It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku berjalan menghampiri meja yang terletak di tengah ruangan. Di sana duduk dua orang pria yang begitu asyik mengobrol. Salah seorang dari pria tersebut posisinya tepat menghadap ke arahku yang sedang berjalan menghampiri mereka. Sesekali dia tersenyum kepada orang yang duduk di depannya yang posisinya membelakangiku. Senyuman yang cukup menarik menurutku.
Aku terus berjalan mendekati meja mereka, namun entah mengapa jantungku deg deg an, berdetak sedikit lebih cepat. Aku berdiri di samping pria yang membelakangiku, meletakkan pesanan mereka dengan hati-hati. Pria di depanku tersenyum sambil mengucapkan terimakasih. Tapi aku merasa ada yang aneh. Aku merasa temannya yang disebelahku berdiri terus memperhatikanku, meski begitu aku tetap fokus menata hidangan untuk mereka di atas meja.
Setelah selesai aku menolehkan kepala kepada orang di sebelahku yang selalu menatapku. Mataku melebar mengetahui siapa orang itu. Dia menatapku begitu tajam dan sukses membuatku tak bergerak ditempat. Apa aku terlalu serius pada pekerjaanku sampai tidak melihatnya, bahkan saat aku sudah berada didekatnya. Dia adalah.... Tora.
Oh rasanya aku ingin menghilang secepatnya dari tempat ini.
*****
Part 16
“Bisa kamu jelaskan semua ini?” tanyanya dingin.
“A..aku..aku...” aku begitu gugup dan tidak tahu harus menjelaskan darimana.
“Kamu mengenalnya Tora?” suara pria yang duduk didepan Tora.
“Sangat kenal. Bahkan sangat dekat,” jelasnya, yang masih memaku diriku dengan tatapan dinginnya.
“Oh, jadi kalian sahabat dekat?” tanya pria itu lagi.
“Ma..maaf. Sa..saya permisi dulu. Selamat menikmati,” gugupku dan buru-buru pergi menginggalkan mereka.
Di dapur aku duduk dengan gelisah, membuat Mas Bayu dan beberapa orang yang ada di dalamnya menatapku heran. Mas Bayu bertanya dengan pelan apa yang terjadi denganku, tapi aku hanya menjawab bahwa kepalaku pusing. Sebuah jawaban yang tak sesuai dengan gerakan tubuhku yang sangat terlihat begitu gelisah, tapi hanya itu yang terlintas dibenakku saat menjawab pertanyaan Mas Bayu. Kemudian dia menyuruhku untuk istirahat sejenak di ruang belakang, ruang karyawan. Baru saja pantatku mendarat disebuah kursi panjang untuk menenangkan pikiran, sebuah sms menginterupsi pergerakanku dan memutuskanku untuk melihat isi pesan tersebut.
Keningku mengernyit bingung membaca pesan yang baru saja kudapatkan. Sebuah pesan berbau perintah. Dan tentu saja pesan itu dari tora, yang menyuruhku untuk berhenti dari pekerjaanku.
Aku berjalan lesu keluar dari ruang karyawan. Tidak enak rasanya berlama-lama di sana dan aku juga harus bisa membedakan antara masalah pribadi dan pekerjaan. Sampai di depan aku sudah tidak melihat Tora lagi.
Aku menghampiri sebuah meja yang baru saja ditempati oleh dua orang wanita. Memberikan buku menu dan siap-siap mencatat pesanan mereka. Selesai mencatat aku meninggalkan meja tersebut.
*
Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan membaca berulang kali pesan yang dikirim Tora.
[Berhenti bekerja sekarang juga!]
Aku baru beberapa hari bekerja. Tidak mungkin berhenti sekarang, Kak Inka juga belum mendapatkan karyawan baru. Ah, aku harus pandai memberikan penjelasan padanya agar dia tidak marah. Lebih baik aku menelponnya guna menjelaskan kalau aku tidak bisa berhenti sekarang karena Kak Inka masih membutuhkanku.
Sudah sembilan kali aku menghubunginya tapi yang menjawab selalu saja permpuan yang terus-terusan menyuruhku untuk mencoba beberapa saat lagi, ck. Pada panggilan ke 15 akhirnya dia menjawab telponku.
“Ya?”
“Tora. aku tidak bisa berhenti sekarang,” kataku pelan, tapi aku yakin dia masih bisa mendengarnya.
“Kalau begitu, sampai kamu bisa berhenti jangan hubungi aku,” tegasnya, lalu mematikan telpon sepihak tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menjelaskan lebih lanjut.
