It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Bener gk syang @akina_kenji ???
@Apell hahaha gak tau juga, soalnya dia gak nunjukin ciri2 seorang gay sih..
Mungkin bener tuh apa kata @3ll0
Tapi kalo emang andri adek kesayangannya, pasti kak hendra juga ga bakalan marah lama"... *maybe
@QudhelMars liat nanti deh seberapa lama hendra marah sama andri..
semoga kalian tetap suka sama cerita yang masih belum bagus ini..
selamat membaca
@denfauzan @3ll0 @Yirly @Sho_Lee @Aurora_69 @arieat @o_komo @okki
@monic @Adi_Suseno10 @soratanz @asik_asikJos @xmoaningmex @lulu_75 @RifRafReis @LostFaro @amostalee @andi_andee @hananta @Pratama_Robi_Putra @Sicilienne @LeoAprinata @liezfujoshi @josiii @freeefujoushi @RenataF @ricky_zega @ocep21mei1996_ @naraputra28 @AvoCadoBoy @chandisch @RinoDimaPutra @Derbi @JosephanMartin @Viumarvines @akumisteri1 @Obipopobo @babehnero @vane @kunnnee @Rars_Di @abyyriza @adammada @Soshified @SyahbanNa @wisnuvernan2 @yogan28 @kincirmainan @Reyzz9 @Algibran26 @Firman9988_makassar @Rama212 @bayusatpratama @jose34 @ryanadsyah @QudhelMars @Apell @arifinselalusial @Abdulloh_12 @Mr27
*******
Part 20
Sudah tiga minggu berlalu sejak kejadian malam itu. Kak Hendra semakin menjaga jarak denganku. Dia selalu berangkat lebih awal dan pulang larut malam agar tidak bertemu denganku. Aku juga meminta Tora untuk tidak bicara dulu dengan Kak Hendra karena sikapnya yang masih suka emosi jika melihat Tora.
Mama dan Papa sudah pulang dari luar kota, begitupun Kak Inka yang sudah lebih dulu pulang dari mereka. Aku merasa bersyukur karena Mama dan Papa tidak merasa ada perubahan antara aku dan Kak Hendra. Hanya Kak Inka yang tahu. Dia selalu menyemangatiku agar tidak merasa sedih atas sikap Kak Hendra yang masih belum mau menerimaku. Teman-temanku juga selalu ada disisiku, jadi aku merasa kesedihanku akan sikap Kak Hendra sedikit berkurang.
Hari ini aku libur kerja dan Andre mengajakku pergi main sepulang sekolah nanti bersama yang lain juga. Dengan semangat aku mengiyakan ajakannya itu karena sudah lama kami tidak pergi main bareng. Selama aku bekerja, aku lebih sering pulang duluan, atau disaat libur aku menghabiskan waktuku bersama dengan Tora. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin cepat pulang, aku juga ingin mengajak Tora ikut bersama kami. Semoga saja dia tidak ke hotel hari ini.
Kami tidak ke kantin, hanya duduk-duduk dibangku yang ada di depan kelasku sambil menunggu kedatangan Resti dan Tiara membeli makanan di kantin. Hanya Tora dan Doni yang belum kelihatan batang hidungnya. Padahal kami sudah mengirimkan pesan kepada mereka. Begitu melihat mereka dari kejauhan wajahku langsung sumbringah. Lebih tepatnya karena melihat Tora, hehehe.
“Lama amat sih kalian?” tegur Reno setelah mereka begabung bersama kami. Tora duduk di sebelahku dan Doni duduk di depan Andre pada pembatas taman yang tebuat dari beton.
“Kami ke toilet dulu,” jawab Doni sambil mengecek ponselnya.
“Tora. Teman-teman mengajak kita pergi main sepulang sekolah nanti. Kamu bisa ikut kan?” aku memandangnya penuh harap. Berharap dia mau ikut dengan kami. Tapi jawabannya malah mengecewakan.
“Maaf, aku tidak bisa ikut. Aku harus ke hotel hari ini,” jawabnya sambil menepuk-nepuk tanganku yang ada di atas pahaku. Aku memanyunkan bibir tanda kecewa.
“Kita bisa pergi lain kali. Sekarang kamu harus menikmati waktumu bersama teman-teman.”
“Iya Dri, udah lama nih kita gak pergi bareng,” sahut Doni.
“Tolong kamu jaga dia,” balas Tora protektif.
