It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
di halaman 2
Ini semua - happy happy, serasa di awang2, adalah dalam pikiran kamu. Well apa kamu tahu apa yang ada dalam pikiran dia? Paling nggak, tanggapan dia gimana waktu tahu kamu mau datang?
Ini emang hidup kamu, dan kalau nggak nyoba ya nggak tahu, makanya temen2 pada bilang terserah dan go ahead. Tapi step back dulu dan lihat apa emang ada tanggapan positif?
Mungkin lebih baik kamu bikin persiapan perjalanan dangan niat bahwa kamu mau visit tempat itu, dan ketemu dia adalah nilai plus. Bukan the main reason.
Gw nggak mau kamu udah susah2 waktu, tenaga dan duit to focus on something yang ternyata useless. Nanti kecewa dua kali lipat.
Sorry for being honest. And good luck.
Sampai stalking segala.
Di chat ga dibales, galau.
Seberapa urgent kah chatting yg kamu kirim?
Berapa lama kalian kenal?
Berapa kali kalian meet up?
Selama itu, kamu yakin dia gak ketemu orang lain?
Masing single lho.
Akrab sama siapa pun sah sah aja.
Pernahkah kamu mikir dia jarang bales karna chatmu gak penting misalnya? Atau kurang berisi karna 'yang penting komunikasi terus gak putus putus' mungkin?
Atau mungkin dia gak pinter chat. Pada awalnya chat responsif. Sering, panjang, menarik. Tapi lama lama energi dia abis. Jadi sulit lagi mulai percakapan atau bahkan sekedar bales.
(Ini pertanyaanku untuk tulisanmu di page 2 sih).
Kamu beneran tau bahwa yg kamu alami itu konsprirasi semesta atau cocoklogi kamu aja?
Bedanya bisa tipis loh.
Aku mau coba bahas ini dulu deh.
Aku pakein spoiler aja karna panjang.
Aku bahas ini, dengan asumsi kamu kenal sama dia belum lama lama banget dan gak seberapa sering ketemu.
Soalnya kamu gak cerita sih soal itu, jadi aku pake asumsi aja.
Aku tau soal konspirasi semesta dari sana dan percaya (sekarang... Udah beda lagi).
Bahkan setelahnya aku baca bukunya Ayu Utami yang trilogi Parasit Lajang dan Bilangan Fu, Supernovanya Dee, dan 2 buku Conversation with God yang sedikit banyak membahas soal hal yg sama. 'Konspirasi semesta'.
Gak sesederhana dan semudah itu.
Apalagi kalau ternyata ada intervensi cinta.
Aku tadinya berpikir cinta itu harus ada tempo yang pas. Gak bisa langsung gede di awal. Pelan pelan komunikasi dan interaksinya.
Nyatanya cinta gak harus seribet itu. Gak akan bisa selalu pelan pelan, gak akan bisa selalu tumbuh dari bibit sekecil upil sampai besar dalam tempo yg lama dan "wajar".
Cinta ini bisa bikin orang jadi 'akusentris'. Gak coba memandang dari sudut pandang orang lain. Akusentris berarti pusatnya di aku. Akhirnya semestamu itu gak utuh dan gak coba mandang dari sudut pandang dia.
Misal kamu mau ke kotanya. Ya kamu mah seneng. Duit juga ada. Waktu bisa diatur. Masalahnya, coba mikir dari sudut pandang dia.
Coba kamu pikirin lagi, kalau misalnya kamu didatengin jauh jauh sama orang yang belum lama kenal dan hanya beberapa kali ketemu (dan agendanya bener bener cuma untuk ketemu sama kamu doang, bukan dalam rangka mampir), kamu bakal ngerasa aneh gak sih? Katakanlah katamu 'gak sih. biasa aja'. Nah kalau selama ini kamu kenal dia, benarkah dia bakal mikir kayak gitu juga?
Kalau jawabanmu ga tau, ya berarti kamu belum kenal sama dia.
Trs ngapain dibela belain?
Gapapa sih sebenernya. Selama siap kalau bayangan yang ada di kepalamu gak jadi nyata.
Kamu bisa aja mikir kalau kamu punya keinginan yang kuat, semesta pasti akan berkonspirasi bantu kamu.
Masalahnya, coba tanya sama diri sendiri.
Keinginan kamu apakah 'akusentris'?
Kedua, sudah taukah kamu semesta itu adalah "kesatuan dari semuanya"? Which is, mengutip dari kata Dewi Lestari, Individu adalah ilusi?
Semesta itu satu yg tak terbatas.
Untuk bisa sampai ke tahapan itu sulit dan gak cepet.
