BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Good Life

1235»

Comments

  • Chapter 9 : Lobow – Salah
    Sepanjang perjalanan cintamu, kau bilang aku yang paling tangguh
    Tapi mengapa kau tinggalkan aku dengan alasan yang tak jelas?
    Apa aku pernah mengeluh?
    Apa aku pernah berlari?
    Saat kau ada masalah
    Apa aku pernah membual?
    Apa aku tak mengimbangimu?
    Sayang, kau menilaiku salah

    Farel menghentikan motornya di depan sebuah kios kecil di pinggir jalan saat hujan turun. Kios itu hanya satu petak dan ada poster rokok yang di tempeli dimana-mana. Selain itu tempat tersebut hanya di jaga oleh seorang ibu-ibu yang sedang asyik menonton acara Infotaimen sore. Ada tulisan “Sedia Wedang Jahe” di depannya. Jadi itu mungkin salah satu alasan kenapa Farel menghentikan motornya di depan tempat ini. Atau mungkin alasan yang lainnya adalah karena tempat ini nggak begitu ramai, jadi memungkinkan dia untuk melakukan hal yang dia mau? Entahlah.

    Angin bertiup dengan kencang dan membuat Fian menggigil kedinginan. Cowok manis itu memeluk erat tasnya saking dinginnya. Cuaca belakangan memang benar-benar tak bisa diprediksi. Padahal beberapa jam yang lalu masih cerah-cerah saja, sekarang malah hujan badai seperti ini.

    Farel ternyata peka, dia yang berdiri di samping Fian langsung melepaskan jaketnya dan berniat untuk memakaikannya pada cowok manis tersebut. Dia tak tega jika orang yang ia sayangi demam. Tapi saat Farel ingin menjalankan niatnya, Fian langsung menjauh.

    “Aku mau pulang.” Kata Fian cepat.

    Satu lagi penolakan yang di terima oleh Farel dari Fian. “Kamu kedinginan, Fian. Kamu pakai jaketku dulu—“

    “Dan itu bukan urusan kakak. Aku kedinginan dan aku mau pulang!”

    “Fian—“ Farel tercekat saat cowok manis tersebut menoleh padanya dengan mata yang berkaca-kaca. Hati sang pembuat roti itu mendadak tergores melihat pemandangan tersebut. Pemandangan yang sama seperti dua tahun yang lalu.
    ~~~
    “Kak Farel tau kan kalau aku sayang dan cintaaaa banget sama kakak?” Kata Fian yang sedang berjalan sambil bergelayutan di tangan pacarnya, Farel. Saat itu mereka berdua sedang memutuskan untuk jalan-jalan di taman kota. Farel baru saja selesai ujian semester, jadi itu artinya dia sudah punya banyak waktu luang yang bisa dihabiskan bersama kekasih tercintanya, Fian si cowok manis.

    Farel terkekeh dan kemudian mengecup dahi pacarnya yang masih berusia 15 tahun tersebut. Yah, mungkin terlalu muda untuk dijadikan pacar. Tapi kalau ini adalah cinta monyet, kenapa Farel merasa kalau Fian adalah orang yang tepat untuknya? “Aku tau. Malah kamu nggak tau kalau cinta dan sayangku itu padamu, sejuta kali lebih banyak dari pada kamu.”

    Mata Fian langsung berbinar-binar. “Oh ya?”

    “Ya. Nggak ngeliat wajah kamu sehari aja, udah bikin aku bingung gimana caranya untuk hidup.” Jawab Farel. Sekarang dia mencubiti kedua pipi Fian seperti dua bakpao.

    Mereka berdua terkekeh. “Oh, dan omong-omong. Kamu sebentar lagi ulang tahun kan?” Tanya Farel.

    “Iya. Kakak masih ingat ya?”

    “Mesti dong!” Jawab Farel dengan cepat. “Masa aku musti ngelupain hari jadi pacarku yang imut dan tembem ini?”

    Fian mendadak mengerucutkan bibirnya. “Oh, jadi aku menurut kakak tembem gitu?”

    Farel mengangguk. “Iya. Pipi kamu tembeeeeeeem banget. Kayak bakpao.”

    Cowok manis tersebut kemudian mendecakkan kedua bibirnya kesal. Dia paling tidak suka dipanggil tembem oleh orang lain. Memang sih dulu dia suka sekali makan. Apapun bakal dia makan. Tapi itu ia imbangi dengan olahraga-olahraga kecil. Di rumah, Fian sangat aktif orangnya. Pagi mungkin dia bakalan ngebantu Bundanya. Atau siang mungkin dia bakalan membantu Ayahnya untuk membuat gitar : memasang senar, mempoles bodinya.

    Jadi karena itulah dia tak terima dipanggil tembem. Namun, itu menjadi daya tarik sendiri bagi Farel. Dia selalu punya cara untuk bisa membuat Fian jatuh padanya saat tengah kesal seperti ini lagi. “Kamu itu bakpao coklat. Meski gempal, tapi manis dan orang-orang menyukai itu.” Katanya sambil membelai kedua pipi Fian.

    Mendadak kedua pipi Fian merona dan ia kemudian tergelak. “Kakak orang paling gombal yang pernah aku temui.”

    “Ya iyalah,orang aku ini pacar pertama kamu.” Tukas Farel dengan cepat diikuti oleh sebuah kedipan.

    Fian melingkarkan lengannya di leher Farel. Membuat cowok tersebut gugup. Tapi tangannya juga reflek mendarat di kedua sisi pinggang Fian. Sekarang mereka berada dalam posisi yang berbahaya. Farel seringkali memimpikan bisa mencicipi bibir Fian, seperti ia menikmati bibir-bibir mantannya terdahulu. Tapi karena ini adalah pengalaman pertamanya berpacaran dengan seorang cowok seperti Fian, dia jadi tidak berani untuk merusak cowok manis tersebut ke arah yang buruk. Tapi sekarang, Fian seolah-olah memberi kode.

    Jarak mereka sangat dekat. Pipi Fian benar-benar merah padam sekarang, tapi cowok manis itu tak mau menahan diri lagi.Dia selalu memimpikan Farel dan karena sebentar lagi Fian akan menjadi anak SMA, mungkin ini waktu yang tepat baginya untuk melakukan apa yang selalu di mimpikannya.

    “Iya, kakak adalah pacar pertamaku.” Bisik Fian di depan wajah Farel yang mati-matian menahan hasratnya. “Dan tak akan ada lagi pacar kedua, ketiga ataupun ke empat yang akan menggantikan kakak..”

    Perlahan, Farel memajukan wajahnya. Sedangkan Fian menutup kedua kelopak matanya, bersiap untuk menerima diri pacarnya. Siang itu, di depan pancuran air yang agak tersuruk dari keramaian orang. Untuk pertama kalinya Farel merebut ciuman pertama Fian. Ciuman itu sangat lembut dan juga penuh akan kasih sayang. Kedua insan itu berdebar-debar. Dan Farel tau jika perasaan ini sangat berbeda dengan perasaan-perasaan yang pernah dia rasakan sebelumnya. Dan dia tau kalau sekarang, mungkin dia sudah sepenuhnya jatuh pada diri Fian.
    ---
    “Um.. kakak nggak mau mampir dulu?” Tanya Fian saat Farel mengantarkannya tepat sampai ke depan pintu rumah.

    Mampir? Apa yang akan kita lakukan setelahnya? Batin Farel. Tentu saja ia tak mengatakan itu. Mana berani dia? Lagian dia juga harus pulang. Orang tuanya nggak suka melihat anaknya keluyuran hingga larut seperti ini. Di tambah lagi sesaat lagi sepertinya adzan maghrib bakalan terdengar.

    Jadi Farel menggeleng. “Nggak usah. Aku sebaiknya pulang saja.”

    Fian mengangguk. Dia kemudian celingak celinguk, membuat Farel kebingungan. Beberapa saat kemudian, Fian buru-buru mendekat dan mengecup bibir Farel dengan cepat. Membuat cowok tersebut agak tersentak kaget, tapi ia juga membalas ciuman tersebut. Baru pertama kali ciuman dengan Fian, sekarang dia sudah sangat candu dengan bibir cowok manis tersebut.

