It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
semalam ngetik dikit udah ngantuk berat, akhirnya tidur deh hehe...hari ini mau dibikin tambahannya..
Makasih dah mentionnya, di tunggu updeta selanjutnya
Lanjut kak @akina_kenji jngn lama2. Nitip tonjok buat si Tora.
Seperti biasa, jika ada salah tulis atau typo tolong kasih tau ya, biar bisa diperbaiki..jangan lupa komentarnya, dan semoga suka pat ini..
Selamat membaca
*****
@denfauzan @3ll0 @Yirly @Sho_Lee @Aurora_69 @arieat @o_komo @okki
@monic @Adi_Suseno10 @soratanz @asik_asikJos @xmoaningmex @lulu_75 @RifRafReis @LostFaro @amostalee @andi_andee @hananta @Pratama_Robi_Putra @Sicilienne @LeoAprinata @liezfujoshi @josiii @freeefujoushi @RenataF @ricky_zega @ocep21mei1996_ @naraputra28 @AvoCadoBoy @chandisch @RinoDimaPutra @Derbi @JosephanMartin @Viumarvines @akumisteri1 @Obipopobo @babehnero @vane @kunnnee @Rars_Di @abyyriza @adammada @Soshified @SyahbanNa @wisnuvernan2 @yogan28 @kincirmainan @Reyzz9 @Algibran26 @Firman9988_makassar @Rama212 @bayusatpratama @jose34 @ryanadsyah
*****
Part sebelumnya...
“Jangan pernah lu temui dia lagi!”
“Kakak?”
Kak Hendra menarik paksa tanganku hingga ke mobil, setelah sebelumnya berpamitan dengan Kak Rio.
Dia memerintahkanku untuk cepat masuk dan menutup pintu mobil dengan kasar. Sementara aku hanya diam tidak melawan, dan mencoba menenangkan diri agar airmataku tidak jatuh lagi.
*****
Part 17
Aku mengetuk pintu kamar Kak Hendra namun tak ada jawaban. Mencoba membuka pintu tersebut dan ternyata tidak dikunci. Aku masuk dengan membawakan sarapan untuknya. Kulihat dia masih mengenakan pakaian semalam. Menaruh nampan yang kubawa di atas meja belajarnya, kemudian berjalan menghampiri tempat tidurnya. Ada sedikit lebam di wajahnya bekas perkelahian semalam.
Aku teringat ketika kami sampai di rumah. Mama dan Papa sudah tidur, hanya ada Kak Inka yang menyambut kepulangan kami. Dia begitu khaawtir saat melihat wajah Kak Hendra yang babak belur, tapi Kak Hendra berlalu begitu saja saat Kak Inka bertanya padanya. Kak Inka menahan dan memintaku untuk menceritakan semua kejadian yang mengakibatkan Kak Hendra sampai luka-luka. Dengan sedih aku menceritakan semuanya. Aku merasa Kak Hendra mulai membenciku. Kak Inka menenangkanku dan mengatakan akan bicara dengan Kak Hendra. Aku harap Kak Inka bisa membuat Kak Hendra mau menerima keadaanku.
Aku duduk dipinggir tempat tidur Kak Hendra. Menatapnya sedih, lalu dengan perlahan dan hati-hati mengelus wajah lebamnya. Keningnya mengernyit merasa tidurnya ternganggu. Dia membuka mata dan melihat kehadiranku di kamarnya. Dengan kasar Kak Hendra menepis tanganku.
“Apa yang kamu lakukan di sini. Keluar!”
“Kakak, aku..aku minta maaf soal semalam,” lirihku.
“Tidak perlu. Sekarang keluar dari kamar ini!” bentaknya. Aku tertegun mendengar suaranya yang meninggi.
“Aku bawa sarapan untuk Kakak,” ujarku berusaha bersikap seperti biasa walaupun hatiku sakit atas perlakuan Kak Hendra barusan.
