It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dilanjut dong ceritanya. Lagi di jkt kan?
THE TRY-OUT (MY SIDE OF STORY)
SUDAH seminggu ini ada kejadian aneh. Entah mengapa sekarang ini Oppie lebih banyak bergabung dengan aku dan Inge daripada bersama Dewi. Sikapnya yang berusaha menjauh dari Dewi dan kawan-kawannya sangat kentara. Contohnya seperti hari ini. Sepulang sekolah aku dan Inge bersama Inong dan Evi sedang berada di sebuah tempat fotokopi yang letaknya tak jauh dari pinggir jalan masuk ke komplek sekolah. Saat itu kami sedang mengkopi beberapa latihan soal ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional: semacam UAN) untuk latihan bersama. Tak berapa lama, aku melihat Oppie menarik-narik lengan Sonny Pakpahan menuju tempat kami berkumpul.
"Lagi fotokopi apa?" tanya Oppie pada Inong sementara Sonny Pakpahan yang merasa tidak rela diseret-seret seperti tadi terlihat ketus.
"Soal ebtanas tahun kemarin..." kata Inong.
"Gue mau dong, fotokopiin ya?" pinta Oppie.
"Tunggu ya...? agak lama.. soalnya elu bilangnya telat!" sahut Evi galak. Oppie tidak marah, dia malah nyengir. Kemudian sesekali dia menoleh ke arah jalan raya seperti sedang mengawasi seseorang sementara tangannya gelisah mengetuk-ngetuk kaca counter.
"Ada apaan sih?" tanyaku penasaran sambil ikut memandangi arah yang di lihat Oppie.
"Enggak... enggak ada apa-apa..." Jawab Oppie kembali nyengir.
AKhirnya giliran Oppie yang fotokopi. Tiba-tiba dari arah pinggir jalan agak jauh dari tempat fotokopi, aku mendengar Sarah memanggil-manggil Oppie.
"Oppie! ke sini! pulang sama-sama...!" panggil Sarah.
"Gue lagi fotokopi! pulang duluan aja!" tolak Oppie sambil berteriak.
Baru aku sadari yang sesungguhnya terjadi saat aku melihat Dewi berdiri di samping Sarah dengan wajah kecewa menatap Oppie. Akhirnya mereka berdua naik angkot lebih dulu. Sekilas tadi aku merasa Oppie seperti habis menarik nafas lega walau berusaha disembunyikannya.
***
"Apaan nih?" tanyaku saat Inge membuat beberapa lembar karton berserak di meja.
"Undangan ikut tryout ujian Ebtanas," sahutnya.
"Di mana?"
"Di GOR Senayan. Ikut, yuk?" usulnya.
"Hmm... boleh juga. Ajak aja yang lain supaya bisa ramai-ramai. Eh, kenapa warnanya beda?" tanyaku ketika melihat beberapa karton berwarna putih, berbeda dengan yang lain yang berwarna kuning tua.
"Itu.. beda tempat. Kayaknya lokasi try outnya di tribun yang berseberangan," jelas Inge.
"Loh, kok bisa?" tanyaku.
Inge mengangkat bahu. "Enggak tahu, mungkin gue kurang cepet dapatnya jadinya dapat sisa-sisanya."
Kuperiksa dengan seksama kedua jenis undangan itu. Tertera nama lembaga pendidikan yang menyelenggarakan acara ini, lalu waktu dan tempat acara tersebut dilakukan.
Selain wananya yang berbeda, ternyata ada semacam cap tinta di salah satu sudutnya untuk menunjukkan lokasi tribun tempat tes berada.
"Tribun sembilan sama tigabelas?" tanyaku.
"Iya. Kayaknya letaknya berjauhan. Itu yang tribun tigabelas sisa tiga undangan aja," ujar Inge.
"Jadi gimana? siapa dapat yang mana?" tanyaku.
Inge terdiam. Kemudian dia duduk mengamati undangan itu. Dan mulai memisahkan beberapa karton undangan warna kuning dan menuliskannya dengan pensil.
"Ini buat kita berdua," ujarnya seraya menuliskan nama Remy dan Inge di belakangngya.
"Lalu, ini buat Novel, karena dia yang punya mobil. Kita butuh transportasi ke sana, kan?" lanjut Inge meminta persetujuanku.
Aku mengangguk setuju.
"Terus buat Nurhayati, dan terpaksa Oppie pisah dengan kita..." lanjut Inge lagi sambil menuliskan nama-nama teman kami.
Aku agak kecewa dengan urutan itu. Artinya, aku, Inge, Novel, dan Nurhayati berada di tempat yang sama, sementara Oppie terpaksa berada di tribun lain yang jauh. Padahal hati kecilku ingin supaya Oppie bisa duduk satu tempat dengan kami. Akupun yakin Inge menginginkan hal yang sama karena sepertinya dia naksir Oppie. Berarti ada sisa dua undangan lagi yang belum terpakai.
"Elo berdua lagi apa?" tanya sebuah suara di belakang kami.
Ternyata Sarah dan Dewi sudah berada di situ dan memerhatikan kami berdua sedang mengurus undangan ujicoba try out.