Aku mengacak rambut frustrasi. Mencoba menghubunginya lagi tapi sia-sia. Kuputuskan untuk merebahkan tubuh ke atas kasur menatap langit-langit kamar dan memikirkan perkataan Tora tadi. ‘sampai kamu berhenti kerja jangan hubungi aku’. Apa dia sedang menghukumku? Bukankah tadi siang dia meminta penjelasan? Tapi kenapa sekarang dia tidak mau mendengarkan penjelasanku?
Aku terus saja memikirkan perkataannya yang lama-lama membuat dadaku sesak. Dan malam ini kami tidak jadi keluar untuk kencan karena dia sedang marah.
*
Aku menuruni anak tangga dengan lesu. Saat mendekati meja makan, kulihat keluargaku sudah sibuk dengan sarapan mereka masing-masing. Aku menyapa mereka sekedarnya saja lalu duduk disebelah Kak Hendra. Menyantap sarapanku tanpa semangat.
Saat memasukan suapan yang ketiga kalinya, tangan Kak Hendra menghentikan pergerakan tanganku. Dia mnegambil alih sendok yang kupegang, kemudian mneyuapiku sambil ngoceh.
“Kalau kamu makan kayak gitu kapan selesainya!” omelnya sambil terus menyuapiku. Aku hanya diam dan mengunyah makanan perlahan.
“Kamu sakit sayang?” tanya Mama khawatir dan menyentuh keningku.
“Andri nggak apa-apa Ma, cuma kurang tidur aja semalam,” bohongku.
“Kalau kamu merasa nggak enak badan, jangan dipaksakan ya kerjanya?” Mama mengingatkan.
“Iya Ma,” balasku singkat.
Selama diperjalanan aku tidak banyak bicara, hanya diam sambil memeluk pinggang Kak Hendra dengan erat. Ya, kali ini yang mengantakanku adalah Kak Hendra. Walaupun jarak kampusnya dan tempat kerjaku tak searah tapi dia tetap mau mengantarku.
Ditempat kerja aku juga tidak bersemangat. Tapi setiap kali berhadapan dengan pelanggan, aku berusaha memperlihatkan wajah cerahku pada mereka karena itu adalah tuntutan pekerjaan sebagai pramusaji. Selesai istirahat makan siang aku memutuskan menetap dibagian belakang saja, menggantikan Niken mencuci piring. Dia begitu senang saat aku menawarkan diri untuk menggantikannya.
Dengan perlahan aku membilas piring sambil pikiranku terus bekerja memikirkan cara agar Tora mau bicara dan mendengarkan penjelasanku. Tadi pagi sebelum mandi aku sudah menghubunginya lagi tapi tetap saja dia tidak mengangkat telponku, bahkan aku sudah mengiriminya pesan. Hasilnya tetap sama, tidak ada tanggapan darinya. Kalau begini terus aku bisa stres, karena baru kali ini dia mendiamkanku. Satu-satunya cara mungkin bertemu dengannya. Tapi aku kerja, dan dia juga sibuk kerja. Kalau aku datang malam-malam ke rumahnya itu tidak mungkin, karena aku tidak bisa bawa motor. Jika aku memutuskan naik bus, Mama tidak akan memberikan izin. Dan tidak mungkin juga aku meminta Kak Hendra mengantarkan ke rumah Tora.
“Ngelamun aja , Dri?” Dandi mengagetkanku dari lamunan.
“E..eh..kamu Di,” gugupku sambil mengusap-ngusap dadaku karena kaget. “Loh banyak banget piringnya? Di depan lagi rame ya?” tanyaku heran, karena piring-piring yang hendak kucuci bertambah tinggi.
“Ini piring bertambah banyak karena kamu abaikan. Kamu baru nyuci beberapa piring udah ngelamun. Untung si Bos lagi nggak ada. Kalau ketahuan, bisa dimarahi kamu,” komentarnya panjang lebar. Aku hanya bisa nyengir membalas komentarnya.
“Kamu kenapa sih? Kemaren bahagia banget sampai senyum-senyum sendiri. Sekarang malah nggak semangat dan sering ngelamun, kayak orang patah hati aja. Sini aku bantuin,” ujarnya lagi panjang lebar. Ucapannya memang benar, aku lagi patah hati sekarang karena Tora tidak kunjung mau bicara denganku.
Aku memberi ruang pada Dandi yang sekarang sudah mengambil piring yang kupegang dari tadi, lalu membilasnya. Dan aku juga mulai menyabuni piring-piring yang sudah menumpuk itu.