Aku bangkit dari duduk dan mengambil mangkok yang berisi bubur jagung kesukaan Kak Hendra. Mengambil sesendok lalu mengarahkannya ke mulut Kak Hendra. Aku tahu dia pasti kesulitan mengunyah mekanan yang agak keras, makanya aku meminta Kak Inka membuatkan bubur jagung untuk sarapannya, karena Kak Hendra paling suka sama bubur jagung buatan Kak Inka. Tapi aku harus menahan kecewa karena baru saja sendok yang kupegang mendekat ke arahnya, dengan kasar dia menepis tanganku lagi membuat sendok yang kupegang terlepas dari peganganku.
“Keluar!” perintahnya dengan dingin.
“Andri minta maaf Kak,” lirihku lagi. Aku merasa mataku sudah mulai berkaca-kaca, rasanya airmataku ingin keluar sekarang juga, namun berusaha kutahan agar tidak jatuh. “Maafin Andri karena...”
“KELUAR SEKARANG JUGA!” teriaknya. Seketika airmata yang sedari tadi kutahan meluncur dengan mulus melewati pipiku.
Dengan tangan gemetar aku mencoba meraih tangannya, namum tetap mendapatkan tepisan lagi darinya.
“Kak...”
“Gue nggak punya Adik seorang homo. Sekarang keluar dari kamar ini!” suaranya masih meninggi.
Aku menatap tak percaya pada Kak Hendra. Dadaku begitu sesak mendengar perkataannya barusan. Aku tak menyangka kata-kata yang begitu menyakitkan itu keluar dari mulut kakakku sendirri. Kakak yang selama ini menyayangiku berubah menjadi Kakak yang mulai membenciku.
“Kak....”
Tak ada sahutan dari Kak Hendra. Dia memalingkan wajahnya enggan menatapku. Dengan perlahan aku bangkit dari dudukku, melangkahkan kaki keluar dari kamarnya.
“Menjijikkan!”
Tubuhku kaku seketika saat hendak membuka pintu kamarnya. Aku menggenggam knop pintu kamarnya dengan erat, menahan rasa sakit yang baru saja kudapatkan lagi dari Kakakku itu. Airmataku semakin deras meluncur dan kakiku terasa lemas saat melangkah keluar.
Aku menutup pintu kamar Kak Hendra dengan tangan gemetar, masih syok mendengar ucapannya tadi. Tubuhku jatuh terduduk lemas di depan pintu kamar Kak Hendra. Dengan terisak aku memeluk lututku dengan erat. ‘Menjijikan’ sebuah kata yang sangat menusuk hatiku.
“Aarrgghh!!”
Suara teriakan dan bunyi benda pecah dari dalam kamar Kak Hendra membuatku semakin mengeratkan pelukanku pada lututku. Aku menutup telinga saat masih saja terdengar bunyi benda pecah dari dalam sana.
“Andri, kamu kenapa Dek?!” aku terus terisak tanpa menjawab pertanyaan Kak Inka yang baru saja datang menghampiriku. Setelahnya aku mendengar kak Inka memanggil-manggil Kak Hendra sambil mengetuk pintu di belakangku.
“Hendra! Buka pintunya. Hendra!” Kak Inka terus memanggil Kak Hendra tapi tak ada tanggapan darinya.
Setelah berkali-kali memanggil dan mengetuk pintu, Kak Inka menyerah lalu memelukku dari sambing, menenangkan serta menghapus airmataku, namun airmataku terus saja keluar.
Kak Inka menuntunku duduk dipinggir tempat tidurku. Dia menghapus lagi airmataku dan membelai rambutku dengan lembut. Aku berusaha berhenti menangis, tapi tidak bisa.
“Kak Hendra benci sama Andri, Kak,” ujarku disela-sela isak tangisku.
“Kak Hendra tidak membencimu, Dek,” hibur Kak Inka sambil terus membelai rambutku.
“Tapi Kak Hendra bilang, Andri menjijikan Kak! Kak Hendra nggak mau punya Adik seorang homo!” sakit. Itu yang kurasakan saat memberitahukan kepada Kak Inka apa yang diucapkan Kak Hendra tadi.
“Sssttt...Kak Hendra berkata seperti itu karena lagi emosi. Dia masih kaget mengetahui fakta tentang Adik kesayangannya dan belum bisa menerimanya. Beri dia waktu untuk bisa menerima perbedaanmu, ya?” kak Inka berbicara dengan lembut padaku. Aku memeluknya yang duduk disampingku. Membenamkan kepalaku dibahunya.