“Tenang aja. Gue bakal jagain dia dari cowok-cowok genit. Termasuk dari Andre noh,” tunjuk Doni ke Andre.
“Sialan lu!” maki Andre ke Doni. “Buat jagain Andri, lu serahin aja ke gue, Tora,” lanjutnya dan langsung mendapat cubitan mematikan dari Resti yang sudah berdiri di belakangnya bersama Tiara membawa kantong berisi makanan.
“Jadi kamu lebih milih jagain Andri dibanding aku, gitu. Iya?!” geram Resti, sukses membuat kami semua tertawa melihat Andre kesakitan dianiaya pacarnya.
“Wah Tora. Kamu tambah cakep ya kalo ketawa?” kagum Tiara yang berbinar-berbinar melihat tawa Tora.
“Berarti aku gak cakep ya kalo ketawa?” ketus Reno ke pacarnya, membuat Tiara jadi merasa bersalah.
“Bukan gitu, Yank. Tora kan gak pernah ketawa di depan kita-kita. Eh sekalinya ketawa.....hehehe...” Tiara nggak melanjutkan lagi kalimatnya karena mendapat pelototan dari Reno.
“Setelah ini, lu gak usah ketawa lagi, Tora!” kata Reno yang terdengar seperti perintah. Namun Tora yang tidak menanggapi ucapannya. Dia lebih memilih mengambil beberapa jajanan yang dibawa Resti tadi, lalu menyerahkannya padaku.
“Cieee...cemburu ni yee..” ledek kami bersamaan, kecuali Tiara yang saat ini tersenyum malu-malu di samping Reno dan Tora yang asyik dengan makanannya. Sedangkan Reno cuma bisa garuk-garuk kepala karena ledekan kami. Aku begitu bahagia bersama teman-temanku.
**
Kami memilih pergi ke Taman Mini Indonesia Indah. Mengunjungi setiap anjungan yang ada di sana, juga memasuki istana anak-anak. Dan sudah dipastikan kami mengambil banyak foto untuk kenang-kenangan. Terakhir kami pergi ke danau yang menggambarkan kepulauan Indonesia dan menaiki perahu kayuh angsa. Andre naik bersama Resti, Reno bersama Tiara. Sementara aku naik bersama Doni yang tidak membawa pacarnya. Kami saling mengambil foto masing-masing bahkan saling menabrakan perahu. Tapi aku penasaran kenapa Doni tidak mengajak pacarnya kali ini. Biasanya setiap kami pergi bareng dia selalu mengajak pacarnya ikut bergabng bersama kami. Daripada aku mati penasaran, aku memutuskan bertanya langsung selagi berdua dengannya.
“Don, kenapa lu gak ngajak cewek lu bareng kita?” tanyaku sambil menyandarkan punggung dan menopang kepalaku dengan tangan. Kulihat dia menarik napas dan menghembuskannya pelan sebelum menjawab pertanyaanku.
“Kami udah putus,” jawabnya singkat. Sontak aku bangkit dari sandaranku dan menatapnya lekat.
“Benarkah? Kok bisa? Udah berapa lama?’ tanyaku beruntun.
“Iya. Kami sudah tiga minggu pisah karena aku memergokinya nonton bareng cowok lain, dan dengan jelas aku melihat mereka ciuman di dalam bioskop,” jelasnya. Wajahnya berubah jadi sedih.
Aku baru tahu, sudah tiga minggu Doni putus dengan pacarnya. Aku jadi merasa sepeti sahabat yang tak berguna karena tidak ada disaat temanku lagi sedih. Padahal mereka selalu ada disaat aku sedih. Kemana saja aku selama ini. ‘Kamu benar-benar bodoh Andri,’ rutukku pada diriku sendiri di dalam hati.
Aku menghentikan kayuhanku, lalu mencondongkan tubuhku untuk memeluk Doni, membuat perahu angsa kami sedikit bergoyang. Dan tak terasa airmataku sudah menetes saja saat memeluk Doni.
“Lu nangis, Dri?” tanya Doni hendak melepaskan pelukanku. Tapi aku tambah memeluknya erat.
“Maafin gue, karena nggak ada disaat lu sedih. Gue benar-benar sahabat yang buruk,” ujarku dengan suara serak.
