BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

[HELP] kuisioner skripsi tema Gay Bullying

edited April 2016 in BoyzRoom
hi teman-teman
saya Chia, mahasiswa sastra inggris tingkat akhir dari sebuah ptn sedang membutuhkan partisipan untuk bantu jawab kuisioner skripsi saya yang bertema gay bullying. bentuk kuisionernya adalah pertanyaan-pertanyaan singkat sebagai respon dari dua artikel ilustrasi bertema gay bullying di lingkungan sekolah.

Bullying atau penindasan/perundungan adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh seseorang atau suatu kelompok dengan tujuan menyakiti orang lain secara fisik maupun mental. Gay bullying act adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap orang lain yang mereka anggap gay, penindasan dalam bentuk menyakiti secara fisik, sosial (mengucilkan), verbal (ejekan, hinaan, cercaan).

kuisionernya terdiri dari 3 pertanyaan Pre-Reading. Lalu dilanjutkan membaca 2 cerita pendek. dan terakhir 13 pertanyaan After Reading terkait cerita pendek.

akan saya sertakan artikel dan pertanyaan di post berikutnya.

mohon bantuannya dan terima kasih.
«13

Comments

  • edited April 2016
    PRE-READING QUESTIONS

    1. Apa pendapat kamu mengenai aksi gay bullying (bullying terhadap gay)?

    2. Apa kamu pernah menjadi korban dari aksi gay bullying? bisa jelaskan secara singkat?

    3. Bagaimana perasaanmu terhadap tindakan bully tersebut?

    apabila kurang nyaman menjawab di thread ini, teman-teman bisa jawab pertanyaan di atas lewat pesan pribadi.

    terima kasih.
  • 1. mereka babik

    2. tidak

    3. tidak tau karena tidak pernah merasakan
  • mungkin didefinisikan dulu kak gay bullying itu apa dan contohnya seperti apa..
    artikel ilustrasinya mana? mending dijadiin satu di awal post biar ga nyebar jadi enak yang baca.
  • ini jamaaan eeedddaaaan...
  • edited April 2016
    BLENDING IN
    ditranslasi dari cerita pendek karya Jeff Emo

    Aku berdiri di kantor bagian pelayanan siswa, mencoba untuk menjadwalkan pertemuan dengan pembimbing kesiswaanku, tiba-tiba aku diinterupsi dengan kasar dengan, tiada lain tiada bukan, orang yang paling menyebalkan dan ngondek di seluruh sekolah. Christian Michaelson menerjang pintu dan menyerobot langsung ke meja, membanting poster di depanku dan Miss Aimsbury. Dia menempatkan satu tangannya di poster itu, menekannya dengan kencang di balik telapak tangannya, kemudian dia mengangkat tangannya yang lain dan dengan dramatis memegang dadanya sambil berkata,

    “Aku ingin kau tau,” dia menangis dengan dramatis, “ Aku tidak akan lagi diintimidasi dengan pornografi ini!”
    Perkataannya dengan cepat kulupakan ketika aku menatap poster itu dan melihatnya. Christian menunjukkan pada sekertaris kepala sekolah sebuah poster berukuran 11x14 inci dengan Christian sebagai modelnya. Untuk lebih spesifiknya lagi, di foto itu terpampang Christian sedang melakukan oral seks.

    Miss Aimsbury terkejut dan dengan refleksnya dia mundur dari meja dan menutup matanya, “Mr. Michaelson!” katanya terkejut.
    “Aku ingin kau tahu,” Christian mulai lagi, “foto ini yang menyambutku tadi pagi, beberapa saat yang lalu, ketika aku membuka lokerku! Kau tahu kan setiap loker itu memiliki kombinasi yang sangat rahasia. Kombinasi yang hanya aku dan staff kantor ini yang tahu.”

    “Dan aku juga ingin kau tahu,” dia berhenti sejenak, menatap ke poster dan tersenyum, “Um, selain foto ini juga ada tulisan-tulisan yang tidak menyenangkan. Dan, aku juga ingin menambahkan, bahwa foto ini tidak asli, ini hanya rekayasa.”

    “Mr. Michaelson,” dia mengulangi, Miss Aimsbury sepertinya kehilangan kata-kata.

    “Ini adalah kejahatan!” kata Christian. Dan aku ingin ada tindak lanjut atas kejahatan ini. Sekarang!”

    Merasa kebingungan, Miss Aimsbury berbalik dan segera melangkahkan kakinya ke kantor. “Aku akan memanggil Mr. Daniels,” katanya, suaranya hampir tak terdengar.

    Aku menatap mata Christian, dan kembali melihat ke poster. Dia menggelengkan kepalanya ke kanan ketika dia melihat langsung ke poster dan mengubah posisinya.

    Aku mengeryitkan keningku dan mengangkat bahu saat Kepala Sekolah mulai berjalan menuju meja depan. Dengan cepat dia mengambil poster itu dan meremasnya membentuk sebuah bola.

    “Itu adalah bukti!” protes Christian.

    Daniels memutar matanya. “Apa maksud semua ini Christian?” dia bertanya. “Apa lagi kali ini?”

    “Aku ingin tahu kapan kamu akan bertindak terhadap penindasan ini! Ini konstan, aku diserang secara fisik dan verbal, aku dihina dan ditindas setiap hari dalam hidupku dan kau hanya duduk diam disana tanpa melakukan apa-apa!” Dia dengan dramatis mengusap dahinya dari depan ke belakang. “Aku tidak bisa tahan lagi!”