Ponselku berbunyi menandakan ada panggilan masuk, setelah kulihat nama Tora tertera di sana. Aku menolak panggilannya kemudian meletakkan ponsel tersebut dengan asal di atas tempat tidur. Baru saja kuletakkan, ponsel itu berbunyi lagi. Kak Inka menyuruhku untuk mengangkatnya, tapi aku menolak lagi panggilan kedua dari Tora. Aku merasa sedikit kecewa atas tindakannya memukul Kak Hendra, padahal aku sudah pernah memberitahunya kalau aku pulang kerja selalu dijemput oleh Kak Hendra. Tapi dia malah mengira aku dijemput cowok lain. Ternyata cemburu bisa melumpuhkan logika.
Kepalaku terasa sakit saat membuka mata. Kulirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidur, sudah menunjukan pukul 3 sore. Rupanya aku ketiduran setelah curhat dengan Kak Inka tadi. Aku bangkit dan berjalan keluar kamar. Tiba di luar kusempatkan menghampiri kamar Kak Hendra yang ada di sebelah kamarku. Kuberanikan diri membuka pintunya, ternyata tidak dikunci. Dengan perlahan dan hati-hati aku mengintip ke dalam, tidak ada Kak Hendra. Pintu kamar mandinya juga terbuka. Sepertinya Kak Hendra pergi keluar.
Akhirnya kuputuskan untuk kebawah mencari keberadaan Kak Inka.
“Kak Hendra kemana, Kak?” tanyaku yang sudah mendapati Kak Inka sedang duduk di depan televisi.
Hari ini hari libur, tapi hanya ada kami bertiga di rumah karena Mama dan Papa pagi tadi sudah berangkat sebelum aku bangun. Mama menemani Papa beberapa hari ke Lombok, urusan bisnis. Jadi mereka tidak mengetahui mengenai masalah yang sedang terjadi antara aku dan Kak Hendra. Terutama mengenai rahasiaku. Aku berharap kak Hendra tidak memberitahukannya kepada mereka. Aku juga meminta libur untuk hari ini ke Kak Inka. Dan dia sudah menghubungi Kak Rio. Untungnya Kak Rio mau memberiku izin, dia juga sempat menanyakan keadaanku pada Kak Inka dan dia juga sudah memberitahukan kepada Kak Inka mengenai kejadian semalam.
“Ke rumah temannya,” jawab Kak Inka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. “Kamu belum makan siang, kan? Kakak buatin makanan kesukaanmu. Makan dulu gih,” suruhnya.
Aku berjalan menuju meja makan yang tak jauh dari ruang keluarga. Ada ikan gurame bakar dan furai ebi kesukaanku. Tapi saat ini aku tidak begitu bernafsu melihat mereka. Dengan lesu aku duduk disalah satu kursi, mengisi piring yang sudah ada dihadapanku dengan sedikit nasi dan lauk pauk. Bagaimanapun juga aku harus makan, Kak Inka juga sudah capek-capek memasak makanan kesukaanku.
*
Aku memilih menghabiskan waktu di dalam kamar. Sementara Kak Inka di bawah bersama Kak Rio. Kak Hendra sampai saat ini belum pulang. Malam ini kuisi dengan menonton beberapa film yang ada di laptopku. Film pemberian Radit. Tapi kali ini bukan film porn, melainkan film komedi romantis. Berharap film-film itu bisa membuatku mengalihkan sejenak kesedihanku.
Bosan dengan menonton film, aku memutuskan membuka internet. Membaca artikel-artikel tentang kehidupan kaum homoseksual di luar negeri, beserta kehidupan tokoh-tokoh ternama yang menikah sesama jenis. Hingga aku menemukan sebuah artikel yang memuat tentang pasangan gay yang beberapa waktu lalu sempat heboh di media sosial. Selain dihujat karena sesama jenis, mereka juga dihujat karena perbedaan wajah yang sangat jauh. Ya, yang satu tampan, dan pasangannya kurang tampan. Tapi sepertinya cinta mereka begitu kuat, bisa melalui semuanya hingga sekarang mereka menikah.