Hari ini begitu melelahkan. Capek tenaga dan pikiran. Aku berjalan gontai menuju kamar mandi. Berendam air hangat sepertinya bagus untuk menghilangkan penat di badan. Pelanggan yang terus menerus datang tanpa henti, dan otakku yang selalu memikirkan pesan yang dikirim Tora. Rasanya benar-benar melelahkan.
-
Aku terbangun karena merasakan tiup-tiupan kecil di wajahku. Saat membukan mata, ternyata Kak hendra. Dia tersenyum dan membelai rambutku dengan perlahan.
“Udah pukul berapa Kak?” tanyaku dengan suara serak.
“Udah pukul 7. Bagun gih, semua udah nugguin di bawah,” jawabnya pelan yang masih membelai-belai rambutku.
Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur dan mengikuti Kak Hendra keluar menuju meja makan. Ternyata selesai mandi tadi aku ketiduran.
Makan malam kali ini masih sama seperti biasa, hangat. Tapi malam ini Mama sedikit berlebihan padaku. Baru saja duduk, Mama sudah menyodorkan beberapa buah-buahan yang sudah dipotong kepadaku. Setelah memakan buah-buahan tersebut, saat mau menyantap nasi Mama juga meletakkan beberapa lauk ke atas piringku, membuat nasi yang ada dalam piringku hampir tertutupi oleh lauk pauk. Mama bilang itu baik untuk kesehatan dan akan menambah stamina biar nggak mudah capek, ckck.
**
Ini hari keempat Tora mendiamkanku. Dia sama sekali tidak mau mengangkat telpon ataupun membalas pesan-pesan yang kukirim. Dan sudah dua hari ini kami mulai beraktifitas lagi di sekolah setelah liburan kemarin.
Aku kembali satu kelas dengan Andre, tapi tidak dengan Tora. Dia sekelas dengan Doni dan Reno. Itu akan membuatku menjadi semakin sulit untuk bertemu dengannya. Seperti kemarin, saat aku mencoba bicara dengannya, dia malah memintaku untuk membiarkannya sendiri. Tapi hari ini aku akan mencoba bicara empat mata lagi dengannya dan menjelaskan serta meminta pengertiannya. Empat hari yang membuatku gila.
Andre yang baru masuk hari ini begitu semangat menceritakan liburannya bersama keluarga besarnya di Bogor, rumah neneknya. Dia juga menceritakan liburannya bareng Resti berwisata di kepulauan seribu. Jujur mereka membuatku iri. Jangankan liburan bareng, bertemu saja jarang walaupun kami masih di Jakarta. Dan sekarang lagi ada masalah diantara kami.
“Yank. Lu dengerin gue nggak?”
“Hah..eh..apa? Lu bilang apa tadi?” tanyaku bingung, seperti orang linglung.
“Ck. Gue tanya lu liburan ke mana bareng Tora?”
“Emm..itu..kami nggak pergi ke mana-mana. Dia sibuk kerja, dan gue juga memutuskan untuk kerja di restoran Kak Rio dan Kak Inka. Tapi sekarang dia lagi marah,” jelasku lesu. Andre sedikit kaget dan menatapku tak percaya setelah mendengar penuturanku barusan. Lebih tepatnya curcol.
“Lu kerja sama Kak Inka?” aku mengangguk menjawab pertanyaan Andre.
“Wah hebat lu, Yank. Eh, trus Tora kerja di mana?” tanyanya lagi.
“Tora kerja di hotel. Dia mengurusi hotel peninggalan papanya.”
“Trus alasan dia marah ke elu karena apa?”
Aku menceritakan perihal kemarahan Tora padaku. Karena tidak memberitahu Tora kalau aku bekerja di restoran, hingga akhirnya ketahuan. Alasan utamaku tidak memberitahu Tora adalah karena syarat yang diberikan Kak Inka saat aku meminta tambahan uang padanya untuk membeli hadiah pada ulang tahun Tora. Tapi aku sudah menyiapkan alasan yang tepat yang tidak berbau kebohongan padanya. Ya, selain syarat jam tangan itu, aku juga ingin membantu Kak Rio dan Kak Inka sampai mereka menemukan tambahan karyawan tetap.
Andre mengusap-ngusap lenganku dan menyemangati kalau semuanya akan baik-baik saja. dia juga menyuruhku untuk bicara lagi dengan Tora saat jam istirahat nanti. Karena ini adalah kesempatanku untuk bicara empat mata dengannya. Aku harus menggunakan kesempatan ini. Karena jika jam sekolah berakhir, aku tidak akan bisa bertemu lagi dengannya.
*
Mendengar bel istirahat berbunyi, aku berpamitan kepada Andre dan bergegas pergi meninggalkannya. Menuju kelas Tora yang terletak tidak jauh dari kelasku, hanya dipisahkan oleh dua kelas. Sepertinya tidak semua murid pergi keluar untuk istirahat, karena kelasnya masih ramai.
