Part 1A
‘Drrrtt…Drrrtt…!’
HP itu telah beberapa kali bergetar, namun
si empunya masih saja enjoy berpose di
depan kamera DSLR dengan gaunnya yang
terlihat sedikit ribet. Tak lama, datang
seorang pria yang kemudian mengambil HP
model itu. Tepat saat model itu selesai
dengan sesi pemotretannya, dia disodori HP
oleh laki-laki yang baru datang.
“Baru datang kah Fer?” Tanya model itu.
Laki-laki itu mengangguk.
“Jadi bagaimana hasilnya?” Laki-laki itu
tampak menghela napas sejenak.
“Ternyata agak susah meyakinkan orang-
orang tua itu. Tanpa kau disana, mereka jadi
agak sengak dan sokk!” Sungut laki-laki
yang dipanggil Fer itu.
Well, namanya Ferry.
“Hahahaa…” Model itu tertawa besar.
“Well, ternyata wajah mengintimidasimu itu
sangat berguna disana Fif.” Afif tersenyum.
Ya, namanya Afif, lengkapnya Afif
Sastrowardojo. Seorang model androgini
yang sedang naik daun dan juga seorang
pengusaha property dan resorts. Masih
muda, 22 tahun usianya.
“Aku lihat tadi ada missed call dari kakak
mu,” Ujar Ferry.
Ferry sendiri adalah sekretaris pribadi Afif.
Dulu Ferry adalah kakak tingkat Afif di
bangku kuliah. Mereka berdua berteman
baik, Ferry yang menjadi sekretaris pribadi
Afif sangatlah hapal dan paham bagaimana
Afif itu. Luar dalam, dia sangatlah tahu Afif
bagaimana sifat dan sikapnya secara pribadi
juga sosial. Ferry tahu seberapa suksesnya
Afif, betapa terkenalnya dan bahkan ia tahu
seberapa kayanya Afif itu. Salah satu
pewaris dari Sastros group, salah satu
keluarga konglomerat di dunia.
Afif tampak menelpon seseorang, hingga
beberapa lamanya.
“Halo Mas, kenapa?” Tanyanya pada
seseorang di ujung telpon, kakaknya.
“(……)”
“Astaga, iya aku lupa. Besok kan?”
“(……)”
“Aku juga tidak tahu, aku akan lihat
jadwalku dulu.”
“(……)”
“Baiklah, kita lihat saja nanti. Iya, bye!!” Afif
melihat pada Ferry.
“Jadi, apa agendaku untuk besok Fer?”
Tanya pemuda yang memiliki rambut
sebahu itu.
“Tidak ada. Seminggu yang lalu kau sudah
memintaku untuk mengosongkan jadwalmu
untuk besok. Kau dan teman-temanmu di
The Socialist di undang untuk menghadiri
acara di UWM kan?” Afif mengangguk dan
bernafas lega.
Ia merasa sangat beruntung memiliki
sekretaris yang begitu tanggap dan tangkas
seperti Ferry. Ia yang gampang lupa akan
sesuatu merasa sangat terbantu dengan
adanya Ferry.
“Well, bukankah aku harus check-up? Aku
tidak mau Irma ngomel kalau aku telat.” Ujar
Afif pada dirinya sendiri. Dan hendak
beranjak untuk ganti baju.
“Fif!” Panggil Ferry sambil menahan tawa.
“What?”
“Tidakkah kau ingin berkencan dulu
bersamaku dengan mengenakan gaun itu?”
Goda Ferry.
“Shut up! G kurang ajar kau Fer!” Ferry
tertawa bekakakan!
“Hey! Yang G kan kau, kapan lagi kau bisa
kencan dengan laki-laki tampan sepertiku?
Haha!” Ferry masih betah menggodanya.
“Diam, atau ku sumpal mulutmu dengan
heels ku.” Afif beranjak ke kamar ganti. Dia
masih sempat mendengar ledakan tawa
Ferry.
Comments
“So,bagaimana hasilnya Ir?” Tanya Afif yang
baru saja diperiksa oleh seorang dokter ber
name tag Irma Sastrowardojo.
“Yaa, sama seperti sebelumnya. Tidak ada
gangguan apapun, semuanya masih
normal.” Kata Irma, dokter pribadi Afif yang
sesungguhnya adalah sepupunya sendiri
yang merangkap juga sebagai sahabat Afif.
Afif tersenyum lega. Kemudian ia bersandar
pada kursi yang didudukinya dan
memainkan HP nya sebentar.
“Well, sudah makan siang? Bagaimana kalau
kita lunch bareng? Inez baru saja pulang,
dan kurasa kita akan mendapat makan
siang gratis hari ini…” Gurau Irma.
“Benarkah? Wahh, boleh. Ayo kalau begitu!”