Aku membayangkan hubunganku dengan Tora. Kami tinggal di Indonesia, negeri yang mana kebanyakan penduduknya tidak menerima kaum seperti kami. Bahkan sekarang saja aku sudah mendapatkan penolakan dari salah satu keluargaku sendiri. Aku tidak tahu apakah kami bisa bertahan dan terus bersama seperti impian kami atau harus berakhir seperti kebanyakan pasangan gay lainnya yang ada di Indonesia ini.
Aku membuka album foto yang ada di dalam laptop. Foto-fotoku bersama dengan Tora. Tidak banyak tapi foto-foto tersebut mewakili kebahagiaan kami. Aku berhenti pada foto favoritku, foto dimana Tora mencium pipiku dengan tiba-tiba saat kami melakukan selfie dulu. Aku menyentuh pipi putih Tora dengan tanganku. Merasakan kalau yang kusentuh adalah dirinya yang seolah berada di hadapanku. Sebuah senyuman terukir dibibirku. Ingin rasanya aku kembali ke masa-masa itu, masa dimana tidak ada masalah diantara kami. Bukan seperti sekarang ini.
Jam menunjukan pukul 11 malam ketika aku mendengar suara pintu ditutup dengan kasar yang berasal dari kamar sebelah. Dan suara Kak Inka yang memanggil Kak Hendra.
“Hendra, Kakak mau bicara!”
Aku membaringkan tubuh dan menarik selimut hingga ke dada dengan pandangan masih tertuju pada laptop yang menyala di atas tempat tidur, terus memperhatikan fotoku bersama Tora guna menenangkan hatiku dan mencoba untuk tidur.
Kudengar suara ketukan pada pintu kamarku, juga Kak Inka yang memanggil-manggil namaku. Aku memilih diam tak menjawab, karena aku yakin Kak Inka akan bicara dengan Kak Hendra jadi lebih baik aku tidak menyahut, biar Kak Inka mengira kalau aku sudah tidur. Dengan begitu aku bisa ikut mendengarkan pembicaraan mereka nanti. Tentu dengan harapan aku mendengar kabar baik nantinya.
Kak Inka membuka pintu kamarku dan bisa kurasakan langkah kakinya mendekat ke arahku. Aku masih bergeming, pura-pura tidur. Tangan halusnya menyentuh pipiku. Kemudian terdengar suara ‘klik’ beberapa kali. Mungkin Kak Inka melihat-lihat fotoku.
“Kamu terlihat bahagia saat bersamanya,” suaranya yang lembut begitu tulus terdengar ketika dia berkata seperti itu.
‘Andri memang bahagia bersamanya, Kak,’ kataku dalam hati.
“Apa dia pernah memukulmu, seperti yang dilakukannya pada Kak Hendra dan cowok-cowok yang dicemburuinya?” Kak Inka masih bicara sendiri sambil merapikan rambutku.
‘Tidak. Tora tidak pernah memukul Andri, Kak.’ Aku masih menjawab dalam hati.
“Semoga mimpi indah ya, Dek.” Kak Inka mengelus pipiku. “Kakak akan bicara dengan Kak Hendra.” Lanjutnya diringi helaan napas ringan, lalu kurasakan dia beranjak dari kasurku.
Aku masih bergeming pada posisiku sampai kudengar suara Kak Inka memanggil Kak Hendra beberapa kali. Tidak lama suaranya berhenti. Aku beranjak dari tempat tidur kemudian mengintip dari pintu kamar, memastikan apakah Kak Inka masih di luar kamar Kak Hendra atau sudah masuk. Setelah memastikan Kak Inka tidak ada, aku berjalan dengan perlahan mendekati kamar Kak Hendra. Mencoba mencuri dengar apa yang akan dibicarakan Kak Inka kepada Kak Hendra.
“Hendra tidak bisa terima, Kak! Adik yang selama ini Hendra sayangi ternyata seorang homo. Padahal kita semua tidak pernah memperlakukannya dengan buruk. Kita semua menyayanginya. Tapi apa....?!” aku menggenggam jemariku dengan erat ketika mendengar kata-kata Kak Hendra. Menggigit bibir bawahku menahan sesak didada.
