It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Klo ada yg berani is dead, maka bang @akina_kenji harus berhadapan dng saya.
@QudhelMars gpp lah sama ceritanya..yang penting kamu ileran :v
@Apell wah mau diapain aku kalo sampe ada yang dibikin koit...? gak di lemparin bom kan? tapi dilemparin duit kan?
Tpi sebelumnya, d perkosa sampai babak belur.
Selamat membaca..
*****
@denfauzan @3ll0 @Yirly @Sho_Lee @Aurora_69 @arieat @o_komo @okki
@monic @Adi_Suseno10 @soratanz @asik_asikJos @xmoaningmex @lulu_75 @RifRafReis @LostFaro @amostalee @andi_andee @hananta @Pratama_Robi_Putra @Sicilienne @LeoAprinata @liezfujoshi @josiii @freeefujoushi @RenataF @ricky_zega @ocep21mei1996_ @naraputra28 @AvoCadoBoy @chandisch @RinoDimaPutra @Derbi @JosephanMartin @Viumarvines @akumisteri1 @Obipopobo @babehnero @vane @kunnnee @Rars_Di @abyyriza @adammada @Soshified @SyahbanNa @wisnuvernan2 @yogan28 @kincirmainan @Reyzz9 @Algibran26 @Firman9988_makassar @Rama212 @bayusatpratama @jose34 @ryanadsyah @QudhelMars @Apell @arifinselalusial @Abdulloh_12 @Mr27
*****
Part 19
Saat mengantarkanku berangkat kerja, Andre memintaku menginap di rumahnya. Tapi aku menolak, karena takut Kak Hendra berpikiran negatif lagi padaku. Pada keadaan seperti ini dia tidak akan percaya kalau aku menginap di rumah Andre. Apalagi sekarang Kak Inka tidak ada di rumah. Ya, Kak Inka berangkat ke Bandung tadi siang dan akan kembali dua hari lagi. jadi dia tidak bisa menjemputku malam ini. Minta jemput sama Kak Hendra tidak mungkin dia mau. Kak Rio juga tidak datang ke restoran hari ini. Tora? Ah, aku masih kesal sama dia. Mengambil napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan keras aku mulai melangkahkan kaki dengan lesu. Mungkin lebih baik aku pulang naik taksi saja. Kalau naik bus, tidak ada teman yang searah, jadinya malas. Ditambah lagi aku harus jalan kaki ke dalam menuju rumah. Jadi taksi adalah pilihan yang tepat karena bisa diantar sampai rumah.
Sedang asyik berdiri di depan restoran sambil mencari sebuah kontak, Dandi datang menghampiriku bersama motornya.
“Kakakmu belum datang?” tanyanya, setelah menaikan kaca helmnya.
“Nggak. Kakakku nggak bisa menjemput hari ini.”
“Kalau gitu bareng aku aja,” tawarnya.
“Ah nggak usah. Ini aku lagi nelpon taksi,” kataku sambil mengangkat ponsel.
“Udah pulang bareng aku aja. Tar kelamaan nunggu taksinya.” Dandi merebut ponselku, kemudian menyerahkan sebuah helm padaku. Aku heran kenapa Dandi selalu membawa dua helm. Padahal dia selalu pulang sendiri.
“Kamu kok selalu bawa dua helm, Dan?” tanyaku penasaran.
“Oh, ini untuk temanku. Aku selalu menjemput dia setiap pulang kerja, karena jadwal kerja kami sering sama. Tapi hari ini dia nggak masuk kerja karena sakit,” jelasnya. Aku mengangguk mengerti sambil mengambil helm yang diberikan Dandi. Tapi saat mau memakai helm, sebuah suara yang sangat kukenal memanggil namaku.
“Andri!?” aku menoleh kaget melihat kedatangan Tora. "Aku mau bicara," Lanjutnya, berjalan mendekat kearahku.
Tidak mau peduli, aku segera naik ke atas motor Dandi. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan,” Aku memasang helm yang tadi belum sempat kugunakan. "Yuk Dan, aku udah siap," ajakku kepada Dandi. Tapi baru saja Dandi menghidupkan motornya,Tora menahan tanganku. Membuat Dandi tidak jadi menjalankan motornya.
"Andri. Kita harus bicara dan menyelesaikan masalah...."