“Ssstt...udah. Lu nggak salah apa-apa kok. Gue juga baik-baik aja,” ujarnya sambil mengusap-ngusap punggungku. “Gue sengaja melarang teman-teman untuk tidak memberitahu lu, karena waktu itu lu lagi ada masalah sama Tora dan Kak Hendra. Jadi gue nggak mau membebani lu,” lanjutnya. Aku diam mendengarkan penjelasannya.
Doni melepaskan pelukan kami dan mengusap sisa-sisa airmataku. Kemudian dia menceritakan bagaimana awal dia curiga dengan sikap pacarnya yang berubah, hingga mengikutinya pergi secara diam-diam sampai memergokinya sedang asyik berciuman di dalam bisokop. Doni langsung menghampiri mereka dan memutuskan pacarnya saat itu juga. Aku kembali menjadi sedih setelah mendengar semua cerita Doni. Tapi dia malah tertawa melihatku dan menghiburku, ckck. Seharusnya aku yang menghiburnya, bukan dia. Aku benar-benar cengeng.
Setelah puas bercerita dan bermain perahu, kami memutuskan untuk menepi. Rupanya teman-teman yang lain sudah menepi duluan. Mereka semua menatap kami dengan pandangan yang sulit kuartikan. Begitu sampai dihadapan mereka, Resti sudah melontarkan pertanyaan kepada kami dengan raut wajah khawatir.
“Kalian kenapa? Kenapa lu nangis, Dri?” aku hanya menundukan wajah mendengar pertanyaan Resti.
“Dia nangis setelah dengar cerita gue,” jawab Doni sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Kenapa kalian nggak kasih tau gue? Bukankah kita sudah janji, apapun masalahnya kita harus saling cerita,” kesalku, menatap mereka semua.
“Kita sengaja nggak memberitahu lu, karena lu lagi menghadapi masalah yang rumit waktu itu,” kata Reno menjawab pertanyaanku.
“Hei! Kita ke sini untuk bersenang-senang dan melupakan kesedihan. Jadi nggak ada sedih-sedihan, oke?!” seru Resti bersemangat. Aku mengangguk dan memperlihatkan senyuman termanisku padanya.
“Dan lu, Don. Jangan pikirin lagi cewek sialan itu. Dia nggak pantas buat lu tangisi,” ujar Resti lagi menatap Doni dengan serius.
“Lu tenang aja, gue udah nggak peduli lagi kok sama dia,” balas Doni santai. Aku memperhatikannya, yang dibalasnya dengan senyuman sambil merangkulku meninggalkan tempat ini.
Doni benar-benar hebat. Dulu, sewaktu aku memergoki Awan tidur dengan laki-laki lain hingga kami putus. Aku selalu menangis selama hampir satu bulan di depan teman-temanku itu. Aku juga sempat tidak masuk sekolah selama dua hari, mengurung diri di kamar. Keluarga sangat khawatir, aku beralasan kalau aku sedang sakit tapi menolak dibawa ke rumah sakit. Dan belum bisa move on selama beberapa bulan sampai akhirnya Tora datang dan masuk dalam kehidupanku.
Puas bermain kami masuk ke dalam PH. Hari ini Resti dan Tiara ingin makan pizza katanya. Jadi kami para cowok hanya mengikuti saja keinginan mereka. Itu sudah jadi tradisi kami karena cewek itu suka ribet soal makanan.
Sambil menunggu pesanan, kami menyibukkan diri dengan saling mengirim foto-foto yang tadi kami ambil saat bermain. Tak lupa aku juga mengirimkan sebuah foto kepada Tora. Tidak lama dia mengirimkan sebuah pesan padaku.
‘Aku mneyukainya. Kamu terlihat cute dan ceria,’ tulisnya. Aku tersenyum membaca pesan darinya.
‘Sayangnya kamu gak ikut ’
‘Jangan sedih. Kita bisa pergi lain kali ’ aku langsung tersenyum membaca balasannya.
‘Aku tidak sabar menunggunya ’
‘Kita akan pergi berlibur setelah kamu berhenti bekerja. Aku sudah menentukan tempatnya.’ Aku melebarkan mataku membaca balasan dari Tora. Dia mengajakku berlibur setelah berhenti dari restoran nanti. Kami sangat jarang berkencan semenjak dia sibuk bekerja, begitupun denganku. Dan sekarang kami akan pergi berlibur. Senyumku merekah setelah membaca ulang pesan dari Tora.
“Ehm...ngapain lu senyum-senyum sendiri, Dri?” tanya Reno mengagetkanku.
“Eh..nggak,” jawabku sambil tersenyum salah tingkah.