“Dan Kakak tahu sendiri kan, bagaimana pergaulan kaum homo itu? Seks bebas, gonta-ganti pasangan. Yang mereka inginkan hanya seks untuk memuaskan nafsu mereka, dan bermain aman dengan sesama jenisnya karena pria tidak bisa hamil! Menjijikan. Dan Hendra tidak menyangka kalau Adik kita salah satu diantara mereka. Dan lagi, dia menjalin hubungan dengan seorang psikopat!” suara Kak Hendra begitu jelas kudengar. Seketika airmataku jatuh lagi.
Aku tahu nama LGBT begitu buruk dimata masyarakat, karena memang tidak bisa dipungkiri kalau begitu banyak kaum LGBT melakukan seks bebas, yang sering disebut oleh kebanyakan orang ‘one night stand’. Tapi tidak semuanya seperti itu. Karena masih banyak yang menjalin hubungan dengan satu orang saja dan tidak melakukan seks bebas, bahkan banyak yang melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Dan aku juga tidak pernah melakukan seks bebas, Tora pun begitu. Bahkan dia sangat menjaga janjinya kepada Kak Inka. Dan dia bukan psikopat seperti yang dituduhkan Kak Hendra.
Aku tahu cara Tora salah, tapi aku bisa mengerti kenapa dia main pukul cowok lain setiap kali cemburu. Dia hanya takut kehilaganku, sama halnya denganku yang juga takut kehilangannya. Cinta kami tulus, dan kami juga memiliki impian seperti pasangan-pasangan normal yang ingin terus bersama dan membentuk sebuah keluarga. Walaupun kemungkinan itu sangat kecil di negara ini.
“Hendra. Tidak semua penyebab seseorang menjadi gay itu karena perlakuan buruk dari keluarga atau lingkungan sekitarrnya. Tapi ada yang dipengaruhi karena faktor biologis, salah satunya adik kita. Juga, tidak semuanya suka melakukan seks bebas seperti yang kamu ucapkan barusan. Dan menurut Kakak, Tora bukan psikopat seperti yang kamu bilang. Dia sangat menyayangi Andri. Kakak bisa lihat, Andri begitu bahagia bersamanya. Dia seperti itu karena cemburu. Dia mengira kalau kamu ada hubungan kasih dengan Andri, makanya dia memukulmu.”
“Jadi selama ini Kakak sudah tahu mengenai hubungan mereka?! Dan Kakak merestuinya?! Kak, mereka sama-sama pria. Adik kita HOMO, Kak!” Kak Hendra menaikan nada bicaranya.
“Dan Adik kita membutuhkan kita, kakak-kakaknya. Kalau teman-temannya bisa menerimanya, kenapa kita nggak bisa?” suara Kak Inka begitu lembut terdengar. Hanya dia yang mau menerimaku di keluarga ini. Aku yakin Mama dan Papa pasti akan bersikap sama seperti Kak Hendra jika mereka tahu nanti. Ah, airmataku terus saja keluar dari tempatnya. “Kakak tahu, pasti sulit bagimu menerima keadaan Adik kita dan butuh waktu untuk itu. Tapi Kakak yakin kamu pasti bisa menerimanya. Kamu masih sayang sama Andri kan?”
Aku menunggu beberapa menit, ingin mendengar Kak Hendra mengatakan kalau dia masih sayang padaku. Namun tidak ada jawaban yang kudengar darinya. Ternyata kabar baik yang kuharapkan itu tidak ada. Justru kata-kata menyakitkan lagi yang kudengar.
Dengan tertatih aku berjalan menuju kamar. Menghapus airmataku dan mencoba menerima kenyataan bahwa kakakku membenciku.
Kubuka ponselku yang lampunya baru saja mati, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab dari Tora. Tidak mau mendapat panggilan lagi darinya, kuputuskan untuk mematikan ponselku. Belum sempat aku mematikannya, muncul lagi sebuah panggilan masuk darinya. Akhirnya aku memutuskan menerima panggilannya.
