Part 1
[ Aku ]
Sesuai janji, siang itu aku menuju bilangan timur Jakarta guna bertemu seseorang. Orang itu bernama Yudi, seorang polisi muda. Perkenalan ku dengan Yudi berawal dari ia mengirim direct message melalui akun instagramku, dan mengaku sebagai pembaca ceritaku. Tak ada yang istimewa di awal perkenalan, hanya saling menyapa jika kami sama-sama sedang Online.
Pertemuan hari itu adalah untuk yang kesenian kalinya. Dari Yudi, aku jadi tahu mengenai cerita-cerita di dalam jeruji besi. Pernah sekali aku menanyakan pada penyidik muda itu tentang kelakuan para narapidana di dalam sana, semuanya tampak biasa saja menurutnya. Namun ada seorang dari sekian banyak narapidana di dalam sana dengan kasus yang menurutnya cukup rumit. Aku pun menjadi penasaran.
Melalui pertimbangan selama beberapa waktu, Yudi pun memberikanku akses untuk mengunjungi rutan untuk menemui orang tersebut. Yudi menyambutku ketika aku sampai di sana. Udara panas segera menyergap ketika aku turun dari mobil. Melewati serangkaian pemeriksaan, aku berjalan menyusuri pintu gerbang rutan, di bawa naik ke lantai dua oleh Yudi. Sebuah ruangan yang cukup nyaman.
Dari ruangan ini, aku dapat melihat bangunan jeruji besi yang berada di seberang melalui jendela. Waktu itu jam istirahat, semua nara pidana sedang menikmati waktu mereka. Seorang napi yang bertugas menjadi tamping ( tahanan pendamping ) masuk ke dalam ruang sembari menyuguhkan aku segelas teh manis hangat setelah sebelumnya Yudi yang meminta. Dari cerita Yudi, di dalam rutan tersebut, para narapidana bebas memilih berbagai macam kegiatan yang di sediakan oleh pihak rutan, guna mengisi waktu, hal itu juga dapat di jadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pihak rutan sebagai pengurangan masa tahanan mereka.
Usai berbincang sekitar dua puluh lima menit, aku mendengar suara ketukan pintu dari arah luar, Yudi yang sedang bersamaku, mempersilahkan si pengetuk pintu untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang pemuda berkulit putih bersih dengan perawakan semampai menghampiri Yudi.
“ini mas Evan, kenalin dulu”
Dengan sopan pemuda itu menurut, mengulurkan tangannya padaku,
“Ryan”
“Evan”
Yudi mempersilahkan pemuda itu untuk mengambil kursi dan duduk di bagian tengah. Aku sedikit mengobrol dengan pemuda itu, usia nya baru 24 tahun, asal Surabaya. Aku masih ragu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mungkin Yudi menangkap gelagat pembicaraanku, ia pun meminta diri untuk keluar dari ruangan, dengan alasan masih ada pekerjaan, dan satu jam kemudian, ia akan kembali.
Setelah Yudi keluar, tinggallah aku dan pemuda itu. Hanya berdua.
Ku tatapi wajah pemuda yang sedari awal menunduk namun mencuri-curi pandang terhadapku.
“mm... sekarang udah tinggal kita berdua” sergahku, “boleh aku bertanya??” sambungku yang di jawab dengan anggukan,
“kalau boleh tahu, Ryan bisa di sini karena kasus apa?”
Ryan menengadahkan kepala, melihatku sejenak, lalu menunduk kepalanya lagi. Diam.
“apa Ryan cukup leluasa kalau aku bertanya tentang hal ini?”
Lagi-lagi Ryan mengangkat kepalanya,
“sebenarnya mas nya mau ngapain?”
Mendapat pertanyaan ini, aku serasa tersudut, aku pun bingung sebenarnya. Aku berusaha tenang, menghela nafas, lalu mencoba memikirkan jawaban untuk ku jawab
pertanyaannya,
“aku, penulis cerita”
Ryan menjatuhkan pandangan lurus dan tajamnya padaku. Antara takut dan salah tingkah berbaur menjadi satu. Dengan tatapannya yang seperti itu, aku jadi dapat memperhatikan wajah Ryan dalam jarak yang sangat dekat dan detil.
Pemuda berusia 24 tahun itu memilik wajah yang tirus, rambut cepak yang di wajibkan bagi seluruh napi, kedua alis tebal, mata cokelat di padu bulu mata lentik, hidung kecil mungil namun tinggi, serta bibir yang cukup tipis berwarna kemerahan. Boleh di bilang sempurna.
“mau tulis ceritaku?”
Aku mengangguk ragu,
“gunanya apa? Supaya mas bisa dapet keuntungan dengan mengumbar cerita orang”
Aku terdiam tanpa kata. Kata-kata tajam yang pernah ku terima dari orang yang pernah ku temui.
“aku nggak bermaksud gitu”
“terus?”
Lagi-lagi aku diam, benar-benar memutar otakku untuk mencari jawaban yang tepat.
