It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Duh istilahnya itu loh.
Seolah-olah kerjaannya Bang Remy cuman menekuni batang.
kayak buruh pabrik rokok aja. yang selalu menekuni batang rokok tiap hari.
Di thread Remy, bunny manggil dia "bang"
Di warung Bunny, Remy nyebut dia "bang" jg.
Jadi sapa yg lbh tua yah? :P
Sebenernya sih ane yang lebih tua bro... tapi bentuk panggilan Abang, Akang, atau Mas, menurut ane sih sebagai bentuk penghormatan aja...
Kek misalnya ketemu orang yang baru, kan gag mungkin langsung nyebut nama, pasti panggil Mas, Bapak, atau apa...
Yes.. yes.. Iamcrabbie and Abitch.. sesuai dengan kaus long-sleeve pemberian seseorang, jadi kalu kapan2 ente ngeliat ane pake long-sleeve itu, jangan ragu nyapa yak? heheheh...
Sepupu ane ya.. xixixixi... blom tentu sih...
[b]WHATEVER .....LANJOOOOEEETTT DEHHH!!!!![/b] :evil: :twisted: :evil: :evil:
Musti nunggu malem dulu. Trus sebelum subuh udah musti mandi wajib
Pengalaman pribadi nih?
Seperti yang aku ingat, kawasan Rumah Pakde Mul udaranya sangat panas. Namun hanya satu ruangan saja yang memakai pendingin udara sedangkan ruang lain kipas anginnya dibiarkan terus menyala.
"Kayak Remy dong, Rick! dia udah berani tuh tinggal di rumah sendiri" sindir Pakde Mul saat kami mengobrol di ruang tamu. Aku melirik pada Mas Ricky yang sedang merokok sambil tersenyum-senyum simpul.
"Tau gak Rem? si Ricky itu udah kredit rumah... tapi gak mau ditempatin." Kata Pakde Mul.
"Emang dimana Mas?" tanyaku sambil menoleh pada Mas Ricky.
"Di Cilebut Rem." Jawabnya.
"Cilebut? berarti enggak jauh dari rumahku dong?" Sahutku antusias.
"Iya Rem, Paklik(Papaku) dah pernah cerita." kata Mas Ricky.
"Tuh! coba sekali-kali maen ke tempat Remy, Rick!" usul Pakde Mul. Dalam hati aku berkata 'Mau dooong..'
"Iya! kemaren kan gue tugasnya di daerah Kuningan Rem! males banget bolak-balik naek kereta."
"Tapi kan sekarang kamu udah pindah tugas di kantor cabang Mangga Dua kan Rick! deket tempat kerja Remy tuh..." potong Pakde Mul.
"Masa sih Mas? udah berapa lama?" tanyaku makin antusias.
Mas Ricky sedikit terheran-heran melihat antusiasmeku namun dia tetap menjawab, "baru pindah dua mingguan sih Rem. emang kamu deket situ juga?"
"Yah, Mas! aku suka makan siang di situ."
"Oh.. berarti tahu dong tempat makan siang yang enak? gue kalo makan yang itu-itu aja. Bosen!" kata Mas Ricky lagi.
"Sip! masuk tanggal 6 kan? nanti kita makan siang di foodcourtnya?" ajakku. Mas Ricky mengangguk sambil tersenyum. Wah, rupanya sebuah janji 'kencan' makan siang sudah dibuat!
*****
Siangnya kami berencana mampir ke rumah Mas Rigus. Jaraknya lumayan jauh kalau hanya ditempuh dengan jalan kaki, oleh karena itu kami berencana menggunakan Mobil Papa. Mas Ricky ternyata ingin menggunakan motor. Karena yang tahu rumah Mas Rigus adalah pemiliknya sendiri dan Mas Ricky, akhirnya Mas Rigus yang mengemudikan Honda Jazz Papa bersama Papa, Mama dan Adikku, sedangkan aku ikut membonceng pada motor Mas Ricky(Kesempatan).
"Duluan ya Mas?" Kataku pada Mas Rigus sambil naik ke jok belakang Honda Revo Mas Ricky. Karena merasa dia adalah kakak sepupuku, aku tidak canggung memeluk pinggangnya saat naik. Sementara itu Mas Rigus melambai padaku sebelum dia naik ke belakang kemudi.
