BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

STORM

1)

Gimana aku jelasin ini? Kejadian ini tiba-tiba saja menimpaku. Aku nggak pernah berfikir kalau aku ini seorang pendosa berat sampai harus diberi masalah super serius seperti ini. Karena di luar sana masih ada orang yang lebih berdosa dariku. Mungkin. Tapi aku juga bukan orang yang bisa di bilang baik apalagi orang suci. Kalau diibaratkan air, aku ini kayak kolam susu coklat. Keruh. Tapi sampai sekarang otakku masih belum bisa berfikir jernih. Kenapa? Aku sendiri juga nggak tahu. Kejadiannya bermula saat kemarin aku membuka kedua mataku. Aku berada di ruangan yang sama persis seperti sekarang. Oksigen di hidungku dan selang infus di tangan kiriku. Benar. Rumah sakit. Tapi bukan itu yang membuatku panik sampai harus berteriak histeris. Aku tahu aku memang harus masuk rumah sakit setelah malam sebelumnya mengalami kecelakaan, itupun kalau aku masih hidup. Saat perjalanan pulang dari kantor aku dikejutkan dengan kemunculan seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah mobilku. Karena panik aku membanting kemudi ke kanan. Aku masih bisa melihat orang itu terkena mobilku, keserempet, sebelum mobilku dengan keras menabrak pohon yang sangat besar.

Uuggghhh...

Kepalaku sakit.

Ada perban di sana.

Aku menghela nafas panjang.

Tidak...ini lebih buruk dari perkiraanku.

Badan ini sakit semua. Memar dimana-mana.

Kemarin aku terbangun dengan banyak orang di sisiku. Tua muda mengerumuniku. Ada yang menangis, ada yang menggenggam tanganku dan ada yang meminta maaf. Tapi aku sama sekali nggak kenal sama mereka. Sama sekali. Saat aku bertanya ke mereka, siapa mereka, mereka malah menatapku dengan prihatin. Aku sama sekali nggak paham dengan situasi saat itu, dan hari ini pun aku masih nggak paham. Bukannya aku hilang ingatan sampai aku nggak kenal mereka, tapi aku benar-benar nggak kenal sama mereka. Wajah mereka asing. Aku ingat nama ayah ibuku dan semua saudaraku, tapi aku sama sekali nggak ingat sama mereka. Saat aku melihat pantulan diriku di kaca jendela. Walau samar-samar aku tahu kalau ada yang salah. Ada yang nggak beres. Aku berteriak histeris. Aku panik. Takut. Bingung. Aku menanyakan siapa mereka dan apa yang terjadi. Saat aku ingin turun dari tempat tidur, beberapa perawat mencoba menahanku. Satu suster menyuntikkan sesuatu di selang infusku. Perlahan-lahan tubuhku lemas dan aku mulai mengantuk. Dan inilah yang terjadi, aku terbangun di hari ini. Tanggal dan jam yang ada didinding bukti kalau aku tertidur dari kemarin siang sampai hari ini. Dan ada satu cowok yang duduk di dekatku. Menatapku prihatin. Kemarin dia juga ikut menahanku. Tubuhku masih lemas karena efek obat penenang. Oksigenku sudah dilepas.

"Siapa?" tanyaku pelan.

Suara aneh ini keluar. Aku merasa asing. Ini bukan aku. Jelas bukan aku. Sosok yang aku lihat kemarin di pantulan kaca jendela sama sekali bukan diriku.

Bocah itu membelai rambutku.

"Eerr...sorry udah ngomong kasar waktu itu. Kalau...kalau bisa kamu lupain aja. Aku nggak bener-bener benci sama kamu kok."

"..."

"Karena aku ini kakakmu, jadi..."

"Ka...kakakku?"

Umurnya aja jauh di bawahku. Gimana bisa dia jadi...

"Iya. Aku kakakmu."

"..."

Aneh...

ANEEEEHHHH!!!!

Nggak masuk akal.

Ini aneh. Jelas. Tapi aku nggak bisa banyak bertanya. Itu bisa membuatku kehilangan kendali. Aku harus tenang!! Aku nggak boleh panik!! Kalau aku panik, bisa-bisa aku di kasih obat penenang lagi. Itu makin buruk. Aku nggak bisa berfikir. Semakin bingung.

"Aku takut..." desisku tanpa sadar.

Cowok itu mengacak-acak rambutku pelan.

Rasa sakit dikepalaku kembali menyerangku. Aku meringis.

"Sorry, sakit ya?" dia menarik tangannya dari kepalaku, "keningmu dijahit karena sobek kena aspal."

Kening.

Tanganku...tidak...tangan ini ramping. Jariku lebih besar dari ini. Kulitku juga lebih gelap dari ini. Kulit ini terlalu putih.

Takut. Kenapa aku disini? Tubuhku dimana? Ini siapa? Mereka siapa?

"Aku kenapa ada disini?"

"Kamu jatuh. Eerrr...kamu ditabrak mobil."

"Nggak ditabrak lah, mas Liam nih lebay banget. Cuma keserempet."

Seorang cewek masuk ke dalam kamar inapku. Lebih muda dari cowok yang di panggil mas Liam itu. Cewek itu meletakkan bungkusan kecil di atas meja.

"Sama siapa kamu tadi?" tanya cowok itu.

"Papa. Sekalian papa berangkat kerja lagi. Tadi papa kerumah cuma mampir makan."

"Oohh..."

"Mas makan dulu gih. Belum makan kan?!"

"Iya belum."

Liam, cowok itu melihat isi bungkusan sebelum duduk dan mengeluarkan isinya.

"Nanti biar aku yang jaga."

"Nggak usah. Besok kamu harus sekolah."

"Besok minggu mas."

Liam tidak menjawab dan hanya memakan nasi bungkusnya.

Cewek itu gantian duduk di kursi dekat tempat tidurku.

"Mas Eggy kangen sama aku nggak?"

