Kenapa pula aku tidak mengajaknya bertemu di Mcd Sarinah, pikir Radit. Ia masih berada di dalam kereta yang sedang menuju perhentian stasiun transit terakhir Manggarai. Orang-orang berdesakan dan berhimpitan hingga nyaris tiada ruang untuk bernapas, Radit terselip diantara dua bapak yang ditaksir olehnya berumur lima puluh tahunan. Tangannya bahkan tidak sanggup menggapai pegangan untuk menjaga keseimbangan tubuh kurusnya, maka ketika dalam satu gerakan kereta berhenti secara tetiba, dirinya terdorong, tersungkur menabrak desakan orang hingga apabila terlihat dari kejauhan akan membentuk semacam ombak kecil di laut lepas.
Biasanya ia pergi dengan bermodalkan mobil pinjaman dari saudaranya tetapi kali ini mobil tersebut tengah dipergunakan hingga terpaksa dia harus merasakan siksa tenggelam diantara lautan manusia. Padahal hari ini minggu sore, belum saatnya para muda mudi keluar untuk bercinta. Suara pemberitahuan mengenai pendaratan di Stasiun Manggarai menggusir keluh kesahnya. Hiruk pikuk orang yang tidak sabar keluar segera menggema ketika pintu terbuka otomatis, dirinya terdorong keluar bahkan sampai kakinya terangkat dari lantai. Dia selamat, syukurnya walau nyaris mati tidak bernapas.
Dia berani bertaruh dandanannya telah hancur lebur dimakan oleh keringat dan bau ketiak. Radit bergegas berlari, menyebrangi antar peron hingga menemukan toilet yang berada dipaling ujung stasiun. Dengan langkah kilat di satu bilik, ia berdandan, mengelap seluruh keringatnya, membasuh mukanya, merapikan rambut, mengenakan lotion badan hingga parfum disemprotkan ke sekujur tubuhnya. Setelah merasa bahwa ketampanannya telah kembali, ia dengan rasa percaya diri dia keluar dari kamar mandi, tampak segar dan bercahaya bak model iklan sabun susu. Tetiba langkahnya terhenti, segera dia mengambil tas ranselnya, membuka dan mengaduk-ngaduk isinya. Dia mengambil satu buah kacamata murah seharga dua puluh ribuan yang dibeli di pinggir jalan, dikenakan kacamata itu dan lalu satu buah buku tebal berjudul Pulang karangan Leila S Chudori tidak luput dikeluarkan dan digenggam. Semakin mantap rasa percaya dirinya, segera dia kenakan kembali ranselnya dipunggung dan berjalan dengan gagaj seperti seorang jenius, pintar, bahkan beberapa kali dibenarkan posisi kacamatanya.
Radit tersenyum malu, sumeringah dan malu-malu ketika melihat sesosok pria yang telah diajaknya untuk bertemu di hari minggu yang terik ini. Pria itu melambaikan tangan dari kejahuan di seberang jalan ke arahnya yang baru saja keluar dari stasiun. Ditengok kanan kirinya dan dengan terburu-buru menyebrang jalan ketika satu buah motor tepat nyaris menyerempatnya yang dimana sumpah serapah keluar dari mulut sang pengendara.
“Nyaris saja,” Ucap Radit sambil menyeka keringat.
“Hati-hati makanya,” Ucap Pria yang tengah memasukkan handphone ke saku celana. Pria itu kurang lebih berumur tiga puluh tahunan yang jelas terpaut jauh umurnya dengan Radit yang masih dua puluhan. Tetapi dari raut wajahnya tidak terpancar muka menua melainkan hanya kelelahan, terbukti dengan kantung matanya yang menghitam sangat.
“Ahahaha..tidak apa-apa kok, orang Jakarta kan begitu, bawa kendaraan sesuka hati, tabrak sana tabrak sini!,” Diulurkan tangannya ke Pria tersebut. “Radit…”
“Adrian,” Katanya dengan suara halus yang membikin mabuk kepayang. Disambutnya tangan Radit dengan jabatan sedikit keras dan dewasa. Lantas pria itu kemudian berjalan pelan sambil diikuti oleh Radit, mereka menuju satu buah mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka bertemu tadi.
