It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
SANG MUADZIN (Part II)
Memenuhi janjiku pada Nina, Sabtu pagi jam sepuluh aku sudah mengendarai motorku di jalan raya Jakarta-Bogor. Sengaja aku memacu kendaraan agak lambat ketika tiba di daerah yang kuperkirakan menjadi tempat tinggal Abdul Rozak. Setelah aku merasa telah menemukan alamat yang kucari, segera kupinggirkan motorku di sebuah halaman rumah tepat di pinggir jalan raya.
Menurutku bangunan ini tidak bisa disebut rumah sepenuhnya karena sebagian besar terasnya telah diubah pemiliknya menjadi semacam ruangan etalase toko bahan bangunan dan halamannya yang luas telah berubah menjadi tempat penyimpanan barang-barang bangunan tersebut khususnya yang berukuran besar seperti tanki air, gundukan pasir dan tumpukan batu-bata.
Aku kemudian memberanikan diri bertanya pada seorang pria yang sedang sibuk menggulung bentangan kawat berukuran besar, karena karyawan lainnya berada dalam toko sedang sibuk melayani para pembeli.
"Permisi kang, numpang tanya?" sapaku pada pria itu.
"Ya?" tanyanya seraya menghentikan pekerjaanya menggulung kawat.
"Ng.. Abdul Rozak masih tinggal di sini?"
"Pak Rozak? Oh.. dia udah enggak tinggal di sini lagi pak, di sini tinggal ibunya saja sama adiknya yang ngurus toko." jawab pria itu ramah.
Mendengar jawabannya aku lemas putus asa karena walaupun dia tahu alamat Abdul Rozak sekarang, itu berarti aku harus mencarinya lagi dari awal.
"Dia tinggal di seberang Pak! dia punya toko elektronik, tuh.. tokonya yang cat hijau. Kayaknya sih orangnya ada." tambah pria itu sambil menunjuk sebuah bangunan tepat di seberang jalan toko bahan bangunan ini.
Aku kembali bersemangat dan dengan berseri-seri aku mengucapkan terima kasih pada pria itu dan bergegas menyebrangi jalan raya dengan motorku.
****
Setelah memastikan bahwa memang benar toko elektronik ini milik Abdul Rozak, aku dipersilakan penjada toko itu untuk masuk ke halaman belakang. Dibelakang toko itu terdapat sebuah rumah yang berukuran tidak terlalu besar namun terlihat nyaman dengan puluhan pot tanaman yang tertata apik baik yang tergantung maupun yang berderet di teras.
Aku menunggu sang tuan rumah membukakan pintu setelah aku mengucap salam. Ternyata Rozak sendiri yang membukakan pintu untukku. Dia sedang menggendong seorang anak perempuan lucu berusia kira-kira satu tahun yang sedang tertidur di bahunya. Aku mengenali raut wajahnya namun kini Rozak tampak jauh lebih dewasa dari umur sebenarnya dengan garis-garis yang menghiasi dahinya dan juga kumis tipis yang menghiasi wajahnya yang tampan.
"Rozak ya?" tanyaku ramah.
Sesaat dia mencoba mengingat-ingat siapa aku. Tak mau dia bersusah-payah lebih lama, aku segera mengenalkan diri, "Gue Remy, Zak!"
"Oh... Remy? Masya Allah... udah lama gak ketemu.. gimana kabarnya? baek?" tanya Rozak riang sambil menjabat tanganku. Mendengar ayahnya berbicara dengan keras, si anak perempuan itu terbangun dan langsung melihat ke sekelilingnya.
Rupanya Rozak sudah menikah sejak lima tahun lalu, dan sudah dikaruniai dua orang anak, salah satunya yang tadi dia gendong. Selepas SMU, Rozak melanjutkan ke jenjang D-3 perpajakan namun memilih untuk tidak menggunakan ijazahnya untuk melamar kerja melainkan membuka usaha toko sendiri.
Setelah si kecil diserahkan kepada ibunya yang sempat menyuguhkan air dan berbasa-basi padaku, aku dan Rozak berjalan menuju toko elektronik miliknya sambil terus mengobrol.
Dalam obrolan itu aku menyinggung tentang Nina yang sudah bekerja di Amerika. Reaksi Rozak biasa saja saat aku menceritakan keadaanya dan bagaimana dia bisa menikah dengan seorang pria berkebangsaan Amerika dan sangat ingin mengetahui keadaanya sekarang.
