It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ada ruang hatiku yang kau temukan
sempat aku lupakan kini kau sentuh
aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati
ku terpikat pada tuturmu, aku tersihir jiwamu
terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia
ku harap kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu
ku tak harus memilikimu tapi bolehkah ku selalu di dekatmu
ada ruang hatiku
kini kau sentuha
ku bukan jatuh cinta
namun aku jatuh hati
~~~
Fian benar-benar menikmati malam ini. Sungguh.
Juanda benar-benar berhasil membuat malam minggunya kali ini menjadi lebih bewarna daripada yang sebelum-sebelumnya. Cowok manis itu dibuat tertawa lepas. Dia merasa seperti dimanjakan setiap kali mereka melewati penjual permen kapas, pernak-pernik, cinderamata, bahkan baju-baju lucu. Fian tak pernah meminta, tapi selalu Juanda yang membelikannya. Setiap kali ia menolak, Juanda pasti akan memaksanya untuk mengambil barang-barang tersebut.
Dan tebak siapa yang kesulitan sekarang membawa barang belanjaan kedalam antrian RollerCoaster? “Ya Tuhan.” Fian mendesah. “Harusnya aku tadi menolak semua barang-barang yang kamu belikan ini, Juanda.”
Cowok berbadan tegap yang tengah melihat-lihat hasil foto yang tadi ia minta tolong diambilkan oleh orang lain itu menoleh kepada Fian yang tengah mengangkat seluruh kantong belanjaannya. “Kenapa harus ditolak? Itu kan hadiah?”
“Jelas sekali kamu sedang menyogokku agar bisa menerimamu, Juanda.” Cowok manis tersebut menyipitkan matanya kemudian.
Juanda terkekeh. “Ah sudahlah. Meski kamu selalu menolakku, tapi aku yakin kalau akan selalu ada kesempatan untukku.” Katanya dengan pede dan diikuti oleh sebuah kedipan dimatanya. Sebenarnya ia melakukan itu—mengedipkan mata—hanya untuk berharap semoga Fian bakal jatuh dalam pesonanya dan kemudian bisa mendapatkan kiss di depan rumahnya nanti. Tapi yang dikedip malah memalingkan kepalanya ke arah lain dan membuat orang yang berada di belakangnya—cewek-cewek ABG—langsung menjerit-jerit histeris.
Ya ampun, dasar cewek!
Sementara itu Ben berada beberapa antrian di belakang mereka. Tadi Clarisa memaksanya untuk mampir dulu ke tempat tembak-tembakan bebek. Dia ingin boneka lagi katanya. Padahal tadi Ben sudah mendapatkan boneka untuknya. Tapi sekarang dia mau yang lebih besar—katanya. Dan sekarang, cewek itu bersidekap dada dengan wajah tertekuk karena Ben gagal mendapatkan boneka incarannya.
“Sudah selesai dengan acara kesal-kesalannya?” Tanya Ben sembari menoleh pada Clarisa.
Cewek itu mendengus. “Menurut lo?” Jawabnya datar.
Ben menghela nafas sembari menasehati dirinya sendiri. Ben, sabar. Yang sabar. “Apa kamu menikmati malam ini?” Bule tersebut mencoba untuk mencairkan ketegangan di antara keduanya. Pasti ada saja sesuatu yang selalu membuat mereka berdua bersitegang. Entah karena Ben yang memergoki Fian tertawa bersama cowok misterius lah. Atau Clarisa yang bergelayutan dan ngambeg karena tidak mendapatkan keinginannya lah.
Terkadang Ben jadi berfikir sendiri, apa jangan-jangan Clarisa mengidap bipolar? Karena jiwanya yang di sekolah seolah-olah cewek cantik nan dewasa mendadak berubah drastis menjadi cewek manja yang kekanak-kanakan jika sedang berada di dekatnya?
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu, Ben. Apa kamu menikmati malam ini?”
“Well, ya. Aku menikmati.” Ben bohong. Ayolah, kalian semua pasti tau kalau Ben bohong kan?
Clarisa hanya mengangguk-angguk. Dia hanya tidak mau semakin memperkeruh suasana di antara mereka berdua. Siapa saja tau kalau Ben benar-benar tidak bisa menikmati malam ini. Harusnya tadi gue ajakin dinner aja kalau akhirnya malah jadi kayak begini. Batin Clarisa dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian setelah mengantri cukup lama—well,ini kan wahana baru jadi antriannya memang sangat panjang—Ben dan Clarisa akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menaiki RollerCoaster ini. Lintasannya cukup keren menurut bule tersebut. Diwarnai merah kuning dan keretanyapun juga mengkilat.
Setelah mereka berjalan menuju keretanya, penjaga langsung menutup antrian agar bisa menunggu giliran selanjutnya. Tampaknya mereka pasangan terakhir untuk malam ini. Kenapa? Karena saat Ben menolehkan kepalanya ke samping, ia bisa melihat kalau sebentar lagi saatnya wahana ini tutup.
Ben dan Clarisa mendapatkan tempat duduk di bagian paling belakang bersama lima orang lainnya. Bule itu mempersilahkan Clarisa untuk masuk duluan dan memasangkan pengaman ke bahunya—membuat cewek tersebut tersipu malu. Setelah itu barulah dia memasangkan pengaman untuk dirinya sendiri.
“I’m super excited for this!” Pekik Clarisa kegirangan di samping Ben. Tangannya menggenggam tangan Ben begitu saja dan membuat bule tersebut langsung menaikkan sebelah alisnya kebingungan.
“Ya, aku juga.” Ben menimpali dengan tidak bersemangat.
Awalnya Ben tidak terlalu memperhatikan orang-orang di sekitarnya, maksudku lihat saja orang-orang ini. Beberapa dari mereka ada yang memicingkan matanya ketakutan seolah-olah saat mereka membuka kedua kelopak mata mereka sudah berada di rumah. Ataupun yang lainnya malah dengan sengaja menakut-nakuti teman yang ia ajak untuk menaiki RollerCoaster ini.
Namun tiba-tiba saja perhatian Ben langsung jatuh pada dua orang cowok yang berada di depannya.
“Kamu bisa memelukku kalau ketakutan, Fian.” Goda Juanda sembari terkikik. “You know I’m your Prince Charming.”
Fian?