Siapa Eggy? Aku nggak tau siapa kalian. Aku bukan Eggy. Aku nggak kenal kalian berdua. Sama sekali.

"Mas....belum ingat?" cewek itu menatap Liam.

"Belum," sahut Liam.

Cewek itu kembali menatapku.

"Itu...namaku Yenny. Aku adikmu. Kalau mas Eggy butuh apa-apa langsung bilang ya. Kalau ada yang sakit juga bilang ya."

Aku nggak punya adik. Tapi aku punya kakak perempuan dan itu bukan kamu. Kakakku tua. Umurnya 40 tahun. Punya dua anak.

Aku menutup kedua mataku. Menenangkan diri tentunya. Kalau ini mimpi aku senang. Semoga memang mimpi.

Mataku kembali terbuka saat merasakan tanganku di genggam.

Yenny. Anak ini...

"Mas nggak usah takut. Ini pasti sementara kok. Setelah ini mas Eggy pasti bisa ingat lagi."

"Jangan ngomong yang macam-macam Yen. Eggy masih bingung. Dia masih syock karena kecelakaan itu."

"Udah aku bilang. Mas Eggy cuma keserempet. Jangan membuatnya jadi horror deh mas."

...

"Nanti malam kamu pulang aja. Anak kecil nggak boleh nginap di sini."

...

"Aku bukan anak kecil."

...

Aku butuh ketenangan. Aku butuh berfikir.

Berfikir....

....

Aku menatap Yenny. Cewek itu meremas pelan tanganku. Dia menatapku. Seolah tau aku sedang kebingungan. Dia tersenyum padaku.

"Tenang dong mas. Nggak apa-apa kok. Nggak ada yang perlu ditakuti. Ada kami disini. Kami ini keluargamu mas."

...

Liam mendekat padaku. Membelai lembut kepalaku.

"Kenapa? Jangan berwajah begitu. Aku nggak bisa liat kamu nangis. Kamu ini cowok kan?! Cowok nggak boleh nangis."

Wajah Liam terlihat tersiksa. Ada masalah apa dia dengan Eggy? Aku nggak tau harus gimana. Ini berat. Ini terlalu berat. Aku kebingungan seorang diri. Banyak pertanyaan yang terus berputar-putar di otakku sampai kepalaku pusing. Sakit sekali. Aku cuma bisa berharap ini cuma mimpi buruk.

Tapi untuk saat ini aku harus tenang. Aku harus bisa berfikir jernih sebelum mencari tahu apa yang terjadi.

"Tolong kalian keluar dulu. Aku mau tidur," kataku pelan.

Mereka berisik. Membuatku tidak bisa tenang.

...

...

...

Namaku Erick. Umurku 36 tahun. Bekerja di kantor swasta. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Ayahku sudah meninggal. Ibuku...beliau...membuka toko kecil.

Kini aku tersesat. Terseret arus yang sangat besar. Badai yang dasyat.





~ whoami pov ~

sorry...aq g berhenti dl d cerita sblmx..kurang motivasi n semangat hahahaha...
«13456711

Comments

  • 2)

    Jadi ini kamarku? Kamar anak bernama Eggy? Nampak rapi dan tidak banyak barang. Berbeda dengan kamarku yang berantakan. Maklum aku masih bujangan dan banyak pekerjaan. Bangun pagi pulang malam.

    "Aku letakkan disini tas mu ya. Bisa kan menata isinya sendiri?" tanya Liam.

    Aku mengangguk.

    "Kalau butuh apa-apa bilang ke mama ya," seorang yang mengaku mamaku itu membelai kepalaku.

    Daripada disebut mama dia lebih lantas jadi kakak perempuanku.

    "Ya," sahutku.

    Setelah itu mereka berdua keluar dari kamar ini.

    Setelah hampir seminggu aku di rawat di rumah sakit, aku di perbolehkan pulang. Selama itu aku masih banyak diam dan terus berfikir. Dan inilah yang aku ketahui. Aku sekarang ada di tubuh seorang bocah bernama Eggy yang berumur 16 tahun. Kelas 11. Punya dua saudara. Kakak laki-laki dan adik perempuan. Mama yang cantik dan papa yang cuek. Lalu tubuhku? Entahlah. Kemungkinan ada di rumah sakit yang dengan Eggy di rawat. Aku yakin bocah yang hampir aku tabrak itu adalah Eggy. Jadi itu artinya Eggy ada di tubuhku. Kalau benar aku masih selamat.

    Aku memegang kepalaku yang dibalut perban.

    Sebenarnya aku terlalu takut untuk mengetahui nasibku. Jadi aku belum melihat gimana keadaan tubuhku. Aku masih takut untuk tahu apa yang terjadi.

    Kedua mataku menangkap kaca panjang seukuran tubuh. Aku ragu untuk mendekatinya. Tapi kalau begini terus bisa-bisa aku akan dikurung oleh rasa takut.

    Perlahan-lahan aku mendekati kaca itu. Mataku otomatis terpejam. Nampaknya aku belum siap. Aku masih berharap ini semua cuma mimpi dan belum menyerah untuk itu.

    Tanganku terkepal erat. Terasa dingin. Begitu juga dengan ujung kakiku yang semakin aku rasakan dingin yang menjalar hingga lutut.

    "Haaaaa...hhhhh....haaaaaaaaaaaaaa...." berkali-kali aku menghela nafas panjang.

    Dengan sedikit dorongan aku membuka kedua mataku.

    Pantulan tubuh ini terlihat dengan jelas. Bukan diriku. Asing. Rambut yang hitam pekat sedikit panjang berantakan, mata yang nampak sendu dengan bulu mata lentik, hidung yang mancung dan bibir yang kecil mungil. Belum lagi tubuh ini tinggi langsing. Putih.

    ...

    ...

    ...

    Brruuuuugghhh...

    Tubuh ini lemas. Jatuh terduduk di lantai.

    "Ha..ha...haha...hahaha..."

    Jadi memang kenyataan?

