di telpon.
“Aggie baek-baek aja… dia lagi makan sama aku…” sambungku sambil menatap Aggie. Aggie masih menunduk menikmati gado-gadonya.
“Aku mau ngomong ama dia, Je…” Kata Andi.
Aku menatap ke arah Aggie meminta persetujuannya. Aggie manatapku sambil mengulurkan tangannya. Aku mengulurkan HP-ku kearahnya. Kulihat sudah ada lagi saos disekitar mulutnya. Aku membersihkan mulutnya sebelum dia ngomong di telpon.
“Halo, Ndi….” Sapa Aggie di telpon.
Aku berdiri menjauh. Biarlah Aggie yang menyelesaikan masalahnya sendiri.
“Aku lagi sama Kiki…. Eh.. Jeje, maksudku…” Aggie memalingkan wajahnya kearahku. Aku pura-pura tidak mendengar percakapannya. Aku membuang pandanganku jauh-jauh kearah jalan raya.
“Maafin aku, Ndi… tapi aku benar-benar gak mau tunangan sama dia… aku udah bilang gitu ke mama dan papa..”
“Apa? Amelia sakit?..” seru Aggie.
Aku terdiam menahan napas.
“Aku udah jelasin kepadanya kok… Amelia udah ngerti..” kata Aggie lagi.
“Alasanku? Karena….” Aggie menatap lagi kearahku. Aku kini balas menatap matanya.
“Aku mencintai sesorang….. aku gak ingin kehilangan dia apapun yang terjadi..”
Kurasakan gejolak dalam dadaku. Aku kembali menatap kearah jalan raya yang sudah mulai sepi dari kendaraan yang lalu lalang.
“Kalian mengenalnya, Ndi…” Kakiku gemetar mendengar perkataannya. Jangan sebut namaku, Gie… jangan permalukan dirimu… jangan pertaruhkan harga dirimu demi keberadaanku…
“Dia Kiki… die Jeje…”
Lemas sudah kakiku yang tadinya berdiri tegak. Kini aku terduduk di pinggir jalan itu. Aggie mengakui keberadaanku sebagai kekasihnya… dia tanpa rasa malu mengakui aku? Dia membuang harga dirinya demi aku?
“… aku nggak gila, Ndi… Aku bahkan bakalan gila kalo aku gak bisa bersama Kiki… dia hidupku..”
Berair sudah kedua mataku mendengar pengakuan itu. Pengakuan yang bisa membuatku menukarnya dengan napasku. Dengan hidupku…
Tak terdengar lagi percakapan antara Aggie dengan Andi. Aku mendekati Aggie lagi. Kulihat dia kembali menyantap gado-gadonya yang tinggal sedikit. Masih terngiang ditelingaku pengakuan itu. Aggie mengangkat kepalanya ketika piringnya sudah kosong. Dia tesenyum lagi kepadaku. Kulihat senyum itu tanpa beban apa-apa lagi. Wajahnya lebih cerah dari biasanya. Matanya kembali bening seperti dulu lagi…
i'll be waiting everlasting like the sun
BRAVO!
q i miss u so much...
where are u now?
Mule dr pnyanya bang remy
n nie nemu pnyanya qq(bru tw q da pengarang bagus slain remy,bunnyblue,indokoko, dage ahong)
pa krn karangannya dikit2 jd jarang keangkat lama ditop index yach..
Well critanya bener2 bagus(walopun kagak nyata kyk pengarang laen, beneran gag real kan ni crita??)
muncul lg y0w qq
Tapi gw agak bingung,d kehidupanku-2 kt na kiki menang atas andre,trus ko d fallen butterfly ko kiki gak ma andre?
Trus kapan donk kiki bahagia?
Masa menderita n kehilangan trus?
Tp salut qq bs memainkan emosi dh
Napa kiki bs s4 lupa ma aggie?