Mereka kini berada dalam mobil, memasang seat belt, lalu mobil yang dikemudikan oleh Adrian berjalan, melawan panas terik dan berlalu menjauhi Stasiun Manggarai.
“Kamu suka baca buku?” Obrolan pertama dimulai dari Adrian untuk memecah rasa kagok dan hening.
“Ah iya.. lumayan suka terutama sastra, kamu sendiri bagaimana?”,
“Aku juga suka, kamu baca buku-buku Goenawan Mohammad?”
“Wah aku pingin banget baca tapi belum kesampean, belum nemu bukunya,”
“Aku punya buku-bukunya, kamu mau pinjam?”
“Wah boleh banget!,”
“Gimana tentang ‘Pulang’? udah habis bacanya?”
“Belum nih, baru saja dibaca”
“Udah sampai mana memang bacanya?”
Mobil tetiba berhenti tepat di lampu jalan yang tengah berwarna merah. Pembicaraan mereka berhenti sesaat. “Kamu kerja dimana?”, Radit mengganti topik pembicaraan secara sepihak menghindari obrolan mengenai buku yang belum disentuhnya itu bahkan bermodalkan pinjam dari teman kostnya.
“Aku kerja di daerah Tangerang. Kamu masih kuliah yah?”
“Iya, aku kuliah di daerah Depok,”
“Di UI?”
“Iya,”
“Jurusan apa?”
“Sastra Indonesia,”
“Wah pantas suka baca buku yah,”
“Ah enggak juga kok biasa saja,”
“Eh kamu kenal enggak sama….”, Suara klakson mobil menandakan waktunya mobil kembali melaju, Adrian sesegera mungkin kembali mengendarai mobilnya.
“Kamu kerja sebagai apa?” Tanya Radit yang kembali mengubah jalur pembicaraan karena boro-boro dia kuliah di Universitas Indonesia, dirinya hanyalah seorang mahasiswa drop out itu juga dari salah satu universitas-paling-tidak-ternama. Akhirnya, sebisa mungkin dia menghindari kelanjutan pembicaraan mengenai kebohongan buatannya karena jelas, Adrian lelaki yang baru ditemuinya akrab dengan lingkungan kampus yang asal disebutkan olehnya.
“Aku kerja jadi manajer di salah satu mall….kamu semester berapa?”, Adrian tampak fokus mengendarai mobilnya.
“Aku semester akhir nih, lagi sibuk skripsi!” Radit pelan-pelan mendaratkan tangannya di paha Adrian dan mengusapnya dengan lembut. “Kamu sudah menikah yah?” Tangannya semakin nakal, mengusap-ngusap dan sengaja menyentuh bagian selangkangan Adrian.
“Belum nih,” Adrian tampak cuek dan tetap fokus mengendarai mobilnya.
“Tapi punya pacar cewek kan?” Radit sedikit gemas dengan sikap dingin Adrian, tangannya semakin berani dan tengah meremas selangkangan Adrian dengan isinya yang masih belum berontak minta dikeluarkan.
“Aku dulu pernah jatuh cinta…” Tetiba Adrian berkata demikian dan membuat tangan Radit terhenti, wajahnya melongo memperhatikan mimik datar muka Adrian yang kemudian tersenyum hangat sambil menatap jalan yang dipadati oleh kendaraan Ibu Kota.
“Oh…sama siapa?” Radit harus mengakui bahwa dia tidak terlalu antusias dengan kejujuran Adrian karena dalam benaknya hanya ada berahi meminta untuk dikeluarkan. Sedari tadi dia sudah menggigit bibirnya, menyapunya dengan lidah, membuat mimik muka nakal, minta digagahi oleh pria di sebelahnya.
“Harimau” Jawab Adrian yang sedang memakirkan mobilnya.
“Hah? Apa?” Kini mereka telah berada di depan satu buah hotel. Adrian mematikan mesin mobil, lalu keluar diikuti oleh Radit yang masing terbingung-bingung dengan perkataan Adrian walau mau tidak mau harus diakuinya membuatnya sedikit meragu untuk melakukan kencan sekali malam ini akibat tingkah laku Adrian yang mendadak aneh.