Fian mendengus. “Kamu pikir aku takut naik yang beginian?”
“Hmm.. siapa ya yang dulu sampai muntah-muntah setelah ngajakin aku naik RollerCoast—“
“Diam!” reflek Fian menutup mulut Juanda dengan telapak tangannya. “Jangan mempermalukanku!”
Mereka berdua masih tidak menyadari bahwa ada orang lain yang tidak senang melihat kedekatan yang tercipta diantara mereka itu. Tangan Ben mengepal erat, sedangkan dia berusaha untuk tidak tersulut emosinya saat ini. Lagian kenapa dia harus emosi, benar kan? Memangnya hubungan spesial apa yang dia punya dengan Fian sampai dia harus jadi seemosi ini?
Dan lagipula sepertinya Ben juga tidak memiliki perasaan khusus pada cowok manis tersebut, aku benar kan, Ben?
I’m kidding. Tentu saja Ben punya. Dan sudah empat hari Ben berdebat dengan dirinya sendiri kalau dia tidak sedang jatuh hati pada seorang Fian.
Karena dia bukan gay. And never will be.
~~~
Seperti pagi-pagi biasanya, Bude akan selalu berkutat dengan berbagai bahan masakan di dapur. Dia akan bangun saat adzan subuh berkumandang, melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim dan setelah itu mengaji sebentar. Dia tak perlu membangunkan Fian ataupun suaminya, mereka akan otomatis bangun dan sholat berjamaah. Tapi keponakannya akan langsung tidur lagi setelah menunaikan kewajibannya.
Tak banyak yang di persiapkan Bude pagi ini selain dua cangkir susu untuk Ben dan juga Fian, kopi untuk suaminya dan teh untuk dia sendiri. Selain itu dia juga sudah menyiapkan nasi goreng kesukaan ketiga orang tersebut. Kalau kalian bertanya apakah Ben juga menyukainya atau tidak, tentu saja Bule itu menyukainya. Minggu lalu Bude juga memasak nasi goreng dan orang itu langsung jatuh hati dalam suapan pertama.
Nasi goreng seakan menjadi makanan wajib di Minggu pagi.
“Selamat pagi, Bude.” Kata Fian setengah mengantuk. Cowok manis itu berjalan gontai dengan piyama coklatnya sambil menutup mulutnya yang sedang menguap lebar.
Bude menolehkan kepalanya ke belakang dan tersenyum menemukan keponakannya yang manis sudah bangun. “Pagi, dek. Ben udah bangun?”
Fian hanya menggidikkan kedua bahunya dan berjalan lurus menuju kamar mandi. Beberapa saat setelah itu, menyusul Ben yang menuruni tangga hanya mengenakan tank-top hitamnya yang benar-benar melekat pas di badannya.
“Good Morning, Bude.” Berbeda dengan Fian, Ben tampak lebih segar pagi ini. Rambut coklatnya tampak basah dan ada handuk yang bergelayutan di lehernya. Sepertinya bule tersebut baru selesai work-out. “Kemana semua orang?” Tanya Ben saat berada di meja makan.
“Pakde lagi kerja di belakang, ngurus kebun. Kalau Fian lagi di kamar mandi.” Balas Bude sembari membawa nampan yang berisi minuman untuk penghuni rumahnya. “Bagaimana tidurmu? Sudah terbiasa sekarang?”
Ben mengangguk dan menarik kursi lalu duduk diatasnya. “Yah, punggungku nggak sesakit saat pertama kali aku meniduri kasur itu lagi sekarang.” Dia lalu terkekeh kecil dan berhenti saat Fian juga menyusulnya di meja makan.
Dan entah kenapa, Ben jadi kikuk sendiri.
“Bude, aku haus.” Ucap Fian tanpa repot-repot mempedulikan Ben. Bude dengan cepat menuangkan air dari ceret ke gelas dan memberikannya ke Fian. Saat cowok manis itu mengosongkan air dalam gelasnya, Ben tak henti-hentinya memperhatikan Fian hingga membuat Bude yang dari tadi sedang fokus dengan remot TV menyadarinya.
“Ngapain sih liat-liatin Fian terus?” Ben tersentak kaget dan langsung pura-pura mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
“A—aku? Fian? No.”
Fian menolehkan kepalanya pada Ben. Ia lalu mencibir. “Sepertinya kamu berutang satu penjelasan padaku, Ben. Tapi sebagai ganti uangmu waktu itu, aku nggak akan menanyakannya.”
Pakdepun bergabung dengan mereka. “Selamat pagi semua.” Ucap pria paruh baya tersebut bijaksana. Bude dengan sigap menuangkan air dalam ceret dan memberikannya pada Pakde yang tampak berkeringat.
“Bapak..” Kata Bukde. “Sepertinya Ben lagi naksir Fian deh.”
Uhuk! Uhuk!
Ben dan Fian—orang yang lagi digosipkan Bude tepat di depan mata mereka—langsung tersedak mendengar ocehan wanita paruh baya tersebut. Pakde sendiri menaikkan sebelah alis dan melirik Ben yang wajahnya memerah sekarang, lalu kembali lagi menoleh pada istrinya—meminta penjelasan lebih.
Sepertinya rencana mereka berhasil, huh?
“Tadi aja Bude liat Ben ngeliatin Fian seriuuuuus banget, sampai-sampai dia ga sadar kalau busa facialfoam nya masih sisa di dagu.” Lanjut Bude cuek, Ben spontan langsung meraba dagunya dan benar-benar menemukan ada busa sisa pembersih wajahnya disana.
“Bude! Ben tuh nggak naksir aku!” Serang Fian sambil menggelengkan kepala. “Bisa nggak sih berhenti ikut campur dalam urusan pribadi aku?!”
Bude dan Pakde tertawa kemudian. “Wah, lihat siapa yang jadi sensitif setelah kencan sama Juanda kemarin malam.” Bude kembali menggodai Fian. Sementara suaminya mulai melahap nasi goreng lezat buatan sang istri tercinta.
“Bude!”
Oh my god, kenapa Bude bisa bilang begitu? Dan sialnya, kenapa wajahku malah terasa panas tadi? Batin Ben disaat keluarga kecil tersebut berdebat.
Ben, terima sajalah, sweetheart. Kamu memang sedang jatuh hati pada Fian.