“Pasti dapet pesan dari Yayang Tora tuh,” ledek Doni membuat pipiku merona.
“Yang, selama lu bersama gue. Jangan pikirin Tora. Pikirin aja gue, oke!?” timpal Andre yang langsung mendapat cubitan dari Resti dan jitakan dari Doni yang duduk didekatnya. Kami semua tertawa melihat Andre meringis kesakitan karena mendapat cubitan beserta jitakan.
Kami asyik tertawa sampai pesanan kami datang, dan aku merasa ada orang yang memperhatikan meja kami dengan intens. Saat aku melihat kesekeliling mencari sosok yang memperhatikan kami. Tatapanku bertubrukan dengan Kak Hendra yang duduk tak jauh dari meja kami. Sejenak aku tertegun mendapati tatapan yang penuh perhatian yang selama ini kurindukan dari kakakku itu. Namun setelahnya aku harus kecewa karena Kak Hendra segera memalingkan wajahnya dan bicara lagi dengan teman-temannya. Aku menghembuskan napas, kemudian menyesap minuman yang sudah tersedia di hadapanku.
Tora mengirim pesan kalau dia akan menjemputku. Jadi aku dan teman-teman menunggu kedatangannya di depan PH. Begitu mobilnya berhenti, segera saja aku berpamitan dengan yang lain sebelum masuk ke dalam mobil Tora. Mobilnyapun berjalan dengan kecepatan sedang.
Aku menyandarkan punggungku dan memejamkan mata sejenak. Kurasakan tangan Tora mengelus-ngelus pipiku dengan lembut. Aku enggan membuka mata, jadi aku menikmati saja belaian tangannya sambil terus memejamkan mata.
Aku membuka mata perlahan. Mengerjapkannya beberapa kali, lalu memperhatikan sekitarku. Rupanya kami sudah sampai di depan rumahku. Kutolehkan kepalaku menghadap Tora, yang disambutnya dengan senyuman yang membuatku nyaman.
“Maaf, aku ketiduran,” sesalku, karena sudah membiarkan dia mengemudi sendirian tanpa ada lawan bicara.
“Aku tahu kamu capek,” katanya lembut. Aku mengangguk mengiyakan.
“Oh ya, nanti kita liburan kemana?” tanyaku antusias, karena teringat akan pesannya tadi sore.
“Bandung,” jawabnya singkat.
Senyumku langsung merekah begitu Tora menyebut kota Bandung, karena sudah lama sekali aku tidak pergi ke Bandung.
“Benarkah?” tanyaku riang. Dia menganggguk memberi jawaban.
“Tapi bagaimana kalau Kak Rio belum mendapatkan karyawan baru dalam waktu dekat ini?” tanyaku lesu.
“Kamu jangan khawatir. Aku sudah membicarakannya dengan Mas Rio. Aku akan coba membantu,” jelasnya. Aku mengangguk mengerti mendengar penjelasan Tora. Mungkin memang seharusnya aku berhenti dari pekerjaanku, dan fokus pada pelajaran.
Beberapa hari yang lalu Tora meminta kertas-kertas hasil ulanganku. Dia memeriksa setiap nilai-nilaiku. Keningnya langsung mengernyit dan wajahnya berubah mengerikan ketika melihat semua nilai-nilai yang keperoleh. Saat itu juga dia memintaku untuk berhenti secepatnya. Tapi aku meminta waktu hingga akhir bulan ini, tentu dengan sedikit memohon padanya agar diberikan izin. Ah, aku akan merindukan teman-teman kerjaku nanti.
**
Aku menuruni anak tangga dengan santai. Menuju ruang makan untuk sarapan. Di sana sudah duduk Mama, Papa, Kak Inka, dan....Kak Hendra. Biasanya dia sudah pergi sebelum aku turun ke bawah. Tapi sekarang dia masih di ruang makan sambil menikmati sarapannya. Aku berjalan mendekat dan menarik kursi di samping Kak Inka. Namun baru saja aku mendudukan pantatku, Kak Hendra segera menarik kursinya lalu pergi meninggalkan meja makan.
“Aku sudah selesai,” katanya, bergegas pergi. Padahal makanannya masih tinggal separuh. Aku hanya menatap punggungnya dengan sedih dan menundukan kepalaku melihat piring di hadapanku.
“Nasimu masih banyak Hendra. Andri juga belum selesai sarapan. Anterin adikmu!” teriak Mama memanggil Kak Hendra. Tapi Kak Hendra masih terus berjalan dan menyahuti Mama dari kejauhan.