    Saat ciuman terasa semakin panas, pintu rumah tanpa mereka berdua sadari tiba-tiba saja terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya yang sangat cantik dengan rambut panjang yang di sanggul kebelakang. Wanita itu terkaget dan langsung menutup pintu sambil berteriak. “Maaf!! Bunda nggak maksud buat nganggu quality time kalian berdua!!”

    Fian kaget mendengar suara jeritan Bundanya. Begitu pula Farel. Mereka berdua lantas melerai ciuman mereka dan kemudian terkekeh. “Kalau begitu, aku masuk dulu ya, kak?” Kata Fian yang langsung dianggukkan oleh Farel.

    Farel tak bisa berhenti mengagumi sosok pacarnya yang indah. Bahkan sampai saat pintu didepan iapun tertutup. Dia masih bisa mencium bau tubuh pacarnya yang khas dan selalu membuatnya bermimpi indah.
    ---
    Akhirnya, Farel sampai di rumah setengah jam sebelum Adzan Isya berkumandang. Perjalanan dari rumahnya menuju rumah Fian emang jauh sih. Rumah pacarnya itu jauh di pusat kota sana. Sedangkan ia tinggal di perbukitan, jauh dari keramaian orang. Itulah kenapa salah satunya alasan kenapa Farel hanya bisa menemui pacarnya beberapa kali dalam seminggu.Tidak seperti pasangan lain yang selalu bisa menjalin kasih sayang kapanpun mereka mau.

    “Aku pulang..” Salam Farel saat membuka pintu.

    Rumah dalam keadaan gelap dan kosong melompong. Dapur yang biasanya selalu heboh sekarang hening. Farel bisa mencium bau masakan Mamanya yang selalu dia sukai. Tapi tak ada Mamanya di sana. Bahkan ruang tamu yang selalu di pakai oleh Papanya untuk menonton pertandingan sepak bola juga kosong. Niko, adiknya yang rewel juga tidak ada.

    Farel menemukan dirinya bertanya-tanya.

    “Mama? Papa? Niko?” Panggilnya dari lantai bawah. “Aku pulang??”

    Cowok tersebut perlahan berjalan mengitari rumah dan memeriksa ruangan-ruangan. Ia tak menemukan siapapun. Aneh, batin Farel. Iya, ini emang aneh kok. Biasanya saat malam tiba, keluarganya akan berkumpul untuk sekedar makan malam bareng. Dan diakhiri dengan nonton bareng. Sekarang? Kebetulan sekali mereka berdua nggak ada. Lagian Papanya juga nggak mengabari dia kalau ia bakalan sendirian dirumah karena orang tuanya akan pergi sebentar keluar.

    Jadi Farel menghela nafas dan memutuskan untuk menaiki tangga menuju kamarnya. Saat sudah sampai di lantai atas—tepat di depan pintu kamarnya. Ia melihat kamarnya terbuka dan bisa mendengar suara isakan dari dalam kamar tersebut.

    Farel mulai merasa curiga, ia kemudian mendorong pintu dan membuat semua orang yang berada di dalam kamar langsung tersentak kaget. Farel terkejut menemukan Papa, Mama, dan juga Niko berkumpul di dalam kamarnya. Selain itu, Mamanya yang tengah terisak berada dalam pelukan Niko yang tampak sedang menenangkannya. Sedangkan Papanya langsung memetakkan rahangnya saat melihat kehadiran Farel.

    “Darimana kamu?” Tanya Papa Farel.

    Farel menaikkan sebelah alisnya. “Dari.. kota. Kenapa?”

    “Ngapain kesana?”

    Farel mulai merasa aneh. Dia seperti merasa di interogasi sekarang, dan dia nggak nyaman. “Ini ngapain sih? Mama ngapain nangis?”

    “JAWAB FAREL! NGAPAIN KE KOTA TADI?!” Bentak Papanya dan membuat semua orang tersentak kaget mendengar suara yang menggelegar tersebut.

    Nyali Farel juga perlahan jadi ciut mendengar suara Papanya tersebut. “A—aku, ada orang yang ingin kutemui.”

    “Orang? Hm? Siapa? Pacarmu?”

    Hati Farel merasa nggak tenang sekarang. Kenapa Papanya bisa menanyakan hal yang seperti itu? Apa ini ada hubungannya dengan Mama yang menangis. Dan lantas kenapa Niko memandanginya seperti itu?

    “Nak..” lirih Mamanya. “Sejak kapan kamu jadi gay..”

    Deg!!

    Farel reflek terkejut mendengar pernyataan itu keluar dari bibir Mamanya. Kenapa Mama bisa tau? Farel bertanya-tanya dalam hati. Apa karena ini Mamanya menangis?

    “Selama ini kami pikir kamu adalah anak kami yang normal yang selalu membuat hati gadis-gadis hancur—hiks, ta—tapi kenapa kamu sekarang malah—“

    “Katakan pada kami, Farel.” Suara Papanya lagi. “Siapa cowok yang ada di foto ini?!”

    Papanya Farel kemudian melempar kertas-kertas yang ada di tangannya hingga jatuh tepat di bawah kaki Farel. Cowok tersebut perlahan menunduk dan meraih foto-foto tersebut. Ia terkejut melihat di dalam foto itu ada sosoknya dan juga Fian yang sedang berpelukan, bergandengan tangan dan juga—ciuman tadi.

    “Papa dapet ini semua dari mana?” Tanya Farel.

    “Nggak penting Papa dapet ini darimana!” Bentak Papanya. “Papa nggak mau tau, pokoknya besok kamu harus memutuskan apapun itu hubunganmu dengannya!”

    “Nggak bisa Pa!” Lawan Farel. “Aku memang bukan gay, tapi aku sudah terlanjur mencintai cowok itu! Dia pacarku, Pa!”

    Bugh!! Satu bogem mentah tepat mendarat di pipi kanan Farel. Emosi sang Papa tampak sudah di atas ubun-ubun sehingga satu pukulan mendarat di wajah sang anak. Farel meringis kesakitan, sementara tangisan Ibunya semakin keras.

    “Jangan membuat malu keluarga ini, Farel! Kamu pikir dengan kamu berkata seperti itu kamu sudah menjadi lelaki sejati, hah?!” Bentak Papanya. “Papa mempertanyakan kejantanan kamu sekarang.”

    “Nak.. Mama mohon..”

    Farel masih terdiam di tempatnya memandangi keluarganya yang seperti membebankan harapan yang terlalu berat di pundak seorang remaja berusia 17 tahun. Mata cowok tersebut mendadak berubah menjadi nanar, sarat akan keputus-asaan. Bagaimanapun dia sangat mencintai Fian dan dia pikir, perasaan ini nggak akan pernah bisa berubah sampai kapanpun.

    Niko kemudian berdiri dan membantu Mamanya berjalan keluar dari kamar sang kakak. Meninggalkan Farel bersama Papanya sendirian di kamar. Ayah dan anak tersebut saling berpandangan dan berkomunikasi dalam keheningan. Atmosfir disekitar mereka terasa mencekam. Farel sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa akan menjadi seperti ini reaksi dari keluarganya perihal hubungannya dan Fian. Padahal, keluarga Fian sama sekali tidak keberatan.

    “Papa akan kasih kamu waktu untuk berpikir. Mau tidak mau, kamu harus memutuskan cowok itu. Kalau tidak Papa sendiri yang akan memaksamu. Jika kamu masih bersikeras, saya nggak akan sudi lagi menganggapmu sebagai darah daging saya!”

    Dengan kalimat itu, Farel berhasil bergetar. Dia langsung mendongak menatap mata Papanya yang penuh akan amarah yang membara. Anak mana yang rela tidak dianggap lagi oleh orang tuanya sendiri? Sekarang dia benar-benar takut. Sangat takut jika Papanya benar-benar nggak akan menganggapnya lagi.

    Tapi harus bagaimana? Farel mencintai Fian.

    Tapi sayang, situasi tidak memungkinkan bagi mereka.

    ---
    Fian meletakkan gitar yang baru saja ia bersihkan dan lalu ia masukkan ke dalam sarungnya. Sang Ayah juga melakukan hal yang sama. Ayah Fian berprofesi sebagai pembuat gitar yang laku keras di pasar mancanegara. Seringkali dia pergi ke luar negeri untuk menghadiri pameran-pameran serta pelelangan alat musik. Itulah alasan kenapa di rumah, Fian punya banyak alat musik. Sebut saja, Grand Piano, drum, harpa dan tentu saja gitar, semuanya lengkap. Bahkan cowok manis itu pernah ditawarkan sang Ayah untuk dibuatkan studio, tapi dia tak mau. Memang suara Fian bagus, tapi dia tak pernah bermimpi untuk menjadi seorang penyanyi.