~~~
Pagi yang cerah mendadak saja berubah menjadi siang yang mendung. Matahari seolah-olah tengah bersedih saat ini, padahal beberapa jam yang lalu ia tampak seperti bocah kecil yang sedang bermain-main di hari minggu yang indah. Angin kencang mulai bertiup dari berbagai arah, menyebabkan pohon-pohon menari mengikuti ritmenya.
Ben yang sedang tertidur pulas di kamarnya setelah lelah dari pagi membantu Pakde mengurusi kebunnya, tiba-tiba terbangun karena bunyi ranting pohon yang sedang mencakar kaca jendelanya. Berderit-derit dan membuatnya ngilu setengah mampus. Bule tersebut meringis dan dengan cepat bangkit dari kasurnya untuk menutup jendela yang tadi pagi sengaja ia buka tersebut untuk membiarkan cahaya matahari pagi menyinari kamarnya.
Tapi sepertinya ini bukan pagi lagi, huh?
Bule tersebut berhenti saat melihat Ratna sedang mengeong-ngeong di atas pohon jati di samping kamarnya meminta tolong. Kucing tersebut tampak ketakutan, bulu-bulunya yang tebal beterbang-terbangan mengikuti angin kencang yang seolah-olah mengoyak-oyak pohon tersebut. Ratna mengeong lebih keras saat bunyi derit dari batang kayu terdengar.
“Come here, Ratna!” Panggil Ben dari jendela kamar. Tapi Ratna seolah enggan bergerak dan tetap bersikukuh di ujung ranting yang satunya—bersembunyi didalam daun-daun pohon yang lebat tersebut.
“Miaaaww!”
Praakk! Jendela Ben tiba-tiba terbanting sendiri karena angin semakin bertiup lebih kencang daripada yang tadi. Bule tersebut kembali membuka jendelanya dan memanggil kucing betina itu lagi.
“Ratna! Kemarilah, sweetheart! Diluar sana badai! Apa yang sedang kamu lakukan disana??”
Hari semakin gelap, sekarang tidak hanya angin, tapi awan menutupi kemilau cahaya matahari. Awan hitam bermunculan dari segala arah dan perlahan rintik-rintik air hujan mulai turun dari langit.
Sebentar lagi hujan, dan Ratna masih bergeming di sana. Apa yang harus kulakukan? Ben bertanya-tanya dalam hati.
Beberapa saat kemudian bule itu mulai nekat. Ia panjati jendela kamarnya dan perlahan mulai merangkak di atas ranting pohon tersebut. Ben tidak takut ketinggian, hanya saja dalam situasi seperti ini dia harus menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh kebawah. Angin bertiup sangat kencang, bagaimana jika nanti dia hilang keseimbangan dan jatuh tersungkur ke bawah? Itu sama sekali tidak lucu. Sama sekali tidak lucu.
Langkah demi langkah Ben lalui demi mendapatkan Ratna yang masih mengeong ketakutan. Angin kencang adalah lawannya. Tapi dia tetap gigih untuk mendapatkan kucing cantik tersebut. Dia tidak mau membuat seisi rumah khawatir nanti kalau Ratna tiba-tiba saja menghilang atau kakinya mendadak patah begitu saja. Ratna adalah kucing kesayangan Fian. Dan Ben merasa dia harus melakukan ini agar Fian tak khawatir nanti.
Namun saat hampir sampai di seberang, telinga Ben menangkap suara ranting yang akan segera patah. Ia tau jika ia melangkah satu lagi saja, maka Tuhan tau apa yang akan terjadi padanya dan Ratna. Bule tersebut lalu menoleh ke belakang dan menemukan bahwa jaraknya sekarang dengan jendelanya tak seberapa jauh. Hanya beberapa hasta saja.
Oh my god, apa yang harus aku lakukan sekarang? Ben mulai khawatir sendiri.
Akan tetapi bule seksi tersebut tak perlu waktu lama untuk meraih Ratna. Ia menjulurkan tangan dan meraih tubuh gempal berbulu tebal tersebut. Ratna sempat melawan dan mencakar kulit Ben, tapi bukan itu prioritasnya sekarang. Kucing malang tersebut sedang dalam bahaya.
Jadi, Ben lantas melempar tubuh Ratna ke arah jendela kamarnya. Dan beruntung sekali kucing tersebut langsung mendarat di atas karpet kamarnya yang lembut.
Namun petaka bagi Ben. Belum sempat ia berbalik, ranting tersebut patah dan membuat Ben langsung terjatuh ke bawah.
“Ben!!”
~~~
“Claudia, aku pikir sekarang Ratna sedang ngisi anaknya Harry deh..”
“Oh ya?”
Ben samar-samar mendengar suara percakapan dua orang. Ia sangat familiar dengan suara tersebut, tapi tak mengenal suara yang satunya. Bule tersebut bisa merasakan kalau sekarang dia tengah berbaring di atas sesuatu yang lembut. Bau teh dan juga jahe menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya. Baunya aneh. Namun menenangkan di saat yang bersamaan.
Ben kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya membuka kedua kelopak mata tersebut.
Wajah pertama yang langsung menyambutnya setelah tertidur begitu lama adalah wajah manis Fian. Cowok tersebut tampak sangat khawatir—irisnya yang coklat juga berkaca-kaca saat melihat Ben akhirnya tersadar dari pingsannya setelah terjatuh dari pohon jati milik Pakdenya yang tinggi.
“Ben!” Pekik Fian spontan dan langsung memeluk tubuh Bule tersebut. Pelukannya terasa sangat hangat dan seolah-olah mampu membuat Ben melupakan seluruh rasa sakit yang terasa di beberapa bagian tubuhnya.
Ben awalnya tak tahu harus merespon seperti apa—entah dia harus membalas pelukan hangat Fian atau mendorong tubuhnya. Namun tubuhnya seperti punya pikiran tersendiri untuk menyuruh kedua tangannya yang padat dan berisi itu untuk merengkuh tubuh Fian yang terasa sangat pas sekali di dalam lingkarat lengannya.
Belum ada pelukan yang terasa sedamai ini bagi Ben. Aroma tubuh Fian yang wangi jeruk tersebut seolah-olah membuat bule itu mabuk dalam lautan wishky yang selalu menjadi pelampiasannya saat sedang down.
“Ekhem.”