    “Christian kapan kau diserang? Berikan aku waktu dan tanggalnya. Dan aku membutuhkan nama-nama pelakunya.”

    “Kemarin,” dia memekik, suaranya naik satu oktaf. “Darren Watson dan Troy Cooper bergantian menjepretkan karet gelang ke arahku ketika kelas Sastra Inggris berlangsung.”

    “Dan apakah kau memberitahu gurumu?”

    “Tidak, Pak!” Chris menjawab. “Aku melaporkan sekarang padamu, Kepala Sekolah.”

    Daniel mengeluh. “Ada saksi mata?”

    “Pak, aku memberikanmu bukti. Kamu memegangnya ditanganmu. Lihatlah! Lihat semua yang mereka tempelkan ke lokerku. Mereka menuliskan ‘BANCI’ disetiap sudut lokerku dengan spidol permanen.”

    “Dan kamu beranggapan bahwa yang melakukan semua tindakan ini adalah orang yang sama yang menjepretimu dengan karet gelang?
    “Banyak karet gelang Pak. Lagi dan lagi, dan mereka tertawa ke arahku. Mereka mengejekku dan mempermalukanku, dan aku sangat lelah dengan semua ini. Aku lelah dengan kekerasan yang tidak ada habisnya ini dan semua ini harus segera berhenti!”

    Daniels menatapku, kebingungan melihatku berdiri disana. “Apakah kau ada hubungan dengan semua ini, Stevens?”

    Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak pak, aku di sini hanya ingin membuat janji dengan Mr. Tanner.”

    Dia kembali ke Christian. “Mr.Michaleson, ini ketiga kalinya dalam minggu ini kamu mengajukan komplain. Kami sudah menyelidiki kejadian ini dan tampaknya tidak ada saksi mata yang dapat mendukung pernyataanmu. Bagaimana aku tahu bahwa kamu tidak mengotori lokermu sendiri?”

    Christian membuka mulutnya, tak percaya, dan dengan marahnya dia meletakkan tangannya di pinggang. “Dan untuk apa aku melakukan sesuatu seperti itu?”

    Mr. Daniels menatapnya tepat di mata. “Oh, aku tidak tahu. Mungkin untuk mencari perhatian. Mungkin karena kamu bosan. Mungkin karena kamu harus selalu menciptakan sebuah drama. Jujur saja aku lelah dengan semua ini. Aku mempunyai banyak masalah yang lebih penting untuk dihadapi contohnya menjalankan sekolah ini. Aku tidak punya waktu untuk hal yang tidak masuk akal ini. Jika aku melihatmu lagi di kantorku, itu adalah untuk mengeluarkanmu. Kamu paham?

    “Mr. Daniels!” Christian berteriak.

    “Aku bilang, ‘Apa kamu paham?”

    Muka Christian memerah dan aku dapat melihat amarah dan penghinaan menghampirinya. “Anda belum mendengar semuanya Pak,” dia menegaskan dengan nada suara yang penuh ancaman. “Aku akan memanggil media jika perlu. Aku akan memanggil Komnas HAM!”
    “Kamu dipersilahkan untuk bertindak yang menurut kamu benar, tapi kamu tidak diizinkan untuk kembali lagi ke kantorku. Dan jika kamu membawa gambar menjijikkan seperti ini lagi ke sekolah, aku akan mengeluarkanmu dari sekolah. Selamat siang!” Dia berbalik dan kembali ke kantornya.

    “Ini tidak adil!” Christian menangis sambil membanting pintu.
    Aku menunggu beberapa saat, melihat apakah Miss Aimsbury akan kembali. Akhirnya aku melihat dia mengintip di pojok kantor. Ketika dia sudah yakin bahwa situasi sudah mereda, dia kembali untuk mengkonfirmasi jadwalku untuk bertemu dengan Mr. Tanner, dan akupun kembali ke kelas.

  • TIDAK ada satu orangpun di sekolah yang tahu bahwa aku gay. Kecuali sahabatku, Trina. Aku tidak seperti Christian. Aku tidak ceria dan pandai bergaul. Aku tidak mengenakan pakaian yang mencolok dan berjalan seperti perempuan. Aku tidak tergabung dalam klub drama dan aku bukan pemandu sorak pria. Yang paling penting, aku tidak suka menjadi pusat perhatian.

    Walaupun aku tidak memutuskan untuk mendeklarasikan bahwa aku gay ke seluruh sekolah, aku yakin aku tidak akan bergaul dengan Christian Michaelson. Menurut pendapatku, dia adalah salah satu tipe gay yang memberi dampak buruk bagi kaum homoseksual. Dia seperti neon box, papan reklame yang menunjukkan stereotype yang orang-orang pikir tentang kaum gay. Sejujurnya, aku tidak terkejut jika dia menjadi bahan ejekan, karena sepertinya dia memang meminta untuk diejek.

    Aku di kantin sekolah, duduk bersama sahabatku Trina, dan aku menceritakan padanya tentang kejadian yang aku alami di kantor konseling siswa. “Itu gila banget,” kataku. “Chris seperti kehilangan kendali.

    Trina menaikkan alisnya sebelum memasukkan kentang goreng ke mulutnya. “Bryan, itu hanya Christian. Dia selalu begitu.”

    “Jadi kamu tidak berpikir kalau dia ngondek?”