Untuk sampai ke tahapan satu yang tak terbatas, kamu harus bisa melalui tahapan menjadi terbatas. Menjadi individu. Mengalami ilusi untuk tau betul bahwa itu ilusi, alih alih menyangkal.
Dengan begitu, kamu bisa kenal sama yg kamu sebut semesta.
Nah, sudahkah kamu mengenal semestamu?
Apa ternyata konspirasi semesta yang menurutmu kamu alami gak lebih dari sekedar cocoklogi?
Ugh! Maaf ya kalau panjang banget, fokusnya jadi lari ke mana mana, dan mungkin ada kekurangan atau malah ngaco.
(Well, gue sih tetep gak nganggep ini ngaco. Ahahahahahaha).
Balik lagi ke kasus nyata.
Ada yang pernah ngasih tau aku, expect nothing. Ya udah sana lakukan apa yang mau kamu lakukan, tp jangan pernah berharap apa apa. Kalau sulit, expect less. Berharap tp dikit aja. Punya 'rencana'? Bikin pro-con di otak kamu. Kenapa kamu harus melakukannya dan kenapa gak. Baru putuskan mau dieksekusi apa gak. Apa pun yg dipilih, kudu siap sama hal hal apa pun yang terjadi.
Mudah mudahan tanggepanku msh relevan.
Kalaupun enggak, semoga karna keadaan sudah lebih baik
@santogoliat well gw nggak akan sugarcoat this ya.
Ini semua - happy happy, serasa di awang2, adalah dalam pikiran kamu. Well apa kamu tahu apa yang ada dalam pikiran dia? Paling nggak, tanggapan dia gimana waktu tahu kamu mau datang?
Ini emang hidup kamu, dan kalau nggak nyoba ya nggak tahu, makanya temen2 pada bilang terserah dan go ahead. Tapi step back dulu dan lihat apa emang ada tanggapan positif?
Mungkin lebih baik kamu bikin persiapan perjalanan dangan niat bahwa kamu mau visit tempat itu, dan ketemu dia adalah nilai plus. Bukan the main reason.
Gw nggak mau kamu udah susah2 waktu, tenaga dan duit to focus on something yang ternyata useless. Nanti kecewa dua kali lipat.
Sorry for being honest. And good luck.[/quote]
Hi @Adrian69 , thanks masukannya. I really appreciate it. Niat ke sana memang bukan hanya sekedar utk dia. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya bahwa aku pernah ke sana sebelumnya, dan dulu aku pernah buat nazar akan kembali ke tempat itu suatu saat nanti setelah aku punya rejeki. Dan bertemu dengan dia mengingatkanku kembali dengan apa yang sudah aku janjikan 5 tahun lalu saat pertama ke sana.
Hi @inibudi , tanggapan kamu sangat relevan dan saya sangat senang membacanya. Terima kasih. Apa yang kamu tuliskan adalah benar adanya karena apa yang kamu tuliskan sama dengan apa yg logikaku katakan selama 5 bulan sejak kenal dia.
Hal positifnya adalah karena perasaan galau itu aku jadi banyak belajar ttg psikologi, banyak membaca buku, termasuk tentang semesta seperti yang kamu sebutkan, aku jadi lebih belajar mengenal diriku sendiri dan banyak latihan pribadi yang aku lakukan, seperti di bukunya The Power Shonda Byrne yang pada akhirnya memberikan pengaruh positif kepadaku.
Aku menyadari dalam hidup butuh suatu "experience" untuk menyadarkan/mengajarkan kita, dan selalunya utk experience itu ada harga yang harus dibayar. Dalam kasusku ini adalah bertemu dengan dia. Pada akhirnya aku memetik hal positif atas itu semua. Apalah artinya pengalaman kalau tidak bisa belajar/mengambil hal positif dari pengalaman itu.
Cerita ini masih berlanjut, tidak begitu panjang, sampai akhirnya selesai, dan semua itu meyakinkanku bahwa semesta itu memang mendukung.
Sebagai informasi, dua bulan sebelumnya dia memberi tahu sedang mengikuti ujian seleksi program residensi. Dan hasilnya akan diumumkan dalam waktu dekat, kalau ia diterima maka semua jadwalnya akan berubah. Daripada sampai di sana tidak bisa bersama lebih baik di reschedule saja.
Sedikit kecewa, namun aku menyadari apa yang dia katakan ada benarnya. Toh, masih ada jeda waktu seminggu menunggu hasil ujiannya keluar dan seminggu lagi sebelum tanggal keberangkatan ke sana.
5 bulan sejak chatting pertama, dan 2 bulan sejak pertemuan singkat di bandara, selama 5 bulan logika dan perasaanku “bertengkar” terkait dengan dia. Pada akhirnya niat ke sana tetap kuat, karena aku menjadi ingat suatu hal terkait kunjungan pertamaku ke kota itu 5 tahun lalu.