“Lepaskan!” teriakku, membuatnya berhenti bicara. "Aku tidak mau mendengar apapun darimu! Dan, cepetan. Aku mau cepat sampai di rumah!" desakku kepada Dandi. Dia segera menjalankan motornya berlalu dari hadapan Tora. Keterlaluan memang, tapi aku masih kesal karena kejadian kemarin dan kebencian Kak Hendra terhadapku. Tapi tidak bisa kupungkiri, hatiku merasa sakit melihat tatapan sendu Tora tadi.
Tanganku memegang erat sisi jaket yang dikenakan Dandi, dan pikiranku terus dihiasi oleh wajahTora. Tidak seharusnya aku bersikap seperti tadi. Dia sudah susah payah datang untuk menyelesaikan masalah kami, namun aku malah berteriak dan bersikap kasar padanya. Harusnya aku mau bicara dengannya agar masalah kami terselesaikan. Ah, tidak, tidak. Dia sudah menuduhku selingkuh, mengatakan aku tidak mau behenti bekerja karena pria lain. Aku tidak serendah itu dengan mudahnya selingkuh. Dia juga sudah membuat Kak Hendra marah dan benci padaku. Untuk apa aku harus bicara dengannya. Tapi dilain sisi hatiku merindukannya. Merindukan kebersamaan kami.
Dari tadi Dandi hanya diam menyaksikan pertengkaranku dengan Tora. Aku yakin dia bisa membaca hubungan antara aku dan Tora. Dan kemungkinan besok dia akan menjauhiku seperti yang dilakukan Kak Hendra.
“Tadi itu siapa?” tiba-tiba Dandi buka suara.
“Hah. Yang tadi itu...dia...” aku bingung antara harus menjawab jujur atau bohong kepada Dandi. Walaupun perasaanku mengatakan kalau dia sudah tau siapa Tora.
“Pacar?” potongnya karena aku masih ragu menjawab pertanyaannya.
“Eh...i..iya,” lirihku sambil memegang sisi jaketnya semakin erat. Jantungku sudah berdetak tak karuan membayangkan apa yang akan terjadi besok.
Aku tersentak ketika tangan Dandi menepuk-nepuk pahaku pelan seolah menenangkan. “Kamu takut aku akan menjauhimu setelah ini?” tanyanya seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku.
“Ah itu...bukan...eh...iya..eh..” jawabku terbata-bata. Dia tertawa mendengar jawabanku. Tawanya begitu renyah dan enak didengar.
“Kalau kalian ada masalah sebaiknya diselesaikan dengan baik-baik, bukan menghindar seperti ini,” ujarnya menasehati. Aku hanya diam mendengar ucapannya, dan kembali sibuk dengan pikiranku sendiri.
Memikirkan Tora dan masalah kami. Apa aku harus berhenti bertemu dengan Tora seperti yang diperintahkan Kak Hendra kepada Tora, agar sikap Kak Hendra kembali seperti dulu. Tapi setelah itu apa yang akan terjadi padaku. Apa aku bisa mengorbankan perasaanku. Aku sangat mencintai Tora dan keinginan kami untuk terus bersama begitu besar. Namun jika keadaannya seperti ini aku tidak tahu harus bagaimana.
Dandi menambah kecepatan motornya tanpa mengatakan apapun lagi karena aku tidak merespon ucapannya yang sangat benar itu. Aku jadi merasa mengantuk karena Dandi sudah tidak bicara lagi. Sekuat tenaga aku berusaha menahan kantuk agar tidak merepotkan Dandi. Namun tiba-tiba tubuhku terdorong ke depan dan helm yang kugunakan berbenturan dengan helm Dandi, karena motornya direm mendadak. Juga tedengar bunyi benda berbenturan yang membuatku kaget setengah mati. Aku membelalakkan mata kerena motor Dandi menabrak sebuah mobil. Dan lebih kaget lagi setelah melihat pemilik mobil itu keluar dari dalam mobilnya. Dia, Tora.
“Heh! Lu gila apa?! Seenaknya aja menghadang jalan orang!” marah Dandi kepada Tora yang berjalan mendekat ke arah kami. Aku membuka helm dan ikut memandang marah padanya, karena tindakannya sangat nekat dan berbahaya. Dia menghentikan mobilnya melintang di tengah jalan. Beruntung jalan yang kami lalui begitu sepi, kalau saja ramai kendaraan yang lewat mungkin sudah terjadi tabrakan beruntun. Bisa kulihat pintu mobilnya sedikit penyok karena tertabrak motor Dandi tadi. Tapi sepertinya Tora tidak peduli akan hal itu.