    “Semoga pameran Ayah berjalan dengan lancar, ya.” Kata Fian saat gitar terakhir sudah dimasukkan ke dalam sarungnya. Ia menjejerkan gitar-gitar tersebut ke dinding bersama gitar-gitar yang lain.

    Sang Ayah tersenyum dan mengacak-acak rambut Fian. Rambut yang tak bisa diatur itu Fian dapatkan dari sang Ayah. Jika mereka berdua berdiri bersama-sama, semua orang pasti akan tau kalau Fian adalah anak dari seorang pembuat gitar terkenal.

    “Kamu mau oleh-oleh apa, hm, dari Paris?”

    Fian terkekeh. “Kok Ayah tau sih kalau aku mau minta oleh-oleh?”

    “Acting kamu itu jelek, Fian.” Tukas Ayahnya. “Kamu itu nggak berbakat jadi Actor, kamu itu bakatnya jadi penyanyi.”

    “Tapi aku tetap nggak mau jadi penyanyi,” Kata Fian bersikeras sembari menggeleng.

    “Yasudah, Ayah sama Bunda mendo’akan yang terbaik saja buat kamu. Yasudah, kamu mau oleh-oleh apa?”

    Fian menggumam sambil meletakkan telunjuk di bibir. Dia lalu tersenyum dan bangkit dari kursinya. “Fian nggak minta apa-apa kok. Fian cuman mau kalau kalian sudah kembali, kita—Ayah sama Bunda—bakalan ngajak Fian jalan-jalan ke Memory Lane.”

    “Hmm.. taman bermain itu?” Tanya sang Ayah yang langsung dianggukkan oleh Fian dengan cepat. “Iya juga ya, kapan terakhir kali kita jalan-jalan ke tempat seperti itu?”

    “Udah lamaaa banget!” Sang Ibu tiba-tiba saja datang sambil membawakan nampan berisi sepiring penuh cookies dan juga teh serta susu putih hangat. Wanita cantik tersebut meletakkan nampan itu di atas meja tempat Suami dan Sang anak bekerja dan kemudian duduk di antara mereka. “Aku juga kangen loh, Mas, jalan-jalan sekeluarga kayak gitu.”

    Ayah Fian tersenyum. “Maafin kami ya, Fian. Kami terlalu sibuk sama pekerjaan kami..” katanya.

    Fian sebenarnya faham betul sama pekerjaan kedua orangtuanya. Mamanya sebenarnya nggak bekerja, tapi dia acap kali membantu suaminya untuk memasarkan gitar-gitar itu. Dan setiap kali ada pagelaran, pameran, festival atau apapun, ia akanselalu ikut suaminya. Mereka tak pernah mengajak Fian karena nggak baik mengajak anak mereka yang manis itu berkeliling dunia di masa-masa sekolah. Coba saja kalau sedang libur, Fian selalu di ajak untuk ikut mereka. Kalau mereka sedang pergi, Pakde dan Bude Fian lah yang menemani Fian di rumah.

    Lagian Fian nggak pernah meminta apapun yang aneh-aneh. Meskipun kedua orang tuanya selalu membawakan oleh-oleh untuknya selepas pulang dari luar negeri.

    “Nggak apa-apa kok, Yah..” tukas Fian tersenyum simpul. “Lagian Ayah sama Bunda akan selalu pulang kan? Kalian kan bukan mereka yang pulangnya sebulan sekali atau setahun sekali. Paling perginya cuman 3-5 hari doang, iya kan?”

    Itulah yang membuat pasangan Suami Istri tersebut bersyukur mempunyai anak seperti Fian. Fian tak pernah rewel. Dan dia selalu bisa mengerti keadaan orang tuanya. Terkadang mereka juga tidak tega meninggalkan anak mereka berlama-lama sendirian di rumah. Tapi ya mau gimana lagi.

    “Eh, omong-omong..” Potong sang Bunda. “Kemarin kayaknya ada yang lagi seneng nih, Yah.”

    Reflek pipi Fian merona merah. “Ahh! Bunda! Jangan bilang-bilang Ayahh!”

    “Oh ya?” Kata Ayah Fian. Dia tau pasti apa maksud dari sang istri. Tapi dia lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Istrinya sudah menceritakan semuanya tentang hubungan Fian dan Farel.

    “Iya! Sampai-sampai kemarin mereka—“

    “Bundaaa!” Dengan cepat Fian menutup mulut Bundanya dengan tangan. Wajahnya benar-benar memerah padam sekarang.

    Ayah dan Bundanya kemudian menggeser duduknya mendekat pada Fian. Mereka saling memeluk anak tunggal mereka satu-satunya tersebut dengan penuh kasih sayang. Membuat Fian bingung, tapi merasa disayangi di saat yang bersamaan. Ayahnya mengacak-acak rambut Fian, sedangkan Bundanya menciumi bau tubuh Fian.

    “Ayah, anak kita udah besar ternyata..”

    “Iya nih, Bun. Kita udah tua ya?”

    “Kan kalian tuh titelnya emang orang tua aku. Otomatis kalian emang tua dong!” Kata Fian konyol dan langsung di sambut dengan gelak tawa kedua orang tuanya.

    “Tapi, Ayah senang. Farel sepertinya sangat mencintai kamu. Dan kamu sepertinya juga begitu, Fian. Kami jadi tenang karena ada yang menjaga kamu karena ada yang rela menjaga kamu segenap jiwa dan raga saat kami pergi..” ucap ayahnya dalam.

    Fian bersyukur punya orang tua seperti mereka. Dia membalas pelukan kedua orang tuanya dan ketiga orang tersebut lalu tertawa bersama-sama.

    Entah bagaimana hidup Fian tanpa mereka kelak.

    ---
    Entah sudah berapa kali sejak pagi tadi Fian mengecek ponselnya. Tapi hasilnya sama saja : tidak ada barang satu atau dua pesan pun yang datang dari Farel. Tak tahukah ia kalau Fian sangat merindukannya? Sudah dua hari dan Farel mendadak hilang begitu saja tanpa kabar. Fian mencoba menghubunginya tapi tak satupun yang berhasil.

    Bahkan sampai saat ini, Fian masih terus mencoba menghubungi Farel lagi dan lagi. Padahal Bundanya ingin bertemu sebelum berangkat ke Paris bersama Ayahnya. Bundanya ingin menitipkan anak kesayangannya pada pacarnya itu. Fian terus menunggu dan menunggu, tapi hingga waktu keberangkatan kedua orang tuanya datang, Farel tak kunjung membalas semua pesan-pesannya.

    Dengan lesu Fian berjalan lunglai ke luar bandara dan langsung disambut oleh Pakde beserta Budenya. Bude adalah adik dari ayahnya Fian. Pasangan suami istri itu sudah di vonis tak bisa memiliki keturunan, karena itu mereka dari kecil selalu menganggap Fian adalah anak mereka. Ayah dan Bunda Fian sendiri nggak masalah kok. Mereka senang ada orang yang akan menjaga sang anak tercinta saat mereka tak ada.

    “Ayah sama Bunda udah pergi, dek?” Tanya Pakde sambil memandu Fian dan Bude menyeberang jalan menuju mobil.

    Fian mengangguk. Tapi tentu saja Pakde tak dapat melihat anggukan itu. “Sudah Pakde..”

    “Dan pacar kamu itu mana?” Oh, maaf. Bude sama Pakde juga tau kok siapa pacar Fian sekarang.

    Fian kembali menggeleng. Wajahnya semakin lesu. “Dia sama sekali nggak membalas semua pesan-pesanku. Tak ada kabar sama sekali darinya selama beberapa hari ini. Aku jadi merasa bersalah sama Bunda dan juga Ayah.”

    Saat mereka sudah berada di dalam mobil, Bude tersenyum pada Fian. “Kamu nggak usah sedih, mungkin pacar kamu itu sedang banyak urusan. Kata kamu dia kan bakal jadi koki gitu.”

    Fian mengangguk lemah dan memilih untuk mempercayai kata-kata Budenya. Perasaannya benar-benar campur aduk sekarang.

