BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

BARA - Sebuah Cerita Pendek

BARU aku ketahui masa lalu ternyata dapat membuat cengkeraman kepada mahluk hidup sebegitu hebatnya. “Maka dari itu kamu harus segera membebaskan diri dari itu, bukan?” begitu kata Laras sahabatku sejak kecil yang sedang menikmati kopinya.

Aku sedikit tertegun mendengar perkataannya. Melepaskan cengkeraman dari hal yang telah berpuluh-tahun berusaha untuk dilupakan itu, “Rasanya mustahil” jawabku lirih.

“Terus sampai kapan? Menyiksa diri sendiri untuk hal yang telah berlalu lalu mati sia-sia, gitu?!” suara gebrakan meja akibat bertabrakan dengan cangkir cukup mengundang banyak perhatian pengunjung di sekitar kami.

Sore ini kami memutuskan untuk bertemu di salah satu kedai kopi di daerah Jakarta Selatan setelah lebih dari lima tahun tidak berjumpa. Aku memutuskan untuk melarikan diri dari Indonesia karena ingin menghindari kisah klasik yang membosankan di Tanah Ibu Pertiwi ini.

“Gara-gara patah hati, terus kamu lari tanpa memberikan kabar. Sudah itu, balik-balik malah masih saja berada di permasalahan yang sama. Gimana sih..”

Lalu ia berdecak, “Sudahlah!”

Dan kini ia kembali menyeruput kopinya, sembari mendengus kesal.

Bulir keringat perlahan menetes di pelipis sahabatku. Jakarta tidak berubah masih memancarkan panas yang tidak manusiawi, sesak dengan bangunan megah dan hiruk pikuk kemacetan.

Kota ini sangat berbeda dengan Dubrovnik, kota yang berada di Kroasia itu menjadi pilihan untuk melarikan diri dari kisah hidupku. Benteng yang mengelilingi kota, pusat-pusat peradaban sejarah manusia ditambah pemandangan lereng kehijauan dari Gunung Sergius seringkali mengingatkanku akan pemandangan Gunung Geulis yang mengelilingi Jatinangor, kota yang membuatku menemukan rumah untuk pertama kalinya.

“Kamu itu enggak berubah sama sekali! masih memikirkan orang lain. Ya! Ya! Ya!”

Ketika Laras marah, dia tidak bisa menghentikan racauannya sambil melipat tangannya,“Aku tahu kamu baik—terlalu baik malah… Tapi please, Bara.. c’mon! Do I need to remind you about those words?”

Aku mengangguk setuju. “The most important thing in my world is myself. I do not care what people think, I do what I want to do, I take what I want to take. I make my life perfect as I want it to be,” ujarku memperjelas maksud pernyataannya.

“Aku selalu terkagum-kagum sama kamu. Pemikiranmu, kedewasaanmu dan pilihan hidupmu. Tetapi selalu saja seperti ini, kembali meratapi nasib yang tidak berkesudahan. Selesaikan masalahmu! Berhadapanlah dengan masa lalumu!” ia menguncir rambutnya sambil bertutur demikian. Tampaknya semakin tidak kuat dengan panasnya matahari dipadu dengan kemarahannya.

Warna rambutnya tetap sama; cokelat gelap. Dia selalu menghindari ritual pewarnaan rambut karena menurutnya itu kegiatan yang sia-sia. Tidak ada yang berubah sama sekali dari dirinya. Kecuali tebal kacamatanya yang mengindikasikan rabun jauhnya semakin meningkat.

“Untuk sekarang tidak bisa.”

“Terus kapan? Besok? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan?”

“Bukan begitu…” ucapku lesu.

Tiba-tiba saja aku merasa mual. Bau toilet belum disiram tiba-tiba hinggap di indra penciumanku.

“Kenapa?” suaranya menunjukkan sedikit nada khawatir.

Aku menggelengkan kepalaku dan kembali berusaha bersikap normal, “Biasalah jet lag sama polusi ibukota”

Aku tertawa terkekeh-kekeh yang disambut dengan tatapan sarkastik darinya. Sudah kuduga dia pasti menyadari aku menyembunyikan sesuatu.

“Ah, sudahilah penyesalan dan kesedihanmu itu. Percuma!” geram sekali wajahnya melihatku seolah-olah muak untuk kembali terus membicarakan permasalahan yang sama selama sepuluh tahun terakhir ini.