"Oh, ini... undangan try out di Senayan. Kalian mau ikut?" tanya Inge. Mungkin dia bermaksud basa-basi, tapi rupanya Sarah dan Dewi malah menerima tawaran tersebut setelah keduanya saling berpandangan.
"Mau! kita berdua ikut ya!" ujar Sarah antusias.
Aku melotot kepada Inge. Inge membalas dengan tatapan 'mau bagaimana lagi?' sambil mengangkat bahu.
Setelah keduanya pergi, aku dan Inge kembali membahas undangan yang ada.
"Jadi.. sisa di tribun tigabelas ini buat..." kataku sambil memandang tiga karton berwarna putih.
Sebenarnya aku lakukan itu untuk memancing Inge yang kupikir tidak menyukai Dewi yang dianggapnya menghalangi usahanya mendekati Oppie. Dan sepertinya usahaku berhasil. Tiba-tiba Inge mengambil penghapus pensil dan dengan gemas menghapus nama Nurhayati pada karton kuning dan menggantinya dengan nama Oppie. Sementara itu, karton putih yang bertuliskan nama Oppie digantinya dengan nama Dewi.
"Gue enggak suka sama Dewi. Lebih baik dia jauh-jauh aja dari kita, sori ya, Nur.. gue mau jahilin Dewi supaya enggak deket sama gebetannya," gumam Inge.
Aku sekuat tenaga menahan tawa.
***
Sudah pukul setengah delapan dan kami baru saja tiba di Gelora Senayan. Aku meraih ranselku yang berisi papan alas, pensil 2B, dan buku catatan kosong. Terus terang, aku tak memiliki persiapan apapun untuk tes tryout ini karena aku ingin menguji diriku sendiri, berapa nilai yang akan aku peroleh jika sama sekali tak belajar dan hanya mengandalkan ingatanku selama ini.
"Pie.. bangun!" ujar Inge sambil mencoba membangunkan Oppie yang tertidur di pojokan mobil.
Oppie kemudian gelagapan dan terbangun. Dia lalu mengusap-usap wajahnya yang memerah agak berkeringat lalu mengambil tasnya.
"Yang lain pada nunggu di mana ya?" tanya Nur yang mencari dua teman tryout-nya yang sama-sama berlokasi di tribun tigabelas: Dewi dan Sarah.
Panjang umurnya! Dua orang yang dibicarakan Nur datang menghampiri kami. Aku melirik ke arah Oppie dan sepertinya dia menjadi salah tingkah dengan kehadiran Dewi dan Sarah.
"Hei! dianterin siapa, lu berdua?" tanya Novel ceplas-ceplos.
"Bapaknya Dewi. Tuh.." kata Sarah sambil menujuk sebuah mobil Kijang biru gelap yang diparkir agak jauh dari tempat kami.
Aku memerhatikan Dewi yang berusaha menangkap basah mata Oppie yang sedari tadi menghindari untuk melihatnya. Oppie semakin salah tingkah. Aku kemudian berdeham untuk mencairkan suasana.
"Ehm, kayaknya udah mau dimulai nih. Lebih baik kita ke tempat masing-masing.." usulku.
Kemudian Novel, Inge, dan Oppie menyusulku pergi meninggalkan tiga gadis itu.
"Nanti ketemuan lagi di sini ya?" pinta Nur yang tampaknya tak rela untuk pergi berpisah dari kami dan terpaksa bergabung dengan Sarah dan Dewi.
***
Acara ujian tryout dimulai. Rangkaian ujian yang hanya mengujikan mata pelajaran berhitung Matematika, Fisika, dan Kimia ini dibuka dengan sambutan dari Mbak Tutut atau Siti Hardiyanti Indra Rukmana, anak dari Presiden Soeharto yang aktif dalam bidang kepemudaan. Tampaknya tak banyak yang memerhatikan beliau berpidato dan memilih untuk langsung mengerjakan soal yang dibagikan panitia termasuk diriku.
Kepalaku panas setelah mengerjakan soal-soal hitungan tersebut. Aku lalu menyerahkan seluruh lembar jawaban kepada panitia ujian yang jalan berkeliling dan mengajak teman-temanku keluar.
"Panas banget!" ujar Novel sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan papan alas. Kami berempat sudah kembali ke parkiran tempat mobil Novel berada.
"Aduh, lapar nih gue.." kata Inge sambil melirik arloji merah mudanya yang bergambar Hello Kitty. Saat itu memang sudah lewat dari jam satu siang. Perut kami semua keroncongan.
"Nyokap gue bawain nasi bungkus, tapi gue yakin enggak akan komplit tanpa minuman dingin. Rem! anter gue beli es kelapa yok?" ajak Novel.
Aku mengiyakan ajakan Novel. Dia kemudian menyuruh Oppie dan Inge menunggu di mobilnya sementara kami berdua membeli beberapa bungkus es kelapa.
Ketika kami kembali, aku melihat Inge sedang terisak. Di depannya ada Oppie yang menatapnya marah. Tak jauh dari mereka berdiri Nurhayati, Dewi dan Sarah.
"Eh.. ada apaan nih? kenapa?" tanyaku heran ketika melihat Inge menangis.