    ---
    Ring! Ring! Ring! Ring!

    Bude yang waktu itu sedang memasang krim untuk masker wajahnya mendadak langsung menjatuhkan potongan mentimun yang siap untuk ia tempelkan ke kedua matanya. Wanita tersebut sepertinya baru saja selesai mandi. Tampak jelas dari rambutnya yang basah. Dan juga sekarang dia juga hanya memakai pakaian tidur milik Bundanya Fian saja. Oh iya, Bude dan Pakde memutuskan untuk menginap di rumah Fian saja. Daripada repot kan harus balik ke bukit?

    Memang sih hari sudah malam, makanya Bude sudah memakai pakaian tidur jam segini.

    Setelah sampai di depan telfon rumah, Bude berdehem beberapa kali sebelum kemudian mengangkat telfon. “Halo?”

    “Halo? Bisa saya bicara dengan anak dari Tuan Tommy Hayyan?”

    Sebelah alis Bude spontan langsung naik. “Oh, dia sedang diatas. Tidur. Ini siapa ya?”

    “Saya perwakilan diplomat kementerian luar negeri di Paris, saya ingin memberitakan kalau saat ini jenazah Tuan Tommy dan juga Nyonya Salma akan diberangkatkan malam ini juga ke Indonesia—“

    Bude spontan terkejut mendengar berita tersebut. Apa tadi katanya? Jenazah? Batin Bude dalam hati. “Tunggu-tunggu, saya tidak mengerti! Apa yang terjadi dengan abang saya?”

    “.....Mobil yang mereka tumpangi menuju pagelaran ditabrak oleh kereta api, Nyonya.”

    Pakde yang baru saja kembali dari WC dengan cepat langsung menangkap tubuh Istrinya yang limbung hendak pingsan. Pria tersebut jadi khawatir melihat wajah pucat sang istri yang sekarang matanya berkaca-kaca. “Bude, Bude kenapa?”

    Bude menggeleng dan kemudian menyerahkan gagang telfon dengan tangan yang gemetaran pada Pakde. Selanjutnya tangis Bude pecah dan ia terisak di dalam pelukan suaminya. Sedangkan Pakde perlahan mendengarkan kabar duka tersebut dengan teliti sambil menenangkan istrinya.

    Keluarga Hayyan, berduka malam itu.

    ---
    Semua peziarah perlahan meninggalkan kedua makam tersebut. Dibawah pohon jati nan rindang dan berbagai tumbuh-tumbuhan lainnya, Fian berdiri didepan tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuanya dengan mata sembab. Sudah dua hari ini dia tak henti-hentinya menangis. Dia masih shock mendengar berita kepergian orang tuanya yang terkesan sangat mendadak ini.

    “Ayah tau kamu akan jadi aktor yang hebat, nak. Tapi kamu akan lebih baik kalau jadi penyanyi!”
    “Hayo! Siapa yang mau makan sandwhich spesial buatan Bunda? Isinya daging asap loh!”

    Rasa-rasanya, Fian masih bisa mendengar kalimat-kalimat itu keluar langsung dari mulut mereka. Sekarang, tiba-tiba saja cowok manis tersebut menjadi sangat sangat merindukan kedua orang tuanya.

    Ayah yang akan selalu membimbingnya untuk berlatih vokal setiap hari.

    Bunda yang selalu kepo tentang masalah percintaannya.

    Ayah yang selalu saja menyuruhnya untuk menjadi penyanyi, saat Fian ingin menjadi seorang aktor.

    Bunda yang akan selalu memasakkan sandwhich dan juga nasi goreng kesukaan Fian setiap hari minggu pagi.

    Fian perlahan terisak. Begitu juga bumi. Hujan perlahan jatuh menitik membasahi tanah. Air mata Fian perlahan juga jatuh. Tersembunyikan oleh tetesan air hujan. Dia tak menduga kalau ajal akan datang secepat ini untuk menjemput orang tuanya. Sekarang dia tak punya siapa-siapa lagi selain Bude dan juga Pakde yang mengatakan akan menjadi Fian sebagai anak mereka mulai saat ini.

    “Ayah, Bunda..” kata Fian dengan bibir yang gemetar. “Fian takut hidup sendirian tanpa kalian—Fi—Fian—Fian kangen..”

    Fian mencoba mengusap air mata nya dengan punggung tangan. Tapi semakin sering ia menghapus air mata tersebut, semakin banyak pula air mata lain yang keluar.

    “Bu—Bunda... Fian kangen nasi goreng Bunda—Hiks” Fian terguncang. “A—Ayah.. ayo pulang yah—Bi—Biar Fian yang pasang senar gitar sekarang, Yah. A—“

    Bude yang sengaja membiarkan Fian meluapkan segala kesedihannya di depan nisan kedua orang tuanya itu, ingin sekali menghampiri anak manis itu dan memberikan pelukan hangat padanya. Mungkin hanya untuk sekedar mengatakan kalau dia masih memilikinya dan juga suaminya disini. Tapi Pakde melarangnya dan menyuruhnya untuk membiarkan Fian saja.

    Itulah kehilangan terbesar yang pernah di alami oleh seorang Alfian Hayyan.

    ---
    Sudah hampir seminggu, dan Fian benar-benar mempertanyakan keberadaan Farel sebagai pacarnya sekarang. Tidakkah dia tau kalau Fian sedang berduka disini? Tidakkah Farel tau kalau Fian benar-benar membutuhkan hiburan darinya sekarang? Dan ada banyak Tidakkah yang lain yang menurut Fian harus Farel lakukan pada Fian sekarang.

    Tapi tetap saja, setiap kali ia membuka hpnya, tetap saja tak ada balasan dari sang kekasih hati.

    Orang-orang perlahan mulai meninggalkan rumah duka, dan malam itu Fian duduk sendiri di dalam tempat kerja ayahnya di bawah tanah. Cowok manis itu memandangi setiap meja, tali-tali senar, dan gitar-gitar yang tergantung di langit-langit ruangan. Nafasnya terasa berat saat ini, sungguh.

    Sesaat sebelum dia merasakan dirinya akan menangis lagi, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Fian dengan cepat membuka benda tersebut dan menemukan sebuah pesan dari orang yang sudah ia tunggu-tunggu selama beberapa hari ini.

    Farel.
    Temui aku di taman kota, malam ini.

    Hanya itu saja isi pesan tersebut. Tapi bagai mantra ajaib, hati Fian yang sesaat lewat mendung semendung malam ini yang akan segera hujan, tiba-tiba saja berubah menjadi langit cerah yang berisikan pelangi yang bewarna warni.

    Fian reflek langsung berdiri dan naik ke atas rumah. Membuat Bude dan Pakde terkejut melihat Fian yang tiba-tiba saja bersemangat setelah dua hari ini hanyut dalam kesedihan terus. Cowok manis itu berlari ke dalam garasi dan mengambil sepedanya.

    “Fian! Kamu mau kemana?” Tanya Bukde.

    “Taman kota, bukde!” Jawab Fian sembari membuka pintu garasi. “Aku mau ketemu Kak Farel!”

    Bukdepun akhirnya mengizinkan Fian untuk pergi menemui kekasih hatinya.Wanita itu juga paham kalau sekarang mungkin Fian membutuhkan hiburan tersendiri.Yaitu hiburan dari pacarnya.

    Malam itu dengan penuh semangat, Fian mengayuh sepedanya dengan semangat empat lima. Tak peduli dengan angin yang semakin kencang berhembus menerpa kulitnya. Meski membuatnya menggigil kedinginan, ia tak peduli. Yang penting dia harus bertemu Farel saat ini karena dia begitu merindukan cowok tersebut.

    Tak butuh waktu lama bagi Fian untuk mencapai Taman Kota.

    Sesampainya di sana Fian langsung mengayuh sepedanya ke dalam dan menemukan Farel sedang duduk di bangku, di depan air mancur tempat Fian menyerahkan ciuman pertamanya pada calon koki tersebut.

    Rasa rindu itu membuncah. Terlebih saat Farel terlihat sangat tampan malam ini. Rambutnya lebih panjang dari pada yang biasanya dan malam ini dia hanya menggunakan baju kaus serta hoodie yang melekat pas di tubuhnya.