“Tora kamu apa-apaan menghadang jalan seperti itu?!” aku turun dari motor dan menatap marah padanya.
“Kita harus bicara,” ujarnya lembut, dan tatapannya itu. Tatapan sendu yang masih sama saat di restoran tadi.
“Nggak!” aku mengalihkan pandangan dari tatapan sendunya.
“Andri, please. Kita harus menyelesaikan semuanya,” pintanya sambil meraih tanganku.
“Bro, kalau dia belum mau bicara. Jangan dipaksa dulu,” Dandi buka suara.
“Tolong tinggalkan kami berdua, saya mau bicara dengan Andri,” ujar Tora dingin kepada Dandi. Aku mengernyitkan kening melihat sikap dinginnya kepada Dandi.
Dandi menatapku yang kubalas dengan tatapan memohon supaya dia tidak meninggalkanku, tapi sia-sia. Setelah menghirup dan menghembuskan napas dengan keras, Dandi mengambil helm yang kupegang kemudian mulai menghidupkan lagi motornya.
“Dan. Kamu harus bertanggung jawab nganterin aku sampai rumah!” kesalku. Karena dia mau meninggalkanku.
“Sorry Dri. Sebaiknya kalian menyelesaikan masalah kalian dengan baik. Lagian kamu nggak sendirian di sini, ada pacarmu yang bisa ngantarin kamu nanti,” ujarnya sambil menunjuk Tora dengan dagunya. “Kalau gitu aku pamit dulu ya,” lanjutnya berpamitan padaku.
Aku menatap kepergian Dandi dengan kesal, bersama Tora di sampingku. Dia menggenggam tanganku mengajak ikut menuju mobilnya. Namun segera kuhentakkan hingga terlepas dari genggaman tangannya karena tidak mau ikut.
“Lepaskan!” teriakku, dan berjalan menjauh darinya.
“Kamu mau kemana?” tanyanya. Dia kembali menggenggam tanganku.
“Bukan urusanmu. Lepaskan tanganku Tora!” aku menghentakkan lagi tanganku, tapi kali ini Tora menggenggamnya dengan erat. Membuatku kesulitan untuk lepas darinya.
“Aku antar pulang.”
“Aku nggak mau. Lepaskan aku! Gara-gara kamu Kak Hendra jadi marah dan benci padaku! Gara-gara kamu hubunganku dengan Kak Hendra jadi tidak baik sekarang. Gara-gara kamu Kak Hendra menjauhiku!” Aku mengeluarkan uneg-uneg sambil terus terus meronta tapi tubuhku malah ditarik kedalam pelukannya. Aku mendorong, bahkan memukul dadanya. Tapi semakin aku meronta, semakin erat pelukannya hingga akhirnya aku menyerah karena lelah.
“Maafkan aku, maafkan aku,” bisiknya ditelingaku. Dan entah sejak kapan aku menangis. Karena aku baru menyadari kalau pipiku sudah basah dengan airmata.
“Dan kamu seenaknya menuduhku selingkuh dengan pria lain!”
“Maafkan aku.. karena telah salah paham dan tidak percaya padamu.” Dia mengusap kepalaku.
“Aku membencimu,” lirihku.
“Aku juga mencintaimu,” balasnya sambil mencium puncak kepalaku.
“Aku membencimu Tora Alano Wiyaksa. Bukan mencintaimu!” kesalku, karena mendengar balasan anehnya itu.
“Aku tahu kamu akan selalu mencintaiku,” balasnya lagi. Aku menginjak kakinya, membuat dia mengaduh lalu terkekeh pelan.
Aku menatap lurus kedepan, memperhatikan jalanan yang sudah mulai lengang dari kendaraan. Hanya ada satu dua kendaraan yang lewat di daerah ini. Salah satunya mobil Tora yang saat ini sudah terparkir dipinggir jalan. Kini dia sedang sibuk menghapus airmataku dengan tisu. Dia mengelus pipiku menggunakan ibu jarinya sambil terus menatapku.
“Aku akan bicara dengan kakakmu,” katanya, masih mengelus pipiku. Aku menatapnya dengan serius, yang dibalasnya dengan senyuman.