Oppie mendelik sewot ke arahku. Perasaanku menjadi tak enak. Kulihat Oppie menggenggam karton warna putih. Aku langsung melirik pada Dewi dan Sarah. Entah mengapa aku merasa mereka sedang membuat ulah dan berakibat pada kemarahan Oppie.
"Elo kayak anak kecil aja, Nge!" hardik Oppie.
Aku yang ikut tersulut emosinya, langsung mendorong bahu Oppie. "Enggak usah ngomong gitu sama cewek!" sahutku.
Oppie terdorong beberapa langkah lalu terdiam. Dia menatapku marah. Tak kusangka Oppie dengan cepat menghambur ke arahku dan memberikan pukulan dengan tinjunya tepat pada rahangku.
Kudengar Inge, Nur, Sarah dan Dewi menjerit.
***
SUDAH Berhari-hari ini aku berusaha sekuat tenaga untuk menghindar dari Dewi. Sepertinya pembicaraan kami di rumah Dewi mengenai status hubungan kita saat menjenguknya tempo hari tak digubrisnya. Dia tetap menganggap aku sebagai pacarnya. Ini yang membuatku susah. Ke mana-mana Dewi selalu menempel padaku. Ke kantin, perpustakaan, kelas, mushala, mungkin hanya ke WC saja Dewi tak mengikutiku.
Itulah sebabnya, aku memilih untuk dekat-dekat dengan Remy dan kelompoknya kembali. Entah mengapa Dewi agak sungkan dengan Remy. Mungkin karena dia pernah memanfaatkan Remy untuk mendekatiku sehingga dia merasa bersalah. Entahlah. Aku juga terkadang heran dengan sifat Remy. Bisa dibilang anak itu susah didekati walau pembawaannya ramah. Sejak dia merasa dimanfaatkan oleh Dewi, walau sepertinya dia sudah melupakannya (dibuktikan dengan ikutnya dia menjenguk Dewi saat sakit), tapi sepertinya dia membangun benteng tak terlihat dengan sifatnya yang jutek terhadap Dewi dan Sarah seolah-olah dia akan siap menerkam kedua cewek itu jika berani dekat-dekat dengannya.
"Cepetan kenapa!" desisku galak pada Sonny yang jalan bersamaku saat pulang sekolah.
"Kenapa elu enggak bareng sama Dewi aja sih? Noh! dia udah ngejar elu noh!" protes Sonny Pakpahan sambil melirik ke arah belakang.
Rupanya Sonny benar. Dewi dan Sarah berjalan tergesa-gesa hendak menyusulku. Kalau begini caranya, aku terpaksa harus bareng kembali dengan mereka naik angkot yang sama.
Di ujung jalan sekolah, aku melihat Remy dan kawan yang lain sedang berada di kios tempat fotocopy. Aku menyeret Sonny Pakpahan menuju tempat fotocopy. Walau heran dengan kehadiranku, tapi mereka membiarkan aku ikut ambil bagian dalam memfotocopy soal-soal ujian ebtanas tahun lalu. Dengan cemas aku melirik ke arah pinggir jalan mencoba mencari sosok Dewi dan Sarah.
"Ada apaan sih?" tanya Remy penasaran sambil ikut memandangi arah yang kulihat.
"Enggak... enggak ada apa-apa..." Jawabku sambil nyengir.
"Oppie! ke sini! pulang sama-sama...!" panggil Sarah.
Sial! rupanya mereka berdua tahu keberadaanku.
"Gue lagi fotokopi! pulang duluan aja!" aku berteriak menolak ajakan mereka.
Setelah mereka berdua naik angkot, aku bisa bernafas dengan lega.
***
"Apa nih?" tanyaku.
"Itu undangan tryout Ebtanas. Tapi yang diujikan cuma Matematika, Fisika, sama Kimia aja. Di GOR Senayan. Mau ikut?" jelasnya.
"Erm.. siapa aja yang ikut?" aku bertanya sambil membetulkan letak kacamata dan mengamati karton itu.
"Gue, Remy, Novel, Nur, sama... umm.. Dewi dan Sarah," kata Inge ragu-ragu menyebut dua nama terakhir.
Aku sebenarnya malas ikut ketika mengetahui dua nama terakhir yang disebut oleh Inge itu ternyata ikut juga. Mungkin Inge juga merasa demikian, itu sebabnya dia buru-buru melanjutkan.
"Kita berangkat bareng pake mobil Novel, Pie. Soalnya undangannya terbatas, jadinya... Sarah sama Dewi yang telat konfirmasi jadi enggak satu tempat sama kita. Maaf ya?" ujar Inge.
"Loh, kok minta maaf?" tanyaku.
"Karena elo enggak bisa satu tempat ujian sama Dewi," ujar Inge lugas.
Aku terdiam sambil kembali memegang-megang karton undangan itu menimbang-nimbang apakah aku harus ikut atau tidak.
"Gimana? kalau enggak mau ikut, undangannya mau gue kasih ke yang lain," tanya Inge.
"Eh, ikut.. ikut.. kabarin gue janjiannya di mana ya?" jawabku buru-buru.
***