    Fianpun turun dari mobil dan langsung berlari menuju Farel. Cowok manis itu spontan langsung saja memeluk tubuh besar Farel dan menyembunyikan wajahnya di dada sang pacar.

    Farel—however—benar benar merindukan pelukan dari seorang Fian. Dan tak sedikitpun terlintas dalam benaknya untuk menolak pelukan dari pacarnya yang manis dan imut itu. Malah, Farel tak sedikitpun menolak. Dia tak juga membalas pelukan Fian. Dia hanya membiarkan saja Fian melakukan apapun sebelum malam ini berakhir.

    Dari sudut matanya, dia bisa melihat mobil yang terparkir di ujung jalan sana.

    “Kak—“ lirih Fian dengan suaranya yang bergetar. “A—aku kangen da—dan kakak sama sekali nggak mengabariku selama beberapa hari ini.”

    Dengan itu, Farel perlahan melerai pelukan Fian—membuat cowok manis tersebut kebingungan. Berat bagi Farel untuk melakukan ini, tapi dia harus melakukannya kalau tidak ingin hal buruk terjadi padanya. Dia masih 17 tahun dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk membahagiakan Fian jika memilihnya kali ini.

    Dia terpaksa mengalah. Biarlah.

    “Untuk apa kamu kangen?” Ucap Farel dingin. Matanya yang dulu penuh akan perhatian dan kasih sayang, sekarang berubah menjadi dingin sedingin lautan antartika.

    Fian mendongak menatap Farel dengan mata yang berkaca-kaca. “Ma—maksud kakak?”

    Melihat mata pacarnya yang berkaca-kaca, membuat Farel tak tega untuk membuat Fian semakin bersedih. Tapi dia tau ia harus melakukan ini dan Fian pasti akan menangis. Farel benar-benar tak punya pilihan lain sekarang.

    Karena tak kuasa melihat mata Fian, Farelpun memalingkan wajahnya, mencoba menghindari tatapan langsung dengan Fian. “A—aku mau kita putus.”

    Fian tersentak kaget. Dia benar-benar terguncang saat ini. Dia nggak salah dengar kan? Pacar yang sudah hampir seminggu ini tak ada kabar sekali, dan satu-satunya orang yang mungkin bisa menghiburnya dari keterpurukan, memutuskannya?

    “A—aku sudah tak kuat menjalani hubungan denganmu, Fian.”

    Kenapa rasanya sangat sakit, Ya Tuhan? Batin Farel. Sementara satu persatu air mata sudah menetes jatuh dari mata Fian.

    Farel terpaksa berbohong. Dia benar-benar tak suka dan sedikitpun ingin untuk melakukan ini pada Fian.

    “Ka—kak Farel? Kakak nggak bercanda kan?”

    “Aku nggak bercanda, Fian!” Bentak Farel dan semakin membuat Fian terguncang. “Aku sama sekali nggak mencintaimu! Kamu sakit dan—“ calon koki itu tercekat sekarang. “A—aku mencintai orang lain..”

    Rasanya seisi dunia Fian yang tadinya cerah, sekarang berubah menjadi gelap segelap-gelapnya. Apa yang baru saja ia dengar seolah-olah menusuk-nusuk hati, membuatnya berdarah hingga tetes demi tetes asam jatuh di atas luka tersebut.

    Sakit.

    Perih.

    “Ke—kenapa kakak tega melakukan ini padaku?” Lirih Fian. “Tak tahukah kakak kalau orang tuaku—“

    “Aku nggak mau tau!” Farel sekarang mulai berjalan meninggalkan Fian. Air hujanpun perlahan jatuh.

    Hujan turun.

    “Menjauhlah dariku, Fian.” Itulah kata-kata terakhir dari Farel yang membuat hati Fian semakin remuk. Farelpun berlari menuju mobil—dimana Papanya sudah menunggu untuk memastikan kalau anaknya benar-benar mengakhiri hubungannya.

    Fian ingin mengejar, tapi kakinya mendadak lemas. Ia terjatuh di atas rerumputan yang sudah becek. Ia tercekat. “Aku mencintai Kakak...” isaknya. “A—aku..”

    Mobil itupun beranjak pergi meninggalkan Fian sendirian di taman kota.

    Bukan hanya kehilangan, inilah rasa sakit yang teramat sakit yang pernah Fian rasakan seumur hidupnya. Faktanya, tak ada satupun dari Farel dan Fian yang menginginkan hal ini terjadi. Situasi sama-sama tak menguntungkan bagi mereka.

    Begitupun juga Fian yang mendadak jatuh pingsan dan malam itu segera dilarikan ke rumah sakit oleh Bude dan juga Pakde.

    Farel tak pernah tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada Fian.

    ~~~
    Fian berkali-kali memencet tombol panggil di layar ponselnya. Dia benar-benar nggak mau berada di sisi Farel lagi. Dia takut, semakin lama ia berada di dekat Farel, hatinya akan semakin terasa sakit. Seperti di remas-remas oleh tangan berduri.

    Duh, Pakde kemana sih?? Batin Fian dalam hati.

    Sementara itu di dalam kamar, Clarisa tak mampu berkata-kata apapun setelah mendengar permintaan dari Ben yang terdengar sangat sungguh-sungguh dalam mendapatkan Fian. Cewek itu sudah menduga kalau dia pasti akan kalah lagi dari Fian, tapi sungguh ia benar-benar tak ingin menyia-nyiakan Ben.

    Lantas apa yang harus dia lakukan sekarang? Pada akhirnya Ben benar-benar jatuh dalam pesona Fian dan dia kembali lagi terlambat untuk menaklukan hati cowok incarannya.

    Berpikirlah, otak! Jerit Clarisa. Berpikirlah kali ini!

    Ben menghela nafas dan melanjutkan kalimatnya. “Aku nggak tau apa yang terjadi padaku. Tapi yang aku tau aku selalu tak bisa menolak kehadiran seorang Fian dan aku pikir, mungkin aku menyukainya. Aku tak tahu bagaimana cara mendapatkan hatinya karena dari yang kulihat dia sepertinya tipe yang susah untuk aku dekati. Dan karena kamu sepertinya juga dekat dengannya, aku pikir kamu tau sesuatu yang mungkin bisa membantuku untuk mendapatkan Fian.”

    Clarisa yang sedang berpikir tiba-tiba saja seperti mendapatkan celah dalam kalimat Ben. Apa katanya tadi? Aku tau sesuatu yang mungkin bisa membuatnya mendapatkan Fian? Tanyanya dalam hati. Kalau ini adalah kartun, mungkin akan ada bohlam lampu yang mencuat muncul di atas kepala Clarisa. Tiba-tiba saja cewek itu punya ide.

    Dan kita semua tentu tau pasti kalau ide yang Clarisa punya itu, tak akan baik untuk Ben, ataupun Fian.

    Lantas Clarisa mengangguk. “Pasti, aku akan membantumu.” Jawabnya sambil tersenyum. Ya, aku akan membantumu untuk jauh dari Fian, Ben.

    Ben merasa senang mendapatkan bantuan dari temannya. Jadi diapun merentangkan tangannya. “Bagaimana dengan sebuah pelukan terimakasih?” Tanyanya.

    “Sure.” Jawab Clarisa.

    Kedua orang itupun berpelukan. Ben benar-benar bersyukur mempunyai teman seperti Clarisa yang terkadang nyebelin sih. Sedangkan Clarisa menggunakan kesempatan itu untuk mencium bau tubuh Ben dengan semakin leluasa. Seraya berkata dalam hati, lo mungkin suka sama Fian. Tapi gue bakalan bikin lo jatuh cinta sama gue. Gue belum terlambat Ben, belum.

    ---
    “Aku mohon padamu, dengarkan penjelasan aku dulu, Fian.” Pinta Farel di dalam kios tersebut. Ibu-ibu yang jagain kayaknya juga lagi fokus banget sama TV, jadi ga masalah lah kalau ada drama di kios kecil milik beliau. “Aku sayang kamu dan kamu tau itu kan?”

    Farel yang mencoba meraih tangan Fian, langsung di tepis oleh cowok manis tersebut. Fian geram sekarang.

    Apa katanya? Menyanyangiku?

    “Menyayangiku kata kakak?” Fian mulai mempertanyakan perasaan Farel sekarang. “Kalau begitu kemana rasa sayang itu saat aku membutuhkannya? Hm?”