"Elu liat sendiri kan? gue cukup puas dengan yang udah gue dapet." kata Rozak
"Hm... oke. berarti gue nanti laporan sama Nina ya?" tanyaku.
"Lapor aja Rem!" kata Rozak tertawa, lalu melanjutkan,"sekalian sampein permohonan maaf gue sama Nina ya Rem?"
"Maaf? maaf kenapa?" tanyaku tak mengerti.
"Elu kayak enggak pernah denger gosip aja dulu di SMA kalo gue selingkuh sama Dewi pas kelas tiga..." kata Rozak tertawa.
"Hah? jadi benaran?" tanyaku tak percaya.
"Iya! namanya juga anak remaja kali Rem? gak tahan godaan, padahal dulu Dewi itu masih jadian sama Sofyan (oppie)..." ujarnya.
Aku membelalak tak percaya mendengar cerita Abdul Rozak, bagaimana Dewi telah begitu mengacau beberapa cowok saat aku di SMA dulu, dan ternyata Abdul Rozak adalah salah satu korbannya.
Dengan perasaan puas aku berpamitan dari rumah Rozak. Sepanjang perjalanan aku memikirkan kata-kata Rozak yang masih terekam jelas di otakku. dia bilang kalau aku tidak boleh terus-menerus terjebak di masa lalu dan harus melanjutkan hidup. Entah mengapa Rozak sampai berkata seperti itu seolah-olah dia paham betul pikiranku.
"Nikah lah Rem... cari istri! elu udah siap lahir batin kayaknya sih." ujar Rozak disela percakapan kami tadi.
"Yah, doain aja biar cepet ya Zak!"
Rozak hanya tertawa lalu berkata sambil menepuk-nepuk pundakku, "jangan cuma berdoa Rem! usaha juga harus kenceng!"
*****
Sebuah panggilan internasional masuk ke ponselku, aku mengangkatnya. Ternyata Nina yang menelepon dari states.
"Rem! Makasih ya email mu yang nyeritain kondisi Rozak, loe bisa aja nulisnya sampe gue betah bacanya, hehehe.. iya.. udah gue maafin tuh dia." kata Nina.
"Sama-sama jeung, eh.. by the way... soal tawaran ente kerja di Bali... kayaknya gue mau ngundurin diri jadi kandidat aja deh jeung, soalnya enggak pede banget nih sama inggris gue! masih kacau!" kataku.
"Iya.. gapapa Rem! sebenernya gue nelepon juga mau minta tolong sama loe... barusan suami gue nelepon katanya udah sampe..."
"Sampe? sampe di mana?" tanyaku tak mengerti.
Lalu pesawat telepon di mejaku berbunyi, ternyata Mbak Rissa si resepsionis memberitahukanku kalau ada seseorang yang menungguku di lobby.
Sambil masih menelepon aku bergegas menuruni tangga menuju lobby.
"Gini Rem, suamiku ada tugas di Jakarta. Dia jarang ke Jakarta coz kalo ke Indo paling cuma ke Bali aja. Jadinya gue kasih dia alamat kantor loe... barusan dia telepon udah sampe di depan kantor loe tuh! hihihi..." kata Nina.
"Yang bener? kenapa?" tanyaku bingung. sesampainya aku tiba di Lobby, aku mengawasi sekeliling memerhatikan orang-orang yang ada di situ.
"Gue takut dia enggak bisa ngapa-ngapain di Jakarta Rem, makanya gue minta loe jadi tour guide dia sementara ya? tenang aja... Bahasa Indonesianya udah bagus kok! makasih ya Rem!" kata Nina kemudian langsung menutup percakapan.
"Nin? Nina?!" panggilku. Saat itulah setelah menutup ponselku aku melihat seorang pria bule berambut coklat terang sedang berdiri bercakap-cakap dengan Mbak Rissa si resepsionis. Aku mengenalnya lewat foto pada facebook Nina, pria berkebangsaan asing dengan senyuman manis (yang kata mbak Vire, turunan Perancis.. really mbak?) yang difotonya bersanding dengan Nina sambil mengenakan baju pernikahan.