    Dia mengangkat bahu “Tentu saja dia ngondek. Aku hanya tidak melihat apa yang salah dengan semua itu. Menurutku Christian itu memang orang yang suka membuat rusuh. Dia sangat mirip dengan Nathan Lane.”

    “Oh kawan,” aku menjawab sambil memutar mataku. “Aku tak percaya dia membawa gambar porno itu ke kantor dan menunjukkannya ke Miss Aimsburry.’

    Trina berkata, “Seharusnya aku melihat ekspresi wajahnya saat itu.”

    “Sepertinya dia akan membutuhkan konseling sekarang,” kujawab sambil tertawa.

    “Aku harap Daniels tidak membuangnya. Aku ingin melihatnya.”

    “Oh kawan, kamu ingin aku belikan majalah porno?”

    “Sungguh?”

    “Tentu saja tidak. Jika aku membeli majalah porno yang bagus, tidak akan kuberikan pada siapapun, aku akan menyimpannya untuk diriku sendiri.”

    “Tapi serius deh, kau harus mengakui bahwa menyabotase loker seperti itu tindakan yang cukup kejam,” kata Trina.

    “Yah, itu jika dia tidak melakukannya sendiri. Daniels mungkin benar. Maksudku, bagaimana orang lain tahu kombinasi lokernya?”

    “Tadi kau bilang Troy Cooper adalah salah satu yang Christian tuduh sebagai pelakunya?”

    Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Trina.

    “Yah, pacar Troy, Gina sedang magang di kantor konseling siswa untuk kelas Teknologinya. Dia bekerja di sana empat sampai lima jam setiap harinya.”

    “Oh ayolah,” kataku, mencoba beralasan. “Mengapa Gina mau terlibat konspirasi untuk mengerjai Christian?”

    “Ya kadang orang memang kejam. Terutama orang-orang yang anti-homo.”

    “Kurasa itu tidak mungkin,” kuakui. ”Troy sepertinya orang yang baik dan dia tidak pernah berbuat jahat padaku.”

    “Hmm,” katanya. “Tapi mungkin saja jika dia tahu tentangmu.”

    “Trin ayolah. Memberi pornografi ke Christian Michaelson tidaklah kejam. Itu seperti member permen pada anak kecil saat halloween.”

    “Ya mungkin jika seseorang masuk secara paksa ke lokermu dan memasang gambar seksual seperti itu, dan menulis nama anti-homo yang menjijikan di seluruh sudut lokermu, kamu akan sedikit ketakutan.”

    “Ya mungkin saja. Tapi semua itu takkan terjadi padaku. Orang-orang tidak akan mengerjaiku karena aku tidak mengumumkan kehidupan pribadiku. Aku tidak menjejalkan orientasi seksualku ke tenggorakan tiap orang.”

    Dia melihatku dengan serius. “Kurasa kamu harus memasukkan sesuatu ke tenggorokan orang. Mungkin jika kamu melakukannya, kamu akan lebih bersimpati pada penghisap penis seperti Christian.”
    Aku tak tahu harus tertawa atau tersinggung. Aku hanya duduk disana makan cheeseburgerku.

  • MENJADI anak yang berada di tengah, aku sudah terbiasa tidak diperhatikan. Aku mempunyai kakak perempuan yang lebih tua dua tahun dariku dan aku memiliki dua adik lelaki. Mereka kembar. Aku berumur 4 tahun ketika Brady dan Brandon lahir, dan kakakku Beth seperti menjadi pengasuh bagi kita bertiga. Memiliki tiga anak laki-laki, dan dua dintaranya kembar sangatlah susah untuk orang dalam mengaturnya, dan Beth seperti menjadi ibu asuh dalam berbagai hal.

    Aku pikir itu sangatlah normal jika si kembar mendapatkan lebih banyak perhatian. Tentu saja Beth sebagai anak sulung dan sebagai pengasuh adik-adiknya, memiliki peranan yang penting dalam keluarga. Aku hanyalah anak yang ada ditengah. Aku hanya ada di situ, gampang terlupakan dan kadang tak terpikirkan.

    Aku tidak mempermasalahkannya, sungguh, aku hanya mengamatinya. Aku tidak pernah meragukan cinta kedua orangtuaku padaku. Aku tidak pernah merasa sakit hati. Sejujurnya aku tidak menginginkan semua perhatian yang didapatkan saudaraku. Bagiku itu seperti hidup di bawah kaca pembesar.

    Sepertinya di antara mereka tidak ada yang mecurigai aku gay. Mereka hanya mengira bahwa aku penyendiri. Dan aku pikir mereka juga menyalahartikan kedekatanku dengan Trina. Mamaku pernah mengatakan padaku kalau aku dan Trina sangatlah dekat. Sepertinya dia ingin aku terbuka padanya bahwa aku benar-benar jatuh cinta pada Trina. Jelas sekali aku tidak menyukainya dan Trina pun tahu aku tidak mencintainya dan alasan mengapa aku tidak mencintainya.

    Aku tidak dapat memberitahu Mamaku semua ini, apalagi Papa. Dan walaupun Trina adalah teman baikku, dia bukanlah temanku satu-satunya. Aku juga mempunyai teman laki-laki yang berteman denganku. Yang paling penting di antara semuanya adalah Mike. Okay, karena aku sudah menceritakan semuanya secara jujur, aku ingin mundur sedikit. Mike bukanlah seseorang yang benar-benar dekat denganku.