    Tanganku gemetar. Tak hanya tanganku. Tubuhku juga.

    "Yang bener aja...."

    Lama aku terduduk di lantai. Mencoba menenangkan diri.

    "Gy??"

    Liam masuk ke kamar.

    "Kamu nggak apa-apa??"

    Dia mendekatiku dan langsung membantuku berdiri. Wajahnya nampak khawatir. Dia kakak yang baik.

    "Apa ada yang sakit? Pusing?"

    "Aku nggak apa-apa. Sorry udah bikin khawatir."

    Nggak ada waktu untuk terus merasa khawatir. Biarpun aku masih bingung dengan kejadian ini. Aku harus berusaha menyesuaikan diri di tempat baru ini. Setelah siap, aku baru mencari tahu bagaimana kondisi tubuhku yang asli.

    Aku menelan ludah.

    "Li...mas bisa anter aku potong rambut?"

    "Huh?? Sekarang?"

    Aku mengangguk.

    "Rambutku udah panjang sampai menutupi mata."

    Liam menarapku bingung. Tapi kemudian dia tersenyum lebar.

    "Oke aku anter. Tapi nggak sekarang. Kamu masih sakit. Jadi...."

    "Aku nggak apa-apa kok," mungkin, jiwaku yang kenapa-napa, "bukannya besok aku harus sekolah?"

    Sial...sekolah. Aku nggak punya firasat apa-apa sampai harus mengulang pelajaran SMA. Bukannya aku siap buat sekolah cuma anak ini sudah ketinggalan pelajaran hampir seminggu. Kalau mau jujur, aku lebih memilih untuk menghindari sekolah. Bertemu dengan orang baru dan harus menyesuaikan diri lagi.

    "Nggak apa-apa?" Liam memegang bahuku, "duduk dulu."

    Dia menuntunku untuk duduk di kasur.

    "Nggak usah buru-buru. Kalau kamu nggak siap biar mama yang bilang ke pihak sekolah. Menjelaskan gimana kondisimu."

    Mereka mengira Eggy hilang ingatan. Amnesia? Aku dengar dokter bilang sesuatu yang menyangkut amnesia. Dan katanya itu nggak lama. Tergantung kondisi si Eggy. Masalahnya, aku bukan Eggy dan aku nggak tahu kondisi ini akan berlangsung sampai kapan.

    "Mas, boleh nggak aku meluk kamu?"

    Liam menatapku bingung sebelum dia memelukku.

    "Tentu," katanya pelan, "kamu pasti kebingungan kan? Kamu pasti takut. Aku ngerti kok."

    Aku membalas pelukannya. Memeluknya erat.

    Nggak. Kamu nggak ngerti apa-apa. Ini jauh lebih rumit dari kelihatannya. Dan alasan aku tetap diam adalah aku nggak mau membuat suasana makin kacau.
  • 36 x 16
    seru... suka ih..
  • 3)

    Dari subuh aku hanya melakukan kegiatan yang sewajarnya. Mandi, memakai seragam, memasukkan alat tulis dan buku tulis kedalam tas. Untungnya kemarin aku sudah melihat-lihat buku pelajaran Eggy. Bukunya ciri khas cowok. Banyak coretan di mana-mana. Catatannya juga nggak seberapa rapi. Aku jadi ingat saat aku masih sekolah dulu.

    "Hmm..."

    Rambut...

    Aku lupa potong rambut. Poniku sudah panjang. Kemarin aku sibuk melihat-lihat isi kamar dan mencoba mempelajari sekilas pelajaran anak SMA. Celakanya aku nggak paham. Nggak paham sama sekali. Aku sudah lupa semua pelajaran 20 tahun yang lalu. Jangankan 20 tahun yang lalu. Zamanku sekolah dulu, aku pasti sudah lupa pelajaran yang dibahas di sekolah setelah sampai dirumah. Aku memang bukan orang yang pintar. Peringkatku selalu di urutan menengah ke bawah. Berhasil lulus kuliah dan mendapat kerja dengan posisi enak juga mungkin suatu anugrah tersendiri. Lagipula kalau sudah kerja yang di kerjakan ya cuma itu-itu saja. Teori dan pelajaran susah waktu sekolah dulu sama sekali tidak dipakai. TIDAK DIPAKAI. Jadi apa gunanya sekolah?

    ...

    ...

    Oke...mungkin ada satu atau dua yang berguna. Misalnya bahasa asing atau akutansi. Atau mungkin matematika? Kimia? Mungkin sekolah memang perlu untuk dunia kerja.

    ...

    ...

    "Cih..."

    Brengsek. Nggak lucu orang setua aku kembali ke SMA. Belajar dan harus menghafal. Masih untung jurusanku dan Eggy sama. IPS.

    "Aaaaaaarrrggghhhh....!!!"

    "Kayaknya mas Eggy udah semangat."

    DEG...

    "Yenny," desisku.

    Cewek itu masuk begitu saja ke kamarku.

    Aku masih belum terbiasa dengan adik perempuan yang masih SMP ini. Nggak cuma dia, tapi semuanya. Aku belum terbiasa dengan semuanya. Dan nggak akan bisa.

    "Mas lukanya..."

    Jariku menyentuh gumpalan kasa yang ada di kening.

    "Nggak apa-apa. Nggak sakit. Lagian besok kontrol kan. Jadi nggak masalah."

    "Bagus deh kalau nggak sakit," Yenny mengambil tasku, "makan yuk. Ditunggu loh."

    Dengan berat hati aku mengikuti gadis kecil itu menuju meja makan. Rumah ini sederhana dan rapi. Nggak terlalu besar tapi juga nggak kecil. Rumah pada umumnya. Kalau dibandingkan dengan rumahku jelas rumahku lebih kecil dari ini.

    Kepala rumah tangga ini terlihat merapikan kemejanya yang sedikit berantakan di depan cermin kecil yang tertempel di dinding. Sedangkan ibu rumah tangganya sedang menyiapkan sesuatu di gelas, oke...menuang sesuatu. Liam, dia sedang makan.