“Halo. Andri, kamu baik-baik saja, kan?” nadanya terdengar khawatir di seberang sana. Aku tidak menjawab dan mulai menghapus airmataku yang menetes lagi. Menggigit bibir bawahku menahan suara isakan, agar tak terdengar olehnya.
“Tadi aku ke tempat kerjamu, tapi temanmu bilang, kamu tidak masuk hari ini. Itu membuatku khawatir. Kamu nggak apa-apa kan?” aku masih diam, hanya mendengarkannya bicara.
“Sayang. Aku minta maaf atas kejadian kemarin. Maafkan aku... Andri, aku mohon bicaralah. Aku ingin tahu keadaanmu.” Tubuhku bergetar menahan isakanku yang semakin menjadi setelah mendengar perkataan Tora.
“Halo. Andri! Kamu menangis? Tolong jawab aku. Andri, aku mohon....”
Akhirnya aku memutuskan panggilan tersebut secara sepihak karena Tora mendengar isakanku yang sudah susah payah kutahan. Aku sudah tak kuat lagi.
Sebenarnya aku ingin berbagi dengannya agar rasa sakitku berkuang. Tapi mengingat kejadian kemarin dan kebencian Kak Hendra padaku, membuatku mnegurungkan niat untuk becerita kepada Tora. Sekarang aku hanya bisa berharap hari esok adalah hari yang baik, walaupun kutahu hal itu tak mungkin.
**
Hari ini aku terlambat dari biasanya. Bukan karena kesiangan, tapi karena aku tidak ingin bertemu dengan Tora. Aku masuk ke dalam kelas berbarengan dengan wali kelasku. Tersenyum kepada Andre yang menatapku sambil mengeluarkan buku catatannya. Bersikap seperti biasa, dan melakukan hal yang sama dengannya. Bisa kurasakan Andre terus saja menatapku. Tapi aku memilih pura-pura tidak tahu.
Aku memperhatikan guru dengan serius, mengesampingkan sejenak masalah yang sedang kuhadapi. Tak kupedulikan Andre yang sesekali mencoba menggodaku. Aku hanya perlu memukul kepalanya dengan pena agar dia diam. Tapi setelah wali kelas kami keluar kelas, dia malah memulai lagi aksinya dengan mencubit pipiku.
“Yank. Lu baik-baik aja kan?” tanyanya memperhatikan wajahku dengan intens.
“Gue baik-baik aja kok. Kenapa emangnya?”
“Gue merasa, lu nggak baik-baik aja. Gue khawatir ama lu,” ujarnya yang masih menatapku.
“Yang harus lu khawatirin itu, Resti bukan gue,” kataku tidak berani menatapnya. Lalu membuka tas dan pura-pura sibuk mencari buku pelajaran selanjutnya.
“Dri. Kita berteman sudah lama. Dan gue tahu lu lagi ada masalah. Lu lupa dengan apa yang kita ikrarkan dulu? Jika ada di antara kita yang sedang mendapat masalah, kita harus memberitahu yang lain agar bisa mencari solusinya bersama-sama. Lu lupa?!” Andre menahan tanganku yang masih bergerak-gerak di dalam tas. Aku menarik napas perlahan kemudian menatapnya.
Aku masih ingat ketika Reno mengalami masalah. Orangtuanya hampir bercerai waktu itu dan dia menyembunyikan kesedihannya dari kami semua. Andre dan Doni adalah orang yang sangat peka, mereka mengetahui kesedihan Reno. Mereka memaksa Reno untuk bercerita. Sejak kejadian itu kami mengikrarkan sebuah janji. Jika ada masalah kita tidak boleh menyimpannya sendirian.
“Gue nggak lupa kok. Lu jangan khawatir, gue baik-baik aja,” kataku sambil tersenyum padanya. “Nanti kita lanjut lagi, gurunya sudah datang tuh,” tunjuku pada guru yang baru saja duduk di kursinya. Memperbaiki posisi dudukku dan kembali serius memperhatikan guru yang ada di depan.