Mereka berdiri dan beranjak keluar dari
ruangan Irma.
Mereka tampak ngobrol sambil berjalan
menyusuri koridor rumah sakit. Sampai HP
Afif berdering nyaring.
“Ya Ferry? Ada apa?” Ternyata telpon dari
Ferry. Afif diam mendengarkan Ferry yang
tengah menjelaskan sesuatu.
“Okay, tak masalah jika lusa. Kau aturlah,
yang penting aku tinggal berangkat saja.”
Kata Afif pada Ferry. Tak lama, sesi telpon
menelpon itupun berakhir. Afif lalu
mengantongi kembali HP nya.
“Ada apa Fif?” Tanya Irma.
“Enggak, cuma ini, lusa aku harus
ngeresmiin resort baru aku yang di
Samarinda.” Ungkap Afif pada karibnya itu.
“Really? Wahh selamat, tambah kaya aja
kamu. Rasanya aku akan dapat lunch dan
dinner gratis hari ini.” Canda Irma,
sementara Afif mendelik.
“Just dream it!” Kata Afif jalan mendahului.
Irma menggumamkan kata ‘pelit’ sambil
berjalan mengikuti Afif.
***
Di kafe, tampak Afif dan Irma sedang
ngobrol sambil menikmati makanan mereka
sambil menunggu kedatangan Inez. Tak
lama, terlihat gadis tinggi nan cantik jelita
dengan menenteng tas brandednya berjalan
anggun menghampiri Afif dan Irma.
“Well guys, sorry telat. Tau kan macet?”
Cengir Inez yang langsung duduk
bergabung dengan dua kawannya.
“Kapan datang Nez?” Tanya Afif.
“Baru tadi pagi.” Jawabnya.
“Ehh tapi tau nggak, aku kan ketemu ya
sama salah satu pemilik mangement artis
disana, uuhhh cucok banget tuhh laki’. Salah
cakep, tinggi gagah pula’. Uuhhh, pokoknya
kasep pisan lah.” Ujar Inez berapi-api.
Ya begitulah Inez kalau ketemu cowok yang
mulus dikit, centilnya itu kagak bisa ditahan.
“Norak!” Afif menanggapi sambil
menyeruput jusnya.
“Ohmegod, Inez. Sampek segitunya,
bukannya cowok tercucok and terkasep di
dunia ini Cuma aa’ Kuncoro seorang?” Irma
meledek. Inez manyun. Kuncoro adalah
kekasih Inez.
“Yah kalau itu sih kagak diragukan lagi, tapi
maksud aku, hari gini ya, CEO management
artis yang popular, mana ada sih yang masih
apalah apalah kayak dia. Huhh cakep lah,
aku mau jadi istrinya kalau mungkin.” Ujar
Inez lagi. Kedua sahabatnya saling
memandang dan menatap satu sama lain.
“Dan kau akan membuang Kuncoro? Great
girl,” Kata Irma.
“Jadi, what did you do there?” Tanya Afif.
“Aku Cuma comparing aja sih sama
management ku, gimana sistematisnya.
Pokoknya gitu-gitu deh. Aku sekalian
ngenalin Sastro ke dia, and I told him kalau
Sastro bakal invest ke mereka. Gitu sih
intinya.” Ungkap Inez.
“Well, untung aku tidak ikut denganmu
kesana. Karena mungkin aku akan mual
bahkan muntah mendengar kalimat-kalimat
persuasive mu yang pasti that would be so
over.” Ledek Irma pada adiknya itu.
Sedangkan Afif tertawa kencang.
Ya memang begitulah Inez, dia juga Imam,
kakaknya Afif, akan sangat berlebihan ketika
menceritakan segala hal yang berkaitan
dengan keluarga mereka. Keluarga
Sastrowardojo. Yahh walaupun memang
keluarga mereka, keluarga Sastro,
memanglah keluarga yang bisa dibilang
sangat kaya raya dan amatlah sangat
terkenal sekali, tapi Inez dan Imam masih
tergolong berlebihan ketika
mendiskripsikaan keluarga Sastro pada
orang-orang.
“So, mana oleh-olehnya?” Tanya Afif dengan
tangan menengadah pada Inez. Inez
menggeleng kan kepala.
“Aku tidak bawa oleh-oleh apapun. Tapi,”
Afif dan Irma langsung menaruh perhatian
pada Inez yang mendadak terlihat serius.
“Kau tahu Fif, aku punya kenalan seorang
designer gaun terkenal disana…”
“Aku tidak tahu.” Ucap Afif.
“Aku belum selesai,” Afif mengedikkan bahu,
bertingkah menyebalkan. Begitulah Afif,
senang sekali menggoda Inez dengan
tingkahnya yang terkadang sangat
menjengkelkan.