    “Aku bisa menjelaskannya—“

    “Nggak ada yang perlu dijelaskan!!” Pekik Fian sembari menyiap-nyiapkan diri untuk menyeberang jalan, menyetop angkot yang lewat di seberang. “Semuanya sudah jelas kak! Kakak sama sekali nggak mencintaiku dan aku bersyukur bahwa aku sudah tak punya hubungan lagi denganmu!!”

    Mata Fian berkaca-kaca, dan Farelpun terluka.

    Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku benar-benar menyesal telah melakukan itu padamu, Fian.. lirih Farel dalam hati. Sekarang, giliran air matanya yang menggenang di pelupuk mata. Fian sudah benar-benar menolaknya sekarang.

    Papanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping.

    Dua tahun Farel berusaha untuk mendapatkan Fian lagi, tapi usahanya gagal.

    Sebelum pergi, Fian sempat menoleh kebelakang—pada Farel yang menatapnya nanar tak berdaya. “Aku.. benci padamu.”

    Deg!

    “Fian—“

    Farel berusaha memanggil Fian. Tapi terlambat, Fian sudah langsung berlari menyeberang jalan. Farel lantas mengacak-acak rambutnya. Tapi baru sesaat dia melakukan itu, dia mendengar sebuah suara deruman mesin yang kencang dari seberang jalan.
    Farel langsung membuka matanya dan menoleh ke ujung jalan. Sebuah mobil sedang melesat kencang membelah hujan. Sedangkan Fian sama sekali tak melihat keberadaan mobil tersebut. “Fian!! Awas!!!”
  • Chapter 10 : Siti Nurhaliza – Betapa Ku Cinta Padamu
    Andainya engkau kumiliki, sejak dulu sebelumnya
    Andai kucurah rasa hati, mungkin kini kau kan tenang disampingku
    Belum puas ku menikmati, kesan kasih sayang
    Kau terpaksa pergi
    Ingin ku terus dicintai, walau bisikanmu azimat berduri
    Cintaku yang berbunga
    Jadi air mata dijariku
    Betapa kucinta padamu
    Katakanlah kau cinta padaku

    Farel dengan cepat melesat dari dalam kios menuju jalan. Ia tak tak mempedulikan badannya, ataupun baju yang ia pakai basah. Yang menjadi fokusnya hanya Fian seorang. Dan untung saja langkahnya beberapa kali jauh lebih cepat dariapda langkah mantan pacarnya tersebut.

    Mungkin Fian menolak, tapi Farel belum ingin mengalah.

    Belum,belum sekarang.

    Tiiiiiiiiiinnn!!!!

    Fian berhenti tepat di tengah jalan mendengar bunyi klakson mobil tersebut. Bak adegan-adegan di sinetron, entah kenapa Fian berhenti begitu saja di tengah jalan. Kakinya tiba-tiba saja tak bisa ia gerakkan dan untuk sesaat, yang bisa ia lihat hanyalah cahaya putih yang semakin lama semakin menyilaukan matanya.

    Tiiiiiiiiiinnnn!!!!!

    Fian pasrah. Kakinya lemas. Semua ingatan dan kenangan buruknya dua tahun yang lalu tiba-tiba menghujam hati dan juga pikirannya. Semuanya datang dan menghajar fisik Fian yang lemah. Dan perlahan, dada cowok manis itu berdenyut-denyut nyeri. Kepalanya dilanda pusing dan juga sakit kepala yang hebat. Fian dengan tangan gemetar meremas dada kirinya.

    Sakit, sakit sekali rasanya.

    Apakah ini saatnya? Batin Fian dalam hati.

    “Fian!! Awas!!” Farel tiba-tiba saja berlari dari pinggir kios dan menyelamatkan Fian. Tepat sepersepuluh detik sebelum mobil tersebut menabrak cowok manis tersebut. Penumpang angkot yang bertengger di pinggir jalanpun berteriak histeris melihat peristiwa tersebut. Si supir bahkan reflek langsung keluar dari mobil dan menghampiri Farel yang sekarang merengkuh Fian yang tak sadarkan diri.

    “Fian?” Panggil Farel sambil menepuk-nepuk pelan pipi mantannya tersebut. Fian tampak pucat. Tapi wajahnya menunjukkan bahwa dia sangat kesakitan saat ini.

    “Fian, jawab aku Fian.” Ulang Farel.

    “FIAAN!!!”

    ~~~
    Bude tak henti-hentinya menangis melihat sosok Fian yang tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang darurat. Ia dan suaminya mengikuti para perawat yang sedang menggiring keponakan yang sudah mereka anggap sebagai anaknya itu masuk ke dalam IGD. Dalam hati, kedua pasangan suami istri tersebut terus berdo’a dalam hati agar Fian baik-baik saja dan tak terjadi apa-apa yang parah dengannya.

    Kasihan anak tersebut. Dia baru saja ditinggal pergi oleh orang tuanya, dan sekarang dia malah jatuh pingsan di bawah hujan, di tengah-tengah taman kota yang gelap. Sendirian.

    Di ujung lorong, Bude dan Pakde dilarang masuk. Bude bersikeras, tapi perawat mewanti-wanti karena dilihat dari keadaan, emosi Bude hanya akan menjadi penghambat dalam pemeriksaan Fian.

    Akhirnya Bude mengalah, dia memutuskan untuk menunggu berita selanjutnya dari dokter yang menangani. Pakde tak henti-henti menenangkan istrinya. Pasangan suami istri tersebut saling mendo’akan keponakan tercinta mereka. Sesekali—Bude ataupun Pakde—bakal mengintip kaca jendela IGD untuk melihat keadaan Fian.

    Tentu saja keadaan di dalam sana sangat heboh.

    Selang beberapa puluh menit kemudian, lampu IGD pun dipadamkan dan perlahan Fian digiring oleh perawat lain untuk menuju ruangan lain.

    “Dok, bagaimana kondisi keponakan saya?” Tanya Pakde. Bude sudah duluan menyusul para perawat tersebut yang entah membawa Fian kemana. “Apa dia akan di opname dok?”

    Dokter yang sepertinya baru berusia tiga puluh tahunan itu melepaskan kacamata dan kemudian mengurut-urut tulang hidungnya sambil menghela nafas panjang. Itu artinya bukan hal yang baik, kan? Batin Pakde. Beberapa saat kemudian dokter mendongakkan kepala menatap Pakde. “Tidak baik membicarakan masalah keponakan anda disini, mari ikut saya ke ruangan.”

    ---
    “Apa dok?!” Pekik Pakde saat mendengar pernyataan dari dokter yang diketahui bernama Doni tersebut.

    Dokter Doni menganggukkan kepala sambil tersenyum lemah. “Kami sudah mengusahakan semaksimal mungkin untuk menstabilkan detak jantungnya, tapi tetap saja respon yang di terima oleh jantung keponakan Bapak tidak baik.”

    Pakde tercekat. Untuk sesaat, dia tak dapat berkata-kata. “Ta—tapi dok, selama ini keponakan saya sehat sehat saja. Dia tak pernah menampakkan gejala kelainan jantung atau apapun itu yang anda katakan tadi tentang keponakan saya. La—lalu kenapa ini bisa terjadi, dok?”

    “Kasus seperti ini sudah banyak terjadi. Biasanya si penderita sudah memiliki tanda-tanda penyakit seperti ini sejak lahir. Ada beberapa penderita yang langsung ketahuan setelah di periksa langsung saat gejalanya tampak, dan ada pula beberapa penderita lain yang tak menampakkan itu karena mungkin memang daya tahan tubuhnya kuat, atau mungkin hidup di dalam lingkungan yang tidak banyak membuatnya banyak tekanan. Biasanya penderita penyakit lemah jantung ini, akan merasakan rasa sakit yang sangat hebat di bagian dada saat mendapatkan tekanan yang hebat di bagian emosi, atau mungkin rasa sakit di bagian fisiknya, Pak.” Dokter Doni menjelaskan panjang lebar.

    “Ma—maksud dokter, selama ini keponakan saya memang sudah memiliki penyakit seperti itu. Tapi baru ketahuan sekarang karena ada sesuatu di bagian fisiknya yang sakit?”

    Dokter Doni menggeleng lemah. “Tidak, hasil pemeriksaan kami tidak menunjukkan cidera apapun di tubuh keponakan anda. Tapi saya curiga, apa saudara Fian selama beberapa hari kebelakangan merasa tertekan?”