Suara deheman itu lantas membuat kedua orang yang sedang berpelukan itu terkejut. Fian dengan cepat langsung melepaskan pelukannya—membuat Ben merutuki orang yang berdehem tadi. Kedua pipi cowok manis tersebut langsung merona merah—sangat merah—hingga membuat Ben terpukau sendiri.
Saat ia menoleh ke samping tubuhnya yang lain, ia menemukan seorang cewek yang sepertinya bukan orang Indonesia. Irisnya hazel bewarna biru. Hidungnya mancung dan rambutnya pirang seperti penyanyi kenamaan, Taylor Swift. Surainya jatuh menutupi bagian dadanya. Pipinya juga ada lesung dan membuat wajahnya semakin manis.
“Hai, aku Claudia.” Katanya sembari tersenyum ramah.
Ben melirik Fian sebentar untuk meminta penjelasan darinya. Siapa cewek ini? Dan kenapa dia bisa ada disini? Bule itu bertanya-tanya dalam hati. Fian menghela nafas. “Ben, kenalkan ini temanku, Claudia. Dia majikan Harry, pacarnya Ratna.” Ucap Fian.
“Senang berkenalan denganmu.” Lanjut Claudia lagi. Suaranya terdengar sangat merdu di telinga Ben. “Tenang saja, yang tadi melepaskan bajumu semuanya itu Fian kok, bukan aku.”
“Claudia!”
Apa katanya? Melepaskan baju? Ben dengan ekspresi terkejut langsung menundukkan kepalanya dan menemukan saat ini dia sama sekali tidak mengenakan apapun. Beberapa bagian di tubuhnya sudah di beri plester dan ditempeli oleh kapas. Bau antiseptik menguar dari tubuhnya.
Dia malu. Sangat malu sekarang.
Apa benar Fian yang melepaskan bajunya?
Kalau begitu... berarti Fian juga sudah melihat penisnya?
Semua pertanyaan itu terngiang-ngiang di dalam benak bule tersebut dan ia sontak langsung mendongakkan kepala. Menemukan Fian yang memalingkan kepalanya ke arah lain. Pipinya merona sangat hebat sekarang.
“Ehm.. aku tidak tahu!” Pekiknya spontan. “Aku tidak melihat apapun tadi!” Fian ngeles seolah-olah bisa membaca isi pikiran Ben saat ini.
Claudia terbahak-bahak. Kedua cowok di depannya ini sangat menggemaskan sekarang. Tentu saja Fian melihat semuanya yang ada di tubuh Ben. Tadi Bukde sedang membuatkan ramuan untuk membersihkan luka-luka di tubuh Ben, dan Pakde sibuk menjemput dokter. Hanya Claudia dan Fian yang membantu melap tubuh Ben dari darah-darah. Fian tadi sempat bertanya apa harus mengobati bagian bawah? Claudia menjawab ia dan menyuruh cowok manis itu untuk melakukannya sendiri. Bagaimanapun tidak sopan jika Claudia yang melakukan itu. Dia cewek. Dan itu sangat tidak sopan.
Namun dari apa yang cewek itu lihat, ini adalah kali keduanya Fian bisa salah tingkah seperti itu di depan seorang cowok.
“Uhm... bagaimana dengan Ratna?” Ben akhirnya bersuara. Dia lebih memilih untuk melupakan perihal Fian yang sudah melihat tubuh telanjangnya ternyata.
Yang dia butuhkan sekarang hanyalah berduaan dengan Fian. Tidak. Dia harus melihat wajah Fian lebih lama sekarang.
Fuck you, Brain! Ben membatin sendiri. Logikanya selalu saja kontra dengan hatinya!
Perlahan Fian melirik Ben. Pipinya sudah tidak memerah lagi sekarang. “Dia.. uhm.. dia baik-baik saja.” Jawab Fian dengan suara pelan. Sangat pelan.
“Fian merasa sangat bersalah karena yang membuatmu bisa jadi seperti ini adalah kucingnya.” Terang Claudia blak-blakan yang kembali menuai protes dari Fian.
Ben menghela nafas lega dan kemudian mengulum senyum tipis. “Syukurlah dia baik-baik saja.” Jawab Ben sepenuh hati. “Aku pikir saat melemparkannya tadi, kakinya patah atau ada sesuatu yang terjadi padanya..”
“Tidak.” Potong Fian cepat. “Dia sangat sangat baik-baik saja, Ben. Dan.. uhm.. aku minta maaf karena sudah membuatmu jadi seperti ini.” Fian lantas menundukkan kepalanya dalam-dalam. Saat ini rasanya dia tak sanggup lagi untuk menatap wajah Ben. Dia benar-benar merasa bersalah. Gara-gara kucingnya, orang lain jadi celaka. Untung saja Ben hanya luka-luka dan juga lecet. Dia jatuh tepat di atas semak-semak kebun Pakde yang lumayan ramai dan dipenuhi banyak duri. Membuat bajunya jadi sobek-sobek dan lecet-lecet serta luka di badannya.
“No.” Jawab Ben dengan suaranya yang serak. Dia butuh air minum sekarang. Rasanya ia jadi dehidrasi karena tubuhnya sekarang terasa sangat panas sekarang. Dia panas karena melihat Fian yang tampak sangat sedih. Entah kenapa itu juga menyakiti dirinya. “Kamu nggak salah apa-apa kok, Fian.”
“Ta—tapi.. kalau kamu tidak menyelamatkan Ratna—“
“Ssssttt..” Ben lantas meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Fian. “Aku melakukan semua ini untukmu. Oke?”
Fian langsung mendongak terkejut. Pipinya kembali memanas sekarang. Hatinya berdesir mendengar jawaban Ben.
Ben sendiri juga bingung. Kalimat itu meluncur begitu saja dengan spontan dari mulutnya. Bule tersebut bahkan tidak bermaksud untuk mengatakan hal tersebut yang sekarang membuatnya malah tampak sangat awkward di depan Fian.
“Ma—maksudku, aku melakukan itu untuk Ratna.” Ben dengan cepat meralat kalimatnya dengan suara yang terbata-bata. “Aku hanya ingin kucing tersebut selamat.”
