BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

SHUTTER

123468

Comments

  • yang percakapan antara gael dengan tantra di saat mereka nge gym, ngomongin calvin..tadi rassanya aku nemu dua, tapi setelah aku cek, ini....("So, berantem yang waktu photosession L'oreal itu karna masalah Adrian, bukan sekedar Tantra ngoceh kayak biasanya. Kalo cuman ngoceh ya gue masa bodo dan nggak mungkin berantem sampe kayak gitu." imbuhku bercerita.)
  • tksss ya udah d tag,, next
  • @akina_kenji okay, thanks say! nanti diedit.
  • @akina_kenji okay, thanks say! nanti diedit.
  • edited January 2016
    Yg g sbr mau baca lanjutannya, sheet 04 bisa baca diakun wattpad tito yaaa. @bagustito
    soalnya tito blm kirim naskah ke aku jd blm bs post disini. Tp dia udah post diakun wattpad dia lanjutan genapnya. Thx!
  • Biasanya yg suka berantem gto manis diujungnya...

    Semoga
  • edited January 2016
    SHEET 04


    (Orlando Adhiwiyaksa)



                Pintu ruanganku diketuk-ketuk. Aku yang tengah berkutat dengan weekly supply report di layar MacBook milikku kontan menoleh ke arah pintu dan menemukan sosok Mira berdiri dengan sebuah map cokelat di pelukan.

    "Ada apa, Mir?" tanyaku pada perempuan duapuluh tiga tahun yang tak lain adalah asistenku itu. Membuat dia melangkahkan kaki menuju mejaku seraya menyerahkan map yang tadi dibawanya.

    "Ini dokumen dari DIM Management, Bos, barusan dikirim sama kurir," jawabnya seraya menyerahkan map tersebut. "Tadi sudah saya cek, isinya foto model yang nanti kita pakai untuk iklan produk terbaru kita."

    Mendengar penjelasan Mira, aku lantas mengangguk dan menerima dokumen tersebut. Tiga hari yang lalu, aku memang meminta Mira agar menghubungi DIM Management—sebuah rumah produksi sekaligus model agency terkenal di Jakarta—karena aku butuh model untuk menjadi bintang iklan sekaligus brand ambassador produk terbaru dari perusahaan kami. Sebagai perusahaan gadget ternama, sudah jadi semacam tradisi bagi kami memilih model-model berkelas untuk menjadi ikon produk setiap tahunnya. "Terima kasih ya, Mir. Dokumennya saya pelajari dulu."

    Mira mengangguk mendengar jawabanku. "Kalau begitu, saya kembali ke ruangan saya ya, Bos. Kalau Bos perlu apa-apa, silakan telepon ke ekstension saya." Usai pamit, gadis berambut sebahu dengan tubuh sintal yang terbungkus minidress pendek berwarna toska itu lantas pergi kembali ke ruangannya.

    Sepeninggal Mira, maka kualihkan pandanganku pada map di atas meja. Sejenak, kutatap map cokelat dengan logo DIM Management itu sebelum kemudian mulai membukanya. Sama seperti yang dikatakan Mira, di dalam map tersebut terdapat lima lembar foto model laki-laki yang ditawarkan oleh sang empunya agensi, lengkap dengan detail identitas yang disematkan di belakangnya.

