It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
masa????? coba liat???
manaaa???????? gak keliatannnnnn..........
emenk ga keliatan tuh... :roll:
gpp..
PEMAKAI MEREKA 70 PERSEN ADALAH GAY SISANYA WANITA
DALAM kamar sebuah hotel melati di kawasan Surabaya Selatan, dua pemuda sedang asyik bermain catur. Seorang lainnya suntuk mengisi TTS (teka-teki silang). Tak berapa lama, pintu kamar mereka dibuka dari luar. Seorang pria berkumis dan bertubuh kekar datang dan menyapa mereka.
"Lho, para TKI ini ngapain masih di penampungan? Memangnya mau berangkat ke mana?" ujar pria berkumis itu kepada tiga pemuda ganteng yang sedang asyik mengisi waktu di kamar hotel tersebut.
Seperti kor, ketiga pemuda tersebut menjawab serentak, "Mau ke Malaysia, Bos. Tapi, tak dijemput-jemput sama tekong."
Selanjutnya, tawa mereka berderai bersamaan, tak terkecuali pria yang dipanggil bos itu.
Tentu, ketiga pemuda tersebut bukan TKI (tenaga kerja Indonesia) beneran. Mereka adalah para gigolo (pelacur laki-laki) yang sedang menanti pelanggan. Di komunitasnya, mereka menyebut diri sebagai "kucing" yang menunggu mangsa. Sudah sekitar lima tahun ini para "kucing" itu tinggal di kamar hotel tersebut. Lima tahun?
Ya. Itulah pengakuan Rudi (bukan nama sebenarnya, Red), bos para "kucing" tersebut, ketika ditemui Jawa Pos pekan lalu. "Benar, sudah sekitar lima tahun ini saya sewa dua kamar di hotel ini untuk operasional. Sekarang tarifnya Rp 80 ribu per kamar semalam," jelas muncikari sembilan gigolo itu.
Selain untuk tempat berteduh para gigolo -kebetulan seluruhnya berasal dari luar kota-, kamar hotel tersebut sekaligus menjadi tempat "eksekusi". Khususnya bagi pelanggan yang memilih kencan dalam kamar hotel itu. "Kalau tamu tidak mau mem-booking ke luar, ya pakai kamar ini untuk kencan," ungkap bapak tiga anak tersebut.
"Lebih praktis daripada harus mengontrak rumah. Lagi pula, pelanggan lama tahunya ya di sini. Ngapain harus pindah," ujarnya ketika ditanya alasan mengapa tidak mengontrak rumah yang notabene bisa lebih murah dibandingkan sewa kamar hotel.
Saat order sepi, para gigolo banyak mengisi waktu luang dalam kamar sambil bersenda-gurau. Mereka mengibaratkan situasi seperti itu bak TKI yang sedang menunggu diberangkatkan ke luar negeri. Tak heran, mereka langsung tertawa terbahak-bahak ketika bos Rudi menyapa dengan anekdot TKI.
Jumlah pelacur laki-laki di Surabaya tak sebanyak dibandingkan "populasi" mereka di Jakarta. Berdasar investigasi Jawa Pos, di kota ini, ada enam kelompok gigolo. Masing-masing kelompok beranggota 4-12 orang. Selain di hotel, ada yang mengontrak rumah atau "menebas" seluruh kamar kos-kosan untuk pangkalan mereka. Bahkan, ada dua kelompok yang tak mempunyai home base. "Kami hanya menerima panggilan ke luar. Kami tidak menyediakan tempat khusus," tegas Andri (juga nama samaran, Red) yang lebih suka disebut koordinator germo itu.
Selain beroperasi secara berkelompok, banyak "kucing" yang "berkeliaran" di jalan-jalan. Di kalangan komunitas gigolo, mereka biasa disebut "kucing garong". Paling banyak di Bantaran Kalimas, Jalan Pemuda. Di lokasi yang sering disebut sebagai "Pattaya" itu, ada belasan pria penjaja cinta yang mangkal.
Tarif para gigolo jalanan tersebut tak berbeda jauh dari yang mangkal di kamar hotel melati atau kos-kosan. Untuk pria jasa layanan quickie express yang mangkal di Pattaya, tarif short time paling mahal Rp 100 ribu.
"Bedanya, anak buah saya lebih bersih dan kondisi fisiknya terjaga. Karena itu, biasanya para tamu pun tidak enggan memberi tip yang tidak sedikit. Pernah anak buah saya mendapat tip Rp 5 juta," ungkap Rudi.
Sebagai bos, untuk setiap transaksi, dirinya mendapat "royalti" Rp 50 ribu. "Meski anak buah saya mendapat Rp 5 juta, setoran ke saya tetap Rp 50 ribu. Itu rezeki mereka. Mau dimakan sendiri, silakan. Mau dibagi-bagi, ya monggo," kata pria yang telah menekuni dunia prostitusi tersebut sejak enam tahun lalu itu.
Bagaimana tarif kelompok lain? "Ya, kalau tarif, umumnya tidak banyak berbeda. Yang beda pada tip yang diberikan pelanggan. Jarang ada yang memberi pas Rp 150 ribu," ujar Adi (nama samaran), koordinator kelompok gigolo yang mangkal di sebuah rumah kontrakan di kawasan Surabaya Selatan.
Bagaimana dengan gigolo kelas atas? Rudi menggeleng. "Sepanjang pengetahuan saya, belum ada gigolo bertarif jutaan rupiah yang beroperasi di Surabaya. Kalau di Jakarta, banyak. Pangsa pasar di sini terbatas. Gigolo kelas atas bakal sulit cari makan di sini," jelasnya.