Claudia hanya memperhatikan mereka saja dari kursinya. Cewek itu tahu kalau Ben adalah cowok keren lainnya yang sudah terjerat oleh pesona seorang Fian Al-Hayyan. Bule yang diakuinya seksi tersebut bahkan sekarang sudah berada dalam tahap rela mengorbankan apapun demi cowok manis tersebut. Tadinya sahabat Fian tersebut ingin memperingati Ben tentang kebiasaan cowok manis itu yang selalu membuat patah hati cowok-cowok yang mengejarnya. Tapi Claudia juga tau kalau ada yang berbeda dari reaksi Fian tadi. Fian tak pernah salah tingkah seperti tadi di depan cowok yang menyukainya.
Ataukah, Fian perlahan sudah bisa menghapus Farel dari hidupnya?
Kakak @Tsu_no_YanYan ! berhenti manggil gue aby ah!
@akina_kenji iya nih si ben. Hohohohoho
UEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE HAPENYA RUSAK PARAH T__________T Udah gitu mahal pula bayarnya T_________________T
kalo udah baru lanjut yeee.
btw, hpnya blm bener?
Midnight shadows, we finding love is a battle
But daylight is so close
So don’t you worry about a thing,
Cause we’re gonna be alright
Baby don’t you know all them tears gon’ come and go
Baby you just gotta make up your mind
Cause every little thing is gonna be alright
Baby don’t you know that all them tears are gon’ come and go
Baby you just gotta make up your mind
We decided that we’re gonna be alright
Malam itu rumah kecil keluarga Hayyan menjadi sedikit lebih heboh daripada yang biasanya. Sejak sore tadi Ben ditemukan jatuh diantara semak semak belukar kebun milik Pakde, Fian menjadi lebih sensitif perihal keadaan bule tersebut. Dia merasa benar-benar bersalah dan berinisiatif harus sangat intensif dalam menjaga kondisi cowok seksi tersebut agar bisa kembali fit. Soalnya dia masih merasa kalau semua yang terjadi pada Ben adalah murni kesalahannya. Meskipun bule tersebut sudah bilang kalau Fian sama sekali tidak bersalah, namun cowok manis itu tetap saja keras kepala.
Bude saja sampai kelabakan karena setiap saat Fian memekik dari lantai atas—kamar Ben, ia harus siap siaga dan membawakan air ataupun benda lainnya yang keponakannya pikir itu akan berguna demi kelangsungan hidup bule tersebut. Terkesan hiperbola memang, karena sekarang faktanya memang seperti itu.
Bubur itu masih panas saat Fian menyuapkannya ke dalam mulut Ben yang sekarang sudah bersandar di bagian kepala ranjangnya. Dia sudah memakai tanktop abu-abunya sekarang yang ia suruh Fian ambilkan tadi di dalam lemarinya. Sebenarnya sih Ben nggak sakit-sakit amat. Hanya sedikit perih di beberapa bagian tubuhnya karena luka itu masih terasa. Dan dia bisa kok makan makanan yang bertekstur keras. Namun Fian—lagi-lagi—bersikukuh kalau Ben harus makan bubur agar cepat sembuh.
“Kamu yakin aku harus makan bubur itu?” Ben sedikit berjengit saat menanyakan itu. Dia benar-benar tidak menyukai bubur. Ia ingat terakhir kali dia makan bubur, semua itu berakhir dengan ia berjongkok di depan toilet memuntahkan semuanya kembali.
Fian mengangguk cepat dan mengarahkan sendok yang sudah berisi bubur tersebut ke mulut Ben. “Ayo cepat! Kamu harus sembuh!”
Baru saja Ben membuka mulutnya untuk protes dan mengatakan kalau dia sebenarnya tidak menyukai bubur pada Fian, cowok manis tersebut tiba-tiba saja langsung melesatkan sendoknya ke dalam mulut bule itu dan membuatnya tersedak seketika. “Uhuk! Uhuk!”
“Astaga!” Pekik Fian. Secara spontan Fian langsung meletakkan mangkuk putih berisi bubur yang masih panas itu di atas nightstand dan meraih gelas yang juga ada diatasnya. Fian lalu membantu Ben menelan bubur tersebut—dan untungnya saja berhasil. Ben terengah-engah sambil memegang kerongkongannya. God. Dia yakin sebentar lagi akan segera memuntahkan bubur itu.
“Nah sudah. Sekarang ayo kita makan bubur lagi.” Tukas Fian dan langsung merubah ekspresi wajah Ben yang tadinya menderita menjadi horror seketika.
“No!” Pekik Ben spontan dan memalingkan kepalanya ke samping. “Bubur itu mengerikan! Jangan paksa aku memakannya lagi, Fian!”
“Ben, kamu harus cepat sehat! Makan bubur ini agar kamu cepat sembuh!” Cowok manis itu tetap saja kekeh dan sekarang malah menyendoki bubur itu lagi. Fian lalu bersiap dan mulai mengarahkan lagi benda tersebut ke mulut Ben. Tapi kin Ben melawan lebih kuat daripada yang sebelumnya. Ia memalingkan kepalanya ke kanan dan sama sekali tidak mau membalikkan posisi kepalanya sampai cowok manis tersebut mengerti kalau Ben sama sekali tidak mau makan bubur.
Dia benci bubur, like really—really—really—really hate that thing.
“Ben,ayolah.” Fian kemudian memelas. “Dunia nggak akan kiamat kok kalau kamu makan bubur. Lagian Bude udah susah-susah buatin untuk kamu.”
Ben mendengus. Dia tau Bude pasti mengerti kalau orang sakit sepertinya sama sekali tidak butuh bubur agar bisa cepat sembuh. Ini semua pasti akal-akalan wanita paruh baya itu lagi. Ben mengerti sekarang kalau semua yang dilakukan sepasang suami istri itu adalah untuk membuatnya dan Fian menjadi semakin dekat daripada yang biasanya. Dan mereka benar-benar berhasil. Bule tersebut baru sadar saat di tinggal Fian tadi saat dipanggil Bude turun kebawah.
Namun anehnya, Ben menyukai itu sekarang. Ben menyukai cara mereka memperlakukan bule tersebut seperti bagian dari keluarga mereka sendiri. Bule seksi itu juga mulai mengerti dengan hal-hal kecil yang sengaja dilakakukan, diperintahkan, ataupun diucapkan padanya dan Fian adalah bagian dari rencana mereka. Dan Ben juga suka melihat ekspresi Fian saat digodai oleh kedua orang tuanya itu.