    Oke, biarkan aku menceritakannya dari awal. Aku sangat menyukai Mike. Maksudku, aku benar-benar menyukainya. Oke aku katakan. Aku mengakuinya. Aku benar-benar naksir padanya. Dia memiliki mata coklat yang sangat indah. Sangatlah gelap sehingga kadang-kadang terlihat hitam. Dia salah satu murid yang memiliki wajah yang sangat tampan, dan dia memilki alis yang sangat tebal. Dia juga pandai berbicara dalam bahasa Spanyol, yang menurutku sangatlah sexy (Mike alias Miguel adalah orang Latin).

    Dan karena aku sudah berkata bahwa aku akan meceritakan semuanya dengan jujur. Aku juga harus mengakui bahwa Mike bukanlah temanku. Dia lebih seperti teman khayalanku. Aku melakukan apa saja agar dia memperhatikanku. Gila ya? Aku sudah mengatakan betapa nyamannya aku tidak menjadi perhatian. Tapi jika itu menyangkut lelaki spesial ini, aku sangat menginginkannya lebih dari apapun di dunia ini agar dia memperhatikanku.

    Beberapa minggu yang lalu aku datang ke pertandingan sepak bola sekolah. Aku sebenarnya bukanlah orang yang menyukai olahraga, tetapi aku mempunyai motif tersembunyi. Mike tergabung dalam tim sepakbola, dan aku akan menggunakan ponselku untuk mengambil fotonya saat bermain sepakbola. Tidak ada yang tahu aku memfotonya, bahkan Trina sekalipun. Dan aku menghabiskan waktu luangku untuk melihat semua foto-foto Mike, kekasih latinku. Mimpi!

  • “BRYAN, dengan nilai ujian masuk ini kamu seharusnya mempertimbangkan untuk mendaftar di beberapa universitas ternama.” kata Mr. Tanner. Aku berada di kantor untuk sesi wajib konseling. Ini adalah kewajiban bahwa semua junior harus menyelesaikannya sebelum semester berakhir, yang mana akan berakhir seminggu lagi.

    “Terimakasih Mr.Tanner,” kataku, “tapi aku sudah memutuskan bahwa aku akan tetap disini dan mendaftar ke community college untuk dua tahun ke depan.”

    Dia meletakan arsip di meja sambil melepas kacamatanya. “Bryan, aku harap kamu akan mempertimbangkannya. Aku pernah mengalami kejadian ini dengan siswa lain sebelumnya. Jika kamu menunggu, kamu akan berakhir dengan tidak mendaftar sama sekali. Ini sama saja kamu membuang kesempatanmu untuk masuk ke universitas bergengsi."

    Aku melihatnya dengan seksama kemudian aku memalingkan mataku dan menatap ke pangkuanku. Aku benci pertemuan seperti ini,
    “Setidaknya biarkan aku membrimu beberapa referensi. Aku memiliki banyak aplikasi disini dan kamu dapat membawanya dan memikirkannya kembali. Diskusikan dengan orang tuamu, oke?

    Aku mengangguk. “Tentu saja. Terima kasih.”

    “Dapatkah kau katakan padaku Bryan? Kenapa kamu memilih komunitas kampus?”

    Aku gugup, tak tahu apa yang harus kukatakan. “Aku tidak tahu. Nilai ujianku bagus, tapi nilai harianku….”

    “Nilai harianmu juga bagus,” katanya. “Kamu mendapatkan hanya satu B, dan itu juga di pelajaran olahraga.”

    “Aku rasa, aku hanya belum yakin. Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya dan aku tidak ingin masuk ke universitas besar dan menghabiskan semua waktu dan uang ketika aku belum tahu ingin jadi apa.”

    “Hmm, itu masuk akal,” dia menyetujui, “tapi kamu tidak harus tahu secara persis ingin jadi apa kamu nanti ketika kamu mulai kuliah. Sebagai awal, kamu bisa mengambil kelas wajib yang bisa masuk ke segala jurusan.”

    “Dan jika aku masih belum bisa menentukan?”

    “Aku akan memberimu beberapa katalog tentang rencana studimu Kamu dapat mempelajarinya dan mungkin kamu akan menemukan satu yang menarik perhatianmu. Apa yang kau sukai?”

    Miguel, pikirku. “Aku tak tahu. Aku pandai di matematika, tapi aku benci sains. Aku suka membaca tapi benci tata bahasa dan kelas mengarang. Aku tidak suka politik tapi aku suka kelas kewarganegaraan.”

    “Bukan, apa yang kamu minati Bryan Stevens? Aku tidak menanyakan kelas apa yang kamu sukai. Apa yang kamu minati sebagai seorang individu?”

    Aku menunggu beberapa saat dan menyadari bahwa inilah masalahku. Aku tidak mempunyai minat apapun. Aku tidak mempunyai sesuatu yang membuatku unik, membuatku menonjol. Aku hanya mencoba untuk berbaur. Aku tidak bergabung dalam band, drama atau tim debat. Tidak bernah berkontribusi dalam bidang olahraga. Ku rasa aku hanyalah seorang penyendiri dan aku tidak mau mengambil kesempatan. Aku tidak ingin mengambil risiko untuk keluar dan mempertaruhkan hidupku terlihat bodoh.

    “Uh… Aku suka komputer. Aku suka musik dan film. Aku hebat dalam bermain game.”