    Sejenak, kuperhatikan lembar-lembar potret tersebut, sebelum kemudian mulai menelitinya dengan seksama. Foto pertama, menampilkan figur seorang laki-laki muda berusia awal duapuluhan dengan wajah eksotis khas indonesia yang berpose telanjang dada dengan latar belakang tembok berwarna pucat. Aku menarik ujung bibir kananku seraya tertawa tawar. Jika dibandingkan menjadi model iklan gadget, laki-laki dalam foto tersebut lebih cocok menjadi model pakaian dalam. Model pertama memiliki aura yang terlalu sensual, dan kami sama sekali tak membutuhkan model semacam itu. Maka dengan cepat, aku lantas menyisihkan foto tersebut. Foto kedua, berisi gambar lelaki yang terlihat jauh lebih muda. Hanya saja, bentuk wajah yang terkesan antagonis, membuatku ragu-ragu untuk memilihnya. Aku butuh model dengan senyum hangat agar customer merasa terwakili dengan sentuhan ekslusif yang ditawarkan produk kami. Dan model tersebut, sama sekali tak memilikinya. Foto ketiga dan keempat pun rasanya sama saja, entah kenapa, aku tidak menemukan sesuatu yang berbeda dari model-model tersebut. Mereka nampak kaku, tak ubahnya manekin kayu yang banyak kujumpai di toko-toko pakaian. Wajah mereka memang rupawan, hanya saja, aku tak menemukan ekspresi di wajah mereka.

    Hingga pada akhirnya, tanganku tergerak untuk melihat foto terakhir. Berbeda dengan keempat foto pertama, sosok dalam potret tersebut jauh lebih hidup dan memiliki paras yang jauh lebih menawan. Tubuhnya memang tak sekokoh figur pada foto pertama, hanya saja, proporsi badannya pas. Ditambah, raut Asianya yang oriental nampak begitu kontras dengan kulit putihnya yang mulus laksana salju. Aku mungkin bukan orang yang paham betul bagaimana cara menilai ketampanan laki-laki, hanya saja, kali ini aku tahu apa yang menarik dari model ini. Model ini sempurna. Dan dia memiliki segala kriteria yang kami inginkan. Aku membalik foto dan membaca detail singkat yang disertakan. Gamaliel Deandra, duapuluh satu tahun. Maka tanpa ragu, aku memutuskan bahwa sosok dalam foto terakhirlah yang akan kami gunakan dalam iklan. Kami memang butuh sosok baru yang segar. Dan rasanya, sosok terakhirlah yang kurang lebih mewakili harapan.

    Baru saja aku hendak menekan tombol ekstension untuk memberitahu Mira, ponsel dalam saku celanaku sudah lebih dulu berdering. Dengan gegas, aku merogoh benda persegi tersebut dan menemukan nama Dad berkedip-kedip di layar.

    "Yes, Dad?" Sapaku begitu speaker ponsel menempel di telingaku. "Ada apa?"

    "Malam ini, kau bisa pulang cepat, tidak?" Dari balik corong, suara Dad yang khas terdengar menenangkan. "Mom dan Dad ingin mengajakmu makan malam di luar, sekaligus, we have something to talk about."

    "Something?" Aku bertanya spontan karena tak mengerti maksud 'something' yang dibicarakan Dad.

    "Kau tentu masih ingat dengan kejutan yang Dad katakan minggu lalu, bukan?"

    Aku mengetuk-ngetukkan jari ke keningku. Tentu saja aku ingat dengan hal itu. "Ya. Tentu saja."

    "Maka dari itu, tolong kosongkan jadwalmu jam tujuh nanti. Pak Satya akan menjemput di kantor." Dad melanjutkan, tanpa memberiku kesempatan untuk menyela, atau setidaknya mendapatkan penjelasan.

    "Baiklah." Tanpa punya banyak pilihan, aku lantas mengiakan.

    "Bagus, kalau begitu, Dad tutup teleponnya. Jangan lupa perhatikan penampilanmu. Bye."

    Sedetik berikutnya, telepon terputus, bersamaan dengan helaan napas yang keluar dari bibirku. Jika sudah begini, aku yakin Dad maupun Mom pasti punya maksud tersembunyi.

    ***


    Pak Satya menjemputku pukul tujuh tepat seperti yang Dad katakan. Setelah lebih dahulu pamit pada Mira dan beberapa anak buah yang sedang meeting mingguan, aku lantas menghampiri Pak Satya dan membiarkannya membawaku menuju sebuah Chinese restaurant di kawasan Jakarta Selatan. Begitu mobil berhenti dan sopir itu mematikan mesin, aku lantas bangkit dari jok mobil dan merapikan sedikit pakaianku melalui pantulan kaca, sebelum kemudian mulai masuk ke dalam restoran yang terlihat ramai itu.