“Aku punya kenalan designer gaun terkenal
disana, dan aku memberikan profile mu
padanya.” Ungkap Inez yang berhasil
mengejutkan kakak dan karibnya.
“Benarkah? Lalu?” Irma bertanya.
“Dia tertarik denganmu, dan dia ingin kau
meng-endorse karyanya nanti.” Afif tampak
berbinar, dan tersenyum merekah.
“Wahhh! Inez! Kau memang sahabat yang
baik, kau tahu, itu adalah oleh-oleh terbaik
yang pernah kau berikan padaku.” Serunya
bersemangat.
“Yes, I am.” Dan mereka tertawa bersama-
sama.
“By the way guys, besok ke UWM, kalian
ikut?” Tanya Irma.
“Sebenarnya aku masih sangat lelah, tapi
kalau kalian misal ikut, aku juga akan ikut.
Apa kalian ikut?” Inez memperhatikan
kedua orang yang duduk di depannya.
“Jadwalku kosong, dan aku akan ikut.” Ujar
Afif.
“Idem.” Imbuh Irma. Inez mengangguk, dan
dia memutuskan juga akan ikut.
“Apa Mas Imam akan ikut?” Irma bertanya
lagi.
“Tentu saja, dia akan menjadi salah satu
pembicaranya bukan?” kata Afif.
“Hah? Mas Imam? Pembicara? Hahaha, yang
benar saja! Sebenarnya acara apaan sih
itu?” Inez berucap sambil sedikit meragukan
public speaking kakaknya Afif.
“Hey! Walaupun dia alay sepertimu, dia
masih kakakku dan sepupumu tau’!” Sungut
Afif pada Inez.
“Entahlah, sejenis workshop dan
semacamnya lah. Disitu nanti akan ada tiga
pembicara dari The Socialist, Mas Ulum yang
akan memberi motivasi tentang leadership.
Lalu Mas Imam akan memberi wawasan
tentang business development dan si Caca
akan ngoceh bagian uang dan segala tetek
mbengek tentang pendanaan. Materi
mereka bertiga akan saling berintegrasi
pokoknya,” Jawab Irma yang sedikit ogah
membahas tentang Caca.
Yapp, Caca atau Euricha Fany adalah musuh
keluarga Sastro di The Socialist. Sudahkah
aku memberi tahu kalian tentang The
Socialist? The Socialist itu intinya, mereka
adalah kumpulan pebisnis-pebisnis muda
yang sangat cukup kaya raya, dan cukup
sering melakukan kegiatan sosial. Mereka
sangat terkenal di berbagai kalangan,
seperti kalangan pebisnis, politisi, sosialita
bahkan selebritis.
“Mas Ulum ketua The Socialist, yang toko
bukunya udah sedabrek itu?” Inez
memastikan, dan Irma mengangguk.
“Dan Caca itu bendaharanya, yang punya EO
kayak Rina Gunawan itu?” Tanya Inez lagi,
dan Irma kembali mengangguk.
“Hahh, UWM dari sini cukup jauh, sekitar 4
jam jika naik bus. Aku harap trip besok akan
menyenangkan.” Ujar Afif membaringkan
kepalanya di atas meja.
“Heyy! Don’t worry! Pulangnya besok, kita
akan mampir dan bermain di Pantai
Kenjeran.” Ungkap Irma antusias.
“Perfect! Sudah lama aku tidak ke pantai.”
Inez berujar sambil menyandarkan
kepalanya pada sandaran kursi yang
didudukinya.
***
Afif melihat jam, sudah pukul 22.51. Begitu
masuk, masih ada yang menonton tv. Afif
berjalan mendekat, dan ia menemukan
kakaknya yang tengah nonton acara news
dengan tampang kusut khas orang yang
lelah dan sedang terserang insomnia.
“Mas Imam kok belum tidur?” Tanyanya
yang sedikit mengagetkan sang kakak.
“Ohh, kau? Baru pulang?” Imam malah ganti
bertanya, Afif mengangguk lalu duduk
disampingnya sambil bersandar pada
sandaran sofa.
“Gimana Paris Airshow nya?”
“Amazing, pesawatnya awesome semua.
Pantas saja yang hadir hingga 300ribu
orang.” Afif menoleh ke kakaknya sebentar.
“Benarkah?”
“Iya. Pesawat yang dipamerkan padahal
cuma 100 unit. Tapi antusiasnya luar biasa.
Aku suka dengan beberapa, sangat menarik
perhatianku.” Ujar Imam.
“Trus? Mas beli?” Tanya Afif. Imam
menggeleng.
“Tidak, nanti kalau aku membelinya, bisa
menarik perhatian pengunjung yang ada
disitu dan dikira nanti aku pamer. Aku tidak
mau nanti Sastro dicap sombong oleh
orang.” Kata Imam sambil tertawa usil.
Afif memasang tampang illfeel dan annoyed.
