Bisakah Memperbincangkan “Seksual Minoritas” dalam Islam?
Oleh: Mohamad Guntur Romli ( Manager program Jurnal Perempuan dan Alumni Universitas Al Azhar Kairo Mesir)
Pada mulanya tulisan ini berasal dari tanggapan saya di diskusi dunia maya (mailing-list). Diskusi itu tentang isu seksual minoritas yang selanjutnya meluas keterkaitannya dengan ranah agama. Seorang kawan telah mematok “batas” yang menurutnya tidak ada “justifikasi tekstual” untuk perkara ini. Baginya mencari “justifikasi tekstual” untuk seksual minoritas yakni LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex and Queer) sama halnya mencari “justifikasi tekstual” untuk perzinahan dan “kumpul kebo”. Seorang kawan yang lain juga berujar, penafsiran terhadap teks agama untuk menelisik “justifikasi” terhadap perkara ini merupakan “pemerkosaan teks”.
Saya pribadi sangat terkejut karena menemukan lompatan pemikiran yang terlalu jauh, dari percakapan seksual minoritas—yang menurut amatan saya—belum dipahami secara seksama, tiba-tiba “dipaksakan” meloncat pada “justifikasi tekstual”. Mungkin ini kebiasaan orang yang sering melakukan “akrobat pemikiran”.
Saya tidak setuju dengan istilah “pemerkosaan teks” karena istilah ini terlalu kasar dan tidak benar, apalagi bagi kita yang selama ini meyakini pentingnya membuka penafsiran seluas-luasnya. Penafsiran adalah “mukjizat” yang menjadikan teks yang hakikatnya historis: dipenjara oleh ruang dan waktu, penafsiran adalah “mukjizat” pembebasan, menjadikan teks itu mampu melintasi ruang dan waktu.
Apabila mumgkin ada sedikit perbedaan dalam diskusi itu, telah dipatok sebuah “batas”. Saya hanya percaya bahwa “batas” itu dibuat oleh penafsir bukan teks itu sendiri. Sejatinya “justifikasi tekstual” juga tidak ada. Justifikasi dibangun dan disahkan oleh penafsir. Siapa pun, di hadapan teks, yang berikhtiar untuk membaca dan memahami teks, menemukan atau belum menemukan kesimpulan, maka ia telah melakukan penafsiran. Teks juga selalu terbuka dan bergairah untuk “disetubuhi” oleh penafsir. Tak ada “pemerkosaan” teks. Bagi saya “pemerkosaan” adalah pemaksaan penafsiran. Inilah yang sering terjadi: “memperkosa” penafsiran orang lain dengan penafsirannya sendiri.
Dalam ranah penafsiran ini pula, sekali lagi, kutipan dari Imam Ali Ra. menemukan ranahnya. Bahwa Quran itu bisu (tidak bisa bicara) namun ia diberi suara oleh penafsir, “al-mush-haf bayna daftay al-kitab la yanthiq, wa innama yanthiqu bihi al-rijal”. Penafsiran berarti sebuah proses “pemberian suara” pada “sesuatu yang bisu”.
Namun bukan berarti saya tidak menyadari dampak dari kebebasan penafsiran ini. Penafsiran yang berarti “pemelaran” teks. Saya ingin mengutip keluhan Abid al-Jabiri, seorang pemikir dari Maroko, yang menurutnya penafsiran adalah proses “istitsmar al-lafdz” yakni “pembuahan kata”. Penafsiran adalah—ini kalimat saya—proses “penyerbukan” dari penafsir terhadap teks yang bisa menjadikan teks itu “berbuah”. Namun Abid Al-Jabiri yang cemerlang itu tidak menggunakan “pemerkosaan teks”.
Al-Jabiri melakukan kritik terhadap metode “qiyas” (analogi) yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam bidang pengambilan hukum Islam. Menurutnya “pembuahan kata” ini tidak selalu bisa menyelesaikan krisis pengambilan hukum, bagaimana teks yang jumlahnya sangat terbatas bisa memberikan hukum pada gerak-laju kehidupan manusia yang tanpa batas?
Saya sangat setuju pada pandangan Abid Al-Jabiri ini, kita tidak boleh berhenti pada “pembuahan kata” saja. Namun sepajang pengamatan saya, kaum Liberal atau Progresif Islam di Indonesia tidak bisa keluar dari wilayah ini: terus merambah dan membuka lahan baru untuk melakukan “penafsiran yang bebas”. Dan di seberang sana, kaum Fundamentalis menyebut proses ini sebagai “pemerkosaan teks” juga.