Pandanganku menyapu setiap sudut ruangan kelas mencari sosok Tora, tapi dia tidak kelihatan.
“Cari Tora ya, Dri?” sebuah suara mengagetkanku. Ternyata Sony, teman yang pernah sekelas denganku dan Tora tahun kemaren. Rupanya tahun ini dia sekelas lagi dengan Tora.
Sony masuk dan duduk di atas meja yang terletak di dekat pintu, menunggu jawabanku.
“Eh, kamu Son. Iya, aku mencari Tora tapi dia nggak kelihatan,” ujarku pelan. Bisa kulihat dari ekor mataku beberapa murid memperhatikanku dengan seksama.
“Oh, tadi aku lihat dia menuju perpustakaan.”
Mendengar jawaban Sony aku senang sekali. “Makasih ya Son, informasinya,” pamitku pada Sony, yang dibalas dengan senyuman dan anggukan. Namun baru saja aku hendak melangkah, aku terjerembab karena menginjak tali sepatu sendiri. Sony sempat menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku mengacungkan jempol padanya menandakan kalau aku baik-baik saja, kemudian berjongkok memperbaiki tali sepatuku.
Selama memperbaiki tali sepatu, aku mendengar dengan jelas desas-desus dibelakangku.
“Dia Andri Pratama kan? Dia cute juga ya kalau dilihat dari dekat,” suara seorang cewek sangat pelan, tapi masih bisa kudengar.
“Dia emang cute kali,” jawab suara lain.
“Eh, dia mencari Tora kan? Apa berita itu benar, kalau mereka pacaran?” satu suara lagi menyahut ucapan teman-temannya.
“Benar.” Sepertinya itu suara cewek yang kedua tadi.
“Apa!? Ah, padahal aku seneng banget satu kelas sama Tora, dan mau pdkt sama dia.” sebuah suara lain yang kaget dan terdengar seperti tidak terima kalau Tora sudah punya pacar. Cowok lagi.
“Mending kamu cari yang lain aja deh,” sahut temannya lagi.
Tidak mau mendengarkan obrolan mereka lebih lanjut, aku berdirri lalu menatap Sony yang masih setia ditempatnya. Mengalihkan pandanganku ke arah beberapa siswi yang tengah asyik membicarakanku tadi. Salah satu dari mereka tak sengaja menatapku, lalu memberi kode kepada teman-temannya yang lain. Aku tersenyum kepada mereka yang sudah menoleh ke arahku. Mereka membalas senyumku dengan salah tingkah. Kemudian aku berpamitan lagi kepada Sony dan meninggalkan kelas itu menuju perpustakaan.
Dengan gugup aku duduk di hadapan seseorang yang tengah serius membaca sebuah novel. Mengatur napas perlahan dan membasahi bibirku yang terasa kering, lalu memulai percakapan dengannya.
“Umm..Tora, aku mau bicara,” lirihku. Matanya tak beranjak sedikitpun dari buku yang dipegangnya.
“Mengenai kejadian beberapa hari yang lalu. A..aku kerja di restoran Kak Rio. Mereka butuh tambahan tenaga kerja, jadi Kak Inka memintaku untuk bantu-bantu di sana. Dan..dan karena kamu sudah mulai sibuk kerja, jadinya aku memutuskan untuk ikut kerja juga, biar aku nggak kesepian selama liburan,” jelasku dengan hati-hati. Dia menutup buku yang dipegangnya, kemudian menatapku dengan dingin.
“Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku kalau kamu bekerja?” tanyanya dingin.
“A..aku..aku takut kamu nggak ngizinin.”
“Ya, aku nggak akan ngizinin. Sekarang bisa kamu berhenti dari pekerjaanmu?” ujarnya menatapku tajam.
“A..aku belum bisa berhenti sekarang, karena Kak Inka belum mendapatkan karyawan tambahan.” Aku menundukan wajah memainkan jemari tanganku. Tidak berani menatapnya.
“Ck. Jika....”
“Tora, please jangan diamkan aku lagi. jangan marah lagi ya. Aku janji akan berhenti secepatnya. Tapi tidak sekarang. Aku mohon jangan diamkan aku lagi,” ujarku cepat memotong ucapannya. Aku takut dia akan melarangku lagi untuk bicara dengannya jika aku tidak berhenti sekarang juga.
Dia mengambil buku yang tadi diletakkan di atas meja kemudian bangkit dari duduknya. Dengan sigap aku menahan tangannya agar tidak pergi. Dia menatapku lama dengan wajah yang masih sangat datar.