    Mom dan Dad sudah menungguku bersama dengan dua sosok perempuan dan satu sosok laki-laki yang asing bagiku. Usai menyapa kedua orangtuaku, aku lantas mengambil duduk pada kursi di samping Dad. Seorang waiter berpakaian putih dan rompi hitam nampak menyajikan beberapa jenis dim sum sebagai appetizer, sementara yang lainnya, sibuk menuangkan teh Oolong melalui teko keramik yang masih mengepulkan asap.

    "Nah, Orland, senang kamu bisa datang tepat waktu. Mohon perkenalkan, ini Oom Dito dan Tante Imelda, teman kecil sekaligus rekan bisnis Mom dan Dad." Dari tempatnya duduk, Mom mengenalkanku pada tiga sosok asing yang sejak tadi mengundang rasa penasaran di dalam dadaku tersebut. "Dan yang ini puterinya, Lena."

    Usai Mom melakukan perkenalan singkat, aku lantas menyodorkan tangan untuk menyalami Oom Dito, Tante Imelda beserta Lena. Meskipun Mom berkata bahwa Oom Dito dan Tante Imelda adalah rekan bisnis, aku masih begitu asing dengan wajah mereka.

    "Lena ini baru pulang dari Milan lho. Dia baru aja nyelesaiin pendidikan fashion design di sana dan lagi ngerintis usaha fashion outlet di Bintaro," jelas Mom dengan tanpa bosan-bosan terus menjelaskan tentang Lena yang kini duduk di hadapanku tersebut. Lena yang dimaksud Mom adalah seorang gadis duapuluh dua tahun dengan wajah yang begitu cantik. Rambutnya ikal panjang dengan warna kecokelatan, sementara fitur wajahnya terlihat sempurna dengan kulit putih serta bibir kemerahan yang begitu menggiurkan.

    "Sama kayak kamu, kebetulan Nak Lena ini juga lagi jomblo."

    Usai mendengar kalimat terakhir Mom, akhirnya aku tahu bahwa agenda tersembunyi yang sejak kemarin disebut Dad sebagai 'kejutan' adalah ini.

    "Kalian sama-sama cantik dan tampan, usia kalian pun juga nggak terpaut jauh, pasti nggak bakal sulit buat kalian saling mengenal." Aku hanya bisa menahan tawaku saat Dad ikut mengucapkan kalimat itu. Setelah sukses mengatur segala kehidupanku, Mom dan Dad kini ikut campur mengurus percintaanku?

    "Nak Orland pasti nggak keberatan, kan buat mengenal Lena lebih dekat? Anggap saja kalian adalah sahabat lama yang dipertemukan kembali. Tante yakin, kalian pasti akan cocok satu sama lain." Kali ini, giliran Tante Imelda yang ikut nimbrung. Sama seperti Mom, perempuan itu juga memiliki wajah yang anggun meski usinya sudah tak muda lagi,

    "Tentu saja tidak, Tante. Sepertinya, Lena adalah gadis yang menarik." Tentu saja, itu adalah kepura-puraan yang harus kukatakan agar aku tak mempermalukan Mom dan Dad di depan Tante dan Oom Dito. Aku tak mungkin mengatakan tidak kecuali aku ingin Mom dan Dad menggantungku sepulang makan malam nanti.

    "Tuh, Mel, aku bilang juga apa, puteriku sama putramu pasti bakal saling suka walau baru ketemu."

    Celetukan Tante Imelda lantas menciptakan tawa di antara kami. Sejenak, aku melirik ke arah Lena. Sama seperti tadi, gadis cantik itu hanya bisa diam dengan wajah yang bersemu merah.