    "Sini Gy, mama baru bikin susu hangat buatmu."

    Aku duduk di kursi yang berseberangan dengan Liam. Yenny duduk di sampingku.

    "Nggak ada kopi?" tanyaku, "aku nggak suka susu."

    "..."

    "..."

    "..."

    "..."

    Mereka semua menatapku.

    ...

    "Ap..."

    !!!

    Sial...

    "Ah...lupain aja. Aku cuma...cuma..." tanganku meraih roti tawar yang sudah diolesi mentega dan kini aku menaburkan meses, "aku makan..."

    Kebiasaan lama. Aku lebih suka minum kopi hitam di pagi hari atau air putih dingin. Sebisa mungkin aku menghindari susu karena aku punya alergi. Kalau minum susu aku pasti batuk. Tapi kini berbeda. Mungkin Eggy nggak punya catatan alergi.

    Tapi ada yang lebih parah. Ternyata disini makan paginya selalu pakai roti tawar atau mungkin makanan ringan ala kebarat-baratan. Telur mata sapi dengan sossis. Semacam itulah. Masalahnya aku selalu makan pagi pakai nasi dengan lauk pauk yang banyak.

    "Eggy lebih semangat ya hari ini. Apa karena mau sekolah?"

    "..."

    ...

    "Dia pasti nggak sabar pengen liat temen-temennya ma."

    "..."

    ...

    "Eggy..." Liam memegang tanganku.

    !!!

    "Oohh...ah...i...iya..Eggy...aku pengen banget ketemu temen-temen."

    Sial...aku nggak terbiasa dengan nama Eggy.

    "O...oh...itu bagus, mama harap ada satu atau dua orang yang bisa kamu ingat nanti."

    Aku tersenyum masam.

    Mana ada mbak.....kenal aja enggak.

    Ha...ha...ha...haha....hahaha...

    Ini bencana.
  • 4)

    Liam mengantarku sampai sekolah. Sekolah Eggy sekolah swasta rupanya. Dulu aku sekolah di sekolah negeri. Yah...nggak masalah untukku mau mengulang di SMA mana. Sama-sama merugikan buatku. Yang penting aku duduk dikelas. Berusaha bersosialisasi dan mendengarkan pelajaran dengan seksama. Aku harus berfikir layaknya anak SMA biasa. Nggak ada yang namanya kesibukan di akhir bulan atau awal bulan karena pekerjaan. Aku juga nggak perlu lembur untuk itu. Yang aku takutkan adalah otakku yang sudah berkarat harus dipaksa untuk menelan pelajaran anak SMA. Belum lagi ada ujian dan serangkaian tes yang katanya zaman sekarang makin susah soalnya.

    Aku menghela nafas.

    "Nanti pulangnya aku jemput."

    Liam anak kuliahan. Dia ambil jurusan analis di kesehatan. Aku nggak terlalu paham. Katanya dia mengutak atik urin dan kotoran manusia, tikus putih serta kuku orang dan masih banyak lagi untuk diteliti atau di cek.

    Setelah Liam pergi, aku masih tertegun di gerbang sekolah. Nama sekolah ini nggak asing. Iya...maksudku aku tahu nama ini karena memang aku sering lewat sini, tapi rasanya lebih ke arah yang sering disebut. Tapi aku lupa. Apa ini ingatan dari Eggy? Entahlah.

    Plaaaakkk!!!

    Aku menampar kedua pipiku sendiri. Meyakinkan diriku kalau ini baik-baik saja.

    Dengan langkah sedikit terseret aku mulai memasuki halaman sekolah.

    Banyak anak-anak yang baru datang sama sepertiku, ada yang bercengkrama asik, ada yang berduaan dipojokan dengan pacar, mungkin sih, ada juga yang berlarian. Nostalgia. Aku rasa sekolah dulu dan sekarang nggak ada bedanya. Cuma kalau sekarang anak-anak lebih berani mengekspresikan apa yang ada dipikirannya. Dulu zamanku, orang pacaran disekolah itu malu-maluin. Palingan cuma di godain teman-teman sampai malu-malu kucing. Kalau di marahin juga langsung diam, nggak seperti sekarang yang malah ikut adu mulut.

    Wooohoooo...rok mini rok mini. Seragam ketat. Jadi nggak cuma hoax di instagram ya... Disini banyak siswi memakai seragam ketat atau rok pendek. Bagus-bagus...setidaknya aku bisa cuci mata. Wohoooo...paha yang mulus. Duh tali bra nya tembus pandang. Bagus-bagus. Lama-lama aku jadi om-om mesum sungguhan.

    Langkahku kian tak tentu arah. Dan baru aku sadari kalau aku nggak tahu di mana kelasku.

    Haha...hahaha...hahahaha...

    Sudah setua ini aku masih bego aja.

    Terpaksa aku mencari ruang guru. Untungnya ruang guru mudah di cari. Dan di depan ruang guru aku melihat guru perempuan yang sedang membuang sampah.

    "Bu...maaf mau tanya kelas," kataku ragu.

    Bu guru itu menatapku.

    "Oh...kamu Gy. Gimana keadanmu? Sehat? Bisa ikut pelajaran hari ini?"

    Aku tertawa datar.

    "Iya bisa bu. Aku sudah sehat. Tapi aku lupa kelasku di mana."

    "Oh...gitu ya," wajahnya, dia menatapku prihatin, "ya udah kita kesana sama-sama aja. Aku mengajar kelasmu pagi ini."

    Oh...bagus deh. Aku tertolong.

    Kalau dilihat-lihat gurunya cantik juga. Usianya mungkin sama denganku atau di bawahku. Udah punya suami belum ya? Cantik gini pasti sudah ada yang punya sih.