“Hendra harus ketemu dosen, Ma. Nggak boleh telat,” balasnya memberi alasan. Aku tahu itu hanya alasannya saja untuk menghindariku.
Kak Inka menepuk-nepuk pahaku di bawah meja. Aku menoleh padanya, kulihat dia tersenyum menguatkan. Aku membalas senyumannya dengan paksa.
“Sayang. Kalian sedang tidak ada masalah, kan?” tanya Mama penuh selidik. “Mama perhatikan kalian tidak pernah berangkat bareng lagi,” kata Mama melanjutkan. Aku menelan ludah gugup mendengar pertanyaan Mama. Papa juga sudah memandangku dari seberang meja.
“Ka..kami nggak ada masalah kok, Ma. Kak Hendra kan mau menyelesaikan skripsi secepatnya, makanya dia sibuk banget akhir-akhir ini. Jadinya jarang memberikan tumpangan kepada Andri,” aku memberi alasan dengan gugup kepada Mama. Mama mengangguk-ngangguk percaya setelah mendengar penjelasanku, tapi matanya terus menatapku penuh tanya.
“Mama jangan khawatir. Mereka baik-baik saja kok,” ujar Kak Inka meyakinkan Mama.
Mama menghela napas lalu mengelus kepalaku sejenak. “Mama hanya tidak ingin anak-anak Mama bertengkar. Karena semenjak Mama dan Papa pulang, sikap kalian sedikit berbeda,” ucap Mama pelan.
“Kami beneran nggak ada masalah kok, Ma,” ucapku berusaha memperlihatkan senyuman terbaikku kepada Mama.
“Mama percaya sama kamu, Sayang. Mungkin hanya perasaan Mama saja. Sudah lanjutkan sarapanmu. Nanti telat ke sekolahnya.” Aku mengangguk mantap, lalu menyantap makananku. Walaupun hatiku terasa sakit melihat sikap Kak Hendra tadi.
**
“Aku sudah menemukan penggantimu,” ujar Tora yang duduk di sampingku. Saat ini kami tengah duduk di bangku taman kecil, tempat yang biasa kami kunjungi berdua.
Aku memutar tubuh menatapnya. Ah, rasanya begitu berat meninggalkan teman-teman yang sudah mulai dekat denganku. Tapi aku harus menuruti perkataan Tora. Lagipula aku bisa bekerja lagi setelah lulus kuliah nanti. Tapi tentu tidak di restoran Kak Rio lagi. Mungkin di perusahaan Papa, atau membantu Tora di hotelnya biar kami bisa selalu bersama, hehehe.
“Siapa?” tanyaku pelan.
“Tetangga Mbak Nur,” jawabnya. Aku hanya diam, kemudian menyandarkan kepalaku ke bahunya menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku. Memejamkan mata sejenak membayangkan hari-hariku bakal kesepian jika aku tidak lagi bekerja, sementara Tora sibuk bekerja dan hanya memiliki waktu luang yang sedikit untuk kami. Detik berikutnya aku membuka mata dengan senyum mengembang.
“Tapi nanti jika aku bosan, aku boleh ikut kamu ke hotel ya?” tanyaku penuh harap dan tentu saja disertai dengan puppy eyes, agar Tora mengizinkanku ikut bersamanya.
“Tentu boleh. Tapi dengan satu syarat,” ujarnya menatapku penuh arti.
“Syarat? Apa?” tanyaku penasaran.
“Kamu harus mengerjakan tugas sekolahmu selama aku bekerja,” ucapnya santai. Aku hanya bisa mendengus kesal dan mengangguk dengan cemberut. Kalau seperti itu lebih baik aku pergi main dengan teman-teman saja. Kemudian aku bertanya lagi kepada Tora.
“Kalau aku pergi main dengan teman-teman bagaimana?”
“Boleh, asalkan tidak keseringan. Karena kamu harus memperbaiki nilai-nilai yang hanccur kemaren.” Aku hanya memanyunkan bibirku mendengar ucapannya.
Sedang asyik menikmati kebersamaanku dengan Tora, tiba-tiba ponselku bergetar. Rupanya ada pesan dari Kak Ridho. Dia menanyakan kabarku dan juga mengenai hubunganku dengan Tora. Aku membalas dengan semangat pesan yang kudapat. Ah, aku kangen dengannya. Terakhir kali kudengar kabar darinya kalau dia mau masuk UI, itu dua bulan yang lalu. Sekarang baru dapat kabar lagi darinya, rupanya dia mau PDKT dengan seorang gadis yang pernah ditabraknya dua minggu yang lalu.