    "Nah, kalau begitu, mari kita jadikan makan malam ini sebagai awal bagi Orland dan Nak Lena." Seraya mengangkat cangkir teh di depannya, Mom mengajak kami bersulang. Mengawali acara makan malam itu sekaligus merayakan perkenalanku dengan Lena.

    Acara makan malam berlangsung riuh dengan obrolan-obrolan di antara Mom, Dad dan kedua orangtua Lena. Seolah tak bosan, mereka berempat terus saja bercerita mengenai masa kecil dari aku ataupun Lena. Sementara, kami berdua—aku dan Lena—hanya mampu diam tanpa bisa menolak atau mengiakan perkataan mereka. Kadangkala orangtua memang terlalu hiperbola jika bercerita tentang anaknya, tapi disitulah letak rasa bangga di dalam hati mereka. Setelah acara makan malam usai, Oom dan Tante Dito beserta Lena lantas pamit untuk pulang ke rumahnya. Malam itu, Dad memintaku menginap di rumahnya, ada beberapa hal yang ingin beliau bicarakan padaku. Maka tanpa menolak, aku lantas ikut pulang ke rumah orangtuaku dan berakhir dengan aku dan Dad yang kini duduk tepi balkon lantai tiga. Mengisap rokok dan mengobrol banyak hal.

    "Kau tidak keberatan dengan rencana Dad, bukan?" Seraya mengembuskan asap rokok dari bibirnya, Dad memulai percakapan. Balkon rumah selalu menjadi tempat favorit Dad untuk merokok, sebab dari sini, pemandangan kota Jakarta terlihat jauh lebih indah.

    "I don't know, Dad." Seraya menyesap gelas soda yang dipenuhi es batu, aku hanya mengembuskan napas. Aku bukan tipe perokok seperti Dad ataupun Kak Marco. Sejak kecil, aku sudah membenci asap rokok dan sama sekali tak berniat untuk mencobanya.

    "Kau tentu tahu bukan, alasan kenapa Mom dan Dad melakukan ini?"

    Aku mendesah lagi. "Ya, tentu saja." Tanpa dijelaskan lagi pun, aku sudah tahu betul bahwa semua ini pasti berujung pada Kak Marco.

    "Mom dan Dad hanya tak ingin kau seperti Marco." Dad menyudahi isapannya dan menggerus sisa rokok ke dalam asbak. Lalu menyeruput gelas wine yang ada di depannya. "Kami menyerahkan begitu banyak harapan kepadamu, dan kami sama sekali tak ingin kau merusaknya seperti Marco."

    Aku hanya diam. Membiarkan laki-laki itu menuntaskan segala gulana di dadanya.

    "Sejak Marco pergi, hanya kamu satu-satunya harapan yang Mom dan Dad miliki. Sejak kakamu itu menghilang dan memilih jalannya sendiri, praktis, hanya kamu yang bisa kami andalkan. Maka dari itu, kami ingin kamu jadi seperti apa yang kami mau. Jadi Orlando Adhiwiyaksa yang mampu membuat Mom dan Dad-mu bangga."

    Akan tetapi, apakah membuat kalian bangga harus membuatku merelakan kebebasanku menentukan cinta? Aku menggerutu dalam hati. Seandainya bisa, aku ingin menolak mentah-mentah semua rencana ini. Aku sudah bosan dengan segala aturan Mom dan Dad yang selama ini terus mencekokiku. Semua ini salah Kak Marco, tapi kenapa aku yang harus bertanggung jawab?

    Namun sialnya, aku tak pernah punya keberanian untuk membuat mereka terluka.

    "Mom dan Dad tenang saja, aku takkan mengecewakan kalian." Pada akhirnya, hanya kalimat tersebut yang mampu keluar dari dalam bibirku. Bibirku memang sudah dilatih untuk membuat mereka bangga meski hatiku sama sekali tak menginginkannya.