“kalau mas demang nggak ada niat gitu, ngapain juga sengaja minta pak Yudi buat ketemu aku”
Sedikit geram dengan cara bicaranya yang ketus, aku berinisiatif untuk sedikit egois,
“ya.. aku berniat untuk menulis cerita kamu” sela ku, “salah?” lanjut ku bertanya,
“nggak ada kerjaan?”
“banyak”
“kerjain aja kerjaan mas, nggak usah kepo sama orang lain kalau mas sendiri nggak bisa ngapa-ngapain”
Aku kembali terdiam, otakku berusaha mencerna setiap perkataannya. Setiap perkataannya aku pahami dalam-dalam sebagai balasanku untuk menyerangnya dengan jawaban yang dapat di terima oleh Ryan,
“aku dengar dari pak Yudi, kasusmu masih gantung”
Masih dengan mata yang tak lepas dariku, Ryan terdiam. Aku berusaha mencuri kesempatan ketika aku melihat Ryan yang terdiam seolah sedang berpikir,
“sekarang ini, banyak sekali kasus ataupun berita di luar sana, yang memanfaatkan penulis, wartawan untuk membuat klarifikasi, dan setelah tulisan muncul, khalayak umum jadi tahu mengenai salah atau benarnya sebuah kasus ataupun berita yang beredar itu” terangku tanpa di tanya, Ryan masih terdiam, tangannya ku lihat sedang memilin-milin ujung seragam tahanan yang di kenakannya,
“aku rasa kamu paham dengan kata-kataku” sambungku,
“itu kan dari sudut pandang mas nya yang kepo” komentar Ryan menanggapi,
Aku menundukkan kepalaku sejenak, menghelan nafas panjang, seolah dadaku sedang di timpa oleh sebuah beban yang cukup berat, sehingga aku harus berfikir bagaimana untuk melegakannya,
Tatapanku dan tatapan Ryan saling bertemu, hingga tak sadar, pembicaraan kami berdua, sudah sampai di penghujung waktu yang di tentukan. Yudi masuk ke dalam ruangan, mempersilahkan Ryan untuk kembali ke dalam blok sel nya.
“gimana?”
Aku menatapi Yudi. Seolah tahu apa yang ku pikirnya, polisi muda itu segera berkomentar,
“apa sudah dapat informasi?”
Kedua sudut bibirku menyungging senyum simpul,
“belum semua, tapi menurutku cukup untuk sebagai permulaan”
Yudi mengangguk-angguk yang menurutku tak jelas, aku pun tak mempermasalahkannya.
***
“kalau kamu mau ketemu dia lagi, hubungi aku aja, nanti aku yang jemput kamu” ujar Yudi di saat mobilnya yang ku tumpangi berhenti di depan rumahku,
“ya mas... makasih banyak”
Aku membereskan barang-barang, bersiap untuk turun,
“malam nanti ada acara?” tanya Yudi yang membuat niatku terhenti sejenak,
Aku berusaha memikirkan,
“nggak ada mas...”
“bisa ku jemput?”
Ku lihati wajah Yudi yang sesekali melirik ke arahku,
“mau ke mana?”
Polisi muda itu mengangkat bahu dan menetralkannya dengan cepat,
“terserah... aku ngikut”
***
Beberapa hari setelahnya, dalam waktu satu minggu dua kali, aku mengunjungi rutan. Selain di pertemukan oleh Yudi dengan Ryan, aku juga di berikan kesempatan untuk melihat-lihat para napi yang berada di BimGiat ( bimbingan kegiatan ). Meskipun mereka sedang menjalani hukuman, namun mereka juga tak berhenti dalam berkreasi. Hasil kreasi mereka juga dapat kita temui di luaran sana.
Siang itu, Ryan kembali menemuiku. Aku tak lupa membawakannya makanan yang sebelumnya ia minta untuk di bawakan. Ryan yang sekarang ini, mulai lebih terbuka di banding awal aku bertemu. Ternyata pemuda ini sangat menarik, murah senyum dan juga baik. Sempat berbincang pada pertemuan sebelum-sebelumnya. Ia mulai menjadi cukup sensitif semenjak di pindah ke dalam rutan ini. Petuah-petuah napi lainnya pada saat dirinya masih menjadi tahanan polres untuk keperluan penyidikan, menjadikannya cukup sensitif. Aku berusaha memahami. Terkadang satu lingkungan dapat berpengaruh besar terhadap sifat seseorang.
Yudi mengisyaratkan padaku dari tempat dirinya duduk, jika waktu bertemu akan segera berakhir, aku mengangguk mengiyakan, setidaknya, kedatangan kali ini, aku sudah mendapat beberapa bagian cerita dari seorang Ryan. Setelah membuang bungkus makanan, dan membersihkan mulutnya, Ryan pamit dari ruangan, tinggallah aku dan juga Yudi.
“gimana?”
Aku menghela nafas lega, wajahku sedikit terasa sumringah,
“ok” jawabku singkat,
“ok apa nih?”