“Apa lagi?”
“Aku mohon jangan diamkan aku lagi. Aku janji akan berhenti, tapi tolong beri aku waktu. Aku tidak mungkin menolak permintaan Kak Inka. Dia butuh tenaga kerja saat ini. Jadi aku..aku...” aku tidak meneruskan lagi ucapanku. Hanya memegang tangannya erat.
Tora duduk lagi di kursi yang tadi dia tempati. “Kamu tahu kesalahanmu apa?” Aku menatapnya sebentar lalu menundukan wajahku. “Karena kamu tidak memberitahuku dari awal. Jika kamu memberitahuku dan alasannya karena membantu Kak Inka. Mungkin aku akan mempertimbangkannya dan tidak akan marah seperti ini.”
“Maaf. Aku nggak akan mengulanginya lagi,” lirihku. Setitik cairan bening jatuh dari mataku. Ah, kenapa aku begitu cengeng. Dia hanya diam tidak menanggapi ucapanku.
Setelah cukup lama akhirnya dia buka suara lagi. “Baiklah, akan aku maafkan.” Dia mengusap airmataku dengan jempolnya. “Jika Kak Inka sudah mendapatkan kayawan tambahan, dan kamu belum berhenti. Jangan harap aku akan memaafkan dan mau mendengarkan penjelasamu seperti saat ini lagi,” katanya tegas. Aku mengangguk dengan cepat tanda mengerti dan mencium tangannya yang tadi kupegang. Dia tersenyum dan mengacak rambutku pelan.
Aku senang sekali, Tora sudah tidak marah lagi, dan senyum itu. Ah, rasanya sudah lama sekali dia tidak tersenyum padaku. Padahal baru beberapa hari.
**
Hari-hariku sudah seperti biasa lagi karena Tora sudah tidak marah lagi. kami sudah membicarakannya dan sepakat kalau aku berhenti setelah Kak Inka mendapatkan karyawan baru. Tapi aku sudah mulai menyukai pekerjaan ini. Namun tetap saja aku harus berhenti jika wakutnya tiba. Tora juga sempat memberiku peringatan. Jika nilaiku turun gara-gara bekerja, maka mau tak mau aku harus berhenti walaupun Kak Inka belum mendapatkan karyawan. Terkadang dia menanyakan apakah Kak Inka sudah mendapatkan karyawan atau belum. Mungkin terdengar berlebihan, tapi begitulah Tora.
Alasan Tora tidak suka aku bekerja adalah karena aku masih sekolah dan sudah masuk kelas tiga. Ditambah lagi sekarang aku kerja masuk shift kedua yang berarti aku harus pulang malam, tentu akan sulit membagi waktu belajar. Padahal dia juga kerja, mengurus hotel dan sekolah. Tapi saat ini dia tidak setiap hari pergi ke hotel. Jadi jika Tora tidak ke hotel, dia akan mengantarku ke restoran.
“Hari ini kamu nggak ke hotel?”
“Setelah mengantarmu, aku akan ke hotel sebentar mengambil beberapa dokumen yang harus diperiksa, lalu pulang.” Aku mengangguk-ngangguk menyimak perkataan Tora, kemudian memasang safetybelt.
“Apa sudah ada karyawan baru?” masih pertanyaan yang sama seperti beberapa hari yang lalu.
“Belum.” Memainkan jari-jemariku, lalu memandang Tora yang duduk di kursi sebelahku.
“Apa aku benar-benar harus berhenti jika sudah ada karyawan baru?” tanyaku hati-hati.
“Kita sudah sepakat mengenai hal ini. Aku nggak mau membahasnya lagi,” jawabnya datar. Jika dia sudah menunjukan ekspresi sedatar itu, aku hanya bisa cemberut tidak berani bicara lagi.
Turun dari mobil Tora, dengan sedikit berlari aku menuju loker dan mengganti pakaian. Terlihat Dandi baru saja mengganti pakaiannya. Hari ini dia masuk shift kedua juga, sama denganku.
Dandi memperhatikanku dengan seksama sambil menyandarkan punggungnya pada loker miliknya yang berada di sampinng milikku. Membuatku harus bersembunyi di balik pintu loker saat mengganti pakaian.
“Kenapa kamu malu-malu gitu ganti bajunya?”
“Aku risih tau, kamu liatin terus. Kayak cowok mesum yang mau memperkosa perawan,” dengusku menjawab pertanyaannya. Dia malah tertawa mendengar jawabanku.
“Habisnya aku suka lihat kulitmu yang kuning langsat itu. Kayak kulit cewek,” katanya sambil mencoba menccolek lenganku. Dengan sigap aku mneghindar.