    Mendengar itu, Dad lantas memelukku sejenak, menumpahkan emosinya di bahuku. Aku tahu bagaimana beratnya menjadi orangtua, terlebih, saat tahu bahwa anak laki-laki yang paling diharapkannya tak seperti apa yang mereka inginkan.

    "Kalau begitu, pergilah ke kamarmu. Hari sudah semakin malam, besok kamu pergi ke kantor, bukan?" Mengakhiri perbincangan kami malam itu, Dad lantas mengemasi kembali bungkus rokoknya seraya mengekorku masuk ke dalam rumah.

    ***


    Aku tak tahu harus merasa sedih atau malah senang dengan rencana Dad untuk menjodohkanku dengan Lena. Di satu sisi, aku tak bisa menolak sebab itu akan mengecewakan mereka. Sementara di sisi lain, aku juga mulai jenuh dengan sikap mereka yang bahkan ikut campur menentukan nasib percintaanku. Oke, mereka boleh memilihkan semua pendidikan, karir bahkan masa depanku, tapi tidak untuk kehidupan percintaanku. Sebagai seorang laki-laki, aku tentu merasa gagal jika tentang calon istri pun orangtua harus ikut campur memilihkan. Terlebih, dengan wajah tampan dan karir gemilang, tidak akan sulit bagiku untuk mendapatkan perempuan macam apa yang aku sukai.

    Tapi pada kenyataannya, Mom dan Dad memang melakukan itu. Aku frustrasi. Aku benar-benar dihadapkan pada situasi yang membuatku tak punya pilihan barang sekali. Menolak salah, menerimapun juga salah.

    "Mau saya tambahkan lagi, Martininya?" Suara seorang bartender membuatku tersadar. Aku bergegas menganggukkan kepalaku dan membuat laki-laki itu mengambil gelasku dan mengisinya lagi dengan Martini. Pulang kerja tadi, aku memutuskan untuk pergi ke salah satu pub di pusat kota. Setidaknya, aku butuh sedikit kesempatan untuk melepaskan pikiran yang ada di kepala. Dan seringkali, alkohol adalah obat mujarab untuk melepaskan beban apapun.

    "Terima kasih," jawabku begitu satu gelas Martini baru tersaji di hadapanku. Bartender tersebut mengangguk, kemudian berbalik untuk melayani pelanggan yang lain.

    Maka seraya mengisap minumanku, aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Pub tempatku berada kini memang primadona bagi penikmat dunia malam. Aku tahu tempat ini sebab dahulu aku sering ke sini dengan teman-teman SMA-ku, tanpa sepengetahuan Mom dan Dad tentu saja. Dahulu, aku sering ke sini untuk sekadar menikmati Martini nikmat buatan bartender atau iseng menggoda pelacur-pelacur cantik yang lalu-lalang dengan pakaian minim. Meskipun pada akhirnya, aku sama sekali tak memiliki nyali untuk tidur dengan salah satu di antara mereka.

    Di depanku kini, sudah banyak laki-laki dan perempuan yang saling menempel ditemani musik trence yang dimainkan DJ. Beberapa kali, aku juga melihat gadis-gadis cantik dalam pakaian mini mengerling ke arahku, menawarkan senyum mereka yang sensual.

    "Hai, sendiri saja?" Saking menikmatinya pemandangan yang tersaji di hadapanku, aku sampai tak sadar bahwa di sampingku kini, sudah ada sesosok gadis cantik berambut ikal sebahu dengan tubuh seksi yang terbalut minidress berwarna merah marun. Tangan kanannya yang dihiasi jemari lentik, sudah tersampir di bahuku.

    "Kau bisa melihatnya, bukan?" jawabku dengan nada yang kubuat semanis mungkin. Membuat gadis berambut ikal kelam yang kuterka berusia satu tahun di bawahku itu tergelak tipis seraya menggerakkan tubuhnya makin menempel dengan tubuhku.

    "Punya waktu untuk berdansa?" tawarnya. "Kau tentu tak ingin melewatkan malam ini Cuma dengan duduk-duduk di sini tanpa melakukan apapun, bukan?"