Yah, meski pada dasarnya Ben nggak tau kemana orang tua Fian sih.
“Hey,” Panggil Ben dan membuat Fian yang baru saja meletakkan bubur tersebut di atas nightstand langsung menoleh padanya.
“Ya?”
Ben tiba-tiba diam. Awkward. Apa yang harus dia katakan, ya? Dia hanya spontan saja memanggil Fian. Dan sekarang karena itu dia malah jadi harus salah tingkah seperti ini. Dasar bule bodoh! Bodoh!
“Ben?” Panggil Fian setelah beberapa saat Ben masih saja hening dari kediamannya.
Seperti baru saja ditarik ke dunia lain, Ben tersentak dan kemudian langsung menolehkan kepalanya pada Fian. “Ya?”
Lah? Kok sekarang malah sepertinya jadi kayak Fian yah yang manggil Ben duluan? Kok jadi aneh kayak begini ya?
Fian mengerjapkan matanya beberapa kali—bingung dengan sikap Ben yang seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Hm. Fian mulai merasakan sesuatu yang aneh. Dia mencium ada suatu polemik disini. Tunggu, kenapa dia jadi mendadak bisa berbahasa hukum seperti itu ya? Tidak tidak. Fian tidak mau berburuk sangka kepada orang yang sedang sakit. “Kamu kenapa? Masih laper? Yaudah ya aku suapin lagi bu—“
“No!” Respon Ben reflek dan membuat Fian langsung menghentikan gerakannya.
Sekarang, alis sebelah kanan Fian malah naik. “Oke. Kalau kamu nggak laper, terus kamu ngapain manggil aku tadi?”
Think something! Think something! Ben terus memaksa dirinya untuk berpikir. Memikirkan sesuatu yang kira-kira bisa menjadi alibinya karena spontan memanggil nama Fian tadi. Dia tidak mungkin ‘kan mengatakan padanya kalau yang tadi itu hanya kebetulan terjadi? Apa sih yang kebetulan terjadi di atas dunia ini?
“I—I’m sleepy..” cicit bule itu. Suaranya sangat pelan sampai-sampai kalau saja telinga Fian tidak sedang tajam sekarang, dia akan salah mengira kalau yang barusan bersuara itu adalah Ratna dari lantai bawah.
Fian menghela nafas. Dia pikir apa tadi. Ternyata Ben hanya mengantuk, ya?
Cowok manis itupun tersenyum sembari bangkit dan perlahan membantu bule tersebut untuk membaringkan tubuh diatas kasur. Membuat wajahnya dalam waktu singkat berada sangat dekat dengan wajah bule yang berupa mirip seperti Chris Pratt tersebut. Meski singkat dan hanya berlangsung selama beberapa saat saja.. tapi bagi Ben, it means forever. Dalam jarak sedekat ini dia bisa semakin leluasa memandangi wajah Fian yang sangat manis dari bawah sana. Betapa mata coklatnya itu tampak sangat dalam. Khas pribumi Indonesia. Lalu rambutnya yang tak pernah bisa di tata dan disisir—selalu tampil dengan gaya monoton. Dan bibir tipisnya yang sekarang baginya malah tampak lebih menarik daripada hari-hari sebelumnya.
Dari angle seperti ini, Ben dengan hiperbolisnya bisa menggambarkan rupa Fian sebagai sosok bidadari surga. Meski dia cowok ya.
Tapi entahlah, kita tidak pernah tau entah bidadari itu cowok atau cewek. Mereka itu makhluk penghuni surga. Kita tidak pernah tahu apakah penjaga surga ataupun neraka itu laki-laki ataupun perempuan.
Setelah memastikan Ben sudah nyaman dengan posisinya sekarang, Fian lantas menepuk-nepuk pelan selimut diatas dada bule yang bidang itu sembari tersenyum. Sekarang Fian malah tampak seperti orang tua yang sedang mencoba untuk menidurkan anaknya. “Sudah nyaman sekarang?”
Lagi-lagi Ben tersentak kaget saat Fian kembali bersuara. Diteguknya ludahnya sendiri dan kemudian mengangguk dengan pipinya yang sekarang sudah mulai agak kemerahan. Ben tidak pernah merasa salah tingkah seperti ini. Dan baru kali ini saja dia bisa blushing untuk orang yang sedang ia taksir.
“Kalau begitu, aku juga akan ke kamarku sekarang. Sudah jam 9 dan aku harus tidur. Besok sekolah soalnya,..” Jawab Fian sembari merapikan mangkok yang masih berisi penuh dan menghela nafas dalam-dalam. Agaknya ya Fian agak sedikit kecewa sih. Karena jujur saja, Fian lah yang membeli bahan-bahan bubur ke pasar tadi saat Ben belum siuman. Dan sekarang karena bule seksi tersebut tidak mau memakannya, ya dia jadi agak sedikit kecewa dong.
Namun rupanya, Ben menangkap raut kekecewaan dari wajah Fian. Dia tidak suka melihat ekspresi itu dari cowok manis tersebut. Ditambah lagi sepertinya dialah penyebab kekecewaan kecil, karena tidak mau memakan bubur tersebut.
Jadi sebelum Fian sempat mematikan lampu tidur dan membuat seisi ruangan gelap, Ben langsung meraih baju cowok manis itu dan membuatnya terhenti gerakannya.
“Tinggalkan saja bubur itu disini,” kata Ben kemudian. Dia tidak yakin apa dia bisa menghabiskan bubur itu nanti malam atau tidak, tapi kalau itu bisa membuat Fian bahagia, why not?
Fian terdiam, dia lalu menggeleng. “Tidak, aku pikir mungkin memang aku yang berlebihan. Seharusnya aku membuatkanmu sup buah saja tadi—“
“Tinggalkan saja—“ Ben bersikeras. Sekarang dia jadi bingung sendiri mau melanjutkan kalimatnya menjadi seperti apa. Ya ampun, dasar ya orang modus! “E—eh, aku—aku punya kebiasaan terbangun malam untuk makan.. uhm.. ja—jadi..”