Terlintas dalam pikiranku bagaimana rupaku kali ini di matanya. Model rambutku masih sama seperti dahulu dipotong a la militer. Perbedaan terbesar ada di berat badan tubuhku. Tidak, tidak menggemuk, namun kalau kata kebanyakan orang, badanku telah proporsional walau tidak ada lekukan otot di perut. Jangan lupakan tato kebanggaan yang aku desain sendiri sepanjang lengan kananku. Atau jenggot dan kumis yang menjadi khasku kini.

“Toh dia udah bahagia, bukan? Menikah? Dengar-dengar juga udah punya satu anak tapi katanya mau cerai sih. Kepergok selingkuh. Bersyukurlah kamu enggak jadi sama dia,”

“Yah mana aku tahu nasib dia gimana. Udah sama sekali tidak berhubungan kembali juga!” tuturku.

“Loh bukannya waktu itu dia ke Krosia, ya?” dia berkata dengan sinis kepadaku tidak dalam bentuk pertanyaan tetapi lebih kepada pernyataan menyindir.

Aku hanya bisa tertegun, mulutku tidak sanggup menjawab pertanyaan Laras. Darimana dia mengetahui tentang perjumpaanku dengannya?

Padahal kala itu Sang Kakanda menyakinkan diriku bahwa tidak akan ada yang mengetahui keberadaan dan maksud kedatangannya untuk mengunjungiku. Dengan alasan ‘rindu’ akhirnya luluh juga aku hingga dapat memberinya ruang kembali untuk sekejap menikmati tubuh ini.

Kami bercinta selama satu minggu penuh hingga aku tidak sanggup beranjak dari ranjangku karena kelelahan hebat. Setelahnya aku demam tiga hari, “But it was all worth it,” Aku masih teringat gumamannya ketika merawatku dari demamku.

Aku mulai meminum kopi yang telah kuhiraukan selama sepuluh menit semenjak kedatangannya.

“Kenapa? Bingung aku bisa tahu tentang itu?”

Aku mengangguk pelan.

“Nebak aja!”

Sial. Aku termakan jebakannya. Aku lupa dia pandai betul untuk memainkan percakapan serta berusaha mengorek informasi. Aku sekarang adalah seorang narasumber baginya, aku seorang kriminal yang baru saja didakwa atas kasus pembunuhan dan dia adalah seorang jurnalis yang tidak punya hati.

“Sudah berkunjung ke pusara ibumu?” tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam. Kopi yang baru saja kuminum langsung kutumpahkan lagi ke kerongkonganku hingga habis dalam sekali tegukan sembari menggelengkan kepala dan melihat langit-langit yang terbuat dari kayu mahoni ini dengan lampu gantung berwarna kuning tepat di atas kami.

***

TIGA tahun lalu seseorang yang kini tidak sanggup aku sebut sebagai ‘Ibu’ telah berpulang diakibatkan oleh serangan jantung pada sore di malam takbir akbar.

Kakak perempuanku, Sari, mengabarkan berita buruk itu melalui surat elektronik dan memohon agar aku kembali ke Indonesia.

“Pulang dan berdamailah dengan ruh ibu.”

Masih ingat betul aku kalimat terakhir darinya.

Aku memutuskan untuk segera menghapus surat darinya tetapi malam itu nyatanya aku berakhir menangis tersedu-sedu sambil mendengungkan nada sendu. “Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu… Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu…Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku…” terisak-isak aku menyanyikan lirik itu di kamarku semalaman.

Siapa sangka keterbukaanku mengenai rahasia yang kusimpan pada enam tahun lalu membuatku terasingkan dari keluarga.

“Ibu malu…” kata Ibu sambil menangis dan mencak-mencak mengusirku dari rumah.

Di tengah lamunanku dalam mengingat kembali suasana sendu itu, aku mendengar suara kretek dibakar. Dipikir-pikir sudah dua tahun juga kuputuskan secara sadar untuk berhenti merokok. Namun, entah kenapa saat ini bibir dan lidahku mendorong untuk mencicipi kembali nikotin itu.

Ah, itu pemikiran yang konyol. Aku hanya bisa menghela napas, sambil berpaling menghadap salah satu meja kosong di sebelah kanan kami. Sekilas aku mulai memikirkan dia, Sang Kakanda yang melupakan janji-janji manisnya kepadaku. Aku kembali menoleh ke arah Laras yang sedang sibuk memainkan telepon genggamnya.