    Jadi ini kelasku? Beberapa anak langsung berhamburan masuk ke kelas saat melihat kami atau lebih tepatnya melihat guru cantik ini. Aku nggak langsung masuk ke dalam kelas. Kakiku rasanya beku saat melihat tatapan aneh dari teman sekelas Eggy. Ada yang berbisik-bisik. Entah kenapa perasaanku jadi nggak enak.

    "Ayo Gy masuk!" guru itu menyuruhku masuk.

    Mau bagaimana lagi.

    Ada bangku kosong di belakang pojok. Bagus sih. Jadi aku nggak akan terlalu menarik perhatian kalau duduk di sana.

    "Ibu absen ya. Biar kelihatan siapa yang telat."

    Duuukkk...

    "Aaaww...aaaww...aaww..."

    Tubuhku sempoyongan setelah tersandung sesuatu.

    Kaki.

    Salah satu cowok dengan sengaja mengeluarkan sebagian kakinya. Dia dan beberapa anak lainnya menahan tawa.

    Apa sih maunya?

    Aku langsung duduk di bangkuku. Banyak coretan di meja. Parah. Tulisan-tulisan yang nggak seharusnya ada di bangku anak SMA.

    Kalau dipikir-pikir saat Eggy di rumah sakit nggak ada satupun anak di kelas ini yang menjenguknya. Seingatku hanya saudara inti dan jauh saja yang datang bergantian.

    "Eggy...Eggy...!!"

    !!

    "Huh...i.. iya...hadir."

    Nah mereka menertawaiku.

    Apa jangan-jangan Eggy nggak punya teman?

    Pintu kelas terbuka. Ada satu anak yang baru datang.

    "Sorry bu te...telat haaaa.... Tapi...nggak telat-telat amat kan??...Haaaaaa...haaa.."

    Cowok itu mencoba mengatur nafasnya yang tersengak.

    Tunggu...

    Sosok itu. Tubuh itu. Wajah itu. Dia....

    !!!!

    Braaaakkkk....

    Kursiku jatuh saat aku mendadak berdiri.

    "Verry??!!!"

    Huh??? Kenapa dia disini? Jangan bilang kalau...kalau...dia sekolah di...si...ni...

    Keponakanku.

    Verry.
  • wow .. menarik nih dilanjut ... lalu kemana jiwa Eggy yang asli ...? pindah ke tubuh Eric ...?
  • 5)

    Jangan...jangan...jangan bilang ini sekolahnya Verry.

    "Ciiieeeeeeeehhhh...."

    "Suiiitt...suuiiitt..."

    He?? Eh??

    "Ver kamu diingat loh hahaha..."

    Eh?? Eh???

    "Hahahahaha...."

    "Ati-ati lo Ver."

    Eh??

    Ada apa? Kenapa?

    !!!

    Aaahhh...sial...bukannya mereka pikir aku ini amnesia? Harusnya aku nggak ingat siapapun kan?!

    Kelas ini mulai gaduh.

    "Uuugghhh..."

    Verry menatapku dingin. Sorot matanya itu sama sekali belum pernah aku lihat.

    "Udah-udah nggak usah berisik. Kalian ini," bu guru cantik itu mencoba menenangkan kegaduhan.

    Pantatku kembali mendarat di tempat duduk setelah mengembalikan tempat dudukku di posisi semula.

    Verry...sekolah di sini. Sekelas dengan Eggy. Pantas saja nama sekolah ini nggak asing. Harusnya aku lebih perhatian lagi sama Verry. Masa aku lupa nama sekolah keponakanku sendiri.

    Verry masih berbicara dengan bu guru mengenai keterlambatannya. Aku jadi yakin kalau Eggy adalah orang yang tidak pandai bergaul.

    ...

    Bruugghh...

    Eh??

    Verry...

    Dia duduk denganku? Maksudku dengan Eggy?? Teman sebangku??

    "Jadi kamu amnesia? Alasan konyol buat caper dan lari dari masalah."

    Kata-katanya...dingin.

    "Sorry...aku cuma...cuma..." aku ini mau ngomong apa sih?

    Anak itu duduk di sampingku dengan wajah ditekuk-tekuk.

    Rasanya dia nggak suka sama Eggy.

    Kenapa?

    "Kok...kok datengnya telat?" tanyaku untuk membuka percakapan.

    "Haaaahhhh????" Verry menatapku garang.

    Aku menelan ludah.

    "Enak banget kamu bisa tanya santai gitu ya. Aku telat juga karena salahmu tau!!"

    "Aku???"

    "Gara-gara kamu omku jadi masuk rumah sakit dan nggak sadar sampai hari ini. KALAU MAU BUNUH DIRI NGGAK USAH NYUSAHIN ORANG LAIN!!! BRENGSEK!!!"

    DEG....

    "Ap..."

    "VERRY!!!"

    Bu guru itu datang ke bangku kami. Menarik Verry hingga keluar kelas. Sedangkan aku membatu.

    Apaan...dia...Verry nggak pernah membentakku. Ekspresi wajahnya. Dia benar-benar marah.

    Tunggu!!! Jadi aku nggak sadarkan diri? Koma? Sampai sekarang? Jadi Eggy nggak masuk ketubuhku? Atau dia masuk tapi tetap nggak sadarkan diri? Tunggu!! Aku bingung. Aku kok jadi bingung. Kemana Eggy pergi?

    Jangan bilang dia...

    'Jadi kamu amnesia? Alasan konyol buat caper dan lari dari masalah.'

    Lari dari masalah....

    Bunuh diri.

    "Kamu nggak apa-apa Gy??"

    Salah satu cewek berkacamata mengajakku bicara.

    "I...iya..."

    "Ya udah nggak usah kamu pikirin. Verry mungkin syock karena omnya masuk rumah sakit dan belum sadar. Lagian selama ini dia ikutan jaga di rumah sakit. Jadi dia capek."

    Siapa anak ini?

    "Itu...apa benar kamu nggak inget apa-apa?"

    Aku menggangguk pelan.

    Lebih tepatnya aku nggak kenal dan nggak tahu apa-apa.