Saat aku mendekatinya mencoba memastikan kalau dia memang suami Nina, si pria bule itu menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Hello... Remy? saya Frank Hinzman... suami Nina." katanya dengan logat asing yang masih kental sembari menyodorkan lengannya. Aku harus sedikit mendongak ke atas karena badan Frank terbilang tinggi dan dengan tersenyum penuh arti aku membalas jabat tangannya...
*****
BANKIR/MUADZIN : End of Story.
Baru saja kuselesaikan draft cerita terakhir sebelum kuposting pada forum ketika telepon seluler samsung milikku bergetar hebat tak jauh dari laptopku. Padahal sejenak aku serasa ingin mematahkan jari-jari tanganku karena ini adalah bagian cerita terpanjang yang harus aku ketik seharian.
"Halo?" sapaku.
"Hei! gimana? dah diposting belom? udah pada tungguin lanjutan ceritanya nih!" cerocos sebuah suara di seberang sana.
"Tangan gue cuma dua Nyet! lagian gue juga harus lanjutin novel pribadi gue sendiri kan? gue enggak harus terus-terusan ngetik pengalaman elu yang makin ke sini makin enggak jelas juntrungannya!" potesku kesal.
"Hehe.. iya sori.. sori... ntar gue ke rumah ente ya? mau cerita-cerita lagi nih! boleh kan?" pintanya.
"Gue nolak juga elu tetep bakalan ke sini kan Nyet?" tanyaku tajam.
"Hahaha... iya! ente bener! oke deh! sampe ntar sore ya?" pungkasnya tanpa memberikan aku kesempatan lagi untuk beragumen.
******
Malam hari jam delapan, bel rumahku berdering. Belum lagi aku sampai ke pintu untuk membukanya, orang yang berada di balik pintu berteriak Asalamualaikum dengan kencang ditambah lagi dengan mengetuk pintu berkali-kali.
Dengan perasaan kesal aku membuka pintu, cowok itu nyengir lebar ketika melihatku.
"Elu amnesia nyet? gue masih pake kursi roda tauk?!" semprotku kesal, namun cowok itu masih nyengir tanpa merasa bersalah.
"Jadi boleh masuk gak nih?" tanyanya mencoba meyakinkan kembali. Aku tidak menggubris pertanyaannya dan membelokkan kursi rodaku kembali ke dalam.
"Lu beneran pake kacamata sekarang? gue pikir cuma gaya-gayaan aja waktu elu pejeng foto elu di friendster..." sindirku sambil memerhatikan bingkai kacamata biru gelap bertuliskan Emporio Armani disisinya yang dipakai oleh cowok itu.
"Benaran tauk! mata gue udah agak lamur." jawabnya.
Lalu aku mencari-cari sesuatu di tumpukkan buku-buku yang berserakan di meja kerjaku. Ketika menemukan sebuah buku yang aku cari, aku melemparkan buku itu ke arahnya. Sedikit terkejut namun tetap sigap, cowok itu menangkap buku yang aku lempar sebelum sempat membentur jidatnya seperti yang aku harapkan. Setelah memelototiku kesal sebagai tanda protes, dia akhirnya memerhatikan juga buku yang kulempar itu.
"Weeew.. novel ente udah terbit ya?" tanyanya sambil membolak-balikkan buku berwarna hijau dengan cap tulisan "khusus relasi, tidak untuk dijual" di halaman mukanya itu.
"Ntar deh, kapan-kapan gue baca..." katanya sambil meletakkan kembali buku novel karanganku yang baru terbit minggu lalu itu di atas kursi.
Aku mendelik sewot merasa tidak dihargai. Namun cowok itu bertingkah seolah-olah tindakannya itu tidak membuatku tersinggung.
"Ya udah. Ada cerita apa lagi? ketemu siapa lagi sekarang?" tanyaku malas-malasan sambil mengeluarkan perekam suara digital milikku dari sebuah laci dan meletakkannya di atas meja tak jauh dari cowok itu duduk.
"Eh, sebentar... ente udah baca forum? gue masuk nominasi top-5 di boyzlove!" ujar cowok itu antusias. Aku memandangnya dengan dahi berkerut.
"Kita berdua maksudnya? kita kan berbagi nick yang sama? masih inget kan? kita bagi tugas: elu yang layanin chatting, cari cerita sama posting-posting enggak mutu, sedangkan gue tugasnya ngetik cerita." Kataku mengingatkan.