“Ada liputan?” tanyaku mencairkan suasana.

“Sari baru saja mengirimkan pesan, bertanya mengenai keberadaanmu di Indonesia!” tatapan sinis itu kembali menghujami jantungku.

“Iya, aku belum bilang ke Sari. Untuk sementara aku tinggal di hotel,” jujur aku berkata demikian kepadanya.

“Sebegitu bencinya kamu sama mbakmu sendiri?”

“Tidak… Bukan benci. Namun rasa iri itu selalu hadir setiap kali aku melihatnya,” aku hanya bisa menelan ludah. Aku sama sekali tidak mengetahui bahwa Laras telah menjadi dekat dengan Sari. Memang betul mbak ku itu selalu mendapatkan apapun yang dia inginkan. Tidak hanya orangtua kami namun sahabatku juga mau diambilnya sekarang.

“Aduh! Lagi-lagi masa lalu yang kamu bahas. Sumpah yah, tidak habis-habisnya,”

“Itu karena aku… Masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka tidak menghadiri wisudaku. Hanya sekali saja kuminta waktu mereka untukku. Tetapi lagi-lagi mereka mengecewakanku dengan alasan Sari harus mengikut tes kerja,”

“Kamu harus mulai melupakan itu! Kan cuma wisuda saja. Teman-temanmu hadir juga kan!”

“Kamu tidak hadir—”

Laras sekarang tengah menatapku dengan kacamata melorot penuh ketidakpercayaan aku mengulas masalah sepele itu lagi.

Aku sama sekali tidak bermaksud mengungkit-ungkit masalah itu karena dia sendiri sudah menyampaikan jauh hari mengenai kesibukannya sehingga terpaksa membatalkan kedatangannya.

Tetapi entah kenapa hari ini semua terasa berputar-putar di kepalaku. Bau toilet tidak disiram itu kembali menghujami indra penciumanku.

Kepalaku semakin pening.

“Aku tidak bermaksud berkata demikian… Hanya saja belakangan ini emosiku suka tidak terkendali”

Tiba-tiba terdengar teriakan sesuatu terjatuh dari tangga. Aku segera menoleh ke belakang. Sungguh malang sekali dia, pria yang tampaknya pekerja disini sedang berada dalam posisi telentang dengan pecahan piring dan bekas makanan berhamburan di sekitaran tubuhnya.

Mendadak kepalaku semakin pening. Kupegang pelipisku.

Rintikan hujan mulai terlihat dari balik kaca besar yang bertempelkan stiker logo kedai kopi ini.

***

LANTAS aku teringat dengan pertemuanku bersama Sang Kakanda yang terjadi sebelas tahun lalu. Awalnya memang urusan birahi, tetapi lama-kelamaan sering kami habiskan dengan berbincang hingga larut malam setelah menyudahi hasrat hewani kami. Obrolan kami tidak jauh-jauh dari seputar kopi hingga arak, minuman favoritnya. Hingga terkadang aku memanggilnya ‘tukang arak’ dan dia membalas menyebutku sebagai ‘si bangsat’.

Ketika pada suatu malam dia menghampiriku dalam kondisi mabuk berat. Dengan sabar kuurusi dirinya, sambil sempoyongan dia menyebut namaku beberapa kali dan menyatakan cintanya kepadaku. Untuk pertama kalinya aku merasakan darah berdesir dan hati yang telah lama mati berdetak kembali. Aku terdiam ketika dia mencium bibirku dengan lembut walau akhirnya jatuh tersungkur di sofa ruang tengah rumahku hingga mendengkur sampai hari berikutnya.

Sejak itu semua berubah. Dia yang tadinya selalu menghubungiku, mengucap kata-kata romantis atau sekedar menyampaikan candaan yang mampu mengocok perutku; hilang sirna bagai tersapu ombak sekali bilas.

Sudah letih aku meminta maaf hingga lidahku kebas. Entah berapa kali aku harus bersabar dan menerima maafnya ketika semakin lama semakin enggan mengabari tentang dirinya. Ketika aku semakin ingin berjuang mempertahankan dirinya dia hanya mengeluarkan sepatah kata:

Katanya… dia tidak tertarik lagi kepadaku.

Katanya… lagi dia merasakan ada kejanggalan dalam hubungan kami.

Katanya… dia tidak sanggup menerima sanksi masyarakat tentang kami.

Aku sudah merasakan beribu-ribu kehilangan tetapi baru kali itu aku merasakan kehilangan sesungguhnya.