“Ampun Om. Jangan perkosa saya. Saya mohon.” Aku sedikit ber-hiperbola, pura-pura ketakutan sambil menyilangkan kedua tanganku ke dada.
Dia tertawa melihat tingkahku. “Gila kamu. Mana mau aku memperkosa orang yang perkakasnya datar kayak gitu,” katanya menunjuk dadaku. Aku pura-pura merasa lega dan mengucap syukur berkali-kali. Dandi hanya geleng-geleng kepala melihatku.
“Tapi kayaknya enak juga kalau memperkosa cowok. Bia greget,” katanya sambil memasang wajah mesum dan mencolek daguku.
“Huaaa..” aku kabur meninggalkan dia yang tertawa terbahak-bahak di belakangku.
Ini salah satu hal yang membuatku mulai betah kerja di restoran. Teman-teman yang ada di sini begitu baik dan menyenangkan. Tapi apa boleh buat.
**
Pagi-pagi saat tengah asyik jalan sendirian di koridor sekolah aku sudah dikagetkan oleh seorang siswi yang tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Kakak yang sering pulang bareng Kak Tora, kan?” tanyanya antusias.
“Iya,” aku menjawab singkat.
Dia tersenyum lebar serta menyerahkan sebuah kotak berwarna biru, dan berukuran sedang kepadaku. Aku menerima kotak berwarna biru itu dengan ragu. Setelah kuperhatikan, sekarang aku ingat siapa gadis ini. Dia adalah siswi yang dulu pernah memberikan kado kepada Tora di parkiran.
“Tolong berikan ini ke Kak Tora ya, Kak.”
“Eh?”
“Makasih ya Kak.” Gadis itu berlalu pergi begitu saja meninggalkanku.
“Siapa dia?” sebuah suara yang sangat kukenal bertanya dan merangkulku pundakku. Aku menoleh dan menatap kesal padanya.
“Ini dari gadis idamanmu,” kataku dan menyerahkan kotak tersebut dengan sedikit kasar padanya hingga membuat tubuhnya mundur satu langkah ke belakang.
“Hah?”
Aku meninggalkannya yang sudah memegang kotak tersebut.
“Andri!”
Aku tidak mempedulikan panggilannya. Terus berjalan menuju kelas. Benar-benar pagi yang menyebalkan bagiku. Tapi tidak seharusnya aku mengatakan kalau cewek tadi adalah gadis iadaman Tora. Dia kan tidak menyukai gadis itu. Tapi tetap saja hal itu menjengkelkan, ugh.
Ketika melewati kelasnya pada jam istirahat, kulihat Doni dan Reno menarik tangan Tora begitu mereka melihatku. Tanpa peduli aku terus saja berjalan menuju kantin dengan menggandeng tangan Resti.
Begitu sampai di kantin dia terus memperhatikanku yang duduk berhadapan dengannya. Aku tidak mempedulikannya, dan sibuk menyantap makanan yang ada dihadapanku.
Sedang asyik-asyiknya makan sambil mendengarkan lelucon dari Andre dan Doni, tiba-tiba meja kami didatangi oleh tiga orang siswi. Salah satunya siswi yang tadi memberikan bingkisan ke Tora.
“Ha..hai Kak Tora,” sapanya ke Tora dengan malu-malu. Tora menoleh memperhatikan gadis tersebut dan membalas sapaannya.
“B..bagaimana coklatnya. Apa Kakak meyukainya?” tanyanya ragu-ragu.
“Jadi kamu yang memberikan bingkisan tadi?” tanyanya datar.
“I..iya,” dengan senyum malu-malu gadis itu menjawab.
“Makasih ya.” Gadis itu mengangguk seraya tersenyum manis. “Tapi tolong jangan beri aku bingkisan lagi,” katanya masih dengan ekspresi datar.
“Kenapa? Coklatnya nggak enak ya, Kak?” tanya gadis itu khawatir.
“Bukan. Tapi bingkisan itu sudah membuat pacar saya marah.” Aku menatap Tora yang baru saja selesai bicara. Dia tersenyum, kemudian tangannya terulur dengan sebuah tisu ke arahku. “Kalau makan hati-hati,” ujarnya seraya membersihkan sudut bibirku yang mungkin berlepotan saus kacang dari siomay yang kumakan.
Gadis tadi dan dua orang temannya menatap kami bergantian dengan ekspresi wajah yang ‘shock’. Sementara aku, mungkin pipiku sudah merona sekarang. Kenapa aku tidak bisa berlama-lama kalau marah padanya, ck.