    Dia tersenyum padaku. “Cobalah kamu lihat katalog ini, terutama bagian yang menyangkut komputer. Lakukan beberapa pencarian di Internet. Aku ingin kau berjanji bahwa kau akan memikirkan semua ini dengan serius. Aku ingin kamu menjadwalkan pertemuan lagi denganku dua minggu lagi dan kita akan membicarakan keputusan yang kamu ambil.”

    Aku mengangguk. “Ya, Pak,” kataku sambil mengulurkan tangan untuk menerima materi yang dia berikan.

    “Bryan, apakah ada yang kau pikirkan?” katanya ketika aku berdiri.

    Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak ada Pak.”

    “Semua baik-baik saja di rumah? Apa kau punya masalah di sekolah? Ada yang ingin kau katakan?”

    Aku melihatnya beberapa saat, kemudian menggelengkan kepalaku. “Tidak, semuanya baik-baik saja.”

    “Okay,” katanya. “Baik jika tidak ada yang dibicarakan, aku ingin kau tahu bahwa kau bisa mengatakan apapun padaku, kapanpun, oke?
    Aku mengangguk. “Ya, terima kasih Mr. Tanner.”

    “Okay, sampai bertemu dua minggu lagi.” Dia tersenyum hangat padaku.

    Aku berhenti di meja dalam perjalananku keluar, menatap ke wajah Miss Aimsbury lagi. Dia mengisi kartu pertemuan dan aku mengintip apakah ada Gina di kantor. Gina adalah pacar Troy, yang sebelumnya Trina sebutkan. Dia sedang mengunyah permen karet sambil mengetik di laptop dengan kasar.

    “Ini dia,” kata Mis Aimsbury. “Selasa tanggal 16 jam 11 dengan Mr. Tanner.”

    “Terima kasih. Dapatkah aku segera kembali ke kelas?”

    “Tentu saja,” katanya.

    Kemudian aku langsung keluar dan berjalan menyusuri lorong ke lokerku. Saat itulah aku melihatnya. Christian lagi, dan kali ini dia terlihat berbeda. Dia satu-satunya orang di lorong, berdiri di depan lokernya. Dia mewarnai rambutnya dengan warna yang aneh. Sepertinya warna cranberry. Ketika dia menoleh untuk menghadap ke arahku, air mata bercucuran di mukanya dan diapun memalingkan mukanya ke arah yang berlawanan.

    Ini sangat canggung. Aku memelankan langkahku. Aku berpikir apakah dia memulai sesuatu lagi, membuat sebuah pertunjukkan.
    “Chris, apakah kamu baik-baik saja?” tanyaku perlahan.

    Dia berbalik, dia mengulurkan tangannya untuk menunjukkan padaku apa yang dia genggam. Sebuah batu. Dengan tinta merah dan huruf capital, diatasnya tertulis BANCI. “Mereka melemparkan ini ke kaca mobil belakangku,” katanya sambil berbisik.
    Aku melihatnya tak percaya. “Siapa yang melakukannya?” tanyaku.

    “Mereka! Orang yang sama yang selalu melakukan perbuatan ini padaku.” Suaranya nyaring dan mengisak, dan aku takut dia akan bertingkah seperti yang ia lakukan di kantor. “Bryan, aku tidak bisa menerima semua ini lagi,” katanya pelan. Dia tidak terdengar hiperbola, sebaliknya dia terdengar seperti orang yang kalah berperang. “Aku hanya ingin tahu mengapa mereka melakukan semua ini? Apa yang telah aku lakukan? Apa yang aku lakukan pada mereka? Apa yang sudah kuperbuat hingga aku pantas menerima semua ini?”

    Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. “Kamu harus melaporkannya,” kataku.

    “Kenapa? Kamu tahu apa yang akan terjadi jika aku mencoba melaporkan sesuatu. Kamu lihat. Kamu ada disana. Daniels berkata ini semua salahku. Dia mengatakan kalau aku pembohong, katanya aku mengada-ada.”

    Aku merasa kasihan padanya, tapi aku harus kembali ke kelas.

    “Kemarin aku mendapat 47 sms,” katanya. Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya. “Lihatlah ini.”

    Aku menggelengkan kepalaku, aku ingin mengatakan padanya bahwa aku harus segera kembali ke kelas tapi dia menyodorkan ponselnya. Aku melihat di layar ponselnya. “Mati kau banci,” “Hisap penisku,” “Berikan aku blowjob,” “homo.” Semuanya pesan penuh kebencian dan ancaman.

    “Seperti ini setiap hari,” katanya. “Aku harus menutup akun facebook-ku”

    “Aku kehabisan kata-kata. “Chris …”

    “Aku tahu apa yang kau pikirkan tentangku,” katanya. “Kamu pasti berpikir aku pantas menerimanya karena aku orang yang aneh. Aku tak tahu kapan harus menutup mulutku. Aku tidak peduli apa yang orang pikirkan terhadapku. Aku hanya melakukan apa yang aku ingin lakukan dan itu mengejutkan bagi beberapa orang.

    “Tapi.., tapi ini tetap menyakitkan. Aku terlihat ceria di depan, tetapi orang-orang tidak tahu bahwa itu membunuhku dari dalam.” Dia menyelipkan ponselnya kembali ke sakunya. “Aku tidak bisa… Aku tidak bisa menerima lagi semua ini.”

    Tiba-tiba aku teringat pembicaraanku dengan Mr.Tanner. “Chris,” kataku, “Apa kamu sudah mencoba untuk mengadukan masalah ini ke Mr.Tanner?”