Apa yang membuat niatku semakin kuat ke sana adalah karena mengingat apa yang sudah aku ‘janjikan’ dulu saat pertama kali berkunjung ke kota itu. Seperti yang sudah aku ceritakan sekilas di awal, dulu aku pernah ke sana sebelumnya. Dulu, pertama kali ke sana aku masih baru lulus kuliah dan menganggur. Salah satu sepupuku memintaku untuk menemaninya ke sana karena ia akan mengikuti test kerja di sana. Itu kali pertama dia “keluar kandang”, dan dia tahu kalau aku suka traveling maka dia mengajakku untuk menemaninya.
Karena jadwal test sepupuku itu ternyata lebih lama dari perkiraan, maka kami terpaksa tinggal di sana selama 2 minggu lebih. Kami tinggal di salah satu rumah saudara yang berada di komplek sebuah gereja, karena saudara kami itu adalah seorang pendeta. Seingatku dulu ada 3 kali ketemu hari minggu, tapi kami tidak pernah ikut gereja bersama keluarga saudara itu meski gerejanya di samping rumah tempat kami tinggal karena memang kami beda. Setiap minggu kami memilih ibadah di gereja di mana kami seharusnya.
Di gereja itulah aku membuat sebuah janji doa, kelak aku berhasil dalam karirku, aku akan kembali ke sini untuk mengucapkan syukur. Karena kepergianku ke sana tepat setelah aku menyelesaikan kuliahku dan sedang proses mencari kerja.
Hampir 6 tahun setelahnya aku hampir lupa akan janji yang kuucapkan dulu. Padahal secara karir aku sudah cukup berhasil, setidaknya untuk ukuranku sendiri. Aku merasa bersalah dengan diriku sendiri, karena sudah melupakan janji doa itu, padahal apa yang kuminta dulu saat berdoa di sana, semuanya sudah kudapatkan. Bertemu dengan dia, yang berasal dari kota itu, mengingatkanku kembali akan janji doa ku dulu di gereja itu. Itulah salah satu alasanku kenapa aku begitu berniat pergi ke sana.
Seminggu kemudian dia mengabari kalau dia lulus dan akan memulai program residensinya minggu depan, jadi jadwal keberangkatanku ke sana adalah di akhir pekan pertamanya sebagai residen. Setelah jadwal residensinya keluar ternyata di weekend di mana aku seharusnya berangkat ke sana dia harus mengikuti kegiatan yang terkait dengan residensinya itu. Dia minta maaf dan menyarankan kalau bisa di reschedule.
Sedih dan kecewa, namun aku menyadari bahwa itu terjadi karena suatu hal di luar kontrolnya. Dan dari sisiku, aku harus mengatur ulang jadwal dinas dan fly back yang sudah diatur sebelumnya. Sedikit informasi, aku bekerja sebagai konsultan dan sedang menangani project di pedalaman, mendapat jatah kembali ke Jakarta sekali sebulan selama 4 hari. Rencana awalnya jatah fly back bulan ini akan aku gunakan untuk pergi ke kotanya. Karena jatah tiket dari kantor sudah dipesan utk ke Jakarta , aku tetap berangkat meski tidak jadi mengunjunginya. Dan aku memutuskan untuk terbang mengunjungi orang tuaku, daripada bengong di Jakarta tidak ada kegiatan.
Kemudian kita berdiskusi lagi terkait rencana itu dan aku hanya bisa ke sana lagi bulan berikutnya, karena jatah libur dan fly back ke Jakarta hanya sekali sebulan. Kita pun sepakat. Dia berjanji akan berusaha untuk meluangkan waktu meski tidak bisa 100%. Aku mengerti itu sepenuhnya, sebagai pengikut serial Grey’s Anatomy, aku mengerti bagaimana jadwal seorang residen itu. Akhirnya tiket yang sudah kupesan dari Jakarta ke kotanya aku reschedule ke bulan depan. Dan kini, aku tidak lagi menaruh harapan yang terlalu tinggi, bahkan aku sudah “belajar” untuk menerima kenyataan kalau nanti saat aku di sana tidak bisa bertemu dengannya, karena aku tidak ingin kecewa. Berserah saja. Toh aku punya misi lain selain bertemu dengan dia ke sana.
Mungkin karena dia tahu aku agak kecewa, setelah itu dia jadi sering mengirim foto-foto aktivitasnya. Entah saat sedang jaga atau bersama teman-temannya. Pastinya terhibur dengan foto-fotonya itu, apalagi dia mengirim foto bersama teman-teman seprofesinya, setidaknya itu adalah tanda kalau dia percaya.