**
Aku duduk dengan tenang di tempat dudukku sambil membaca buku catatan dan sesekali menyantap nsai gorengku. Sedangkan Andre sibuk mengunyah nasi goreng yang sama, yang aku buat sebelum berangkat ke sekolah tadi. Aku juga sudah menyisakan satu piring di atas meja makan untuk Kak Hendra, karena tadi dia belum bangun jadi aku meninggalkan catatan kecil di atas meja makan. Berharap dia mau memakan masakanku hari ini. Kulihat Andre begitu lahap menikmati nasi goreng tersebut, tak mempedulikan aku yang dari tadi memperhatikannya makan seperti anak kecil yang begitu senang dibuatkan makanan kesukaannya oleh ibunya.
“Lu nggak sempat sarapan tadi?” dia menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaanku barusan, karena mulutnya penuh.
“Ini enak banget, Yank,” katanya setelah menelan habis nasi yang ada dalam mulutnya. “Lu tambah pintar aja masaknya. Tora pasti bakal betah makan di rumah nih,” godanya sambil mencolek daguku. Aku memukul bahunya pelan dengan buku yang kupegang dan tersipu mendengar celotehannya.
Uhuk..uhuk...
“Makanya kalau makan pelan-pelan!” omelku karena dia makan terlalu bersemangat. Kuberikan air dan mengambil tisu dari dalam tasku lalu menyerahkan padanya. Tak lupa aku mengusap-ngusap punggungnya.
“Eh, Yank. Lu sama gue aja ya, biar Resti yang sama Tora,” ujarnya seenaknya. Aku memukul kepalanya cukup keras hingga membuatnya meringis kesakitan.
“Seenaknya aja lu nukar-nukar pasangan,” kesalku. “Gue bilangin Resti baru tahu rasa lu. Biar dicerai sekalian,” ancamku. Andre langsung kelabakan saat aku pura-purra mau menghubungi Resti dengan ponsel yang sudah ada ditanganku.
“Yaaahh, Yank. Lu kok gitu sih. Gue kan cuma bercanda, Yank,” melasnya sambil menahan tanganku yang memegang ponsel. Aku menahan senyum melihat ekspresinya yang ketakutan itu.
“Makanya kalo ngomong jangan seenaknya aja!” cibirku.
“Ish lu mah gitu, nggak bisa diajak bercanda,” katanya dengan wajah cemberut.
“Biarin, weee.” Aku memeletkan lidah padanya, yang dibalasnya dengan mencubit pipiku gemas.
Hari ini aku memang membawa bekal ke sekolah, tapi aku hanya melebihkan satu kotak bekal untuk Andre bukan untuk Tora. Aku memang sengaja tidak membawakan bekal untuk Tora karena entah mengapa aku masih merasa sedikit kesal padanya. Apa mungkin aku seorang pendendam? Padahal Tora sudah minta maaf dan dia juga mau bicara dengan Kak Hendra mengenai hubungan kami, tapi aku masih sedikit kesal. Ah, kuharap perasaan kesal ini segera hilang dari dalam hatiku. Karena aku ingin hubungan kami seperti dulu lagi.
“Apa pacarmu sudah berganti sekarang?” sebuah suara dari arah pintu masuk mengagetkan kami yang sedang asyik bercanda. Orang tersebut berjalan ke tempat duduk kami dengan tatapan yang dalam. Andre cengengesan sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang sepertinya tiba-tiba gatal. Sementara aku tersenyum salah tingkah di sebelah Andre. Dia mendudukan pantatnya di bangku depan, tepat dihadapanku. Masih menatapku sambil mengambil buku yang aku pegang tadi lalu menutupnya.
“Habiskan dulu makananmu, baru dibaca lagi bukunya,” katanya penuh perhatian. Aku menuruti perkataannya dan meneruskan makanku. Tak kupedulikan Andre yang berdehem di sebelahku.
“Kamu sudah makan?” tanyaku menatapnya. Dia menggelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaanku. Mulutku ternganga mendapat gelengan dari Tora. Aku jadi merasa jahat kepadanya, karena aku membawakan bekal buat sahabatku tapi melupakan kekasih sendiri.