Saya mengamati sejak isu LGBTIQ ini dilemparkan dalam ruang diskusi ini, telah terjebak pada “justifikasi tekstual”. Saya sungguh heran, sejak kapan kita begitu yakin pada “justifikasi tekstual” semacam ini. Sepanjang pergulatan saya dalam ide-ide Islam yang progresif atau liberal, tidak ada pretensi memberikan “justifikasi tekstual” karena hal ini sama saja dengan “kerjaan” MUI dan kalangan fundamentalis yang mengklaim diri mereka sebagai sumber otoritas untuk menetapkan “justifikasi tekstual”.
Secara vulgar, “justifikasi tekstual” adalah “pelabelan” yang halal atau haram, yang sah atau batil terhadap perbuatan—mungkin nantinya juga pemikiran yang dipandang tidak bisa memiliki “justifikasi tekstualnya”.
Terlampau terburu-buru apabila memperbincangkan soal LGBTIQ ini dengan“justifikasi tekstual”. Mungkin ini bisa disebut “ejakulasi dini” sebuah pemikiran.
Mempercayai adanya “justifikasi tekstual” bagi saya memiliki dampak yang berbahaya. Pertama, kita akan mengakui adanya sumber justifikasi itu di luar sang penafsir: baik individu atau lembaga yang bisa mengatasnamakan “justifikasi” dari teks. Kedua, kita juga akan percaya bahwa teks dari azalinya bukan hanya mengandung makna saja, lebih dari itu, teks itu telah mampu memilah-milah makna: yang terjustifikasi dan yang tidak terjustifikasi.
Pengalaman saya pribadi, dan amatan saya selama ini, manusia hidup tidak butuh “justifikasi tekstual”. Dari saya bangun tidur hingga saya tidur lagi—kalau saya ingin mengambil contoh yang sangat sederhana—saya tidak butuh “justifikasi tekstual”. Saya mandi, pergi ke kantor, menyebrang jalan, di depan komputer, dst. tidak memerlukan justifikasi tekstual sama sekali. Pun dalam tingkat yang lebih “tinggi” berinteraksi dengan orang lain. “Justifikasi” yang dipakai adalah “justifikasi hati-nurani”. Kalau saya sungguh-sungguh menggunakan “justifikasi” yang diambil dari teks, maka saya bisa meminggirkan terhadap orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan.
Teks bagi saya hanyalah penegasan terhadap capaian-capaian akal-budi dan hati-nurani manusia. Sabda Nabi Muhammad menemukan ranahnya di sini, “sal dlamirak” (bertanyalah pada hati-nuranimu) atau “istafti qalbak” (mintalah fatwa pada hati-nuranimu).
*** Saya ingin melalukan otokritik pada kaum Liberal atau Progresif Islam di Indonesia yang selama ini terlalu percaya pada penafsiran yang bebas tanpa mau mencari teks-teks lain yang dengan sengaja dikubur. Teks yang saya maksud, teks di luar “teks agama”: fikih, tafsir, dan hadis.
Saya maklum ada keterbatasan mengakses naskah dan kitab klasik, khususnya kitab-kitab sejarah dan sastra yang bisa memunculkan teks-teks dan informasi lain. Kita, mungkin, terlalu mengandalkan pada satu kategori, kitab-kitab yang dipahami sebagai “kitab agama” karena kebutuhan mencari “justifikasi” itu. Lebih dari itu ada tendensi dari setiap pembacaan dan penafsiran itu untuk mencari “justifikasi”. Justifikasi terhadap Islam yang Progresif, Islam yang Moderat, Islam yang Liberal, Islam yang Modern, dll.
Dan kita menyaksikan “pasar bebas-tafsir” di sini.