    Dia menggelengkan kepalanya. “Dia sama saja. Dia sama saja seperti Daniels.”

    “Jadi kamu sudah mengatakan padanya tentang semua ini?”

    “Aku adukan ke Mr. Daniels, kepala sekolah! Aku mengadukan ini berkali-kali dan dia tidak melakukan apapun. Apa bedanya dengan guru konseling?”

    “Aku tak tahu,” kataku, “tapi mungkin..”

    Dia menggelengkan kepalanya. “Maaf. Aku tidak seharusnya mengatakan semua ini padamu.”

    “Dengar, aku harus segera masuk kelas. Tapi jika kamu mau, aku bisa menemanimu untuk berkonsultasi dengan Mr.Tanner. Aku yakin dia pasti bisa membantumu.”

    Dia menatapku dengan gembira. “Okay,” akhirnya dia menjawab. “Terima kasih, Bry.”

    “Sama-sama,” kataku sedikit malu. Aku harap dia tidak mencoba untuk memelukku. “Aku harus segera kembali ke kelas. Sampi jumpa.”
    “Oke.. terima kasih lagi.”

    Apa yang telah kulakukan? Aku berpikir sambil melangkahkan kakiku ke kelas kalkulus.
  • edited April 2016
    Pertandingan basket ini sangatlah membosankan. Seperti yang pernah aku bilang, aku benci olahraga. Dengan berakhirnya musim sepakbola dan berganti ke musim basket, aku benci terlibat untuk berpatisipasi dalam acara olahraga sekolah, walaupun itu hanya menjadi penonton. Jika ini adalah pertandingan sepakbola mungkin aku akan lebih bersemangat.

    Seperti biasanya, pertandingan dimulai dengan pemandu sorak. Chris adalah salah satunya. Dia satu-satunya laki-laki dalam grup. Sekarang aku menyadari mengapa rambutnya diwarnai dengan sangat mencolok. Mereka semua serasi, tiga belas perempuan dan dia, dengan rambutnya yang berwarna cranberry sangat cocok dengan seragam pemandu sorak yang berwarna burgundy.

    Aku tidak pernah menyadari dia memiliki badan yang proposional. Fisik yang bagus. Aku rasa semua baju yang dia pakai dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian dari penampilannya yang sangat menarik. Tentu saja itu tidak membantu ketika dia berjalan kesana kemari seperti ratu, melambai seperti perempuan. Tetapi seragam itu sangat cocok denganya, dan otot perutnya sangatlah terlihat, begitu juga dadanya yang bidang dan otot lengannya yang besar. Tentu saja dia memerlukannya untuk mengangkat perempuan di atas kepalanya seperti itu. Tidak diragukan lagi dia seorang yang feminin, tapi aku harus mengakui bahwa dia adalah seorang ngondek yang kuat.

    Ketika pemandu sorak telah menyelesaikan penampilannya, aku dan Trina pun duduk. Sebelumnya aku mengira aku akan bosan setengah mati, tapi aku cukup tercengang dengan koreografinya. Chris di posisinya, tersenyum penuh percaya diri dan berteriak bersama anggota yang lain dengan lantang. Pergerakannya benar-benar pas dan penuh perhitungan, dan seluruh anggota bergerak dalam harmoni yang sempurna. Pasti membutuhkan waktu yang sangat lama untuk berlatih semua ini. Ini benar-benar menakjubkan.

    Setelah membuat penonton bersemangat, mereka mulai untuk menyuruh kita berdiri selagi mereka memperkenalkan tim. Christian melangkah kedepan dan meneriakkan nama pemain pertama. Dibelakangnya, pemain pertama masuk ke auditorium dan segera menuju ke tengah lapangan. Pemandu sorak kedua meangkah kedepan dan meneriakkan nama yang lain. Pemain lainnya muncul dan disambut dengan sorakan yang meriah.

    Dan terus berlangsung, dua pemandu sorak memutar bergantian selagi mereka memperkenalkan anggota tim. Pemandu sorak yang lain di belakang mereka, menyepak dan bertepuk tangan, meneriakkan nama setiap anggota tim yang memasuki gedung olahraga, Chris maju kedepan lagi, mengambil nafas panjang dan mengumumkan, “Nomor 37, Troy Cooper!” Para penonton bersorak dengan gembira sesaat Troy berlari dari ruang ganti..

    Pemandu sorak berseru memujinya, “Troy! Troy! Dia pahlawan kita!”

    Troy mengambil alih panggung tengah, membelok kemudian melakukan tos ke teman satu tim nya satu persatu.

    Aku teringat insiden batu itu. Aku ingat saat Chris di kantor, dan apa yang dia katakan tentang Troy. Aku berhenti bertepuk tangan saat aku menyadari betapa sulitnya ini untuk Chris. Dia berdiri disana menyemangati orang yang menyiksanya.
  • edited April 2016
    Oh anak sastra ya. Pantesan. ._.
  • Keesokan harinya aku berjalan pulang bersama Trina. Aku masih belum menyebutkan apapun tentang pembicaraanku dengan Chris. Bahkan aku sama sekali tak menyebutkan pertemuanku dengan Tanner. Kita berjalan pulang bersama dan kita membicarakan tentang hal-hal yang tidak penting. Jersey Shore. American Idol. Twilight.