"Iya.. iya..! gue masih inget!" gerutunya kesal, "Lagian ente kalo ngetik suka didramatisir begitu... susah tau jelasinnya ke temen chat! padahal kan enggak seindah itu aslinya..."
"Eh.. eh.. malah protes lagi! udah untung gue mau ketikkin 'otobiografi' lu!" sahutku kesal dengan suara makin meninggi.
Cowok itu tidak membantah, malahan kini dia menunduk seperti memikirkan sesuatu.
"Parah?" tanyaku sambil menggeser kursi rodaku lebih mendekat ke arahnya. cowok itu mengangguk sambil membetulkan letak kacamatanya yang bergeser ke bawah.
Aku menghela nafas panjang lalu bertanya, "siapa lagi korban elu sekarang?"
"itu.. yang nicknya ******* dia marah besar gue ketemuan sama TTM-an dia..." katanya.
"Terus, gimana keputusan elu? udah ketemu mantan bos elu?" tanyaku.
Cowok itu mengangguk.
"Yakin elo mau balik lagi ke Bogor? udah enak kerja di Jakarta." pancingku.
Cowok itu diam saja.
Aku tidak mengeluarkan komentar lagi, lalu dengan perlahan aku menyalakan tombol on pada perekam suara digital itu. "Udah.. mulai cerita aja deh..." pintaku.
"Eh, tunggu dulu! jadi yang nanti datang ke gathering siapa? gue apa ente?" tanyanya lagi masih membahas isu yang sama.
"Terserah!! gue sih enggak mau datang, mending elu aja! ribet gue kalo pake jilbab kayak gini!"
"Heheh.. iya ya?" cengirnya lagi.
"Ya udah! cerita!" ujarku mulai tak sabar.
Lalu cowok itu berdeham dan mulai bercerita, "Gue janji ketemu dia di stasiun Bogor, setelah sepakat kalo kita enggak bakalan kasih tau ikhwal pertemuan kita sama TTM an tuh cowok di Bandung...."
"Terus?" pancingku. Tapi cowok itu terdiam cukup lama.
"Ck..! sebenernya elu pengen diposting gak sih cerita terakhir ini?" tanyaku tak sabar.
Cowok itu menatapku bimbang lalu berkata, "ente putusin sendiri deh setelah gue ceritain semuanya."
"ya udah, lanjut!" ujarku.
"Nah, cowok ini sempet bingung caranya naik kereta di Manggarai... malah sempet SMS gue dulu... 'lha ini beli tiketnya dimana?' dia bilang gitu..."
kemudian cowok itu kembali terdiam.
Aku mulai tidak sabar dengan tingkahnya, padahal aku sudah mulai membayangkan rangkaian kata yang akan aku buat. "Duh.. jangan kebanyakan diem dong! entar gue bingung ngetiknya! selanjutnya apa Rem...?"
*****
wowh....jadi selama ini ???
kita tertipu??? :shock:
You caught me off guard this time jadi ada si linguini yg jago merangkai kata-kata dan ada Remy nih?
Kalo gitu gua vote for linguini (tolong dimasukkin ke polling duonk!!!!)
someone who can transform a bitchy & cruisin' acts into story like this surely has a romantic heart on the inside.....
GIVE ME LINGUINIIIIII
BTW si linguini ini alter ego loe apa emang beneran ada orangnya nih?
=================
PS: Kan tetep kejadian sama ricky sepupunya remy hiahahahahahaha so easy to predict actions of gay man....
Its proved my theory, in gay world sex comes first, love comes last! So those who looking for love but not even interested in doing sex... How dare you called your self gay! wuakakakaka
Waduh kalo mbak Vire mah bukan cewek gay... cuma "haus belaian" mungkin
Tapi emang aneh bener mbak disini lumayan banyak abege abege yg ngakunya gay bikin topik menjerit jerit carikan aku cinta! aku gak cari sex... duh!!!
ketertarikan sesama jenis itu aja udah identik dengan sex... mungkin pada kebanyakan nonton telenovela/sinetron straight mereka
Kalo emang yg dicari cinta harusnya gak usah mikirin jenis kelamin kali yeee, cari cewek aja biar sesuai kodrat pada umumnya kan yg penting cinta!
Dah ah dikembalikan ke yg punya warung... 8)
Dibikin novel aja sob. Lengkap dgn "pengakuan" lo yg terkahir ini. Pasti ga ada yg nyangka 8)