Aku sibuk membalas pesan-pesan Kak Ridho yang menceritakan tentang kejadian tabrakan dialaminya. Namun tiba-tiba Tora mengambil ponselku dan melihat siapa yang sedang berkirim pesan denganku. Setelah melihat siapa orangnya, dia mengembalikan ponselku. Aku meliriknya dengan sedikit takut. Takut dia marah karena telah mengabaikannya dan berbalas pesan dengan orang lain. Walaupun aku sudah mengatakan padanya kalau aku sudah menganggap Kak Ridho sebagai kakakku sendiri, tetap saja aku merasa takut kalau Tora bakal marah. Tapi ketakutanku tidak terjadi, karena tidak ada kemarahan yang nampak di wajahnya. Dengan cepat aku memasukan kembali ponselku kedalam kantong celana dan menyandarkan lagi kepalaku ke bahunya.
..
Aku memasuki rumah bersama Tora. Begitu sampai di ruang tamu, aku menemukan Mama sedang asyik mengobrol dengan seorang perempuan cantik berwajah ayu, kira-kira sebaya denan Kak Hendra. Mama memperkenalkan perempuan itu kepadaku juga kepada Tora. Rupanya perempuan itu adalah pacarnya Kak Hendra. Namanya Kak Mia. Mama menemaninya mengobrol karena Kak Hendra lagi di atas sedang mengganti pakaian. Sepertinya Kak Hendra sudah memantapkan hatinya pada perempuan tersebut karena dia sudah mau membawanya ke rumah dan memperkenalkannya ke Mama.
Setelah basa-basi sebentar kepada Mama dan Kak Mia, aku berpamitan untuk ke kamar mau bersiap-siap ke restoran. Aku juga sudah mengatakan kepada Mama, Tora yang akan mengantarkanku ke restoran dan dia juga yang akan menjemputku pulang kerja nanti. Mama sangat berterimakasih kepada Tora, yang dibalasnya dengan senyuman ramah. Begitu sampai di atas, aku berjalan dengan perasaan was-was, takut Kak Hendra keluar dari kamarnya dan bertemu dengan Tora. Aku takut dia memukul Tora lagi. Tora meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Aku jadi merasa sedikit tenang saat melewati kamar Kak Hendra.
Ketika turun ke bawah dan hendak berpamitan kepada Mama, aku melihat Kak Hendra sudah berada di ruang tamu duduk di samping Kak Mia. Tubuhnya menegang, sama denganku. Rahangnya mengeras dan aku juga bisa melihat tangannya terkepal dengan kuat seperti ingin memukul Tora yang berada di sebelahku, namun terhalang karena ada Mama dan Kak Mia. Dengan gugup aku pamitan pada Mama, lalu menarik tangan Tora yang bersikap biasa saja, sangat tenang. Sampai sekarang aku masih heran dengan sikap Tora yang selalu bisa bersikap tenang dan tanpa ekspresi. Tapi ekspresinya akan berubah drastis jika ada orang lain yang mencoba mendekatiku, ckckck.
“Aku kerja dulu,” kataku setelah melepas sabuk pengaman. Tora menganggguk dan tersenyum.
“Hati-hati,” pesannya, yang kubalas juga dengan anggukan, lalu mencium pipinya. Dia menatapku dengan mata teduhnya serta membelai pipiku dengan tangan kirinya, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bisa kurasakan bibir lembut Tora menyentuh bibirku sebentar. Setelah Tora melepaskan bibirnya, cepat-cepat aku membuka pintu dan keluar dari mobil karena tidak ingin Tora melihat pipiku yang memerah.
..
Restoran cukup ramai malam ini, jadi kami pulang sedikit terlambat dari biasanya. Aku buru-buru melangkahkan kaki keluar restoran dan berpamitan pada teman-teman yang masih asyik mengobrol sambil mengganti pakaian. Tora pasti sudah lama menunggu karena jam sudah menunjukan pukul 11. Begitu sampai di depan restoran, rupanya Tora sudah berdiri di depan pintu masuk. Dia tersenyum ketika membalikan tubuh saat kupanggil.
“Maaf, kamu jadi lama menunggu,” kataku merasa bersalah.