“Bukannya itu memang kerjaan Mas ama
Inez ya, pamer kekayaan dihadapan orang
dengan mengatas namakan Sastro.” Ledek
Afif.
“Shit!” Imam menimpuk adiknya dengan
bantal.
“Kau ikut?” Tanya Imam.
“Oh, dengan senang hati aku akan ikut.
Kapan lagi aku bisa melihat kakakku semata
wayang terlihat bijaksana, berwibawa dan
tidak lebay?” Afif kembali meledek kakaknya.
Imam manyun dan disusul dengan kekehan
pelan Afif.
“Sial!”
“Haha, aku ikut Mas. Yahh walaupun sedikit
lelah.”
“Kenapa? Tadi ada pemotretan?” Tanya
Imam sambil melihat paras cantik adik laki-
lakinya yang jarang dimiliki oleh kebanyakan
laki-laki itu.
“Iya, tadi ada pemotretan untuk gaun
pernikahan.” Kata Afif.
“Baju cowok apa cewek?”
“I said ‘gaun’ right?” dan Afif pun beranjak.
“Kurang ajar!” Umpat Imam.
“Sudah ayo tidur! Besok kita harus bangun
pagi-pagi.” Dan Afif menghilang di balik
pintu kamarnya.
***
Pagi-pagi saat menunggu semua kumpul,
tampak anggota The Socialist saling
bercengkerama dan membentuk beberapa
kelompok kecil. Mereka tampak elegan
dengan busana yang mereka kenakan dan
cara berbicara mereka yang sangat terlihat
menjaga image sekali.
“Fif!” Afif disapa seseorang, dan iapun
menoleh ke orang tersebut. Caca!
“Iya?”
“Sendirian aja?” Tanya Caca basa basi.
‘Nie orang buta kali yak? Lha emang ama
siapa lagi?’ umpatnya dalam hati. ‘Ini siapa
juga cowok cakep yang ama Caca ini?
Pacarnya kah?’ lanjutnya masih dalam hati.
“Iya nih, aku ditinggal Mas Imam ke toilet.”
Jawab Afif mencoba akrab.
“Emang Irma dan Inez kemana?” Tanya Caca
lagi.
“Mereka juga sedang di toilet.” Jawab Afif
lagi. ‘Ni orang kesambet setan apa sih?
Tumben amat ramah and sok akrab gini?’
Lalu laki-laki yang berada disamping Caca
berdehem.
“Ehemm…”
“Oh iya Fif, kenalin, ini namanya Seger.
Temenku yang juga anggota kita di The
Socialist. Pasti belum kenal kan?” Ujar Caca.
Afif dan Seger berjabat tangan, ‘hangat’ pikir
Afif saat tangannya dijabat Seger.
“Iya, aku tidak eh belum kenal maksudnya.”
Kata Afif. Caca tersenyum.
“Baiklah, aku tinggal sebentar. Mungkin
kalian ingin ngobrol sesuatu. Afif masih
single kok Ger!” Kalimat terakhir Caca lebih
diperuntukkan pada Seger, Seger dan Caca
saling tersenyum penuh arti.
‘Apa-apaan sih Caca? Buka status orang,
bikin malu!’ gerutu Afif.
“Well, nama lengkapku Seger Wahyudi jika
kau ingin tau.” Kata Seger membuka
percakapan. Afif tersenyum.
“Aku Afif Sastrowardojo, jika kau juga ingin
tahu.” Balas Afif juga sambil tersenyum.
Keduanya tertawa.
“Ya aku tahu. Tolol sekali aku jika tidak
mengetahui model papan atas sepertimu.”
Puji Seger, sedangkan yang dipuji hanya
tersenyum malu.
“Jadi selain model, kau adalah pengusaha
property dan resorts. Apa aku salah?” Seger
bertanya sambil beringsut lebih mendekat
ke Afif. Afif tersenyum sambil menggeleng.
“Tidak, kau tidak salah.”
“Dan kau adalah anggota aktif The
Socialist?”
“Tidak juga…” Afif menanggapi. Keduanya
terdiam sejenak. Keduanya tampak
canggung ketika kedua bahu mereka saling
bersentuhan.
‘Laki-laki yang hangat. Hey! Apa dia G?’
Tanya Afif dalam hati.
“Bagaimana denganmu? Aku jarang
melihatmu saat The Socialist sedang kumpul,
atau bahkan tidak pernah sama sekali.” Afif
berucap. Seger tertawa pendek.
“Aku memang jarang ikut kumpul bersama
The Socialist, tapi aku pernah ikut kumpul
kok. Kalau aku bukan member, mana
mungkin sekarang aku ada disini?”
“Ah iya ya, benar juga.” Afif mengangguk-
anggguk.
“Jadi, kau seorang pebisnis?”