Mendengar itu semua aku tidak menangis. Sudah nasib memang jatuh cinta kepada seorang pengecut dan aku hanyalah ‘si bangsat’ baginya.

Baru kusadari juga, mungkin itu kenapa aku tidur dengan berpuluh-puluh manusia. Yang aku percaya, cinta tidak pernah membawamu pada kebahagiaan melainkan hanya keniscayaan.

Ketika kamu tahu itu ilusi tetapi kamu selalu menganggapnya nyata, itulah cintaku bersama Sang Kakanda.

***

AKU mendadak seperti bangun dari mimpiku.

Kisah cintaku dengannya, bau toilet, dan adegan jatuh dari tangga itu mungkin pemicunya. Samar-samar aku mulai mengingat ilusi itu.

Masa lalu yang selalu kuhindari karena membuatku mampu menenggak habis puluhan pil tidur setiap bulannya semenjak sekolah menengah pertama.

Belum lagi mimpi-mimpi menyeramkan yang kunjung tiada akhirnya bahkan hingga saat ini.

“Aku tidak ingin ingat semua itu…” gumamku berucap pada diri sendiri.

“Tidak ingat apa?” tanya Laras.

Tidak kusadari ternyata itu bukan hanya suara kepalaku saja namun juga keluar begitu saja dari mulutku.

“Aku tidak lupa sebenarnya. Hanya saja, hingga detik ini aku masih ragu untuk menceritakan ini kepadamu atau tidak,”

“Tentang apa? Kamu dan dia? Atau kamu dan keluargamu?”

“Bukan… Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk,” pelan-pelan kutekadkan keberanianku mengutakan hal ini kepadanya.

Tanganku mulai gemetaran. Air mataku sudah diunjuk tanduk.

“What’s wrong, Bara?” dia menyentuh tanganku pelan-pelan.

Pecah sudah tembok yang aku bangun sedari kecil. Saat itu juga aku menangis seperti lolongan serigala kala purnama.

Seharusnya aku sudah tahu, masalahku dengan masa lalu bukan mengenai kisahku denganmu, wahai Sang Kakanda; maupun aku denganmu, wahai Ibu ataupun Sari yang selalu membuat hati ini iri. Bukan juga mengenai sosok Sang Mulia yang hilang tepat sebelum aku dilahirkan.

Tetapi lebih dari itu.

Ini adalah kisah masa kecilku yang telah terkubur begitu lamanya sampai otakku secara otomatis melupakannya. Semata-mata demi melindungi kewarasanku.

Namun sesungguhnya ia selalu hadir dalam sosok hantu yang membayang-bayangi semua pergerakan hidup dan nasibku.

***


KUBUKA lembaran itu kembali dengan pelan-pelan. Kisah mengenai seorang anak laki-laki yang tersiksa hidupnya sepanjang masa. Anak itu bernama Bara Dwiwangsa Kencana. Bukannya dipanggil Bara ataupun Kencana, dirinya lebih sering dijuluki sebagai ‘banci’ ataupun ‘homo’ oleh teman-teman sekelasnya.

Kepiawaiannya dalam menyembunyikan julukan itu haruslah diberikan nilai sempurna oleh guru-gurunya tetapi sayang mereka lebih peduli pada nilai mata pelajaran sehari-hari. Maka tak ayal dirinya sering mendapatkan sabetan sapu lidi dari wanita yang melahirkan dirinya ke muka bumi ini karena malu anaknya dicap bodoh di sekolah.

Bara selalu menenangkan diri setiap menerima sabetan sapu lidi itu dengan, “tidak apa-apa, yang penting ibuku tersayang hanya mengetahui aku bodoh bukan banci.”

Namun akhirnya momok ‘banci’ sampai juga di kuping ibunya. Bergegaslah bak bagai pahlawan kesiangan, Sang Mulia mencemplungkan Bara kepada dunia persilatan supaya dapat menjadi lebih seperti lelaki dan bisa menjaga diri.

Itulah penolakan pertama yang dialami olehnya. Penolakan dari kedua orang tuanya yang akan menimbulkan dendam hingga akhir dunia.

Apa gunanya belajar bela diri kalau ramai-ramai Bara dikeroyok di dalam kamar mandi. Dijedotkan kepalanya di tembok lalu disirami air kencing. Belum lagi si kecil Bara dipaksa untuk memegang kemaluan setiap anak lelaki yang tengah memukulinya.