Saya sebenarnya ingin keluar dari hiruk-pikuk penafsiran itu. Bagi saya, penafsiran akan sia-sia kalau kita tidak memiliki ikhtiar memunculkan kembali teks-teks yang dikubur. Teks yang disepelekan karena ia tidak berlabel agama, teks yang tidak disahihkan oleh kategori ilmu hadis yang menentukan valid dan tidaknya sebuah mata-rantai riwayat. Meskipun setelah diteliti, metodologi ahli hadis pun kalau dilihat dari metodologi sejarah, sangat bermasalah. Penelitian sejarah sangat tergantung pada bukti-bukti material: dokumen, tulisan, dll. Ahli hadis pun mafhum dengan syarat ini, mereka juga memberikan lima syarat pada periwayatan hadis, salah satunya seorang periwayat haruslah memiliki kategori, “dlabth” yang berarti ia harus memiliki hafalan yang kuat “dlabth al-shadr” dan tulisan yang akurat “dlabth al-kitabah”.
Namun kategori tulisan ini tidak bisa dibuktikan oleh ahli hadis itu, mereka hanya percaya pada tradisi lisan. Mayoritas perawi hadis adalah buta huruf. Abu Hurayrah yang menyumbangkan paling banyak hadis-hadis dalam kalangan Sunni, ternyata seorang buta huruf!
Oleh karena itu, kategori hadis-hadis yang sahih, daif (lemah) dan “mawdlu'” (palsu) dalam periwayatan teks, tergantung siapa yang menggunakan label itu. Saya melihatnya lebih pada produk kekuasaan daripada produk pengetahuan. Namun metodologi ilmu hadis merupakan pengetahuan yang bekerjasama dengan kekuasaan untuk menentukan sahih dan tidaknya riwayat teks agama.
Bagi saya inilah kesempatan untuk menemukan kembali teks-teks yang dikubur itu yang dimasukkan dalam kategori: tidak sahih, daif, mawdlu’, teks sekunder, teks kelompok mulhid, murtad, legenda, mitos, kisah dll yang pada dasarnya agama lahir dari rahim ini.
Dan dalam konteks ini pula bagi saya belajar agama bukan hanya soal mencari “justifikasi”. Tujuan ini terlalu menyempitkan pengetahuan. Malah ini merupakan tujuan yang naif. Sejak berabad-abad lalu fungsi agama sebagai justifikasi telah banyak diambil alih oleh disiplin ilmu yang lain. Saya yakin orang Liberal sangat paham ini. Sekonyong-konyong kita ingin mencari “justifikasi” dari agama?
Tidak percaya pada “justifikasi agama” bukan berarti tidak tergerak untuk mempelajari agama. Sikap inilah yang dikiritik oleh Mohamed Arkoun di Prancis, ketika ia menemukan paham “sekularisme” di Prancis merupakan sikap “diam” dan “tabu” terhadap agama. Bagi Arkoun ini bukan sekularisme, tapi “sekularianisme” = sekularisme “jadi-jadian”, “sekularisme radikal” atau apa lah istilahnya. Dalam istilah Arkoun bukan “al-‘almaniyah” tapi “al-alamanawiyah”.
Dalam konteks Prancis tidak bisa dijadikan sumber justifikasi, dan yang terjadi dalam sejarah Prancis: agama justeru menjadi justifikasi kekerasan. Oleh karena itu, agama harus dienyahkan dan tidak perlu dipelajari.
Bagi Arkoun sikap ini jelas-jelas keliru, baginya agama tetap penting dipelajari, tentu saja bukan untuk dicari justifikasinya, tapi melakukan studi-kritis terhadap agama. Bukan agama sebagai dogma namun lebih pada materi sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama. Materi-materi agama inilah yang dianjutkan oleh Arkoun agar dipelajari di sekolah-sekolah umum milik Pemerintah Prancis.
Agama sebagai sumber justifikasi bagi saya telah berakhir. Namun manusia yang menjadikan agama sebagai sumber justifikasi, mungkin tidak pernah berakhir, terus bermunculan, ia bisa lahir dari rahim modernisme—yang hakikatnya ingin “mengakhiri” agama sebagai sumber justifikasi—dan ia juga bisa muncul di kalangan Liberal. Ingat, kebangkitan fundamentalisme bukan hanya karena mereka semakin menguasai pusat-pusat kebijakan, namun juga kalangan Progresif dan Liberal pun mulai bergerak ke kanan.
Dalam konteks ini, isu LGBTIQ bisa dibicarakan dalam Islam. Sikap “diam” dan “nyerah” bagi saya karena kita telah menjerumuskan diri kita pada “justifikasi tekstual”. Saya kira, kita telah memulai langkah yang salah. Bukan hal yang mustahil kita bicarakan soal LGBTIQ ini apabila kita memutar kembali haluan ini, yakni bukan haluan “justifikasi tekstual”.