    Aku terkejut ketika mendengar ponselku berbunyi. Aku mendapatkan sms. Tampaknya Trina juga sama terkejutnya. Dialah satu-satunya orang yang biasanya meng-smsku. Mamaku biasanya tidak mengirimkan sms. Dia menelepon.

    Aku mengecek smsku dan aku terkejut ternyata yang meng-smsku adalah Chris. Dari mana dia tahu nomor ponselku?

    Terima kasih atas saranmu kemarin. Dapatkah kita membicarakan tentang pertemuan dengan Tanner?

    Trina ingin tahu siapa yang meng-smsku. Aku berbohong dengan mengatakan bahwa itu dari salah satu adik kembarku. Aku katakan aku harus bergegas pulang. Mereka mungkin menghancurkan seisi rumah sekarang. Mama dan Papa pergi, sementara Beth belum pulang.
    Aku menuju kamarku dan berdebat dalam hati tentang bagaimana aku harus membalas sms Chris. Haruskah aku meneleponnya? Aku tak seharusnya memberitahunya tentang Tanner. Aku benar-benar tak ingin ikut campur. Mengapa dia tidak mengahadapi pertarungannya sendiri? Dia tidak membutuhkanku untuk berbicara mewakili dirinya, sementara dialah yang bermulut besar.

    Selagi ponselku terbuka, aku melihat foto-foto Mike. Dia sangat sexy. Seandainya saja dialah orang yang meng-smsku.

    Sambil menghela nafas, aku memencet nomor Chris di ponselku.

    “Dapatkan kita bertemu?’ tanyanya.

    “Aku tak tahu. Aku sibuk malam ini.” Aku berbohong padanya.

    “Oh okay, tak apa. Maaf.”

    “Ga papa kok,” Aku berpikir untuk mengundangnya ke rumah tapi kemudian aku teringat rambutnya. Aku sangat yakin mamaku akan ketakutan ketika melihatnya. “Aku bisa menemuimu di mall jika kau mau. Bagaimana kalau satu jam lagi?”

    “Kamu yakin? Aku tidak ingin mengganggumu jika kamu sibuk.”

    “Ga papa kok,” aku meyakinkannya. Aku benar-benar bodoh. Aku takut jika orang tuaku melihatku bersamanya, tapi aku kemudian mengajaknya untuk bertemu di mall. “Oke, aku akan menemuimu di food court.”

    “Terima kasih Bry.” Katanya. “Sampai jumpa nanti.”

    Pasti perasaan bersalah yang memotivasiku. Kenapa lagi aku mau membantu orang ini jika bukan perasaan bersalah. Aku merasa seperti hipokrit. Dia menjadi bahan tertawaan dan penyiksaan karena dia gay, dan aku tahu bahwa aku juga gay. Aku gay tapi aku tidak bertingkah sepertinya. Aku tidak menyebarluaskannya. Aku tidak memberitahukan urusan pribadiku ke seluruh orang.


  • edited April 2016
    Awalnya aku tidak mengenalinya. Rambutnya kembali ke normal. “Rambutmu,” kataku sambil mengambil kursi diseberangnya di depan restoran cepat saji Taco Bell.

    “Hanya sementara saja. Aku mewarnainya hanya untuk memandu sorak.” Dia mengenakan jaket jeans dan Levi’s. Penampilannya tidak terlalu mencolok, hanya accesoriesnya saja yang agak berlebihan. Dia mengenakan dua gelang emas dan satu anting menyerupai berlian di kuping kanannya.

    “Lapar?” dia bertanya. “Aku yang traktir.”

    “Oh tidak, terima kasih.”

    “Yakin?”

    “Iya, coca cola aja satu.”

    “Ayolah,” katanya, dan kita beranjak untuk menuju konter makanan. Dia memesan Nacho Belle Grande dan dua Coca Cola. “Barengan aja makannya,” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku merasa mukaku berubah kemerahan.

    Setelah kita duduk kembali, aku tak tahu bagaimana memulai percakapan dengannya, tapi aku tidak mau menunggu disini semalaman, jadi aku bertanya padanya, “Bagaimana semua ini terjadi? Semua tidak penindasan ini maksudku.”

    Dia memalingkan mukanya, seolah-olah sedang berpikir. Kemudian dia kembali menatapku. “Aku tidak terlalu yakin.” Dia tertawa canggung. “Aku rasa semua ini bermulai ketika aku masih sangat muda. Aku selalu menjadi bahan tertawaan orang. Aku selalu menjadi badut.”

    “Kamu sepertinya tidak tampak pemalu,” kuakui.

    Dia tertawa. Ini saat paling normal yang pernah aku lihat darinya. Ternyata dia bisa menjadi orang lain, tidak seperti homo ngondek yang biasanya aku kenal. “Tidak, aku selalu nampak agak sedikit gila.”

    “Tapi suatu waktu semua ini harus berubah. Ini bukan hanya tentang menjadi pusat perhatian. Ini bukanlah sebuah olokan biasa. Mereka mengirimimu ancaman pembunuhan dan melemparkan batu ke jendelamu. Mungkin kamu harus lapor polisi.”

    Dia menggelengkan kepalanya. “Apa untungnya?”

    “Kamu berkata ke Daniels akan melaporkan semua ini ke komnas HAM. Kenapa ga kamu laporin aja?”

    Dia mendesah. “Aku hanya lelah. Aku lelah menjadi orang yang sangat dibenci. Kadang aku hanya ingin menjadi normal.”