Lima menit sebelum bel istirahat berbunyi, aku meminta izin ke toilet setelah sebelumnya mengatakan kepada Andre kalau aku langsung menunggunya di kantin. Tapi setelah keluar dari kelas, aku melangkahkan kakiku ke ruang UKS. Aku tahu Tora akan mencari diriku dan bertanya kepada Andre. Jadi aku memutuskan untuk menghindar dan bersembunyi di ruang UKS.
Aku memilih tempat tidur paling ujung, lalu menutup tirai pembatas dan mematikan ponselku. Cara yang pengecut memang. Tapi aku hanya ingin sendriri dulu untuk saat ini.
Saat bel pulang berbunyipun aku tergesa-gesa membantu Andre memasukan alat ttulisnya. Sementara punyaku sudah dari tadi kumasukan, sebelum bel berbunyi. Aku menarik tangannya keluar kelas dan berjalan dengan cepat. Untung saja Andre tidak menolak saat aku menarik-menarik tangannya. Sampai di tempat parkir kami segera naik ke atas motornya. Selagi Andre menghidupkan motornya, aku menghubungi Resti kalau aku pulang bareng Andre hari ini. Tentu tak lupa aku minta maaf padanya karena sudah membuatnya pulang sendirian. Aku juga mengatakan, akan memberikan penjelasan nanti.
Aku bersyukur memiliki sahabat seperti mereka. Resti tidak marah sama sekali dan bisa mengerti dengan tindakan yang kulakukan. Karena aku lagi ada masalah dan sedang menghindar dari Tora.
Andre tidak langsung membawaku pulang, tapi malah membawaku ke rumahnya. Dia berjanji akan mengantarkanku ke tempat kerja nanti, karena jarak restoran dengan rumahnya memang cukup dekat, jadi aku menurut saja dengan apa yang dikatakannya. Masalah pakaian ganti, aku bisa meminjam pakaiannya. Sekarang di sinilah kami. Didalam kamarnya yang bernuansa putih. Dia melemparkan tasnya ke lantai dan menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Aku memilih duduk bersila di sebelahnya dengan punggung menyandar pada sandaran tempat tidur.
“Nah, sekarang ceritakan ke gue apa masalah lu?” tanyanya langsung. Aku menoleh sekilas padanya, kemudian menatap langit-langit kamarnya seolah-olah ada sesuatu yang menarik di atas sana.
“Kak Hendra sudah tahu kalau gue homo,” jawabku pelan.
“Dan ini ada hubungannya dengan Tora?” dari sudut mataku, aku bisa melihat dia merubah posisi berbaringnya menjadi miring menghadap ke arahku. Aku mengangguk lemah memberi jawaban.
“Tadi Tora nanyain lu. Dan gue hanya bisa jawab nggak tahu, karena tadi lu bilang nungguin di kantin tapi lu malah nggak ada.” Aku hanya diam menanggapi ucapan Andre. “Dia terlihat nggak tenang, tau nggak? Baru kali ini gue lihat dia kayak gitu, walaupun dia berusaha menyembunyikannya tapi gue bisa lihat wajahnya begitu khawatir. Setelah gue jawab nggak tahu, dia langsung pergi ninggalin kita. Gue yakin dia pergi nyariin lu, tapi dilihat dari sikap lu yang kayak gini. Pasti dia nggak berhasil nemuin keberadaan lu,” lanjutnya memberitahukan sikap Tora yang khawatir terhadapku.
“Kak Hendra benci sama gue. Dia jijik melihat gue.” Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Berusaha menahan airmata yang sepertinya tidak bosan-bosan ingin keluar.
Andre bangkit dari tidurannya dan meraih pundakku, lalu menyandarkan kepalaku ke bahunya. “Keluarin aja. Nggak usah di tahan. Gue di sini untuk lu.” Seketika airmataku tumpah setelah Andre menyelesaikan ucapannya.
“Malam itu Kak Hendra jemput gue. Lu tahu kan, bagaimana manjanya gue kalau sudah bersama kakak-kakak gue? Tora yang waktu itu datang, mungkin mau menjemput gue juga. Dia marah dan langsung memukul Kak Hendra yang saat itu merangkul gue. Mereka berkelahi dan saat itu juga Tora memberitahu Kak Hendra kalau gue adalah pacarnya. Dan Kak Hendra...Kak Hendra....”