“Ma..maaf. aku nggak tau. Ka..kalau kalian.....”
Gadis itu tidak meneruskan ucapannya. Namun segera pamit, buru-buru meninggalkan meja kami bersama teman-temannya. Tora hanya menganggguk, lalu mengambil minumanku dan menyesapnya hingga separuh. Aku baru sadar kalau dia hanya memesan makanan tanpa minuman. Dan teman-temanku yang lain. Mereka mulai menggodaku.
**
Malamnya aku sudah beres-beres bersama teman-teman kerja. Semuanya sudah selesai duluan dan berpamitan padaku. Tinggal aku yang belum membereskan isi lokerku dan menguncinya. Setelah selesai aku segera keluar. Hari ini kami pulang agak telat karena pengunjung yang ramai dari biasanya.
Sampai di depan kulihat Kak Hendra tengah asyik bicara dengan Kak Rio yang masih belum pulang juga. Saat sampai aku langsung melingkarkan tanganku ke lehernya. Setelah ngobrol sebentar dengan Kak Rio, kami pamit dan meninggalkan restoran. Sepertinya Kak Rio masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Kami berjalan menuju parkiran dengan tanganku melingkar memeluk lengan Kak Hendra. Bagi yang tidak tahu kami bersaudara, pasti mengira kami pasangan kekasih. Tapi aku tidak peduli, karena aku sudah terbiasa seperti ini dengan kedua kakakku. Tapi kalau dengan Tora aku tidak berani memeluk lengannya seperti ini di tempat umum.
“Kak. Kapan Kakak mau bawa pacar Kakak ke rumah?”
“Kenapa?” dia malah balik bertanya.
“Ya, pengen tau aja cewek yang udah merebut Kakak dari aku itu seperti apa orangnya,” jawabku sambil pura-pura manyun.
Kak Hendra tertawa dan mengacak rambutku gemas. “Kamu tenang aja, dia nggak akan merebut Kakak darimu. Buktinya Kakak selalu ada buatmu dan sekarang bisa jalan bareng kamu kan?” dia memencet hidungku. Aku memukul lengannya pelan.
“Oh ya, sebelum pulang kita pergi makan dulu ya Kak?”
“Siap Bos,” Kak Hendra memberikan hormat dengan gaya yang lucu.
Kami tertawa bersama, hingga seseorang tiba-tiba menarik dan memukul Kak Hendra dengan keras, membuatnya hingga terjatuh. Aku yang sedari tadi merangkul lengan Kak Hendra ikut tertarik namun tidak sampai terjatuh.
Baru saja aku mengatur posisi berdiriku. Sebuah suara mengagetkanku.
“Jangan seenaknya tanganmu menyentuh milik orang lain,” katanya dingin.
“Tora?”
Aku menatap tak percaya dia tiba-tiba muncul di sini.
“Jadi ini alasanmu tidak mau berhenti bekerja! Iya?!” nada suara yang meninggi dan tatapan penuh amarah ditujukannya padaku.
“Bukan. Kamu salah....”
Bugh.
Belum selesai aku biacara, Kak Hendra yang entah sejak kapan berdiri sudah membalas pukulan Tora, membuat Tora terhuyung kebelakang.
“Siapa lu. Seenaknya ngelarang gue?!” bentak Kak Hendra. Aku menahan tangan Kak Hendra agar tidak menghampiri dan memukul Tora lagi.
“Karena saya pacarnya!” jawab Tora ikut membentak Kak Hendra.
“Apa?!” Kak Hendra kaget mendengar jawaban Tora, lalu mengalihkan pandangannya padaku minta penjelasan. “Andri. Apa-apaan ini. Coba kamu jelaskan. Apa benar dia pacarmu?!” aku menundukan wajah tidak berani menjawab dan menatap wajah Kak Hendra yang menatapku tajam.
“Kenapa kamu diam, Andri? Jawab!” Kak Hendra membentakku keras dan sukses membuat tubuhku menegang seketika. Dia mengguncang bahuku kasar meminta jawaban.
Ini pertama kalinya Kak Hendra membentakku. Kakak yang selama ini menyayangiku, dalam sekejab berubah menjadi begitu marah setelah mendengar seorang laki-laki mengaku sebagai pacar adiknya yang juga seorang laki-laki. Susah payah aku menelan air ludah mencoba menjawab pertanyaan Kak Hendra. Dan dengan bibir bergetar aku mengumpulkan keberanian menjawab pertanyaannya.
“Itu..itu..itu...” ternyata aku begitu lemah. Tidak bisa menjawab pertanyaan Kak Hendra.
“Itu apa?! Jawab!”