Tiba-tiba saja Andre memasukan sesuatu ke dalam mulutku yang masih menganga. Dia menyuapiku nasi goreng miliknya. Tindakannya itu sukses membuat wajah Tora berubah. Dia menatap Andre dingin dan bisa kulihat rahangnya mengeras. Sementarra Andre, si pelaku hanya membalas tatapan dingin Tora dengan cengiran seperti biasanya. Aku yang melihat perubahan wajah Tora yang menakutkan segera saja menyuapinya dengan nasi goreng milikku dan tersenyum manis padanya.
“Dia hanya bercanda. Kamu lihat sendiri kan pasangannya nggak ada di sini, makanya dia gangguin kita,” kataku mencoba menenangkan Tora. Dia menerima suapanku dan menatapku dengan lembut sambil mengunyah nasi yang baru saja masuk ke mulutnya.
Tora mengambil alih sendok di tanganku, gantian menyuapiku. Akhirnya aku menghabiskan nasi gorengku berdua dengan Tora. Sepertinya aku memang tidak bisa terlalu lama marah kepadanya. Tadi aku masih merasa kesal dengannya dan tidak melebihkan bekal untuknya. Dan sekarang aku malah menikmati suapan demi suapan darinya, ck.
**
Aku menaiki motor Tora, lalu menggunakan helm yang diberikannya. Hari ini dia membawa motor ke sekolah karena mobilnya harus diperbaiki di bengkel akibat tabrakan semalam.
Sampai di rumah tidak ada siapa-siapa. Nasi goreng yang kubuatkan untuk sarapan Kak Hendra masih terletak di tempatnya seperti yang kutinggalkan tadi pagi. Aku berdiri mematung dipinggir meja makan. Menatap murung nasi goreng yang masih utuh tersebut. Ternyata Kak Hendra tidak mau lagi menyentuh masakan yang kubuat.
Tora mengambil kertas yang tergeletak di samping piring tersebut dan membacanya. Kemudian dia menarik kursi dan duduk dengan santai.
“Aku masih lapar. Aku akan mengahabiskannya,” katanya, lalu bersiap menyantap nasi goreng tersebut.
“Akan kupanaskan dulu.” Aku meraih piring di hadapan Tora. Namun dia melarang dan menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Aku terpesona melihat cara makannya yang begitu lahap, hingga tak bersisa sedikitpun.
Setelah Tora selesai dengan makannya, aku segera membereskan meja makan dan mencuci peralatan makan tadi. Lalu mengajak Tora ke kamar. Tora duduk diatas karpet dan menyandarkan punggungnya pada tempat tidur. Aku menghidupkan televisi kemudian duduk disebelahnya. Dia meraih pinggangku dan menarikku agar merapat pada tubuhnya sambil matanya tak lepas dari layar televisi. Tidak ada siaran yang menarik sebenarnya, tapi saat-saat berdua seperti ini rasanya sudah lama sekali tidak kami lakukan. Aku menyandarkan kepala pada pundaknya dan memainkan jemariku di atas pahanya.
“Apa benar kamu akan bicara dengan Kak Hendra?” tanyaku lirih.
“Benar,” jawabnya singkat.
“Apa kamu nggak takut jika Kak Hendra akan marah dan memukulmu?”
“Aku akan menghadapinya apapun yang terjadi. Dan dia tidak akan memukulku,” jawabnya yakin.
“Tapi aku takut.” Aku mendongakan kepala menatap wajahnya.
“Kamu jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja,” ujarnya menenangkan. “Kita pasti akan mendapatkan restu darinya,” lanjutnya, lalu mengecup keningku lama. Aku memejamkan mata menikmati kecupannya.
Setelah melepaskan kecupannya, Tora beralih pada hidung, kemudian bibirku. Dia mengecup bibir atas dan bawahku secara bergantian sementara tangannya mengusap tengkukku perlahan. Aku ikut membalas ciumannya, lalu bergerak naik ke atas pangkuannya sambil mengalungkan tanganku ke lehernya. Ciuman Tora perlahan turun ke dagu, lalu ke leherku. Menghisap dan menggigit leherku dengan lembut. Tangannya sudah masuk ke dalam bajuku meraba punggung dan titik-titik sensitifku. Membuatku menggeliat dengan pelan di atas pangkuannya menikmati setiap sentuhan-sentuhan dari tangan dan bibirnya. Dia beralih lagi ke bibirku dan menggigitnya pelan membuatku membuka mulut memberikan ruang untuk lidahnya agar bebas bergerilya di dalam sana, mengajak lidahku ikut bermain dengan lidahnya.