Seorang kawan saya Aquino yang ikut serta dalam diskusi itu juga menyatakan bahwa yang dimaksud ketika ketika memperbicangkan seksual minoritas dengan agama ialah: dialog agama dan LGBTIQ. Irshad Manji, seorang lesbian muslimah, juga menyatakan hal itu dalam bukunya The Trouble with Islam Today. Bukan untuk mencari justifikasi teks, tapi mencoba merekonsialiasikan teks agama dengan persoalan LGBTIQ. Manji melakukan lakukan hak itu saat ia mengasuh acara QueerTV. Bagi saya, Manji percaya bahwa banyak sumber justifikasi. Termasuk pendapat pemirsa TV dan opini publik pun bisa adalah justifikasi.
Selama ini kita menerima informasi bahwa sikap Islam sangat kasar kelompok LGBTIQ, benarkah? Bagaimana kalau kita dialogkan dua pihak ini? Yang kasar itu, teksnya atau penafsirnya? Kalau teksnya ternyata kasar, mengapa? Bukankah Islam dulu juga memerintahkan peperangan, mengakui perbudakan, pro-kekerasan, kesewenang-wenangan terhadap perempuan? Apakah kita tidak bisa mendialogkan LGBTIQ dengan Islam dalam ranah ini? Kalau kita masih percaya pada “mukjizat” penafsiran, pasti akan melalukan hal ini.
Pun LGBTIQ masih dalam konteks kemanusiaan, ia perkara seksualitas, soal syahwat, orientasi dan identitas seksual yang hanya saja dicap “tidak normal” “tidak alamiah” “tidak kodrati” dan “menyimpang”.
Dan kita tidak sedang terpaksa untuk mencari, misalnya “justifikasi tekstual”: mengapa pesawat yang terbuat dari besi itu bisa terbang? Kapal laut yang juga terbuat dari besi yang beratnya berton-ton bisa mengapung di air? Sungguh, LGBTIQ ini masih soal hakikat manusia.
Kalau saya sendiri akan berikhtiar membaca kembali khazanah klasik Islam soal isu ini, dan jauh-jauh dari tujuan “justifikasi”, karena tujuan ini lebih sah dan layak dilakukan oleh saudara-saudara kita LGBTIQ yang lebih memahami diri mereka sendiri. Kalau boleh saya menamsilkan di sini: kita hanya merambahkan jalan yang banyak aral-merintangnya dari “agama”, dan saya yakin mereka akan sampai
Comments
lihat hasilnya, pasti diam semua...!!, yg straight aja bisa tiba2 jd doyan sejenis lho,..Tuhan penuh rahasia,..jgn takabur..bilangin..
mengenai penyimpangan seksual dgn agam,..gak usah di kaji, mutar2 aja, bikin capek hati dan pikiran,..SATU HAL YANG KITA YAKINI, TUHAN SAYANG SAMA KITA, KITA SPESIAL, .JADIAH GAY YG BERGUNA,..GAY YG BAHAGIA, YG MENEMUKAN KEDAMAIAN DLM KEHIDUPANNYA..
kalo ada yg sinis, .doakan aja, semoga Allah menguiu dgn penyimpangan seksual pada mu dna keluarga dan turnananmu semua...
salam
SATU HAL YANG KITA YAKINI, TUHAN SAYANG SAMA KITA, KITA SPESIAL, .JADIAH GAY YG BERGUNA,..GAY YG BAHAGIA, YG MENEMUKAN KEDAMAIAN DLM KEHIDUPANNYA..
Aaaaaammiiiiinnnnn
kalo ada yg sinis, .doakan aja, semoga Allah menguiu dgn penyimpangan seksual pada mu dna keluarga dan turnananmu semua...
Waduh kalo yang ini ga mau ikut-ikut, ga baek nyumpahin
peace, love, kiss n hugs
gw cm bisa jawab gini
"kaan Dia ciptakan kita sesuai dengan gambar dan rupaNya. jadi kalo kita bilang kita BEGO, berarti kita undah ngak menghargai Dia donk !.
kalo kita sebagai gay ngak bisa terima-kasih atas diri kita sendiri, dan kita bilang bahwa gay itu ZINA, berarti kita udah menghina Dia ?! "
gw seh uda ngak aneh orang bilang lo tuh dosa, ini itu segala macem.
mao ngak mao, suka ngak suka, gw suka ama cowo ! dan gw COWO !
thats FACT !
toh kehidupan orang straight jg ngak lebih bersih dari gay life kan ?