“ya... ok aja”
Yudi yang tak paham, dengan wajah yang di hiasi senyuman tak mengerti bangkit berdiri, mengulurkan tangan ke arahku,
“yuk...”
Ku tengadahkan kepala, ku lihati wajah Yudi, lalu membalas juluran tangannya. Hanya sampai di dalam ruangan itu aku merasakan genggaman tangan Yudi, keluar ruangan, aku lebih dulu berjalan di depannya. Tak terasa, aku mengenal Yudi dan juga Ryan, hampir 3 bulan lamanya. Waktu terasa sangat cepat.
Ponselku berdering, tanda pesan masuk.
Aku yang sedang berada di atas kasur, dengan cepat ku raih benda berbentuk persegi panjang itu, ku lihati nama pengirim dari jendela layar,
***
Yudi
( Online )
Malam, lagi apa nih?
Tak begitu menyadari, wajahku mengembang, kedua sudut bibirku tertarik ke atas.
Ku arahkan jari-jariku, untuk membalas,
"Lagi nyantai aja, km?"
Yudi
( Sedang mengetik )
Sama, lagi nyantai juga
Udh mkn mlm?
"Udah nih, km?"
Yudi
( Sedang mengetik )
Udah donk,
Lagi dimana?
"Di kamar"
Yudi
( Online )
Owh... gabut nih hahaha
"Gabut knp?"
Yudi
( Online )
Nggak tau, gabut aja
( Sedang mengetik )
Mau jalan?
Aku menekuk kedua alisku,
"Mmm.. boleh, kmn?"
Yudi
( Sedang mengetik )
Terserah, aku ngikut
"Lhaa.. aku juga nggak tau mau kmn hehehe..."
Yudi
( Sedang mengetik )
Yaudah, aku siap2 dulu, dah itu jmpt km,
( Sedang mengetik )
Ok?
"Ok deh... di tnggu"
***
“gimana tempat ini?” tanya Yudi selesai makan
Aku melihati suasana sekitar, sebuah restoran yang tepat di belakang kami adalah sebuah pantai lepas.
“ok kok”
“suka?”
Aku melihati Yudi untuk sejenak, kemudian mengangguk. Yudi tak menjawab ataupun bertanya lagi, yang ku lihat wajahnya menunduk sembari kedua sudut bibirnya menyungging senyuman. Malam itu, setelah menjemputku, Yudi mengajakku untuk nongkrong di sebuah restoran yang letaknya berada di tengah-tengah kawasan pantai. Sebuah restoran masakan lokal. Kata Yudi, biasanya restoran itu sangat ramai jika weekend tapi di karenakan hari itu adalah weekday restoran tak begitu ramai.
Selesai makan, Yudi mengajakku untuk berjalan-jalan di sekitaran restoran yang hampir seluruhnya adalah hamparan pasir putih. Angin laut yang berhembus ke darat, membuat tubuhku sedikit menggigil. Tanpa ku minta, Yudi mengenakan jaket berbahan kulit miliknya padaku.
“makasih” ucapku yang di sambut senyuman manis milik polisi muda tersebut.
Jaket milik Yudi ini, beraroma parfum khas pria, hangat dan menenangkan, lebihnya, aroma tubuh khas milik Yudi juga menyergap indera penciumanku. Yudi mengajakku untuk duduk di satu sisi pembatas pantai yang terbuat dari tumpukan-tumpukan batu. Baik aku maupun Yudi, kami sama-sama membisu meskipun kami duduk bersebelahan. Mata kami menatapi beberapa titik bintang yang tersebar di langit gelap, melihati lampu-lampu kecil dari kapal nelayan di ujung pantai. Romantis? Mungkin.
Bagiku, sosok Yudi adalah sosok pria yang tenang, murah senyum, ramah, dan hangat.
Di balik itu semua, aku merasa Yudi adalah sosok pria yang sedikit terbilang misterius.
Dari beberapa kali pertemuan, aku sudah dapat merasakan itu, tapi, aku tak mau dengan cepat mengambil keputusan seperti itu.
“kok diem?” tanya Yudi tiba-tiba yang membuat lamunanku memudar bersama dengan angin,
“hah? Oh”
Aku menjadi sedikit salah tingkah. Ku lihat Yudi tertawa sambil menatapiku,
“kamu tu lagi mikirin apa?”
Kepalaku menggeleng, lalu dengan cepat aku memalingkan wajahku ke arah lain, tak mau di dapati Yudi jika aku sedang mendeskripsikan dirinya dalam benak ku. Yudi sedikit menggeser posisi duduknya untuk lebih dekat dengan tempatku duduk. Masih dalam diam, aku membiarkan Yudi menyelipkan jari-jarinya diantara jari-jariku.
“nggak apa kan?” tanya Yudi,
Aku tak menjawab, masih menyembunyikan wajah ke segala penjuru. Aku merasa wajahku memanas.
***
Comments