Tora sudah menindihku dan kami sudah tak berpakaian lagi. Setiap sentuhan, gesekan dan kuluman yang kami lakukan memberikan kenikmatan dan sensasi yang membuatku mengeluarkan desahan-desahan kecil, juga deru napas kami berpacu di dalam kamar ini hingga pada puncaknya kami mengeluarkan cairan kenikmatan dari dalam tubuh kami hampir bersamaan.
Jangan kalian pikir Tora sudah memasukiku. Tidak, dia tidak memasuki. Kami hanya..... ah anggap saja kami hanya saling melepas rindu dan hasrat yang sama seperti pasangan lain tapi kami belum sampai pada tahap lanjut.
*
Aku sudah rapi dengan pakaianku, bersiap untuk berangkat kerja. Sedangkan Tora sudah lebih dulu selesai daripada aku. Dia mengenakan pakaiannya yang ada padaku, pakaian yang pernah kukenakan saat menginap di rumahnya dulu. Seperti biasa dia selalu memandangku berlama-lama dengan tatapan teduhnya itu, yang sudah pasti akan membuatku tersipu bahkan terkadang membuatku salah tingkah. Dia merapikan rambutku lalu merangkulku keluar kamar. Hari ini dia tidak pergi ke hotel, jadi dia hanya mengantarku ke restoran.
Aku turun dari motornya dan mulai melangkah pergi meninggalkannya setelah dia mengatakan akan menjemputku nanti. Berjalan dengan semangat menuju ruang karyawan. Mengingat masalah beberapa waktu lalu beserta kemarahanku pada Tora, aku jadi tersenyum sendiri. Sekarang aku sudah tidak marah lagi padanya. Tapi bukankah memang harus seperti itu. Jika masih mencintai, buat apa berlama-lama marahnya.
Aku masih tersenyum-senyum sendiri sampai tiba-tiba Niken datang mengagetkanku karena tepukan tangannya cukup keras dibahuku.
“Happy banget kayaknya kamu, Dri. Sampai senyum-senyum sendiri gitu. Habis menang lotre ya?” tanyanya gaje.
“Iya, aku menang satu milyar,” jawabku asal.
“Huuuu..dalam mimpimu,” ujarnya sambil mencibir. Aku hanya membalasnya dengan memeletkan lidah padanya. “Oh ya, tadi aku lihat kamu diantar sama cowok cakep. Siapa dia?” tanyanya penasaran sambil senyum-senyum gaje. Aku menatapnya penuh selidik. Menurigakan.
“Rahasia,” ujarku. Dia memanyunkan bibirnya mendengar jawabanku. Aku yang melihat ekspresinya tertawa karena Niken terlihat lucu dengan ekspresi seperti itu.
”Lebih baik kita siap-siap sekarang,” ujarku akhirnya supaya dia nggak nanyain Tora lagi.
Aku dan Niken bersiap-siap keluar dari ruang karyawan, tapi langkahku terhenti karena ucapan Dandi yang baru datang.
”Kayaknya ada yang dapat jatah nih semalam, ampe merah gitu,” godanya sambil mencolek leherku. Aku kaget sekaligus merona mendengar ucapannya. Darimana dia tahu. Seketika aku sadar dan teringat tentang apa yang dilakukan Tora tadi. Buru-buru aku menghampiri cermin yang terletak disudut ruangan. Meninggalkan Niken yang bengong melihatku. Sementara Dandi tertawa. Dan benar saja, ada dua tanda merah di leherku. Segera saja kukancingkan kemeja kerjaku hingga ke atas. Dandi tersenyum jahil di sampingku sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Dan aku semakin merona.
“Dapat jatah apa sih, Dan?” tanya Niken yang masih berdiri ditempatnya.
“Anak kecil nggak boleh tahu,” ujar Dandi menoleh kepada Niken.
“Aku udah gede tau!” teriak Niken, tapi Dandi malah mendorong tubuh kecil Niken keluar dari ruangan ini.
“Kamu masih kecil. Sekarang keluar dulu ya, Niken sayang. Abang mau ganti baju.” Niken memukul bahu Dandi tapi dia tetap menurut keluar dari ruang karyawan.
“Gimana rasanya. Sakit nggak? Atau nikmat?” godanya sambil mengganti pakaiannya.