Aku tidak memedulikan hawa panas selama perjalanan di bawah terik matahari bersama Mas Ricky. Rambut kami berkibar diterpa angin selama menyusuri jalan-jalan di kawasan perumahan itu. Aku sangat antusias melihat betapa banyaknya perubahan yang terjadi setelah hampir sepuluh tahun aku tidak tidak pernah kesini. Untungnya Mas Ricky mengemudikan motornya dengan kecepatan rendah, dan aku bisa melihat Honda Jazz Papa yang dikemudikan Mas Rigus mengikuti di belakang kami, sehingga aku bisa berlama-lama berkesempatan memeluk pinggang Mas Ricky.
Setibanya di sebuah pertigaan, Mas Ricky membelokkan motornya ke arah kiri. Semula kukira memang itulah jalan menuju rumah Mas Rigus, namun kudengar suara klakson mobil dibelakangku dan saat ku menoleh, Honda Jazz Papa terhenti di pertigaan itu dan kulihat Papa melambai-lambai memanggil kami. Dari tanda-tandanya, sepertinya Mas Rigus tidak berniat membelokkan mobil mengikuti kami.
"Loh? Mas? Salah jalan kayaknya.." Ujarku keheranan sambil bolak-balik melihat ke arah belakang.
"Biarin aja mereka duluan... kita mutar-mutar aja dulu ke tempat lain Rem." Kata Mas Ricky. Kulihat melalui spion, wajah Mas Ricky tersenyum penuh misteri.
*****
walau mungkin bosen mendengarnya, tapi boleh dong klo gw ikutan muji
ceritanya mengalir banged
ente pinter maenin emosi orang yang baca
memang penulis berbakat deh
gw ja ga kerasa dah ngabisin seluruh ceritanya
silahkan dilanjutin ceritanya
bakal tetep gw tunggu
he
btw btw, boleh dong kapan2 ngajak makan di tempat jagung bakar sukasari yang kata lo enak itu
ga nolak
Ngarep Mode = On
:oops: :oops: :oops: :oops:
Huhuhu...
Rupanya Mas Ricky membawaku ke kios mie ayam yang sekarang aku ingat dulu pernah menjadi langgananku setiap kali aku mengunjungi rumah Pakde Mul (hebat! hari pertama lebaran tapi kiosnya buka!). Kecuali harga seporsinya, rasanya masih sama enaknya seperti dulu. Aku dan Mas Ricky dengan lahap menghabiskan Mie Ayam kami masing-masing tanpa berbicara sedikitpun. Untunglah! sebenernya aku memang sedang lapar karena tadi aku menolak menyantap ketupat yang disediakan di rumah Pakde Mul.
Setelah selesai dan aku sedang menghirup teh panasku, Mas Ricky tiba-tiba berkata, "Inget gak? dulu elu sering main di situ sambil cari capung?" sambil menunjuk ke arah di mana kini telah dibangun beberapa rumah. Aku berpikir keras sambil mengingat-ingat bagaimanakah tempat itu dulu sebelum kedua bangunan itu berdiri sekarang. Beberapa saat kemudian aku baru teringat kalau dulu tempat itu masih berupa lapangan yang ditumbuhi semak-semak. Aku sering bermain di situ bersama anak-anak komplek perumahan ini sambil berlomba-lomba menangkap capung terbanyak.
Aku terkekeh saat mengingat saat itu, "iya.. yang paling susah tuh nangkap capung merah. Gak tau kenapa mereka bisa lebih gesit."
Mas Ricky ikut tertawa. Lalu bangkit dari tempat duduknya kelihatan hendak pergi, padahal sebenarnya aku ingin berbincang lebih lama dengannya.
"Ngobrolnya jangan di sini Rem, entar aja di rumah Mas Rigus." Katanya seolah mengetahui isi pikiranku. Lalu aku buru-buru mengikuti Mas Ricky keluar dari kios.