    "Gitu ya. Pasti susah ya. Tapi kamu bisa ingat sama Verry jadi itu kemajuan yang bagus kan?!"

    Aku tertawa hambar. Jelas aku kenal Verry. Dia keponakanku.

    "Udah biarin aja. Cowok homo aja di ladenin hahahaha..."

    Cowok itu lagi yang berkoar. Yang sengaja menjulurkan kakinya tadi.

    Homo? Eggy?

    "Kalian ini nggak usah cari gara-garalah!! Nggak kasian apa sama Eggy? Dia baru sembuh lo," ada satu lagi cewek yang membelaku.

    "Apaan!!! Nggak bisa di ajak bercanda ya neng??"

    "Bercandamu udah klewatan Dra!!!"

    Jadi cewek-cewek disini membela Eggy? Dan beberapa cowok nggak suka sama Eggy. Apa karena Eggy gay? Jadi...Eggy suka sama cowok??

    "Lagian sok-sok'an mau bunuh diri. Malah bikin orang lain kena imbasnya."

    "Dra!!"

    "Udah-udah nggak usah ribut. Kalian ini. Ngerti sedikit dong perasaan orang. Lagian Eggy kayak gini juga karena kamu Dra!!"

    "Enak aja."

    "Kalau kamu nggak nempel fot..."

    Seketika kelas menjadi hening. Ternyata ada satu guru yang mengawasi kami di ambang pintu. Guru laki-laki dengan postur tinggi besar. Guru olah raga?

    Cewek yang mengajakku bicara tadi juga sudah duduk di kursinya. Aku belum tau namanya.

    Dan karena kejadian tadi aku semakin bingung. Semakin banyak pertanyaan dalam otakku.

    Kalau saja ada orang yang bisa dimintai pendapat atau tukar pikiran...

    Verry kembali. Dia masuk ke dalam kelas. Berjalan ke arahku untuk mengambil tasnya. Lalu dia berjalan lagi ke salah satu meja, berbicara dengan cewek berkacamata tadi. Sekarang cewek itu yang duduk disebelahku.

    Benar!! Itu dia!! Jika aku bisa meyakinkan Verry kalau di dalam tubuh ini adalah om nya. Itu...

    Cewek itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

    "Pita," katanya pelan.

    ...

    "Namaku."

    Ooohh!!!

    "Eri...Eggy," aku menyambut uluran tangannya.

    "Iya aku udah tau hahaha..."

    Duh...aku pasti kayak orang bego.




    ~ whoami pov ~

    Nah hahaha...eggy nya mana? G tw hehehe..

    Makasaih yg udah baca. Tmnku mw gambar nih buat crita ini. Msh nunggu hasilnya lol...
  • 6)

    "Gimana sekolahnya?" tanya mama saat aku baru meletakkan tasku di sofa.

    Aku harus biasa memanggilnya mama. Mama muda. Aku punya mama yang masih muda. Astaga...ganjil banget.

    "Lumayan," sahutku sambil melepas sepatu.

    Apanya yang lumayan? Yang aku dapat hanya satu teman cewek. Pita. Itupun hanya waktu di kelas. Waktu istirahat dia bersama teman ceweknya. Belum lagi ada satu cowok yang rese banget. Kayaknya dia benar-benar nggak suka sama aku, maksudku sama Eggy. Dan lagi Verry juga kelihatan benci sama aku...Eggy.

    "Kata gurumu tadi, kamu inget satu temen sekelasmu ya?!"

    ...

    Verry maksudnya?

    "Iya. Kok ma...mama tau?"

    "Tadi mama di telfon pihak sekolah."

    Mama mendekatiku dan membelai rambutku.

    Jangan dekat-dekat nanti aku bisa jatuh cinta sama kamu mbak.

    "Oh..."

    Liam berjalan masuk setelah memarkir motornya.

    Seminggu ini Liam libur. Tapi aku nggak tau libur dalam rangka apa. Apa karena dia mau menjagaku? Aku juga masih belum tahu ada masalah apa antara dia dan Eggy. Tapi aku nggak punya waktu buat mikirin itu. Masalahku sudah cukup banyak. Belum lagi Verry yang membenci Eggy karena Eggy melibatkanku dalam aksi bunuh dirinya.

    Jujur aja...sebenarnya aku senang karena Verry mengkhawatirkanku. Rasanya aku harus lebih sayang sama dia.

    "Makan dulu yuk. Mama nggoreng bandeng tuh."

    "Iya nanti ya ma. Aku mau ganti baju dulu."

    Setelah menenteng tas aku berjalan masuk ke kamar.

    Pakaian Eggy lumayan bagus lah. Anak itu pinter juga milihnya. Aku juga nggak terlalu suka baju dengan banyak tulisan atau gambar. Bagus kalau polos.

    Waktu keluar dari kamar aku melihat Liam sedang asyik main hp.

    "Mas..." panggilku pelan.

    "Hmm..." dia masih main hp.

    "Besok aku mau kesekolah sendiri aja. Nggak perlu kamu anter jemput."

    Kini Liam menatapku.

    "Kenapa?"

    "Aku bisa kesekolah sendiri kok."

    Liam masih menatapku. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

    "Kamu ingat jalan?"

    Aku mengangguk.

    "Kalau nama atau wajah orang yang kamu kenal dulu?"

    "Aku masih belum ingat."

    "Tapi kalau jalan hafal?"

    Aku kembali mengangguk.

    "Apa kamu masih inget cara naik motor?"

    Aku terkekeh.

    "Masih."

    Liam tersenyum.

    "Ya udah. Mulai besok kamu naik motor sendiri."

    Bagus...

    Aku harus mendekati Verry dan meyakinkan dia kalau aku ini om nya. Apapun harus aku lakukan sampai dia benar-benar percaya padaku. Kalau Liam mengantar-jemputku, waktuku untuk mendekati Verry jadi berkurang. Kalau begini aku jadi bisa leluasa mendekati Verry.