“Nggak apa-apa. Aku bisa lihat tadi restoran sangat ramai,” katanya sambil membelai kepalaku. Aku mengangguk lemah mengiyakan.
“Kita pulang sekarang. Kamu pasti capek.” Aku kembali mengangguk dengan lemah. Kami berjalan beriringan ke tempat mobilnya di parkirkan. Tapi baru beberapa langkah kami berjalan, aku merasakan ada seseorang yang memperhatikan kami berdua. Kuedarkan pandangan mencari sosok orang itu, sampai mataku berhenti pada seseorang yang duduk di atas motor besar mengenakan helm full face, tidak jauh dari tempatku dan Tora berada. Lalu aku diam terpaku saat melihat nomor kendaraan tersebut. Nomor yang sangat kukenal. Itu motor Kak Hendra.
“Andri, ada apa?” tanya Tora mengagetkanku. Aku menoleh padanya seperti orang bingung.
“Itu...” aku menggantung ucapanku, kembali mengalihkan pandanganku pada motor Kak Hendra. Tapi motor tersebut sudah pergi dengan cepat. Aku hanya bisa melihat punggungnya dari jauh. “...itu motor Kak Hendra. Dia dari tadi memperhatikan kita,” sambungku yang masih memperhatikan arah motor Kak Hendra pergi. Walaupun motornya sudah tidak kelihatan lagi.
“Semoga saja ini pertanda baik,” kata Tora menggenggam tanganku, lalu menuntunku menuju mobilnya. Semoga saja apa yang dikatakan Tora benar dan jadi kenyataan.
..
Semua orang di rumah sepertinya sudah tidur. Ruang keluarga sudah sepi, hanya ada aku yang berjalan terus sampai ke lantai atas. Namun langkahku terhenti saat melihat Kak Hendra berdiri di depan kamarnya dengan tangan bersedekap didada.
“Kakak belum tidur?” tanyaku hati-hati.
“Jangan pernah membawa homo menjijikan itu ke rumah ini lagi,” ujarnya dingin menatapku tajam. Aku merasa tertohok mendengar ucapannya barusan.
“Jika bagi Kakak homo itu menjijikan dan tidak mau melihat kedatangan Tora di rumah ini lagi. Apakah itu artinya Kakak juga tidak ingin melihat Andri berada di rumah ini lagi? Karena Andri juga seorang homo dan homo itu menjijikan, seperti yang Kakak bilang. Apa Andri harus menghilang dari hadapan Kakak?” tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Kak Hendra tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya diam, masuk kedalam kamar dan menutup pintunya. Dengan berani aku membuka pintu tersebut dan menghampirinya.
“Kak. Andri minta maaf jika sudah membuat Kakak kecewa. Karena Andri tidak seperti adik teman-teman Kakak yang mungkin semuanya normal. Andri memang berbeda, tapi Andri tidak seperti yang pernah Kakak bilang. Gonta-ganti pasangan nggak jelas. Seks bebas, atau apapun itu. Kami juga sama seperti pasangan-pasangan nomal. Kami juga ingin menikah dengan orang yang kami cintai, hidup bahagia dengan satu pasangan hingga maut memisahkan.
Mungkin bagi Kakak hal itu sangat konyol karena hubungan sesama jenis dipandang sebelah mata di negara ini. Tapi itulah harapan dan impian kami. Andri tidak seperti yang Kakak pikirkan. Andri hanya menjalin hubungan dengan satu orang. Tora. Dan jika memang menurut Kakak, kami orang yang menjijikan. Andri akan usahakan tidak akan menampakan diri di hadapan Kakak. Atau Andri bisa pergi dari sini, agar Kakak tidak merasa jijik lagi. Sekali lagi, maafkan Andri karena sudah membuat Kakak kecewa,” kataku, menyampaikan isi hatiku. Kak Hendra masih diam mendengarkan ucapan panjang lebarku.
Menghapus airmataku, lalu melangkahkan kakiku keluar dari kamarnya. Begitu sampai di depan pintu, aku membalikan badan menghadapnya, menyampaikan perasaan yang selama ini tersimpan didalam hatiku sejak kejadian beberapa waktu lalu. “Andri kangen Kakak....” ujarku akhirnya kemudian menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Aku memang sangat merindukan Kak Hendra,
**
“Pa. Nanti Andri nginap di rumah Andre ya, sampai beberapa hari kedepan,” kataku kepada Papa yang tengah asyik menyantap sarapannya. Hanya ada kami berempat di meja makan ini. Kak Hendra sudah berangkat sebelum aku turun dari atas.