“Yupp, aku punya bisnis kacamata dan
optic!” Jawab Seger.
“Ahh, I see…” Mereka terus bercengkerama
hingga waktunya naik ke bus, mereka
masuk dan duduk berdua di tengah. Irma
dan Inez duduk di barisan paling belakang
dan langsung menutup mata mereka
dengan kacamata dan memakai masker,
tidur. Sedang Imam duduk di barisan depan
tampak bercakap-cakap dengan Ulum.
Seger dan Afif masih terus ngobrol, mereka
tampak akrab.
“Well, jika aku tidak mengenalmu, mungkin
aku akan mengira kalau kau adalah seorang
wanita. Kau begitu cantik jika dipandang
dari jarak yang dekat seperti ini.” Puji Seger.
“Ahh, kau berlebihan.” Afif tampak merona.
“Perjalanan masih lama, jika kau merasa
ngantuk, kau bisa menggunakan bahuku
sebagai bantal jika kau ingin tidur.” Kata
Seger menawarkan dengan senyum tampan
yang memikat. Afif tampak terpana sesaat
dengan semburat merah di pipinya.
“Emhh, terima kasih.” Jawab Afif kikuk.
Seger tersenyum.
Begitu tiba, The Socialist segera turun dari
bus. Tau-tau mereka dikeroyok wartawan
yang ternyata telah tiba lebih dulu. The
Socialist terpecah menjadi beberapa
kelompok.
“Ahh, aku ke toilet dulu!” Pamit Seger pada
Afif, dan Afif mengangguk. Didepannya
masih ada wartawan yang sedang
mewawancarainya. Hanya seorang
wartawan yang bertanya, dan yang lain
focus merecord.
“Jadi, kami dengar Afif kemarin pemotretan
ya?” Tanya wartawan news pria dari salah
satu stasiun tv terkenal itu.
Afif tersenyum sambil mengangguk.
“Iya Mas, kemarin ada pemotretan. Masih di
kawasan ibu kota aja.” Jawab Afif ramah.
“Dan sekarang masih sempat kesini, tidak
lelah kah?” Tanya wartawan ber name tag Y.
Wahyu J. itu.
“Lelah sih Mas, tapi kan tau sendiri, saya tuh
suka ama acara yang berbau bisnis kayak
gini. Jadi mau lelah model gimanapun ya
hayyuk aja deh kalau ke acara bisnis macam
ini.” Jawab Afif dengan diselingi tawa.
Wartawan-wartawan yang ada didepannya
pun tertular tawa.
“Katanya Mas Imam Sastro mau jadi
pembicara juga ya?” Tanya wartawan
wanita yang ada disebelahnya wartawan
Wahyu.
“Iya Mbak, kakakku ngisi di acara itu. Nggak
tau deh nanti mau ngomong apa orang
lebay kayak dia, nanti pada masuk kan
semua? Kapan lagi bisa ngeliat Imam Sastro
bicara bener? Hahaha…” Canda Afif dan
diikuti tawa para wartawan.
Sesi wawancara itupun berakhir ketika ada
yang memberi tahu bahwa acara akan
segera dimulai. Semua member The Socialist
juga para wartawan masuk ke audithorium
untuk mengikuti acara yang bertemakan
bisnis itu.
Acara sudah dimulai beberapa saat yang
lalu. Audithorium itu tampak padat sekali.
Terlihat kamera-kamera jurnalis berjejer
mentereng di depan stage utama.
Afif tampak duduk sendiri di salah satu
baris, dan dia duduk paling pinggir. Ada dua
kursi kosong disampingnya. Ia baru saja
ditinggal Irma ke toilet, sepertinya ada
sesuatu terjadi dengan pencernaannya.
Seseorang berjalan dan mendekat
kearahnya, ia yang tidak sadar segera
menoleh saat orang itu berdehem.
“Ehemm…!”
“Iya?” Afif menyipitkan mata.
“Boleh bergabung? Aku tidak mendapatkan
kursi yang disediakan untuk para
wartawan.” Kata pria berseragam wartawan
itu.
Afif tersenyum lalu mengangguk.
“Silahkan!” Mereka berdua diam. Afif tampak
fokus memperhatikan pembicara dari The
Socialist, sedangkan wartawan
disampingnya tampak canggung.
“Emmh, sendirian saja?” Wartawan itu
mencoba akrab.
Afif menoleh daan tersenyum, manis.
“Iya untuk sementara ini tadi, lalu sekarang
tidak. Kan sekarang ditemani Mas Wahyu.”
Canda Afif yang disambut dengan tawa
renyah wartawan bernama Wahyu itu.
Wartawan itu adalah wartawan yang
mewawancarainya tadi pagi, sebelum
masuk ke audithorium.