Aku tersentak begitu Kak Hendra membentakku lagi. Sekarang airmataku sudah sukses keluar membasahi pipi.
Bughh..
Tora melayangkan sebuah pukulan lagi ke wajah Kak Hendra, kemudian menarik kerah bajunya dan mengarahkan tinjunya ke bagian perut Kak Hendra.
“Tora jangan!” aku berusaha menghentikannya, tapi Tora tetap melanjutkan aksinya tanpa mau mendengakan teriakanku yang menyuruhnya berhenti.
“Ini balasan untukmu yang seenaknya membentak orang yang saya sayangi.” Tora memukul lagi perut Kak Hendra. Namun pada pukulan berikutnya, Kak Hndra berhasil menangkis dan membalasTora tepat pada wajahnya. Susah payah aku menghentikan perkelahian mereka tapi sia-sia. Di tempat parkiran ini juga sudah sangat sepi. Tidak ada orang lagi yang lewat yang bisa kumintai pertolongan.
“Hei!”
Aku mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Kak Rio berlari menghampiri kami. Rupanya dia belum pulang. Kak Rio berhasil memisahkan mereka. Dengan cepat aku menarik dan memeluk tubuh Tora erat, yang masih belum puas membalas pukulan Kak Hendra, dan meronta untuk dilepaskan.
“Tora aku mohon hentikan. Dia kakakku!” teiakku yang masih terus menahan tubuhnya sekuat tenaga yang kubisa. Amarah masih menguasai dirinya. Dengan cepat dia merenggangkan pelukanku, lalu menatapku dengan kening berkerut seolah bertanya untuk memastikan ucapanku. Aku membalas menatapnya tajam dan memeberitahukan sekali lagi kalau orang yang berkelahi dengannya itu adalah kakakku.
Kak Rio juga sudah menahan tubuh Kak Hendra yang tak kalah emosi. Mereka bicara empat mata, entah apa. Dan tak lama Kak Hendra menghampiriku. Menarik tanganku kasar menjauh dari Tora.
“Jangan pernah lu temui dia lagi!”
“Kakak?”
Kak Hendra menarik paksa tanganku hingga ke mobil, setelah sebelumnya berpamitan dengan Kak Rio.
Dia memerintahkanku untuk cepat masuk dan menutup pintu mobil dengan kasar. Sementara aku hanya diam tidak melawan, dan mencoba menenangkan diri agar airmataku tidak jatuh lagi.
**
semoga gak lama buat update berikutnya.
1. Dan tentu saja pesan itu dari
tora, yang menyuruhku untuk berhenti dari pekerjaanku.
Dan yg ini aku gak ngerti maksudnya apa kak
1. “Sangat kenal. Bahkan sangat dekat,”
jelasnya, yang masih memaku diriku dengan tatapan dinginnya. | Maksudnya memaku apa ya?
@rahmad1 iya, dan dia jadi marah sama andri xixi..
@wisnuvernan2 dia gak ceroboh, cuma gak tau aja kalau itu kakak andri hehe...
kembali kasih...oke tunggu ya
@Rama212 haha tora mah gitu orangnya :v
kembali kasih
@RifRafReis kenapa? o.O
@3ll0 aku usahakan kali ini gak lama lagi...
@JosephanMartin maksudnya masih memaku diriku...pandangannya gak lepas dari andri saat menjawab pertanyaan cowok itu...kayak, dengan tatapan tajam dan dingin, membuat andri mematung tak tahu harus bagaimana...
wah foto siapa tuh? seusia segitu andri udah ngasuh anak tuh...
@lulu_75 tora gak berubah kok....andri mau menggalau lagi...
@rahmad1 iya, dan dia jadi marah sama andri xixi..
@wisnuvernan2 dia gak ceroboh, cuma gak tau aja kalau itu kakak andri hehe...
kembali kasih...oke tunggu ya
@Rama212 haha tora mah gitu orangnya :v
kembali kasih
@RifRafReis kenapa? o.O
@3ll0 aku usahakan kali ini gak lama lagi...
@JosephanMartin maksudnya masih memaku diriku...pandangannya gak lepas dari andri saat menjawab pertanyaan cowok itu...kayak, dengan tatapan tajam dan dingin, membuat andri mematung tak tahu harus bagaimana...
wah foto siapa tuh? usia segitu andri udah ngasuh anak tuh...
@lulu_75 tora gak berubah kok....andri mau menggalau lagi...
Tapi aku sangat menyayangkan tindakan Tora yg dengan sangat cepat mengambil kesimpulan sendiri tanpa nanya dulu kebenarannya. Dia sangat ceroboh kak. Pakek emosi sih kalo bertindak.