*jadi mao nya apa seh ?!!
sejutu
Islam Menerima Kaum Homoseks?
ISLAM sebagai agama yang merupakan rahmatan lil alamin atau rahmat terhadap seluruh isi alam, menerima kaum lesbian, gay, biseksual, transeksual dan transgenital (LGBT) sebagai salah satu penghuni alam, namun tidak menerima perilaku homoseksual karena itu bertentangan dengan fitrah manusia. Demikian disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amir Syarifuddin dalam Diskusi Publik 'Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin dan Sikapnya Terhadap LGBT' di Jakarta, Kamis (27/3).
Amir juga memaparkan bahwa masyarakat harus kembali pada makna yang disepakati tentang LGBT, contohnya homoseksual. Jika tidak, akan kesulitan untuk menentukan sikap dengan tepat.“Kalau homoseksual lebih merujuk kepada makna perbuatan seksnya, saya katakan Islam sudah memiliki sikap yang jelas dan keras terhadap perbuatan homoseksual tapi tidak terhadap orang-orang homonya sendiri,” ujar Amir.
Amir menerangkan lebih jauh, jika pengertian homoseksual merujuk kepada perbuatan seks kaum tersebut, jelas saja Islam menolak untuk menerima karena bertentangan dengan fitrah manusia yang diciptakan laki-laki dan perempuan untuk bereproduksi setelah diikat dalam fitrah perkawinan, yang ada hanyalah pemuasan nafsu belaka.
“Di dalam Islam, kita harus kembali kepada fitrah manusia, bahwa manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki inginkan perempuan, dan perempuan inginkan laki-laki untuk bereproduksi. Nah, homo tidak ada reproduksi tapi hanyalah sekedar pelampiasan hawa nafsu. Homo menyalahi kodrat ilahi. Inilah alasannya kenapa Islam menolak homoseks,” tambah Amir.
Dalam diskusi publik yang ditujukan membuka ruang diskusi kelompok pro dan kontra terhadap keberadaan kaum LGBT ini, hadir pula pemuka-pemuka agama Islam dari Fathayat Nahdlatul Ulama (NU), Indonesian Conference of Religion and Peace (ICRP), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam diskusi ini terjadi perdebatan yang cukup panjang di antara para pemuka agama tersebut mengenai paradigma yang harus dipakai dalam memadang fenomena ini.
Paradigma yang cukup tegas datang dari Rokhmat S. Labib dari HTI yang menyatakan bahwa Islam sebagai kebenaran mutlak tidak dapat membenarkan perilaku homoseksual dan menolak paradigma lain yang membenarkan hal ini.
“Harusnya kita tidak mencari alasan untuk memakai berbagai paradigma budaya, ekonomi, politik untuk membenarkan homoseksual. Kita kan fitrahnya bereproduksi. Bayangkan kalau perilaku homoseks itu menular kepada masyarakat, akan habis masyarakat dalam dua sampai tiga generasi,” tegas Rokhmat.
Sementara itu, Nurofiah dari Fathayat NU mengatakan bahwa kesulitan untuk menerima keberadaan homoseksual disebabkan penafsiran yang tidak tepat terhadap fiqih sebagai aspek utama dalam Islam. “Wacana agama Islam yang paling mewarnai kesadaran beragama adalah fiqih yang sering dilihat dari aspek lahir. Nah, Anda laki-laki atau perempuan dan seringnya dilihat dari segi fisik,” kata Nur.
Menurut Nur, pada faktanya ada orang yang fisiknya laki-laki, tapi alurnya adalah perempuan sehingga timbul bahasa perempuan terperangkap dalam tubuh laki-laki. “Nah, yang banyak ngomongin tentang agama adalah kaum hetero. Jadi homo yang dimengerti adalah yang ditafsirkan oleh orang-orang hetero. Menurut saya, yang paling kompeten untuk ngomongin soal homo ya kaum homo,” ujar Nur.