Meski relatif murah, bukan berarti kualitas gigolo kelas Rp 150 ribuan tersebut jelek-jelek. Menurut pengamatan Jawa Pos, para gigolo anak buah Rudi, misalnya, rata-rata berwajah tampan, berbadan atletis, dengan dandanan dandy.
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, Rudi mengaku anak buahnya pernah diorder beberapa artis ibu kota yang singgah di Surabaya. Para seleb cowok itu, tampaknya, ingin merasakan "jajanan" khas Surabaya. "Samalah para artis itu dengan orang lain. Kadang mereka pengin jajan juga," tegas Rudi, kemudian menyebutkan nama-nama artis ibu kota yang pernah menggunakan jasa anak buahnya.
Fenomena lain bisnis haram tersebut, para customer yang membutuhkan jasa gigolo kebanyakan adalah kaum gay. "Di antara sepuluh tamu, paling banyak hanya tiga yang wanita," ujar Rudi mengandaikan segmen pasar anak buahnya.
Dia menyatakan, memang ada gigolo yang khusus menerima tamu wanita atau gay saja. "Namun, jumlahnya sedikit. Sebab, pasti tamunya juga sedikit. Umumnya, kami melayani keduanya," ungkapnya.
Rudi menegaskan, sejauh ini dirinya dan anak buahnya tetap mempunyai orientasi heteroseksual. "Normalnya, kami masih sangat tertarik pada wanita. Bahkan, kalau ada wanita cantik yang mau jasa kami, rasanya tidak dibayar pun tidak masalah," ujarnya kemudian tertawa.
Kalau normal, bagaimana bisa menjalankan aktivitas "jeruk makan jeruk"? Untuk yang satu itu, semua kelompok gigolo berterima kasih kepada sebuah merek obat berbentuk pil yang konon kedahsyatannya melebihi obat penambah nafsu yang ada. Pil itu biasa mereka beli di toko-toko obat Tiongkok tanpa resep dokter.
"Cukup menelan setengah butir saja, sejam kemudian sudah on. Tak peduli lawan kami laki-laki sekalipun," tegas Rudi yang mengaku selama mengonsumsi pil itu tak pernah mengalami efek samping apa pun.
Antok, salah seorang anak buah Rudi, mengungkapkan, berprofesi sebagai pemuas nafsu harus kuat mental dan tegaan. "Saya pernah melayani nenek-nenek. Kalau normal, tentu saja saya tidak mau. Tapi, mau bagaimana lagi, ini profesi," kata pemuda 26 tahun yang baru sebulan "berkarir" di Surabaya itu.
Apa motivasi para pemuda ganteng tersebut nyemplung ke dunia hitam itu? Semua kompak menyebut alasan klasik, yakni masalah ekonomi. "Kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik, saya tak akan ragu-ragu pindah," tegas Rudi.
Pria 34 tahun tersebut lalu mencontohkan kisahnya. "Saya dulu penyanyi kafe," jelasnya.
Sayang, tempat dugem lebih suka mempekerjakan para penyanyi wanita. "Akhirnya, job saya sebagai penyanyi habis," katanya.
Kondisi itu sangat memusingkan kepalanya karena kebutuhan hidup semakin banyak. "Masak, susu anak mau diganti air tajin," ujarnya.
Setelah terombang-ambing dengan pekerjaan tak tentu, Rudi kemudian bertemu "mentor" gigolo di Bandung. "Saat itu, kami bertemu di wartel. Dia tampak sibuk dan banyak job. Lantaran tertarik, saya kemudian minta diajak bergabung," ungkapnya.
Awalnya, dirinya hanya diberi tahu bahwa Soni (nama mentor itu, Red) hanya seorang terapis pijat. Selama dua bulan, Rudi di-training Soni untuk bisa memijat. Setelah itu, Soni membawa Rudi ke Surabaya dan membuka jasa layanan pijat. Di Surabaya itulah Rudi kali pertama menjadi gigolo.
"Saya sampai stres dan tak mau makan selama seminggu ketika pertama melayani tamu laki-laki. Saya sampai terkena tifus," ungkapnya.
Hingga kini, keluarga Rudi sama sekali tidak tahu apa pekerjaan dirinya di Surabaya. Yang mereka tahu, Rudi bekerja sebagai bartender cukup sukses di Surabaya.
Alasan yang sama diucapkan Jaka, anak buah Rudi. Mahasiswa sebuah PTS di Bandung tersebut mengaku cuti satu semester ini demi mencari uang melalui jasa layanan gigolo. "Saya kerja ginian untuk cari uang kuliah saja. Buktinya, pendapatan saya selalu saya tabung di Bang Rudi," ujarnya.
Saat ini, Jaka sudah memiliki tabungan hingga Rp 5 jutaan. "Nanti saya ambil kalau saya mau kuliah lagi," tegasnya
DAPAT RUMAH DAN NENEK
SUKA dan duka selalu mewarnai perjalanan hidup Rudi, gigolo "senior" Surabaya. Namun, kata dia, lebih banyak duka. "Terus terang, siapa sih yang tak ingin kerja normal," katanya.
Salah satu yang menjadi pantangan terbesar bagi seorang gigolo, cerita Rudi, adalah jangan sampai aib itu diketahui masyarakat luas. Terutama kalangan teman-teman lamanya dan sanak keluarga sendiri. "Kalau ketemu sama Anda, saya tidak perlu malu karena Anda tahu saya gigolo. Tapi, beda kalau ketemu sama teman lama atau saudara dari kampung," papar lelaki asal Jawa Barat itu.
(disekitar ragunan....hihihihihihihihihhh...wuuussss...wuuussss)