Aku menggetok kepalanya hinggga dia meringis. “Kami nggak sampai sejauh itu,” kataku, lalu memperhatikan lagi leherku. Memastikan kalau kissmark yang diberikan Tora tidak kelihatan lagi.
“Benarkah? Kenapa? Apa karena hubungan kalian masih baru?” tanyanya penasaran.
“Hubungan kami sudah berjalan hampir satu tahun,” jawabku santai.
“What?! Udah hampir satu tahun dan kalian belum sampai ke tahap itu?” tanyanya terkejut. Aku memutar bola mata malas melihat ekspresi terkejutnya yang berlebihan itu. Kemudian mengangguk memberikan jawaban.
“Wah hari gini ternyata masih ada pasangan yang belum mau ml. Aku salut sama kalian. Kalau aku nggak akan bisa menahannya. Ukeku aj....” tiba-tiba Dandi menghentikan ucapannya. Aku mengernyitkan kening mencerna ucapannya. Uke? Tadi dia menyebut uke kan. Apa mungkin Dandi juga sama sepertiku.
“Apa kamu juga sama sepertiku?” tanyaku to the point. Dia mengangguk salah tingkah. aku ikutan mengangguk-ngangguk mengerti. “Jangan bilang kalau teman yang sering kamu jemput itu adalah ukemu?” tanyaku lagi. Dia nyengir dan mengangguk lagi sambil garuk-garuk kepala. Kami terdiam sejenak kemudian tertawa bersama-sama.
..
Jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam. Pengunjung juga tinggal sedikit. Jadi kami bisa sedikit lebih santai. Pada hari-hari biasa memang tidak terlalu ramai di malam hari, kecuali di malam sabtu dan malam minggu. Aku baru saja selesai membawa piring dan gelas-gelas kotor ke tempat pencucian, lalu pergi menuju toilet karena sudah kebelet.
Selesai melepaskan hasratku, aku bertemu dengan Dandi yang baru masuk ke dalam toilet.
“Dri. Pacarmu kenal ya sama Pak Rio?” dia bertanya sambil berkonsentrasi di depan urinoir. Aku yang sedang mencuci tangan di wastafel membalikan badan menatap punggungnya. Diam-diam aku penasaran dengan ukuran junior Dandi. Mencoba mengintip tapi sayang tidak kelihatan. Dengan postur tubuh yang cukup bagus seperti itu, mungkin dia memiliki junior yang lumayan pan... Cepat-cepat aku mengenyahkan pikiran kotorku yang membayangkan ukuran junior Dandi, beralih menanggapi pertanyaannya barusan.
“Maksudmu?” aku balik bertanya singkat padanya. Kenapa dia bisa berkata seperti itu.
“Sebelum ke toilet ini aku melihat pacarmu bicara dengan Pak Rio di depan. Mereka terlihat akrab,” jawab Dandi yang sekarang sudah berjalan mendekat ke arahku yang masih berdiri di depan wastafel. Dia mencuci tangan lalu melihat kepadaku sejenak sebelum mengeringkan tangannya.
Aku mencerna ucapan Dandi tentang Tora yang mengenal Kak Rio dan mereka begitu akrab.
“Aku tidak tahu,” balasku bingung. Lalu berlalu pergi meninggalkan Dandi yang menatapku heran.
Sesampainya di depan aku memang melihat Tora tengah asyik bicara dengan Kak Rio. Dia tidak melihatku yang memperhatikannya. Tanpa peduli lagi, aku lebih memilih fokus pada pekerjaanku. Menghampiri seseorang yang melambaikan tangannya padaku. Rupanya dia memesan beberapa minuman lagi. Setelah mencatat pesanannya aku bergegas kebelakang tanpa memperhatikan Tora lagi.
..
Pengunjung sudah tidak ada lagi. Aku beserta teman-teman yang lain sudah berganti pakaian bersiap untuk pulang. Teman-temanku berpamitan dengan sopan kepada Kak Rio sebelum meninggalkan restoran. Sementara aku berhenti di hapadan Tora dan Kak Rio dengan sedikit kikuk. Aku mengabaikan tatapan bertanya-tanya dari teman-teman, kemudian duduk di antara mereka berdua setelah disuruh oleh Kak Rio.