“Jadi memang benar-benar sendiri, rasanya
aku datang pas perfect timing ya?” Ganti
Wahyu yang melempar candaan, dan sukses
membuat Afif terkekeh.
“Haha, bisa saja. Aku tadi bersama Irma,
sekarang dia sedang ke toilet.” Jawab Afif
tampak tersenyum manis, dan berhasil
menggetarkan hati Wahyu.
Wahyu tidak tahu tentang orientasinya, tapi
dia pernah berpacaran dengan seorang
wanita. Ia tidak pernah sekalipun merasa
tertarik apalagi jatuh cinta pada orang yang
sama-sama berdada rata sepertinya, tapi
baru kali ini ia merasa nyaman. Tapi ia harus
tetap sadar, siapa ia dan siapa Afif. Bukan
karena masalah wealth atau property, jika
kalian tidak tahu, Wahyu pun adalah anak
dari CEO salah satu media group yang cukup
besar di negeri ini. Ini lebih ke masalah
image.
Bayangkan apa yang akan terjadi jika
memang Afif bisa dimilikinya, headline apa
yang akan muncul di berbagai media. Oh,
tidak. Bukan dirinya yang ditakutkannya,
tapi Afif sendirilah yang ia khawatirkan.
“Kok Mas Wahyu nggak nge record?” Tanya
Afif.
“Tadi udah ada temanku kok. Emmh Fif,”
Wahyu tampak ragu.
“Iya?”
“Boleh aku…”
“Rasanya aku salah makan deh Fif…” Ucapan
Wahyu terpotong dengan kedatangan Irma.
“Oh kau, apa yang salah?” Tanya Afif yang
memberi jalan untuk Irma lewat.
“Entahlah, apa aku kemarin makan sambel
saat kita dinner?” Tanya Irma. Afif
menggeleng.
Wahyu memperhatikan dua karib itu.
“Seger Wahyudi…!” Seger menyodorkan
tangan pada gadis disampingnya.
“Ohh, aku Inez Sastrowardojo. Member The
Socialist?” Tanya Inez.
“Of course, aku nggak akan disini dong
kalau aku bukan member.” Ucap Seger
tersenyum. Inez terkekeh.
“Oh iya ya, betul juga. Pengusaha?” Tanya
Inez lagi.
“Iya, aku punya usaha kaca mata dan optic.”
Jawab Seger.
“Ahh, I see…” Inez mengangguk-anggukan
kepala.
‘ganteng banget sih nih orang, mana masih
muda lagi. Ckckck…’ Inez berujar dalam hati.
Dan mereka terus berbincang dengan
asyiknya, mereka semakin akrab. Hingga
bertukar nomor ponsel dan pin BBM.
Sepertinya misi Seger untuk mendapatkan
Afif dan Inez akan sangat mulus. Hingga
acara itu berakhir, Inez dan Seger keluar
audhitorium bersama dan duduk di bus
bersama. Afif sendiri duduk bersama Irma.
Sesuai planning, mereka mampir ke Pantai
Kenjeran. Mereka tampak menikmati
pemandangan di Kenjeran, yahh walaupun
gak bagus bagus amat sih. Tapi at least, bisa
membuang penat lah. The Socialist
berpencar bergerombol berdasarkan gank
masing-masing.
Afif, Irma dan Imam tampak selfie dan
mengambil gambar diri mereka dengan
background pantai. Mereka tampak sangat
senang. Hingga saat ia menolehkan kepala,
ia melihat dua orang yang tengah duduk
berdua di salah satu ayunan. Dia
menyipitkan mata, mencoba untuk
memperjelas apa yang sudah dilihat oleh
matanya.
“Aku tinggal sebentar!” Pamitnya pada Irma
dan Imam. Irma dan Imam hanya
mengangguk karena mereka sedang asyik
menekuri hasil jepretan mereka dari kamera
HP mereka.
Afif berjalan mendekat, dan ia semakin yakin
bahwa ia tidak salah lihat. Seorang gadis
yang tampak menggandeng lengan pria
dengan manja. Sampai Afif disebelah kanan
mereka,
“Emmhm, permisi?!”
Dua orang itu menoleh, sang gadis tampak
berbinar dan sang pria tampak salang
tingkah, atau tepatnya tertangkap basah.
“Jadi, aku tidak melihatmu karena kau
sedang asyik ‘DISINI’ dengan ‘ORANG INI’
Nez?” Tanya Afif dengan sedikit menekan
kata-katanya.
“Oh iya, maaf. Aku terlalu asyik disini…”
Jawab Inez tanpa dosa dan tidak merasa
jika kata-kata Afif sedikit tajam.
“Oh hai, Seger Wahyudi!” Kini Afif beralih
pada Seger yang melihatnya dengan sedikit
kikuk. Afif merasa ada sesuatu yang panas
menyelimuti hatinya, apakah ia cemburu?