Adrian memberikan sinyal untuk masuk ke dalam Hotel. Ketika Adrian tengah sibuk di depan Resepsionis, Radit meyakinkan diri bahwa mungkin saja dia salah dengar akibat terlalu fokus dengan selangkangan Adrian yang menggiurkan. Di dalam otaknya kini hanya pertanyaan-pertanyaan seputar berapa besar, berapa panjang, seberapa kesar, dan lebat kemaluan pria yang sedang membayar satu kamar di hotel untuk semalaman ini nanti.
“Enggak capek nenteng buku terus?” Tanya Adrian memecah keheningan di dalam lift yang sedang menuju lantai lima belas.
“Oh enggak kebiasaan aja dari dulu,” Jawab Radit dengan senyum yang mengembang. “Malah ganjil rasanya kalau tidak ada yang ditenteng,” Kembali memperjelas apa maksudnya.
“Oh begitu, aku juga dulu kenal mirip sekali sepertimu,” Adrian melihat ke arah Radit dengan senyum yang hangat.
“Siapa? mantan mu yah?” Rasa penasaran sedikit demi sedikit mulai muncul.
“Tidak bisa dibilang begitu sih,” Adrian tampak mencari-cari jawaban yang tepat namun terlihat dari wajahnya sulit untuk menemukan apa deskripsi yang bisa diberikan kepada laki-laki yang baru ditemuinya ini.
“Jadi?” Radit kini berusaha bersikap lucu dengan menjijitkan kakinya, lalu dua tangannya di punggung sambil memegang buku.
“Harimau…”, Jawab Adrian sekenanya tepat ketika lift mendarat di lantai lima belas diiringi bunyi dentingan. Lift terbuka dan Adrian keluar terlebih dahulu diikuti Radit yang tampak sekali lagi kebingungan dan semakin yakin kalau dia tidak salah dengar mengenai ‘Harimau’ yang telah disebut Adrian sebanyak dua kali.
Pintu kamar bernomor 1509 dibuka oleh Adrian lalu mereka masuk dan pintu ditutup.
Comments
Sudah terlupakan oleh Radit mengenai ‘Harimau’ yang disebut oleh Adrian sebanyak dua kali semenjak pertemuan mereka di depan Stasiun. Adrian yang dingin ternyata dapat bersikap hangat dan menggairahkan di ranjang.
Radit kini tengah menungging dalam keadaan telanjang bulat, tubuhnya telungkup diatas kasur dengan penis beradu bersama kasur. Sementara Adrian masih dalam keadaan berpakaian utuh kecuali sepatu yang telah dibukanya. Penis Radit telah sangat tegang bahkan hingga membasahi seprai. Dari mulutnya meracau rasa-rasa nikmat tidak tertahankan ketika lidah Adrian menyapu habis lubang pantatnya, hingga sesekali pantatnya terangkat ke atas dan diputar-putar mencari nikmat yang lebih dahsyat.
Adrian memegang kedua paha Radit lalu dicengkramnya kemudian dieratkan hingga menutupi mukanya diikuti lolongan Radit yang mengucap kata-kata kotor akibat kenikmatan hebat tiada tara. “Terus mas Adrian….” Lenguh Radit dengan napas yang memburu. Tangannya mencengkram seprai dengan sangat, jakunnya naik turun tidak karuan, keringat mulai membanjiri tubuhnya walau saat itu pendingan ruangan tengah bersuhu delapan belas derajat.
“Harimau ku…” Ucap Adrian tiba-tiba diiringi dengan masuknya dua jari kanannya ke dalam lubang pantat Radit. Seketika laki-laki berumur dua puluh tahunan itu semakin melenguh nikmat ketika tangan sang pria berumur tiga puluhan, memaju mundurkan, memutar, mempelintir dan mencari-cari area sensitif di dalam tubuhnya.