“Orangtuanya nggak ada di rumah lagi?” tanyan Papa menatapku.
“Iya. Kali ini Tante Prita dan Om Satria pergi ke Singapura. Mungkin selama dua minggu mereka di sana,” jelasku kepada Papa.
“Jangan nakal ya,” ujar Papa lagi. Aku mengangguk dengan cepat, lalu buru-buru menghabiskan sarapanku. Aku harus memberitahu Andre secepatnya.
Andre anak kedua dari dua bersaudara. Kakak sulungnya seorang perempuan, sudah menikah dan memiliki rumah sendiri. Jika orangtuanya pergi ke luar kota atau luar negeri. Andre tidak mau menginap di rumah kakaknya, karena jaraknya terlalu jauh dari sekolah. Makanya dia sering memintaku, Reno, atau Doni menginap di rumahnya. Sebenarnya dia memiliki asisten rumah tangga, tapi tanpa orangtua di rumah tentu akan tetap membuat dia merasa kesepian.
Begitu melihatnya masuk ke dalam kelas, aku memperlihatkan senyuman termanisku padanya. Dia sempat mengernyitkan keninngnya sebentar, kemudian melangkah dengan cepat menuju tempat duduknya yang terletak di sebelahku. Setelah sampai Andre mencubit pipiku gemas. Aku membuka tas dan mengeluarkan kotak bekal dari sana. Menyerahkannya kepada Andre yang disambutnya dengan riang. Aku tahu dia belum sarapan, karena sudah memberitahunya kalau aku akan membawakan sandwich untuk sarapannya.
“Gue mau pindah ke rumah lu untuk sementara,” kataku sela-sela sarapan Andre.
“Lu boleh tinggal sepuasnya di rumah gue, Yank. Selamanya juga nggak apa-apa. Nyokap pasti seneng dapat anak imut kayak lu,” balas Andre. Menoleh sekilas, kemudian fokus lagi pada sarapannya. Aku tersenyum mendengar ucapannya.
Orangtua Andre memang sangat menyayangiku. Setiap mereka di rumah dan aku menginap di sana, orangtuanya akan memperlakukanku dengan istimewa. Tidak hanya kepadaku, mereka juga sangat menyayangi yang lain. Mereka orangtua yang hangat. Dan perlu kalian ketahui, jika orangtuanya berada di rumah. Andre akan menggunakan kesempatan itu untuk bermanja-manja dengan mereka. Kami pernah meledeknya, tapi dia tak peduli. Tapi kami cukup mengerti kenapa dia bersikap seperti itu.
“Katakan ada apa?” pertanyaan Andre membuyarkan lamunanku. Aku menghelas napas sebentar, lalu menjawab pertanyaannya.
“Kak Hendra meminta gue untuk tidak membawa Tora lagi ke rumah, dan dia mengatakan kalau Tora homo menjijkan. Dia tidak ingin ada homo menjijikan masuk ke dalam rumah. Jadi lebih baik gue tidak menampakkan diri di hadapannya karena gue juga homo,” lirihku, dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Andre mengambil tisu dari dalam tasku, kemudian menghapus airmataku yang sudah keluar dari tempatnya, meraih tubuhku ke dalam dekapannya.
“Udah jangan nangis. Lu nggak menjijikan. Kalau lu menjijikan, gue nggak bakalan mau meluk lu kayak gini. Gue akan membantu lu beres-beres nanti. Tapi dengan satu syarat,” katanya tegas.
“Apa?”
“Lu harus berhenti nangis. Ini perintah.” Aku tersenyum kecil, memukul lengannya pelan dan mengangguk dalam pelukannya.
Mungkin ini lebih baik. Tidak menampakan diri dihadapan Kak Hendra, agar dia tidak merasa jijik lagi setiap kali melihatku. Jika perlu aku akan merengek kepada Mama supaya mau mengizinkanku tinggal di rumah Andre, sampai aku lulus nanti. Ternyata pertanda baik itu tidak ada.
Atau mungkin belum....Entahlah.
*******
setelah baca, jangan lupa kasih like dan komennya ya ^^
jika banyak typo yang bertebaran, harap maklum karena ngeditnya sambil terkantuk-kantuk hehe..
dah update nih @QudhelMars
Aku salut sama andri