Entahlah, yang jelas ia sangat marah saat ini.
“Emm ha..hai…” Balas Seger canggung.
“Kalian sudah saling kenal? Bukannya Seger
jarang terlihat di The Socialist?” Tanya Inez
surprise.
“Emmh..emm…” Seger bingung menjelaskan.
“Sepertinya aku kenal dengannya selama
beberapa jam lebih dulu daripada kau
Nez…” Jawab Afif tanpa mengalihkan
pandangannya dari Seger.
“Aku pergi sebentar, ada telpon.” Inez
beranjak pergi. Afif langsung melipat tangan
di dadanya dan memandang tajam pada
Seger.
By the way, seharusnya ia tidak boleh
merasa cemburu. Memang siapa dia dan
siapa Seger? Memang Seger itu pacarnya?
Memang dia suka, sayang dan cinta pada
Seger. Tidak masuk akal, dia kan baru
mengenalnya tadi pagi. Ikhlas, dia harus
realistis sekarang ini. Logika nya harus
bermain.
“Ehmm Fif, aku..” Afif langsung beranjak, ia
berjalan cukup cepat.
Seger berlari mengejarnya dan langsung
bisa meraih lengan model androgini itu. Afif
mencoba menepisnya tapi ia kalah kuat
dengan Seger.
“Fif tunggu dulu…!” Seger masih menahan
lengan Afif.
“Lepaskan aku!”
“Aku ingin menjelas…”
“Tak perlu, kau tak perlu menjelaskan
apapun okay? Aku merasa tidak ada yang
salah, dan kau bebas melakukan apapun
dengan siapapun dan dimanapun. Clear?”
Afif menegaskan tapi dengan ekspresi yang
lebih pengertian, dan ramah. Well, memang
benar, dia hanya pura-pura.
tangan Seger. Lalu kemudian berjalan pergi,
dia melangkah dengan tangan mengepal.
Tapi sungguh, itu tidak disadari Seger. Seger
malah menyeringai.
‘Tampaknya ini akan sukses.’ Ujar Seger
dalam hati.
Seiring berjalannya waktu, Seger semakin
dekat baik dengan Afif juga dengan Inez.
Seger sama sekali tidak canggung ketika ia
mengumbar kata-kata romantis, atau
istilahnya menggombal pada keduanya. Afif
dan Inez sama-sama belum sadar, jika
keduanya didekati laki-laki yang sama.
Dalam berbagai kesempatan, Seger selalu
mengajak keduanya jalan atau istilah
kerennya sih kencan, dalam waktu yang
berbeda. Mereka sering makan, belanja atau
nonton bersama. Dan beruntungnya Seger,
jadwalnya ngapel Afif tidak pernah bentrok
dengan jadwal ngapel Inez.
Tapi akhir-akhir ini, Afif mulai curiga. Afif
yang sering curhat pada Irma, sedikit
banyak mendapat informasi dari Irma
bahwasannya Seger juga sering jalan
dengan adiknya, yakni Inez.
Siang itu di salah satu showroom mobil
Imam, Afif datang mengunjungi kakaknya.
“Hay, sendirian?” Tanya Imam.
“Ya, seperti yang Mas lihat. Hari ini adalah
salah satu hari tenangku, so, I’m coming
alone.” Jawab Afif.
“Dari mana kau memangnya? Mana Ferry?”
Tanya Imam lagi beruntun.
“Aku dari rumah sakitnya Irma, ada perlu
sedikit. Ferry sedang ke Samarinda, nge
check resort yang ada disana.” Jawab Afif
lagi lebih komplit.
Imam menganggukkan kepala. Afif berjalan
berkeliling, melihat lihat mobil-mobil hitam
mengkilat sambil sesekali mengelus body
depannya, tampak tertarik.
Afif berhenti di depan salah satu mobil BMW
berwarna hitam, ia mengamati dari ujung
atas sampai bawah, juga dari ujung depan
hingga belakang. Imam bersuara,
“Itu keluaran terbaru, bagus kan?”
“Perfectly, sepertinya tidak cukup murah.”
Afif berujar.
“Not really, tertarik?”
“Lumayan, jika terjangkau, aku ingin satu.”
Kata Afif. Imam tersenyum,
“Untuk mu aku beri harga istimewa.” Afif
menolehkan kepalanya pada sang kakak,
matanya tampak berbinar.
“Sungguh? Berapa?” Afif sangat antusias.
“Kau tidak perlu membelinya dengan
uang…”
“Lantas?” Afif mengernyit bingung.
“Cukup kau tukar dengan property milikmu
yang di Kemang, hahhaa…” Imam tertawa
besar.
“Sialan! Aku serius tau’!” Umpat Afif.