“Gue bunuh lo!” itulah ancaman anak lelaki tersebut setiap kali Bara berusaha menolak paksaan birahinya. Tidak terbayang apa yang akan diterima dirinya kalau tidak menuruti perintah mereka.

Sampai bosan pula dia ditendang dari tangga sekolah hingga jatuh berguling-guling tetapi tidak ada satupun manusia yang tergerak untuk menolongnya. Mereka tertawa beramai-ramai melihat si banci homo yang telah babak belur.

Binatang.

Itu adalah apa yang dilihat oleh Bara setiap harinya setiap dia selesai membasuh badannya dari semua bercak tanah dan memar ungu di tubuhnya. Badannya hanyalah seonggok daging yang siap dimangsa setiap harinya.

Suatu ketika, berbulan-bulan dia sengaja menjatuhkan dirinya di tangga rumah untuk mendapatkan perhatian kedua orangtuanya. Ia kira, perhatian itu akan nampak jika memar-memar di tubuhnya semakin menguasai guratan kulitnya yang masih halus.

Ah, mereka malah berpura-pura buta dan tuli.Mereka tidak tahu, anak lelakinya itu mungkin saja sudah rusak lahir dan batin.

Maka jangan salahkan Bara kalau dia sampai bermimpi membunuh kedua orangtuanya dan kemudian tertawa terbahak-bahak sampai terkencing-kencing setiap terbangun dari mimpi indah itu.

Setiap mimpi indah, datang juga mimpi buruk seperti hujan badai, dimana kepalanya tertancap di dinding toilet sekolah atau tubuhnya tercerai-berai di tangga sekolah. Belum lagi mimpi berlari-lari ketakutan di lorong gelap yang tidak ada ujungnya.

Mulailah dia menyakiti dirinya sendiri, untuk menjaganya tetap bangun dari mimpi buruk jahat itu.

Bara kecil mulai melukai pergelangan tangannya dengan silet yang dibelinya diam-diam di toko kelontong atau membakar pahanya dengan korek gas milik Sang Mulia yang gemar sekali menghisap kretek setiap harinya.

Jika Bara kecil sedang tidak ingin membuat luka-luka indah di sekujur tubuhnya, ia memukul-mukulkan kepalanya ke tembok berharap langsung mati seketika. Sayangnya, tuhan masih jahat sama Bara, dia selalu menyelamatkan nyawanya walau sudah megap-megap dadanya.

Berpuluh-puluh tahun kemudian Bara memutuskan untuk melupakan itu semua. Nyatanya, dia masih belum bisa melupakan bau toilet yang busuknya minta ampun itu.

Realitas ini perlahan menjadi mimpi buruk baginya.

Rasa percayanya kepada manusia telah habis dimakan oleh memar dan luka hingga yang tersisa adalah curiga.



Kematian adalah satu-satunya

yang diinginkan oleh dirinya,

mungkin hingga sekarang

walau dia tidak menyadarinya.

***

BARU bisa aku menghela napas ketika melihat Laras melambaikan tangan dari kejauhan seakan menunjukkan perpisahan yang abadi di mataku. Kami menjadwalkan untuk bertemu di tempat dan waktu yang sama esok hari. Aku berjanji untuk menceritakan segalanya tetapi tentu saja aku berbohong.

Telepon genggamku berdering. Dari layar terpampang nama Sang Kakanda yang menelpon dan pasti dia akan mengajakku untuk kembali berjumpa untuk melepaskan hasrat hewaninya.

Di dalam pikiranku kini cuman satu: memukul kembali kepala di tembok kamar mandi berulang kali sambil meraung-raung seperti orang gila.

“Berdamailah…”

Suara bisikan kecil itu seringkali muncul di benakku semenjak kematiannya. Lembut nan hangat yang mengingatkanku kepada almarhum Ibu. Sambil berjalan gontai, aku bersiul gembira teringat akan pusara ibuku. Rasanya rindu dan ingin memeluknya. Pelukan hangat yang terkadang membuatku tertidur pulas di bahunya. Dari seluruh umat manusia di muka bumi ini, dia adalah sosok yang telah mengecewakanku sampai ke dasar jurang tergelap tetapi entah kenapa dia juga satu sosok yang dapat aku maafkan atas segala kenaifannya kepadaku.

Aku berandai-andai kini sedang berada di dalam pusara Ibu.

Comments

Sign In or Register to comment.