    Setelah makan siang aku membantu mama membereskan meja. Ada sedikit insiden kecil. Yenny adu mulut sama Liam. Gara-gara Liam pakai laptopnya nggak pakai ijin. Dan Liam marah karena laptop Yenny sudah peyok sana sini. Mungkin jatuh.

    "Yen beliin mama sabun cuci dong. Habis nih," mama menyodorkan sejumlah uang ke Yenny.

    "Males ah ma. Liam aja sono!!"

    Liam sendiri langsung berjalan masuk ke kamar.

    Dasar anak jaman sekarang. Susah banget sih buat bantu orang tua sendiri. Ngirit tenaga. Pelit.

    "Sini ma biar aku aja."

    "Ah...iya. Tolong ya."

    Disamping rumah ini ada toko kecil. Jadi aku nggak perlu jauh-jauh membelinya. Setelah meletakkan sabun dan uang kembalian di atas meja makan, aku langsung menuju kamarku. Membuka jendela kamar hingga angin dari luar masuk kedalam. Aku merogoh saku celanaku. Rokok dan korek.

    Maaf saja...aku nggak kuat kalau harus puasa merokok. Beban mentalku terlalu berat.

    'Fuuuuuuhhh....'

    Asap rokok langsung membumbung tinggi. Aku sengaja menghisap rokok di dekat jendela.

    Padahal baru satu mingguan aku ditubuh ini tapi rasanya begitu lama. Seperti berbulan-bulan.
  • kasihan banget Eggy ...
  • 7)

    "Ver," panggilku pelan saat jam istirahat pertama.

    Anak itu menatapku sekilas sebelum beranjak dari duduknya dan berjalan pergi.

    Aku langsung mengikutinya.

    "Aku mau ngomong sama kamu Ver," sekali lagi aku mencoba berbicara dengannya.

    Beberapa anak kelasku langsung menyoraki kami. Mungkin Verry nggak enak dengan situasi ini jadi dia memilih menghindariku. Dan lagi, dia masih marah sama Eggy yang sudah membuat salah satu keluarganya masuk rumah sakit.

    Koridor sekolah cukup ramai kalau sedang istirahat. Banyak siswa siswi berlalu-lalang.

    "Ver!!"

    "..."

    Benar, sejak tadi pagi aku mencoba mengajaknya bicara, tapi dia selalu menghindar atau pura-pura nggak dengar.

    "Veerrr!!!"

    ...

    Dia masih menghindariku.

    Sialan. Kalau gini terus sama saja aku nggak ada kemajuan.

    Aku berusaha berjalan di sampingnya. Kaki Verry panjang jadi sedikit susah untuk menyamakan langkah kami.

    "Ver kalau kamu nggak mau ngobrol sebentar sama aku, aku bisa kasih tau temen sekelas kita kalau kamu suka warna pink. Sampai kolormupun warnanya pink," kataku sepelan mungkin.

    "..."

    Verry berhenti. Dia seperti syock mendengar kata-kataku.

    Hehe....

    Kini dia menatapku garang. Raut wajahnya antara kesal dan malu.

    Yah...cowok kayak dia suka warna pink. Nggak cuma suka aja sih. Tapi menggilai. Kamarnya aja semua bernuansa serba pink. Orang yang nggak tau kalau itu kamarnya Verry sudah pasti ngira itu kamar adik ceweknya. Susah memang jika cowok suka dengan warna pink atau hal yang lucu-lucu. Aku sempat khawatir tentang itu. Tapi karena Verry itu terkenal playboy, rasa khawatirku hilang tak tersisa. Aku dengar dari kakakku, pacarnya Verry itu banyak. Suka gonta-ganti pacar. Tapi selama ini nggak ada satupun pacar yang sampai masuk ke kamarnya. Jangankan pacar, teman saja nggak ada yang di undang masuk ke kamarnya.

    "Kamu...."

    Aku tersenyum.

    "Kamu...tau darimana tentang itu??"

    Aku masih tersenyum.

    "Gimana ya. Aku tau banyak kok. Nggak cuma itu aja. Contohnya kamu itu nggak cuma suka warna pink tapi juga menggilainya. Belum lagi kamu juga suka mengoleksi barang-barang atau pernak-pernik lucu."

    Verry makin terlihat galak.

    "Kamu ngancem aku?"

    "Aku cuma mau ngobrol sebentar sama kamu setelah pulang sekolah nanti. Bisa kan?!"

    "Kalau aku nggak mau?"

    "Ya gimana ya...besok anak-anak pasti tau rahasiamu. Mungkin semua."

    ...

    ...

    Ngancem gini rasanya nggak enak juga ya. Aku berasa jadi anak nakal.

    Verry kembali melangkahkan kakinya.

    "Nanti jangan pulang dulu," kataku mengingatkan.

    ...

    Aku nggak tau keputusanku ini salah atau nggak. Rasanya kalau salahpun aku ingin membenarkannya.

    Hpku dalam saku bergetar. Hp ini milik Eggy. Nggak ada satupun jejak yang tersisa di hp ini. Kayaknya Liam menyimpan semua foto yang ada di sini atau bisa juga dia menghapusnya. Sebenarnya aku berharap kalau banyak jejak tertinggal. Jadi aku bisa mencari info.

    Mama mengirimiku sms. Dia mengomel karena semua orang rumah lupa kalau hari ini acara kontrolku ke dokter. Ya salah siapa yang nggak ingat. Aku sudah susah payah bertarung sendiri dengan masalahku. Mana ada ruang di otakku untuk mengingat hari kontrol.

    To : mama
    Bsk aja.

    Ehh....??

    Brruuuugghh....

    "Aduh...duh...duh..."

    Kerah bajuku di tarik dari belakang. Membuatku jatuh dengan mulusnya di lantai.

    "Hahahaha...goblog. Makanya jangan ngelamun aja."

    Lagi-lagi dia...

    Indra dan genk nya.

    Ada masalah apa sih dia sama Eggy. Usil banget. Nggak ada kerjaan apa selain gangguin orang.