“Untukmu gratis adikku sayaang, apa sih
yang tidak buatmu.” Imam mengacak
rambut adiknya gemas, sementara sang
adik menggembungkan pipi. Tapi sedetik
kemudian,
“Heh? Gratis?” Afif tak percaya, Imam
mengangguk.
Afif berlonjak senang sambil tertawa.
Kemudian langsung loncat ke tubuh sang
kakak, yang otomatis Imam langsung
mengaitkan lengannya ke bawah paha Afif.
“Ahh Mas baiiiik sekali, kapan-kapan aku
traktir makan yaa…?” Afif masih belum turun
dari gendongan sang kakak.
“Kalau hanya makan, aku bisa beli sendiri.
Bahkan restaurantnyapun bisa aku beli.”
Sungut Imam.
Afif berpikir sejenak, mencari sesuatu yang
sekiranya bisa diberikan sebagai ucapan
terima kasih pada sang kakak. Dan ia
mendapat ide yang tidak mungkin ditolak
oleh sang kakak.
“Bagaimana kalau jalan seharian dengan
Paulina Vega? Mau?” Dan Imam langsung
sumringah.
“That’s what I want my lil bro…” Afif turun
dari gendongan Imam.
“Kau kok tambah ringan, agak kurusan
pula.” Ujar Imam sambil mengamati tubuh
adiknya, lalu ia bolak balikkan tubuh
ramping adiknya itu.
“Kurus di bagian mana Mas? Ini itu sudah
proporsional untuk model androgini, well
kata Ferry sih. Katanya, aku harus sering-
sering diet. Mengingat aku yang sering
khilaf kalau lagi makan,” Respon Afif.
Imam mengangguk anggukan kepala.
“Betul juga, sudah proporsional kok. Apalagi
bokongmu, sayang jika tidak di elus.
Hahahaa…”
~Plakk!~
“Ahh!”
“Dasar mesum!” Imam tampak mengelus
elus bahunya yang baru saja kena pukulan
Afif.
“Kapan akan dikirim ini mobil ke garasi?”
Afif bertanya.
“Iya iya, secepatnya. By the way, Mas Ulum
minta aku buat acara seminar bisnis
setingkat Nasional. Targetnya nanti selain
member The Socialist, juga seluruh pebisnis
di Negara kita ini.” Ujar Imam. Afif
mengangguk-anggukan kepala.
“Awesome!”
“Tadi Inez dan Seger kesini, mereka aku
kasih tahu sekalian aku minta mereka jadi
penerima tamu. What do u think?” Afif
sempat kaget,
‘Inez dan Seger kesini berdua?’
“Ada acara apa mereka kesini?” Tanya Afif
pura-pura perduli.
“Seger ingin menjual mobilnya, dan ingin
beli yang baru.” Ungkap Imam.
“Ya, never mind. Mereka member The
Socialist, yang satu cantik yang satu tampan.
Just go on!” Imam tersenyum sambil
mengangguk.
Tangan Afif terkepal, ia merutuk dalam hati.
‘Seger sialan! Apa-apaan dia? Apa
maksudnya dia mendekati Inez? Sedangkan
terang-terangan dia juga mendekatiku. Mau
double relationship ya? Kurang ajar!’
‘But wait! Bisa saja dia hanya sekedar
perhatian padaku tanpa maksud tertentu,
dia memberi perhatian padaku karena ia...
menganggapku sahabat, siapa tahu kan?
Ah, bodohnya aku. Kenapa aku bisa over
confident seperti ini? Well, aku harus
positive thinking. Siapa bilang Seger suka
padamu Fif? Kau saja yang ke GeEr an…”
Lanjut Afif masih dalam hati.
“Tapi mereka berdua terlihat mesra, apa
Inez sudah putus dengan Kuncoro?” Tanya
Imam, Afif menggeleng.
“Setahuku belum, mungkin hanya
perasaanmu saja Mas. Mana mungkin
mereka saling mesra?” Afif mencoba
berkelakar.
Imam mengangkat bahu, tampak terlalu
enggan untuk berpikir jauh.
“Ahh ya, bisa aku minta tolong?” Imam
bertanya pada Afif yang tengah menelisik
bakal mobilnya.
“What?”
“Aku berencana menghadirkan enam
narasumber, satu diantaranya Khairul
Tanjung. Nah lima sisanya aku ingin dari
luar, kau punya opsi?”
“Emmh…” Afif tampak berpikir sejenak, lalu
ia menyebutkan beberapa nama yang
diketahuinya.
“Bagaimana kalau Vladimir Putin? Giancarlo
Stanton? Lisa Vanderpump? Emilio Estefan?
Or Rob Dyrdek? Mungkin mereka bisa…”
Usul Afif. Imam mengangguk.
“Great! Kau yang ku tugaskan untuk
mengaturnya dengan mereka!” Dan Afif
hanya mengacungkan jempolnya untuk
merespon kakaknya.
***