Rupanya Kak Rio sudah tahu mengenai hubunganku dengan Tora dari Kak Inka. Dia juga menceritakan mengenai perkenalannya dengan Tora. Setelah beberapa menit berbincang-bincang, kami memutuskan meninggalkan restoran.
Aku menaiki motor Tora dan menerima helm darinya. Kemudian dia menjalankan motornya di belakang mobil Kak Rio yang sudah mendahului kami.
Sepanjang perjalanan aku memeluk pinggang Tora dengan erat merasakan kehangatan dari tubuhnya. Sudah lama kami tidak berkendaraan seperti ini. Duduk berboncengan dengannya dan memeluknya dengan erat. Tiba-tiba aku berharap mobilnya berlama-lama berada di bengkel, agar aku bisa naik motor bersamanya dalam waktu yang lama.
Tora menerima helmnya kemudian merapikan rambutku. Dia juga sudah membuka helmnya, menatapku lama sebelum bertanya dengan nada khawatir.
“Apa kamu tidak apa-apa sendirian di rumah?” matanya tak berhenti menatapku.
“Tidak apa-apa. Aku juga tidak sendirian, ada Kak Hendra juga di rumah. Jadi kamu jangan khawatir,” ujarku. Dia menghembuskan napas dengan berat lalu mengusap-ngusap pipiku dengan lembut.
“Baiklah, kalau begitu masuklah. Aku akan pergi setelah melihatmu masuk ke dalam rumah.” aku mengangguk patuh dan mulai meninggalkan Tora.
Baru satu langkah berjalan, aku melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari kami. Seseorang keluar dari dalam mobil tersebut dan tubuhku menegang seketika. Begitu mobil tadi pergi. Orang yang baru saja turun dari mobil itu menghampiri kami dengan murka. Dengan khawatir aku menyuruh Tora cepat-cepat pergi dari tempat ini, tapi dia malah menyuruhku tenang dan turun dari motornya.
Bugh..
Sebuah pukulan mendarat tepat di wajah Tora. Tapi Tora tidak membalas sedikitpun.
“Sudah gue bilang jangan temui dia lagi. Brengsek!”
“Kak Andri mohon jangan seperti ini,” mohonku pada Kak Hendra yang sudah kupegang lengannya.
“Saya ingin....”
“Pergi lu dari sini!” potong Kak Hendra. Dengan cepat aku menahan tubuhnya yang berniat memukul Tora lagi.
“Tora. Sebaiknya kamu pergi sekarang.” Aku memandang Tora dengan tatapan memohon agar segera pergi. Dia menatapku beberapa saat lalu memasang kembali helmnya dan menghidupkan motornya.
Kak Hendra mendorong tubuhku dan membuka pintu pagar dengan kasar. Aku memandang punggungnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Apa Kak Hendra akan membenciku selamanya?
*****
Maap ya jika ada kesalahan atau typo...edit ulangnya nanti aja deh hehehe...
jangan lupa kasih komen, masukan atau saran yang positif yaw
@JosephanMartin sehun udah gak ada lagi :v
@Apell jangan sampai babak belur lah,,,sampai nyaman aja perkaosnya xixixi
@yogan28 itu lanjutannya...gak nanggung lagi kan? hehehe..
kasih komen dan masukannya yaw semua ^^
Hehehe asikkk. Syankk @akina_kenji , aku itu maunya yg BDSM, gk suka yg romantis...
Btw,.good luck.
*berharap jadi selingkuhannya @akina_kenji *
Btw Andri, punya Dandi panjang n gede, percaya deh sama aku.
Lanjut kk @akina_kenji. Selamat lebaran yes. Bkin ap aj?
Hayoolooh andri kak hendranya marah slow aja ndri masih ada kak inka
*mari kita selingkuh :v
@Aurora_69 tora maksudnya baik kok hee..
kamu udah ngecek dan ngukur punyanya si dandi emangnya lol..
sama2, selamat lebaran juga...bikin sop ama dendeng balado aja...
@QudhelMars yowes bagus atuh kalo gak ngambek...
betul juga, masih ada kak inka...tapi andri pengen manja manjaan lagi sama kak hendra makanya dia sedih liat kak hendra marah lol..
@3ll0 bisa jadi juga, karena adik kesayangannya udah jadi milik orang lain...
@Rama212 udah, tapi belum sampe main tusuk2an xixixi..
oke nanti aku mention lagi