    Awas aja. Kalau masalahku dengan Verry udah selesai, gantian dia yang aku tangani.




    ~ whoami pov ~
    wow...lulu pembaca setia semua cerita hehe....
  • mantap gan!!! mensen ane cuy kalo apdet
  • Lanjut bro. Menarik :v
  • 8)

    Mama kembali menghubungiku. Kali ini dia menelfonku.

    "Ya ma?"

    'Kamu dimana? Kalau jam segini masih sempat ke rumah sakit nggak?'

    "Sepatnya sih sempat tapi kan ini udah siang. Aku juga masih disekolah. Besok aja ma."

    'Tapi kalau besok bukannya kelamaan??'

    "Nggak ma. Kan cuma telat sehari."

    Dan mama terus mengoceh. Khawatir dengan hal-hal yang nggak perlu. Aku baru tahu kalau mamanya Eggy orang yang mudah khawatir. Dia selalu mengecekku dan menanyakan apa obatku sudah aku minum atau belum. Padahal obatnya selalu aku buang. Yang aku minum cuma obat untuk luka di kepala.

    Anak-anak mulai berhamburan keluar menyisakan aku dan Verry. Dia duduk dikursinya. Setelah selesai berbicara dengan mama, aku mendekatinya.

    Jujur saja, aku bingung mau memulai dari mana. Aku harus berkata apa supaya dia percaya kalau aku ini om nya.

    "Jadi...gimana om mu?" tanyaku memulai percakapan.

    Verry menatapku datar.

    "Untuk apa tanya-tanya? Mau minta maaf?"

    "Nggak juga sih."

    Verry masih menatapku.

    "Terus?"

    "Ver ini mungkin mendadak. Tapi kamu harus percaya sama aku. Aku...aku ini om Erick."

    "..."

    "..."

    "..."

    "..."

    Verry beranjak dari duduknya. Dia menenteng tas nya dan berjalan pergi.

    "Ver!!!" aku mencengkeram lengannya, "dengerin aku dulu sampai selesai!!"

    Verry menarik lengannya sampai cengkeramanku terlepas.

    "Kalau kamu mau buat lelucon jangan pakai omku sebagai bahannya. Aku bisa menghajarmu," Verry terlihat mulai marah.

    "Jadi...apa yang harus aku lakuin supaya kamu percaya? Apa perlu aku bilang satu persatu rahasiamu yang hanya diketahui kamu sama om'mu?"

    Mata Verry berkilat marah.

    "Sampai mana kamu mau membuat leluco..."

    "Kamu pernah ngajak pacarmu kerumahku dan kencan di rumahku."

    "Haaah??!!"

    "Namanya Vinna anak pak RT ,tetanggamu, kamu memang nggak bisa ngajak pacar ke rumahmu apalagi sampai masuk ke kamarmu. Nggak cuma pacar, aku dengar dari mama mu kalau temanmu juga nggak ada yang boleh masuk ke kamar."

    "Ap..."

    "Waktu baru masuk SMA aku memergokimu sedang grepe-grepein pacarmu yang lain di sofa rumahku."

    "DARI MANA KAMU TAU???" kali ini Verry mencengkeram kerah bajuku.

    "Karena itu aku memarahimu dua jam. Mengomelimu dan menasehatimu."

    "JAWAB AKU!!!"

    "Aahhh...waktu kamu SD kamu pernah nangis waktu mandi dirumahku. Nunjukin selangkanganmu. Kamu heboh tentang tahi lalat berambut di salah satu pahamu."

    "EGGY!!!!"

    Aku memegang tangannya.

    "Aku bukan Eggy. Aku Erick."

    "Aku nggak ada waktu buat main-main sama kamu. Paham!!!"

    "Aku nggak main-main. Aku serius. Aku ini Erick. Kamu harus percaya itu."

    "GIMANA AKU BISA PERCAYA?! SINTING!!!"

    Verry mendorong tubuhku kasar. Kerah bajuku berantakan.

    Dia kembali menenteng tasnya yang sempat dia campakkan.

    "Kamu menangis semalaman saat ayah....oppamu meninggal."

    Langkah Verry terhenti. Dia kembali menatapku.

    "Kamu sayang banget kan sama dia. Dari bayi sampai kamu SMP tinggal dirumah oppa oma'mu. Di rumahku."

    "Berhenti!"

    "Kamu menulis sebuah surat saat oppamu meninggal dan hanya aku yang tahu isinya."

    Benar...karena dia memasukkan surat itu di liang lahat tepat sebelum tanah menutupi semuanya.

    "Kamu...."

    "Oppa...aku Verry. Verry pasti kesepian ditinggal Oppa. Nggak ada lagi sosok ayah yang sempurna selain oppa. Dan blablablablabla...jujur aja aku lupa isinya. Yang pasti isinya panjang dan nggak berguna. Tapi aku cukup tersentuh karena itu kok."

    Aku harap dia bisa percaya dengan sepenggal isi surat yang aku bacakan. Saat itu Verry menulisnya sambil menangis. Aku sampai bingung menenangkannya.

    "Jangan bercanda..."

    "Aku nggak bercanda. Aku serius."

    Tiba-tiba Verry beranjak pergi. Saat aku ingin mengejarnya hpku bergetar. Kali ini telfon dari Liam. Sosok Verry semakin menjauh.

    Mungkin ini terlalu mendadak buat dia. Apa aku terlalu terburu-buru??

    "Ya mas?"

    'Kenapa belum pulang? Mama bingung nanyain kamu. Kamu nggak nyasar kan??'

    "Nggak mas. Ini mau pulang kok."

    'Oh ya udah buruan pulang. Nggak usah mampir-mampir, nanti malah nyasar.'

    "Ya mas."




    ~ whoami pov ~
    makasih yg udah comment. makasih yg udah baca... hehehe ...
  • Keep it up
  • Mention kalo update
  • ntapss brader!!
Sign In or Register to comment.