“Ssstt...nggak usah di teruskan. Gue udah ngerti masalahnya.” Andre memotong ucapanku yang terputus-putus saat aku mau meneruskan ceritaku. “Semuanya akan baik-baik saja. kak Hendra nggak akan benci selamanya sama lu. Dia hanya belum bisa menerima kenyataan kalau adiknya seorang homo. Sama kayak orang-orang di sekolah dulu saat pertama kali mengetahui orientasi seks lu. Mereka memandang aneh, tapi seiring berjalannya waktu mereka bisa menerima dan bersikap seperti biasa lagi kan, akhirnya?” aku mengangguk dalam dekapan Andre.
Memang tidak sedikit orang yang memandangku aneh saat pertama kali satu sekolah mengetahui perbedaanku. Beruntungnya teman-teman sekelasku tidak mempermasalahkan perbedaanku. Dan berkat mereka aku bisa mneghadapi orang-orang yang tidak suka denganku. Tapi itu tidak lama, karena pada akhirnya mereka bersikap baik lagi padaku dan tatapan-tatapan aneh itu sudah tidak ada lagi, bahkan hingga sekarang. Aku hanya bisa bersyukur karena sudah di terima di sekolah hingga saat ini.
“Tapi gue takut Kak Hendra membenci gue selamanya, Dre,” lirihku, yang berusaha berhenti menangis.
“Jangan ngomong kayak gitu. Percaya sama gue, dia akan menerima lu. Dan besok lu nggak boleh menghindar lagi dari Tora. Lu tahu kan, dia seperti itu karena cemburu dan sangat mencintai lu? Jadi kalian harus menyelesaikan massalah kalian.” Aku hanya mengangguk lagi sebagai balasan.
Setelah menceritakan semuanya kepada Andre, aku merasa sedikit lega. Saat ini aku baru saja selesai mandi karena sebentar lagi aku harus berangkat kerja. Ketika membuka pintu kamar mandi, aku memperhatikan Andre yang sedang berbicara serius dengan seseorang lewat telpon.
“Dia baik-baik saja. jangan khawatir. Love you.” Dia mematikan ponsel miliknya kemudian beralih padaku. Mendengar dua kata diakhir ucapannya, aku bisa menebak siapa orang yang menelponnya barusan. Aku sangat mengagumi mereka berdua.
“Lu udah selesai mandi?”
“Udah.”
“Kalau gitu gue mandi dulu. Setelah itu kita berangkat.” Aku tersenyum menanggapi perkataannya. Berjalan menuju lemari pakaian dan mulai memilih baju yang pas untukku.
**
Di tempat kerja aku bersikap seperti biasa, tidak ingin mengecewakan Kak Rio. Sebelum mengganti pakaian aku sempat berbicara dengannya sebentar. Dia menanyakan kabarku dan Kak Hendra. Aku menceritakan reaksi Kak Hendra padanya setelah kejadian itu. Dia menyemangatiku agar jangan menyerah dalam meluluhkan hati Kak Hendra. Aku juga bertanya padanya, apakah dia tidak merasa jijik dan malu, karena adik tunangannya seorang homo. Aku yakin Kak Rio sudah lama mengetahui mengenai diriku dari Kak Inka, karena dia bersikap biasa saja pada saat kejadian malam itu. Tidak menunjukan ekspresi kaget seperti Kak Hendra. Kak Rio tersenyum dan menjawab pertanyaanku dengan santai, kalau dia tidak masalah dengan hal itu. Aku senang sekaligus sedih setelah mendengar jawaban Kak Rio. Senang, karena aku mendapatkan calon Kakak ipar yang baik, yang tidak mempermasalahkan statusku. Sedih, karena orang lain bisa menerimaku, sementara keluargaku tidak.
*********
Maaf jika part ini tidak panjang..kerena pas nyampe bagian akhir, aku mendadak buntu...jadinya sampe di situ aja part ini berakhirnya..
Nggk usah dekat sma Tora dulu, gue masih kesal sma dia.
Lanjut kk @akina_kenji
Tora rese mah... Main jotos sembarangan...