*****
Yang disebut rumah tinggal Mas Rigus ternyata berupa bangunan empat lantai yang terdiri dari beberapa flat di tiap lantainya. Masing-masing flat memiliki beberapa ruangan persis seperti di sebuah rumah susun. Ditengah-tengah bangunan dibiarkan kosong dan hanya ada lapangan sebesar lapangan bulu tangkis dan tangga-tangga untuk akses ke lantai yang lebih tinggi. Agak heran juga Mas Rigus lebih memilih tinggal ditempat seperti ini dengan jumlah anggota keluarga sebanyak lima orang, karena aku merasa tempat ini lebih cocok ditempati oleh marinir bujangan atau yang baru saja berkeluarga.
Di luar bangunan itu dikelilingi jalan beraspal dan hamparan seperti sawah atau rawa namun ditanami berbagai macam jenis sayuran. Saat aku tiba dengan motor Mas Ricky, aku melihat honda jazz papa telah terparkir di salah satu sudut bangunan itu. Tadinya aku mau menyusul ke dalam, namun Mas Ricky memberi isyarat agar aku dan dia mengobrol di luar saja, tepatnya di teras dekat taman. Siang itu angin berhembus kencang dari arah pesawahan sehingga matahari yang terik tidak terasa begitu panas.
Mas Ricky kemudian menyalakan rokoknya, dia menyodorkan bungkus rokok itu dan sambil tersenyum,aku menggelengkan kepala.
"Masih belom ngerokok juga?" tanyanya.
"Belom? enggak bakal!" sahutku.
Kemudian kami sama-sama terdiam sambil memandang ke kejauhan. Di ujung sana aku bisa melihat jalan layang tol ke arah tanjung priuk dan gedung ITC Cempaka Mas. "Kapan mau nikah Mas?" tanyaku membuka percakapan.
"Belum nemu yang cocok." jawabnya singkat sambil menghembuskan asap rokoknya. Aku mencoba mendeteksi kejujuran dari jawaban Mas Ricky, namun suaranya yang datar membuatku tidak bisa mengambil kesimpulan.
"Oh.." reaksiku singkat.
Mas Ricky diam beberapa saat kemudian melanjutkan sambil tertawa kecil, "itu kalau yang nanya orang lain... gue jawabnya begitu Rem."
Mendengar jawabannya, aku yang sedari tadi asyik memandangi kendaraan yang lewat di atas jalan layang mau tidak mau menoleh ke arahnya sambil menatap heran.
"M.. maksudnya apaan Mas?" tanyaku mencoba memastikan kalau arti dari perkataan itu adalah jangan-jangan seperti yang kukira (atau kuharapkan?).
"Ah! elu pura-pura bego atau apa sih?" kata Mas Ricky sambil mengacak-acak rambutku seolah-olah aku ini masih anak kecil saja.
AKu berusaha menjauhkan kepalaku dari tangan Mas Ricky sambil memprotes kesal, "Duh.. gue tuh dah tua Mas! gak pantes deh digituin...". Kemudian aku berusaha merapikan rambutku.
"Tau gak? gue tahu elu juga sama kayak gue..." katanya tanpa merinci lebih detail maksudnya. Aku yang tak mau terpancing berusaha tidak mengeluarkan kalimat yang bisa membongkar rahasiaku sebagai gay.
"Maksudnya?"
"Iya! elo kan penyuka cowok juga! Ngaku deh!" katanya kali ini dengan lugas. Aku yang tadinya memang sudah merasakan bahwa arah percakapan kami memang ke arah itu tetap saja merasa tercekat.
"Dari dulu? gue baru sadar sejak SMA kok!"
"Minimal gue dah liat bakat lu dari SD Rem!" kata Mas Ricky lagi sambil terkekeh.
"Hahaha... masa sih?" tanyaku gugup mencoba mengingat-ingat kelakuan apakah yang dulu kutunjukkan saat aku sering menginap di rumahnya.
"Gue kan suka perhatiin elu kalo gue abis mandi atau lagi enggak pake baju di rumah, elu suka curi-curi pandang gitu kan sama gue?" Kata Mas Ricky.