Melihat Ben yang jadi salah tingkah begitu, membuat senyum Fian reflek terulum begitu saja. Ben tampak seratus kali lebih lucu dan menggemaskan jika terbata-bata seperti itu. Dan sebenarnya Fian tau jauh di lubuk hatinya kalau Ben memang tidak menyukai bubur, sangat malah. Tapi karena barusan dia seolah-olah ingin memakan bubur itu deminya, membuat hati Fian perlahan meleleh. Siapa yang tidak meleleh diperlakukan seperti itu?
Anehnya Fian merasa harus berterima kasih lagi pada Ben. Tapi, berterima kasih untuk apa coba? Emangnya Ben melakukan apa sampai-sampai membuatnya harus mengucapkan itu?
Jadi, Fianpun akhirnya meletakkan mangkok tersebut di atas nightstand dan tersenyum pada Ben. “Baiklah.” Jawabnya. “Sebagai gantinya, aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu.”
Deg!
Fian ingin menyanyikan sebuah lagu untukku? Batin Ben dalam hati. Sekarang jantungnya berdetak tidak karuan. Rasa-rasanya inilah hal paling indah yang pernah Ben rasakan selama berada di Indonesia. Padahal hanya hal sederhana, tapi rasanya sangat luar biasa.
“Seriously?” Reflek bule itu.
Fian mengangguk. “Akapela saja, tidak apa-apa kan? Gitarku tertinggal di kamar soalnya,.”
Ben dengan cepat mengangguk pula. “Tidak apa-apa, aku lebih menyukai suaramu apa adanya tanpa—“ Ups! Ben Keceplosan! Untung saja dia cepat-cepat menutup mulutnya sebelum hal yang lebih parah meluncur begitu saja dari mulutnya.
Fian pun juga terkejut mendengar pernyataan Ben yang barusan. Aku lebih menyukai suaramu apa adanya. Benarkah? Apa benar Ben baru saja mengatakan hal tersebut tadi? Fian tidak pernah dipuji seperti ini. Orang-orang hanya mengatakan suaranya bagus. Dan sekarang rasanya lain saat Ben yang mengatakan hal tersebut.
Namun Fian mencoba untuk menahan gemuruh di dadanya.
“Kalau begitu, ini adalah lagu Ellie Goulding, judulnya Don’t Panic.”
Been shattered before, everything breaks.
Can’t really be sure, of our mistakes, don’t panic.
Come under my love, like an umbrella, don’t panic.
I can make you feel good, yeah better than ever.
Yeah we change, yeah we feel so lost and we don’t know who we are
Yeah we break, and we just can’t stop so we just keep breaking hearts
Why you wanna ruin a good thing? Can’t we take it back to the start?
When love’s not playing out like a movies, It doesn’t mean it’s falling apart.
Don’t panic, Don’t panic.
Ben perlahan terlelap dalam tidurnya mendengar suara Fian. Dia benar-benar menikmati suara cowok manis yang secara ajaib bisa membuatnya terlelap. Dan rasanya dia tak pernah mendengar suara semerdu suara Fian tersebut.
Bule tersebut memejamkan matanya perlahan, membuat sesuatu dalam diri Fian membuncah hingga ke ubun-ubun.
Don’t panic, Fian. Every little thing is gonna be alright.
~~~
Pagi harinya di sekolah, Clarisa tampak sudah rapi dan cantik. Sepertinya hari ini dia berdandan deh. Oh coba lihat itu, ada beberapa alat make-up juga di dalam tasnya. Rambut cewek itu juga sepertinya lebih bervolume hari ini, yang mana artinya mungkin saja kemarin dia baru saja melakukan perawatan rambut di salon. Ditambah lagi Clarisa hari ini kayaknya lagi mood banget. Dia tak henti-hentinya bersiul-siul kecil sambil memoles pipinya dengan bedak.
Membuat semua cowok dan teman-temannya yang lain yang baru masuk kelas langsung memusatkan perhatiannya pada Clarisa.
Tak ada sih yang mau nganggu cewek itu, karena dia memang terkenal sangar. Hiiy, terakhir kali ada cowok yang ngegodain dia, Clarisa langsung membanting orang tersebut hingga hidungnya berdarah. Clarisa memang cantik, semua orang mengakui itu. Dia juga berasal dari keluarga terpandang dan itu menjadi nilai plus tersendiri di mata kaum Adam. Tapi jika menyinggung soal harga diri, Clarisa tidak akan main-main. Gitu-gitu dia juga sabuk hitam loh.
Satu menit.
Sepuluh menit.
Setengah jam.
Hingga akhirnya bel pertamapun berbunyi, Clarisa menjadi resah sendiri karena teman sebangkunya—Ben—belum juga datang. Biasanya dua puluh menit yang lalu Ben sudah ada di tempat duduknya sambil mengerjakan PR—atau minimal menyalin tugas milik Clarisa. Tapi hari ini tak seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan sampai saat Pak Dekan—guru Ekonomi—pun sudah masuk, Ben masih saja belum muncul batang hidungnya.
Kemana sih Ben? Clarisa bertanya-tanya dalam hati.
Dan pada akhirnya Ben nggak sekolah. Seorang guru piket datang ke kelasnya mengantarkan surat dan Pak Joko mengatakan kalau Ben sakit. Clarisa menghela nafas kesal sendiri di tempat duduknya. Padahal dia sudah capek-capek berdandan untuk memikat Ben, tapi tetap saja tidak berhasil. Dia jadi geram sendiri.
Ah. Tapi tidak apa-apa, aku bakal mampir ke rumahnya nanti. Batin cewek itu lagi dalam hati.
~~~
Bel pulang sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, dan Fian baru bisa pulang dari kelas sekarang. Ada banyak hal yang harus dia kerjakan di kelas tadi. Seperti diskusi tentang presentasinya mengenai kebudayaan Amerika Latin untuk besok, belajar kelompok dan juga piket. Jadi, ya dia baru bisa sekarang untuk pulang.
Saat dia melangkah keluar kelas pun, keadaan sekolah sepertinya juga sudah lengang. Hanya tampak beberapa siswa-siswi yang tengah berpacaran di beberapa kursi-kursi di lorong sekolah dan beberapa orang anggota klub basket yang sedang latihan.
Membosankan.
Fian mengecek ponselnya dan memencet nomer Ben. Tapi dia baru ingat, hari ini Ben kan nggak sekolah, jadi dia nggak bakalan pulang bareng Ben sekarang.
Aduh Fian, kenapa jadi lupa begitu sih?