Hal senada juga dilontarkan oleh Direktur ICRP, Siti Musdah Mulia. Dia juga mendorong masyarakat dan pemerintah sama-sama memiliki upaya untuk menempatkan kaum LGBT sebagai kaum yang dihargai dan diterima dalam masyarakat sebagaimana adanya.
Seiring waktu, kalo kita melewatkan pengalaman (pembelajaran) dapat memungkinkan kita untuk berubah keyakinan beragama seperti halnya berubah orientasi seksual..
as an example, seorang yang sudah melewati pengalaman seksual dengan sesama jenis pasti belajar untuk menentukan apakah menurut dia ini sesuatu yang benar? apakah ini sesuatu yang membuat dia merasa nyaman? jika iya, dia pasti akan memilih untuk menjadi penyuka sesama jenis. dalam hal beragama juga kurang lebih sama.. sebagian dari kita menganggap agama kita paling benar, is it true? pernah membandingkan? untuk sebagian orang yang sempat mempelajari agama lain jika dia merasa agama itu benar, dan dia merasa nyaman, bisa jadi dia convert ke agama lain..
Hidup itu untuk memilih, kita selalu punya pilihan, oleh karenanya kita bertanggung jawab atas semua pilihan kita.. dan gw percaya menjalani kehidupan sebagai penyuka sesama jenis adalah pilihan hidup masing2, tidak digariskan oleh tuhan.. yang digariskan adalah kita menjadi penyuka sesama jenis, apakah kita mau menjalani for the sake of ourself, atau tidak menjalani for the sake of whatever, sekali lagi itu pilihan..
Just my two cents..
ade jg setuju...
hahahhahahhahhahahhahhaha
salam kenal nek'
tulisan yang bagus...
mau ga mau saya setuju dengan pernyataan si cream ini.....pernyataan yang tegas dan gamblang!!
gue sependapat ama yg di-bold ^
banyak hal dlm hidup, sy peroleh dgn menunggu isyarat dr Tuhan..
ketika saatnya tiba, semua jadi mudah.
menikah ukan cita2ku, but kalo Tuhan atur, maka semuanya akan jadi..
sebagaimana Tuhan atur, saya akan bertemu org2 yg berpengaruh dlm perjalanan hidupku, hjrah ku ke suatu kota,. rejekiku, bisnisku,..dan semuanya...
gak ada orang, atau organisasi, atau negara, yg berhak ut memutuskan nasib glbt, mereka bisa ngomong karena mereka bukan 'obyek penderitanya',..
kalo Islam, atau agama apapun tdk menerima kegiatan sexual kaum glbt, tapi anya menerima keberadaan kaumglbt,..WAH TIMPANG BANGET,..MANUSIA BUKAN MALAIKAT, NAFSU SEX, NAFSU AKAN DSB ADALAH ALAMIAH DAN KEBUTUHAN BIOLOGIS MANUSIA..
agama gak eprnah salah, AGAMIS DAN PEMUKA AGAMA YG SOK TAU, MRASA JADI WAKIL TUHAN DI BUMI, ..
urusan Tuhan, urusan bathin setiap pribadi langsung ke Tuhan,...
dosa,..surga , neraka,..pahala,..ukurannya adalah keikhlasan,..
kasih tau para kyai segala macam itu,..
: kisah pelacur yg menolong anak anjing yg hampir mati kehausan..
pelacur itu bersusah payah mempertaruhkan keselamatannya mengambil air dengan kasut/sepatu nya, dalam sebuah sumur yg nyaris kering..hanya ut seekor anjing yang dalam literatur islam dikelompokkan sebagai hewan haram,....
dan Tuhan menganjarnya dengan surga...
apa makanya,..? CINTA... rasa cinta dalam bathin pelacur kepada seekor anjing, hewan haram, menunjukan kecintaanya kepada Pencipta anjing tsb,..
so..SEKALI LAGI, URUSAN SURGA, NERAKA, PAHALA, DOSA, JGN DIHITUNG MATEMATIKA, ..gak ada ibadah bikin kamu mausk surga,..tapi RIDHO ALLAH,..kerelaaan Allah,..
banyak org merasa suci, semua ibadah ditekuni, tapi hatinya terlalu keras, kaku ut mencintai,...conothnya memahami nasib kaum glbt,..
PEDULI SETAN SAMA MUI,..semoga Tuhan menguji mereka jadi gay,..dan mereka bsia bilang apa...?