Aku meringis kesal karena kebodohanku dulu. Perbedaan usia antara kami berdua cukup jauh, Saat aku SD, Mas Ricky sudah menginjak remaja. Aku kadang-kadang suka penasaran bagaimana tubuh seorang cowok itu berkembang dan akhirnya yang kucontoh untuk kupelajari adalah Mas Ricky. Kadang aku penasaran, apakah aku bisa setinggi dia? kenapa diatas bibirnya sudah mulai ditumbuhi kumis? atau kenapa kakinya berbulu sedangkan aku tidak? lama-lama, dari sekadar mempelajari akhirnya berujung kepada mengagumi. Mengagumi sebuah sosok pria yang tubuhnya kuanggap telash sempurna. Karena terus terang saja, sama seperti kakaknya yang telah dewasa terlebih dahulu, Mas Ricky memilik shape tubuh yang bisa dibilang sangat bagus sekalipun dia baru menginjak masa remaja. Hanya saja waktu itu Mas Ricky lah yang sering ada di rumah, sehingga aku sangat jarang berkesempatan 'mengobservasi' Mas Rigus.
"Tapi mas.. kenapa enggak mau nikah sih?" tanyaku pelan.
"Enggak sesuai kata hati." jawabnya. "Emang kamu mau nikah Rem?"
"Yah, pasti lah!" jawabku.
"Emang bisa? gak takut bertentangan dengan kata hati?"
"Mmm.. gini ya Mas, gue tuh selalu memandang segala sesuatu pake untung sama rugi. Wah! makanya gue ngerasa rugi banget kalo enggak bisa nikah trus berkeluarga. Enak aja! gue selalu diundang dan datang ke acara pernikahan masa gue enggak bisa bikin acara pernikahan sendiri dan nyebar undangan ke mana-mana? begitu juga pacaran... masa dari sekian cewek yang naksir sama gue satu juga enggak bisa gue pacarin? rugi banget gue? sementara cowok lain bisa seenaknya jadi playboy gonta-ganti cewek bahkan selingkuh kesana-kemari... itung-itung amal lah! bisa nyenengin tuh cewek kalo pacaran sama gue." kataku panjang lebar dengan sedikit emosi.
"Emangnya masih bisa tertarik sama cewek?" tanya Mas Ricky lagi. Huh! aneh banget! dia yang bersikap sangat manly seperti itu ternyata dari kesimpulan sementara yang bisa kutarik, rupanya dia sudah mati rasa sama mahluk yang bernama perempuan.
"Kalo bisa dibilang sih, gue sebenernya tertarik sama keindahan. Jadi baik itu cewek atau cowok, kalau ada sebuah kualitas dari dia yang bisa memancarkan keindahan.. -bukan cuma fisik loh!- gue bisa tertarik mas! apalagi kalau misal si cewek itu punya senyuman memikat, bicara yang lembut dan rambut yang indah.. wuih.. bisa turn-on deh gue!"
Mas Ricky tidak menjawab. Dia masih mengepulkan asap rokoknya sambil memandang lurus-lurus ke depan.
"Itulah Mas, makanya gue enggak pernah yang namanya mengalami keterpaksaan kalau pacaran sama cewek. Sebab sebenernya gue enggak peduli apa kata orang! tuntutan orang, nilai ataupun norma agama yang dipakai buat ngebatasin diri sampai-sampai orang itu menjadi begitu tersiksa sama benteng yang dia buat sendiri."
"Itu juga artinya elu kayaknya enggak bisa setia kan Rem? karena elu enggak pernah pake hati..." ucap Mas Ricky pelan namun tajam.
Aku terdiam cukup lama.
"Buat apa pakai hati kalau ujung-ujungnya malah terluka? lebih baik menyakiti daripada disakiti kan Mas?" tanyaku.
"Pernah patah hati sampai segitunya ya Rem?" tebak Mas Ricky. Aku enggan menjawab.
"Ada yang bilang kalau berani jatuh hati harus siap juga patah hati... udah sejak lama Mas, gue enggak ngambil resiko kayak gitu lagi..." ujarku murung sambil bangkit menuju rumah Mas Rigus meninggalkan Mas Ricky yang masih duduk di situ.
"Rem.." panggilnya.
"Ya?" aku menghentikan langkahku dan menoleh pada Mas Ricky.
"Makan siangnya tetep jadi kan?" Tanyanya sambil tersenyum.
Aku memberikan anggukan kecil sambil tersenyum yang agak dipaksakan.