Lagian dia pakai acara lupa bilangin ke Pak De kalau hari ini dia bakal pulang bareng Pak De saja. Sekarang sudah terlambat, Pak De terlanjur bakalan lembur dan ga akan bisa keluar dari kantornya sampai habis Isya nanti.
Fian nggak punya pilihan lain selain menunggu angkot di halte depan sekolahnya. Sudah lama sekali sejak terakhir cowok manis itu melakukan hal ini. Hmm.. sekitar dua tahun yang lalu deh kayaknya. Iya. Saat dia diputuskan oleh Farel dan ditinggalkan olehnya di depan sekolahnya hujan-hujanan.
Oh tidak, Fian jadi flashback lagi deh.
Buru-buru cowok manis tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya. Fian lantas mendongakkan kepalanya ke atas dan menemukan langit yang sudah mulai gelap. Pertanda kalau hari bakalan hujan dan dia harus segera pulang. Tapi sudah hampir setengah jam dia menunggu, angkot sialan ini belum juga muncul-muncul.
Fian menghela nafas dan memilih untuk melanjutkan membaca cerita wattpadnya yang belum kelar. Namun selang beberapa saat, dia sudah mencapai ending dan lagi-lagi bosan menyerangnya.
Fianpun akhirnya memutuskan untuk jalan kaki saja kerumah. Lagian ya nggak jauh-jauh amat kok dari sekolah ke rumah. Dia bisa mampir ke toko terdekat kalau nanti hujan.
Namun baru saja Fian berdiri dan ingin memulai perjalanannya, sebuah motor langsung berhenti tepat di depannya,membuat cowok manis itu berhenti bergerak. Di pandanginya pengemudi motor tersebut selama beberapa saat dan barulah ia akhirnya sadar siapa orang tersebut.
“Ayo, naik!” Ucap si pengendara. “Kita harus bicara!”
Fian rasanya ingin menolak, tapi logikanya berkata lain.
“Ayo, udah mau hujan nih! Ntar aku anterin pulang!” Tambah orang itu lagi yang suaranya sangat familiar di telinga Fian.
Fian tak punya pilihan lain. Dia lalu menghela nafas dalam-dalam.
Kenapa Kak Farel bisa ada disini? Batin Fian.
~~~
Ben memandangi keluar jendela dengan perasaan cemas. Fian belum juga pulang, padahal di luar sana sepertinya akan ada badai. Dan lagian, dia juga kangen berat sama Fian. Padahal dia baru berpisah pagi ini, tapi rasanya sudah hampir sepuluh tahun dia tidak melihat wajah manis keponakan Bude nya itu.
Dia jadi menyesal sendiri karena tidak sekolah. Padahal dia sudah bersiap-siap. Mandi, pasang baju, yah meskipun masih agak sakit tapi Ben bisa menahannya kok. Saat sedang mencoba turun untuk bergabung makan pagi bersama keluarga kecilnya, Fian langsung melarang Ben untuk sekolah. Rupanya Fian masih mengira kalau Ben itu sakit hingga dia tidak boleh bergerak banyak. Rasanya Ben senang karena Fian sangat perhatian padanya. Dan akhirnya Ben pun menurut.
Sekarang, dia jadi menyesali apa yang sudah terjadi.
Dia benar-benar merindukan Fian sekarang. Sangat—sangat—sangat—sangat merindukannya.
Ben kembali menghela nafas sambil berdo’a dalam hatinya semoga saja Fian tidak kenapa-kenapa di jalan. Cepatlah pulang, Fian. Katanya dalam hati. Terlalu hiperbolis, emangnya Fian ngapain di jalan sampai harus dido’ain seperti itu? Hm?
“Ben?” panggil seseorang. Ben sontak langsung menolehkan kepalanya dengan cepat ke belakang sambil memasang senyum lebar. Dia pikir yang memanggilnya barusan adalah Fian, karena cuman Fian orang yang di harapkannya saat ini. Tapi reflek ekspresinya langsung berubah saat menemukan sosok lain yang berdiri di depan pintu.
Bukan Bude, bukan pula Pakde. “Clarisa?”
Clarisa tersenyum dan perlahan masuk kedalam kamar Ben dengan sebuah parcel buah-buahan di tangannya. Tampaknya mahal, tapi mungkin bagi Clarisa itu belum ada apa-apanya baginya. “Kudengar kamu sakit, jadi aku kesini untuk melihat keadaanmu.”
Kenapa malah cewek ga jelas ini sih yang datang? Rutuk Ben.
Cewek tersebut meletakkan bingkisannya ke atas nighstand sebelum kemudian duduk di samping Ben. “Kamu tampak baik-baik saja bagiku, apanya yang sakit?” Lanjut Clarisa sembari memeriksa badan Ben dengan matanya.
Ben mulai merasa tidak nyaman. Clarisa benar-benar membuatnya merasa tidak nyaman.
“Aku—um.. hanya kecelakaan kecil, jadi tidak ada apapun yang parah kok.” Jawab Ben.
Mendengar itu, Clarisa dengan cepat langsung merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Beberapa saat kemudian satu gulung kapas kecil, plester dan juga antibiotik sudah bertengger di dalam genggaman tangannya.
“Sini, aku bantu obatin.” Tawar Clarisa sambil menarik tangan Ben. Ben menghela nafas dan pasrah saja diperlakukan seperti itu.
Namun tiba-tiba saja Ben teringat sesuatu. Clarisa adalah satu-satunya teman Ben. Dan Clarisa pernah mengatakan kalau dia akan membantunya dalam hal apapun selama berada di Indonesia.
Oke, mungkin saja dia bisa membantu dalam hal ini kan?
“Um..” mulai Ben dan berhasil menarik perhatian Clarisa. “Sebenarnya, aku ingin minta tolong sesuatu padamu..”
Clarisa mengerjapkan mata besarnya beberapa kali sambil tersenyum. “Boleh. Aku akan membantumu. Kamu mau aku membantumu apa?” Tanyanya.
“Aku menyukai Fian.” Ucap Ben langsung.
Sontak Clarisa membelalakkan matanya. Seisi dunianya terasa berputar-putar dan petir menyambar-nyambar kepalanya sekarang.
“Aku ingin kamu membantuku untuk mendapatkan Fian, Clarisa.” Tambah Ben. “Aku jatuh hati padanya..”