    Pakde hanya bisa menelan ludah sendiri mendengar pertanyaan Dokter Doni. Tak bisa diindahkan lagi,Fian memang benar benar merasa tertekan selama beberapa hari kebelakangan. Dimulai dari orang tuanya yang meninggal dan lalu semua peristiwa buruk secara berentetan menimpanya.

    “Saya asumsikan kediaman Bapak adalah konfirmasi dari pertanyaan saya.” Ucap Dokter Doni. “Kita tidak bisa berbuat banyak untuk penderita penyakit seperti ini selain membuat emosinya stabil. Karena sedikit saja dia terlalu sedih atau terlalu marah, ada kemungkinan rasa sakit itu kembali muncul. Atau yang lebih parah, mungkin pembuluh darah dari jantung menuju otak akan pecah dan mengakibatkan kematian seketika. Tapi menurut hasil pemeriksaan saya, Saudara Fian belum sampai ke dalam fase kedua tadi.”

    Keterangan dokter langsung membuat Pakde bersyukur dalam hatinya. Reflek dia langsung mengusap-usap dadanya.

    “Kita tak bisa berbuat banyak, Pak.” Lanjut dokter. “Yang bisa kita lakukan hanyalah membuatnya tak banyak pikiran. Tolong jaga betul emosinya. Dan sebisa mungkin bapak dan istri, kalau bisa, ikut andil dalam semua masalah yang di hadapinya. Bantu dia menyelesaikannya dengan cara yang terbaik.”

    Pakde berpikir panjang beberapa saat. Dia tak menyangka kalau keponakan yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri, ternyata memiliki penyakit yang cukup serius dalam tubuhnya. Sekarang tak ada lagi pilihan yang tersisa baginya, ia harus menceritakan semua masalah ini dengan istrinya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.

    ~~~
    Ring Ring Ring Ring!

    Tiba-tiba telefon rumah berbunyi. Meski hujan sangat deras, tapi telinga Ben entah mengapa saat itu rasanya sangat sensitif sekali. Bule tersebut melepaskan pelukannya dengan Clarisa seraya bertanya, “Kau mendengar itu?”

    Clarisa yang agak sedikit kesal pelukannya dilerai karena dering telfon sialan itu, hanya bisa menahan amarahnya. “Ya, bunyi telfon.” Katanya setengah hati. Dasar telfon sialan! Batin cewek itu.

    Ben lantas berdiri. “Kalau begitu aku ke bawah dulu.” Katanya dan berjalan keluar kamar. Sementara Clarisa memutuskan untuk menunggu saja di dalam kamar si bule sembari memperhatikan isi kamarnya yang—simpel, tapi sangat mewakili kepribadian seorang Benjamin.

    Ring Ring Ring Ring!

    Rumah keluarga Hayyan siang itu entah kenapa terasa sangat sepi. Sejak tengah hari tadi, Bude pamit pada Ben karena ingin pergi berkumpul dengan teman-teman arisannya. Sedangkan Pakde katanya baru pulang malam karena hari ini dia harus lembur, plus ada rapat penting juga yang harus dia persiapkan. Jadinya seharian ini Ben sendirian terus dirumah. Dia tak punya teman bicara selain Ratna yang dari tadi juga sepertinya terlalu sibuk dengan Harry. Sedangkan Claudia, dia sepertinya sibuk membantu Papanya mengurus botol-botol susu dan juga buah-buahan yang diolah dan disterilkan langsung dari pabrik di rumahnya.

    Ring Ring Ring Ring!

    “Yes! I’m coming! Hang on a sec!” Pekik Ben saat menuruni tangga. Siapa sih yang keras kepala banget nelfon? Batin Ben.

    Saat sudah sampai di lantai bawah, suasana sepi semakin terasa. Biasanya jam segini Bude sudah asik-asikan di kamar nonton re-run Cinta Henny sambil maskeran. Ben jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati, arisan itu apa sih?

    Ben segera berjalan menghampiri telefon yang berada tepat di samping pintu keluar. Telfon itu seperti sudah berumur. Tapi meski begitu kesan antiknya menguar jelas. Warnanya coklat, dan kulitnya pun berkilat-kilat terkena pantulan cahaya. Sudah lama sekali Ben tak melihat benda-benda tua seperti ini. Di London, yang dia temukan selalu benda-benda up-to-date. Yah meski banyak juga sih bangunan-bangunan serta barang-barang tua lainnya.

    Beberapa saat kemudian, bule tersebut mengangkat gagang telfon sambil menarik nafas. “Yeah? It’s me, Ben. Selamat siang.”

    “Ben!” Pekik Farel panik di seberang sana. Membuat Ben yang tadinya tenang-tenang saja, sekarang jadi ikut-ikutan panik. “Apa Bude atau Pakde di rumah sekarang?”

    “Huh? Well, ini siapa ya?”

    “Farel” Jawab si koki roti. “Fian masuk rumah sakit dan—“

    Deg!

    What did he say? Batin Ben. Gagang telfon mendadak jatuh begitu saja dari telapak tangannya mendengar kabar itu. Dia tak bisa berpikir jernih sekarang. Saat ini dia mendadak blank dan tak ada yang bisa dipikirkannya selain Fian. Seisi dunianya mendadak berubah gelap dan satu-satunya yang bisa ia lihat hanyalah senyuman Fian yang hari itu berhasil mengalihkan dunianya.

    Farel masih terus menginformasikan semua perkembangan tentang Fian, tapi percuma, gagang telfon tergantung begitu saja. Tak ada yang mendengarkan. Ben sudah panik duluan dan segera mencari kunci motor milik Pakde yang selalu di simpan di laci meja telfon. Dia tak mempedulikan Clarisa lagi sekarang.

    Ben—dengan hanya memakai tank-top abu-abu dan celana pendek selutut—langsung mengeluarkan motor dari garasi tanpa repot-repot mempedulikan Clarisa. Dia bahkan melupakan ponsel yang ada di sakunya—yang berisi banyak kontak penting dan kontak orang tuanya serta data-data lainnya. Meski bule itu tak tau dirumah sakit mana Fian sekarang, tapi dia merasa terhubung dengan cowok manis itu.

    Bagai Shrek yang melawan naga api untuk menyelamatkan Fiona, Ben langsung menancap gas penuh dan membelah hujan menuju tempat Fian berada sekarang.

    Hang on, Fian!

    ~~~
    “—check satu. Kode biru, dokter!”

    Fian mencoba untuk mengerjapkan matanya beberapa kali. Tapi cahaya menyilaukan menyambut matanya. Rasa sakit yang menghujam dadanya terasa menusuk nusuk. Tidak, bahkan lebih dari itu. Terlalu sakit hingga rasanya badannya remuk. Ingin rasanya dia berteriak, tapi untuk sekedar membuka mulut saja ia tak sanggup.

    Dia ingin terbebas dari rasa sakit ini.

    Dia selalu ingin menjadi manusia normal.

    Dia selalu berharap rentetan kejadian yang terjadi dua tahun yang lalu tak pernah terjadi.

    Dia berharap semoga orang tuanya tak pergi hari itu.

    “—detak jantung lemah, dokter!”

    Bzzztt!! Badan Fian terlonjak saat alat kejut jantung itu menempel di dadanya. Kepalanya berputar-putar. Bzzzttt!! Dia kembali terlonjak dan terlonjak hingga beberapa kali lamanya.

    Bunda..
    Ayah..
    Ben..

    ~~~
    Farel tak peduli bajunya basah sekarang. Ia menggigil. Tapi bukan karena kedinginan. Ia menggigil karena untuk sesaat, dia bisa merasakan bagaimana mengerikannya hidup tanpa sehari saja melihat wajah Fian. Cowok manis itu tampak pucat tadi, terlalu pucat sampai dia mengira itu adalah saat terakhirnya melihat Fian.

    Farel hanya duduk seorang diri di depan IGD sejak dua puluh menit yang lalu. Supir angkot tadi langsung membantunya untuk membawa Fian ke rumah sakit. Para penumpang yang tadi tak seberapa pun tahu diri dan turun di halte itu—untuk menunggu angkot lain. Dalam perjalanan, Farel tak henti-hentinya menangis dan memanggil Fian berkali-kali.

    Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Fian.. Farel bertanya-tanya dalam hati. Apa ini karmaku karena sudah menyakitimu?

    Farel meremas-remas rambutnya sendiri saking kesalnya. Dia kesal karena selalu memaksa Fian untuk kembali menerimanya. Harusnya dia tau diri, setelah disakiti seperti itu, tak akan pernah ada lagi kesempatan baginya untuk bertahta di dalam hati sang pujaan hati.

    Kenapa semakin kucoba untuk mendekatimu, semakin kau menjauh, Fian? Kenapa?

    Drap! Drap! Drap!

    Farel spontan menolehkan kepala ke arah sumber suara langkah kaki tersebut. Dari ujung lorong dia bisa mendengar kehebohan yang sepertinya datang dari bagian administrasi. Dari kejauhan, mata Farel yang minus satu bisa melihat samar-samar sosok lelaki berperawakan besar dan tinggi menjulang. Koki roti itupun menyipitkan matanya, mencoba fokus pada orang yang semakin lama terasa semakin mendekat saja padanya.

    Ben sampai beberapa saat kemudian dalam kondisi serba basah—rambut, celana, bahkan tank-topnya juga. Dadanya yang bidang sampai tercetak sepenuhnya seperti itu. Semua cewek—bahkan perawat dan ibu-ibu—yang menunggu di bagian Administrasi tadi sampai tak bisa berkedip dibuatnya. Awalnya dia sempat yakin di rumah sakit mana Fian sekarang. Tapi dia malah tersesat di 2 rumah sakit yang salah.

    Dan dia yakin sekarang dia tak salah lagi.

    Ben bisa melihat sosok Farel yang tengah menyipit ke arahnya di depan pintu IGD sekarang. Ben dengan cepat langsung berlari menghampiri si koki roti.

    Namun baru beberapa langkah, Ben yang dalam keadaan basah tergelincir oleh lantai dan membuatnya jatuh tersungkur. Semua orang—bahkan pasien yang sedang dipindah ruangkan oleh suster—langsung jatuh mulutnya melihat pemandangan tersebut.

    Bukan hanya jatuh, tapi sekarang celana Ben juga sobek tepat di tengah bagian bokong.

    Tapi peduli setan. Ben segera berdiri dan menghampiri Farel dengan nafas yang tersengal-sengal. “Farel! Dimana Fian sekarang? Apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia? Apa dia baik-baik saja?!”

    Kenapa malah Bule sialan ini sih? Geram Farel dalam hati. Koki roti tersebut kemudian memijit-mijit pelipisnya sendiri. Padahal yang dia harapkan kan Ben mengabari info tersebut pada Bude dan Bude yang akan kemari nanti. Tapi kenapa malah kebalikannya?

    “God! Why are you so fucking annoying? I fucking ask you, bitch!” Ben tiba-tiba saja geram dan langsung mencengkram kerah baju Farel. “Fian kenapa?! HAH? Apa yang kau lakukan padanya dasar brengsek sialan!!!”

    Farel tak terima. Diapun mendorong tubuh Ben. “Ngomong jangan pake bahasa planet, sialan! Gue nggak ngapa-ngapain Fian!!”

    Semua orang yang ada di rumah sakitpun langsung heboh menyaksikan dua orang laki-laki saling adu jotos di depan IGD. Bapak-bapak yang baru saja keluar dari ruangan dokter umum karena diare yang tak habis-habis, langsung masuk lagi karena diarenya mendadak datang gara-gara melihat pemandangan itu. Ibu-ibu yang membawa anaknya langsung menutup mata sang buah hati. Sedangkan para perawat yang tak tahu diri mulai histeris penuh nafsu di tempatnya.

    Saat kedua orang tersebut hampir membogem satu-sama-lain, pintu IGD tiba-tiba saja terbuka.

    Ben spontan mendorong Farel hingga tubuhnya menghantam dinding dan langsung menghampiri si dokter. “Dokter,” panggilnya. “Bagaimana keadaan Fian, dok?”

    Dokter Doni—dokter yang selama ini selalu menjadi dokter pribadi Fian—mengangkat sebelah alisnya melihat keberadaan Ben. Pakde tak pernah menceritakan tentang bule padanya. Dia tak pernah tahu kalau sekarang ada bule yang tinggal di samping Fian. Yang dia tau sih, Pakde dan Bude memang berencana untuk menjodohkan keponakannya itu karena selalu saja menyanyikan lagu-lagu galau jika sedang sendiri. Tapi dia tak pernah tahu tentang Bule.

    Lalu dia menoleh ke samping, menemukan Farel yang sekarang sedang merapikan bajunya karena sudah di cengkram dan ditarik-tarik oleh Ben.

    Dokter kemudian menghela nafas. “Kalian berdua siapanya Fian?”

    “Pacarnya!!” Jawab kedua orang itu serentak. Sedetik kemudian mereka saling menoleh dan memberikan tatapan membunuh satu-sama lain.

    Sial, apa Bude serius ya waktu itu bilang kalau Bule bajingan ini calonnya Fian? Batin Farel.

    Pacarnya itu artinya apa sih? Bude dulu menyuruhku untuk mengenalkan diri sebagai pacar Fian jika berada di depan temannya Fian. Tapi sekarang kenapa Farel malah menatapku aneh seperti itu? Batin Ben.

    Dokter Doni terkekeh. “Kalian benar-benar pemuda yang penuh semangat, ya.” Ucapnya. “Baiklah, untuk saat ini kami akan membawa Fian ke ruang rawat dulu. Kalian berdua boleh masuk, tapi tidak dalam baju basah seperti itu.”

    “Apa—“ suara Farel. “Anda bisa menjelaskan keadaan Fian pada saya dok?”

    “Kami!” koreksi Ben tegas sambil mengangkat bogem dan mengarahkannya pada Farel.

    Dokter Doni tersenyum. “Sejujurnya, saya ingin sekali. Tapi saya tak bisa mengatakannya sebelum mendapatkan izin dari Pakde dan Budenya Fian.”

    Farel mengangguk. “Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu, dok. Nanti saya akan kembali lagi.”

    Ben tak serta merta pulang untuk mengganti baju seperti Farel. “Apa dokter punya baju lebih? Aku tak mau meninggalkan Fian sendirian lagi. Izinkan aku meminjam bajumu.” Ucap Ben teguh.

    Farel terdiam, benar juga ya? Kenapa aku nggak pinjam baju Dokter aja tadi? Orang ini kayaknya perfeksionis deh. Batin Farel.

    “Baiklah,” Kata Dokter. “Tapi saya hanya punya satu baju. Kalau begitu, kamu—“ ucap Dokter sambil menunjuk Ben. “Ikut saya.”

    Ben dan Dokter Doni lantas berjalan meninggalkan Farel yang sekarang perlahan merasa terbakar. Ya, dia cemburu. Kenapa sekarang rasanya dia positif sekali akan kehilangan Fian untuk Ben?

  • keren...lanjut bro....update nya jgn lama2
  • cara farel memutuskan fian lebay banget, pake bohong gak cinta dan udah punya pacar ckckck....napa gak bilang aja kalau ortunya gak setuju dan terpaksa harus pisah...dengan begitu fian gak akan benci, sekarang malah minta balik ckckck
    lebih baik fian sama ben aja...

    oya waktu fian mau bemuin farel dia pake sepeda, tapi pas nyampe taman kok dia turunnya dari mobil? salah ketik kah?
  • cara farel memutuskan fian lebay banget, pake bohong gak cinta dan udah punya pacar ckckck....napa gak bilang aja kalau ortunya gak setuju dan terpaksa harus pisah...dengan begitu fian gak akan benci, sekarang malah minta balik ckckck
    lebih baik fian sama ben aja...

    oya waktu fian mau bemuin farel dia pake sepeda, tapi pas nyampe taman kok dia turunnya dari mobil? salah ketik kah?
  • ada typo tuuh, lumayan banyak di chapter 9 buu.
    contohnya itu pas fian ke taman kota dia naik sepeda tapi kok turun dari mobil
  • edited April 2016
    typo buuuu.
    oiya agak bingung pas alurnya maju mundur gitu tapi pas baru selesai baca baru ngerti deh alurnya gimana, hehehe
    ditunggu aby lanjutannya
    i miss yoou #sing adele
  • berharap Fian baik-baik saja ...
Sign In or Register to comment.