    Statementnya benar-benar tak masuk diakal. Bagaimana bisa dia mempunyai keinginan seperti itu padahal semua tentangnya haruslah berlebihan. “Chris,” kataku dalam nada suara penuh iba, “kamu tidak harus bersikap seperti itu. Kamu tidak harus terlalu.. um..”

    “Terlalu homo?”

    Mukaku berubah kemerahan. “Aku tidak bermaksud seperti itu. Yang aku maksud, begini… kamu sendirilah yang ingin menjadi normal. Jika kamu bersungguh-sungguh mengatakannya, bertingkahlah layaknya orang normal. Paham maksudku?”

    “Siapa sih yang sebenarnya normal?” tanyanya. “Siapa yang berhak menentukan mana yang normal dan mana yang abnormal? Aku hanya menjadi diriku sendiri dan terkadang aku suka bertingkah agak sedikit gila. Terkadang aku ingin menjadi berbeda.”

    “Dan itu mengganggu orang lain. Orang lain tak ingin menjadi berbeda. Mereka tidak suka jika seseorang menonjol. Kamu harus belajar bagaimana cara untuk membaur.”

    “Ya,” katanya sambil memutar mata, “aku takut kalau itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan pernah membaur. Itu sangat tidak seperti diriku.”
    “Menurutku kamu harus tetap mendiskusikan ini dengan Mr. Tanner. Aku yakin dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku yakin Daniels tidak pernah memberitahunya.”

    “Daniel itu brengsek,” kata Chris. “Aku yakin dia seperti Troy saat muda, dia pasti anti-homo dan tentunya seorang penindas.”
    “Ini aneh,” aku mengaku padanya, “aku tidak pernah berpikir bahwa Troy orang yang seperti itu. Dia tampak baik.”

    “Ke kamu mungkin. Kamu bukan homo.”

    Aku menelan ludah.

    “Orang pikir aku memilih untuk menjadi diriku yang sekarang ini, tetapi Demi Tuhan aku tidak seperti itu. Seseorang tidak memilih kepada siapa dia tertarik.”

    “Apa kamu pikir mereka menjadikanmu korban celaan karena kamu..mm.. homo, atau karena kamu sangat lebay dan berlebihan?”
    Dia tertawa. “Menurutmu? Aku orang yang sangat bersinar. Aku tahu itu.” Dia mengangkat tangannya ke bahu dan meletikan jarinya dengan gaya yang sangat feminin. “Aku hanya menjadi diriku sendiri! Seratus persen homo!”

    Aku melihat sekitar dengan gugup, dan tiba-tiba dia menjadi serius kembali. “Lihat kan, bahkan aku membuatmu malu.”

    “Chris,” kataku muram, “itu tidak teralu penting. Jika kamu dihina karena kamu homo atau ngondek atau apapun itu, alasan itu bukan menjadi masalah. Maksudku, menjadi berbeda itu bukan suatu kejahatan. Mereka tidak harus menyukaimu. Mereka tidak harus menerimamu, tetapi mereka tidak punya hak untuk memperlakukanmu seperti ini.”

    Air mata terlihat di matanya. “Bryan,” bisiknya, “itu adalah hal terindah yang pernah orang katakan padaku.” Dia mengulurkan tangannya dan menaruhnya diatas tanganku. “Terima kasih.”

    Tiba-tiba aku mendengar suara tertawa dari kejauhan dan aku melihat Troy berdiri didepanku. Dia berada tepat di sebelah meja kami dan disampingnya tidak lain tidak bukan adalah Mike. Miguelku! Dengan cepat aku menarik tanganku dari Chris.

    “Apakah ini kencan?” kata Troy. “Bukankah ini sangat romantis. Dua homo berkencan di restoran Taco. Berbagi satu piring nacho supreme. Seandainya ponselku siap untuk mengambil foto saat kalian bergandengan tangan!”

    Mike hanya menatap kami. Aku berdiri. Siap untuk membela diri.

    “Troy, pergi dari sini!” Chris berteriak. “Bisa ga kamu ga ganggu kita?”

    Troy menarik kerah baju Chris dan menariknya dari kursi. “Kamu membuatku jijik, homo!” katanya, mengejek Chris. Chris mencoba meraih Troy, mencengkram pergelangannya, mencoba untuk melepaskan diri. Tapi Troy lebih kuat dan penuh amarah. Dia memutar Chris dan membantingnya kemeja, mendorong wajahnya ke nampan yang penuh nachos. Minuman kami jatuh ke lantai. Berantakan dimana-mana dan Chris masih mencoba untuk membela diri.

    Tak tahu apa yang harus dilakukan, akupun mundur, dan Troy menarik Chris kembali ke posisinya semula. “Selamat menikmati nachosmu homo!” katanya. Dia dan Mike pun meninggalkan kami sambil tertawa.

    “Apa kamu baik-baik saja?” kataku sambil mencari serbet untuk Chris. Keju dan saus bertebaran dimukanya dan krim berlumuran dirambutnya. Hidungnya berdarah.

    “Hidungku,” katanya merengek. “Kurasa dia mematahkannya.. Ya Tuhan!”

    Aku melihat sekitar, berharap menemukan satpam atau siapapun. “Aku akan mengantarmu ke rumah sakit,” tawarku.
    Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak!” Kemudian dengan cepat dia pergi ke konter makanan dan berlari ke pintu depan. Aku memanggilnya tetapi dia tidak menoleh.
This discussion has been closed.