Tidak sampai disitu, bahkan kini kemaluan Radit telah berada di dalam mulut Adrian yang mengadah, menghisap habis batangnya hingga habis. Lidah itu bermain-main dengan sangat lihati membuat Radit menjerit dan menghadirkan nikmat, kedua putingnya sudah tegang luar biasa, kakinya menjijit dan jarinya bahkan terkatup seolah menjelaskan kenikmatan tiada tara yang tengah diberikan oleh Adrian.
Didorong rasa nikmat tiada tara, termuntahkanlan isi penis Radit ke dalam mulut Adrian yang masih saja sibuk menghisap kemaluannya tanpa henti. Bahkan cairan kental itu ditelan habis sambil tetap mengkulum kemaluannya yang menciptakan rasa geli tidak tertahankan. Radit berusaha menolak rasa nikmat itu, tetapi dirinya terlalu lemah, kini dia sudah menjijit dengan pantat ke atas, muka memerah dengan lidah keluar, seperti hewan saja.
Maka ketika Adrian menyudahi senggama bermodal jari dan mulutnya, Radit tampak bersyukur telah keluar dari cengkraman kenikmatan yang tiada berkesudahan itu. Ketika dirinya membalikkan badan, dilihatnya Adrian tengah membuka semua pakaiannya dengan pelan-pelan, tidak terburu-buru seperti sikap umumnya pria yang dipenuhi berahi. Bahkan dia melipat pakaiannya dan diletakkan di dalam lemari. Telanjanglah dia sudah.
Hal pertama yang dilihat Radit tentu kemaluan yang masih terkulai itu. Dibuat heran olehnya dan segala praduga mulai muncul mengenai impotensi karena sejujurnya begitu aneh melihat seorang pria yang telah satu jam lebih berperingai liar tidak menunjukkan rasa nafsu sekalipun, bahkan penisnya tidak tegang.
“Mengaumlah layaknya Harimau!”, Tetiba Adrian berkata demikian semacam perintah yang harus dijalankan.
“Apa?” Ucap Radit dengan ragu.
Diulangi sekali lagi perintah itu. Namun kali ini tubuh Adrian telah berada di atas Radit, duduk dan memamerkan tubuh telanjangnya. Maka, dengan ragu Radit mulai mengaum layaknya Harimau. Ketika aumannya semakin menjadi, disitu penis Adrian semakin berdiri, menjulang tinggi, memamerkan kejantanannya. Terkaget-kagetlah Radit dengan rasa cemas dipenuhi kebingungan dengan fantasi seksual Adrian.
Dipegangnya penis Adrian yang telah menegang dan dikocok dengan kedua tangannya. Adrian melenguh nikmat. Dan Radit semakin mengaum diikuti dengan desahan demi desahan nikmat dari Adrian.
Itu terjadi dengan cepat tanpa persiapan terlebih dahulu ketika Adrian telah menyetubuhi Radit, memasukkan penisnya tanpa pengaman dan mengentotinya tanpa minta ampun. Tubuh Radit yang mungil dibalikkan dengan kasar, bahu Radit dicengkram hingga dia kesulitan bernapas, Adrian sekali lagi memerintahkannya untuk mengeluarkan suara auman layaknya harimau.
Maka mereka di dalam kamar hotel itu tampak terlihat seperti sepasang harimau yang tengah kawin di hutan lepas.Radit menungging dan mengaum sementara Adrian sibuk mengentotinya dengan gaya dan perangai seperti binatang.
Setengah jam kemudian tubuh telanjang mereka telah tersungkur di atas ranjang yang telah basah oleh hasrat berahi mereka yang telah termuntahkan. Adalah Radit yang tampak diam memandangi tembok sambil mengigit jarinya, kebingungan tentang perkawinan ala binatang yang baru saja kali pertama dialaminya.
Adrian lalu memeluk tubuh telanjang Radit, “Terimakasih Harimauku,” katanya sambil membisik di telinganya.
Radit kemudian memutar dan menatap masuk ke dalam mata Adrian. “Kenapa Harimau?”
Adrian tertegun dengan pertanyaan tersebut. Lalu dia menatap kosong langit-langit kamar.
“Aku dulu pernah jatuh cinta dengan seekor Harimau….” Ucapnya dengan tegas.