    Aku kembali tertawa tipis menanggapi perkataannya. Lihat sendiri bukan? Tanpa melakukan apapun, perempuan akan dengan mudah menghampiriku.

    "You are handsome, pasti sudah banyak perempuan yang antre untuk menggodamu sejak tadi," tambahnya, kali ini sembari bergelung manja di leherku. "Maka dari itu, sebelum aku keduluan, kau bersedia bukan untuk turun bersamaku?"

    Belum sempat aku menganggukkan kepala sedetik berikutnya, gadis tersebut sudah lebih dulu menarikku menuju lantai dansa. Tanpa punya pilihan lain, aku lantas mengekornya. Lagipula, gadis itu cantik, jadi apa salahnya aku bermain-main untuk malam ini saja?

    ***


    Aku terbangun keesokan paginya karena cahanya menyilaukan yang diam-diam menyusup melalui kaca jendela. Setengah memegang kepala yang masih terasa pengar, aku mengumpulkan kesadaran. Di sampingku, gadis yang semalam kuajak berdansa dan bercinta masih tertidur pulas di balik selimut tebal. Aku ingat, semalam, setelah menggoda dan mengajakku berdansa, perempuan ini membawaku menuju sebuah hotel di salah satu sudut kota. Dan aku ingat pula, semalam, kami bercumbu dengan mesra di bawah pengaruh alkohol.

    Maka tanpa berniat membangunkannya, aku lantas menggeser tubuhku menuruni ranjang. Jarum pendek pada arlojiku sudah menunjuk angka delapan pagi, maka tanpa membuang waktu, aku segera memunguti pakaianku yang terserak di lantai dan bergegas memakainya. Namun sialnya, gerakanku rupanya membuat perempuan tersebut terbangun.

    "Kenapa buru-buru sekali? Ini bahkan baru jam delapan pagi." Seraya menutupi tubuhnya dengan selimut, perempuan yang—bahkan—belum kuketahui namanya itu bangkit dan menatapku yang kini tengah membenarkan kerah kemeja di tubuh.

    "I have to go work," jelasku. "You know what? Buatku, jam delapan itu sudah teramat siang. I already late for appointment, presentation, and meet the client."

    Mendengar jawabanku, ia tertawa tipis lantas bangkit dan memunguti pakaiannya yang terserak di bawah ranjang. "Kenapa hidupmu begitu teratur? You just life once, kenapa kau tak menikmatinya?"

    Kuakui, ucapannya membuatku seketika tertegun.

    "Wanna have coffe or tea? Duduklah sejenak." Perempuan itu, lantas membawa langkahnya ke arah pantry sebelum menyalakan water boiler dan menyiapkan dua cangkir keramik yang disediakan.

    "Tea, with camomile, please." Maka tanpa punya pilihan lain, aku lantas mendaratkan kembali pantatku ke atas ranjang. Sementara kedua mataku masih mengamati ia yang kini menuangkan air panas pada dua cangkir yang telah diberinya tea bag dan bubuk kamomil.

    "Omong-omong, siapa namamu?" Sembari menyerahkan cangkir teh kepadaku, perempuan itu duduk menggeser duduknya ke sampingku.

    "Orlando, Orlando Adhiwiyaksa," jawabku singkat. Seraya menyapa lembut wangi bunga kamomil yang menembus penciuman. "Kau?"

    "Panggil saja aku Rosie." Rosie—perempuan itu, menjawab. Jika kuperhatikan, sesungguhnya Rosie memiliki postur wajah yang terlalu menawan untuk seorang pekerja seks komersial. "Apa yang kau lakukan di Stardust semalam?"

    Mendengar pertanyaan itu, aku hanya diam tertegun seraya meremas cangkir tehku dengan gulana. Sejak kapan seorang pelacur peduli dengan apa yang dilakukan oleh pelanggannya?

    "Aku hanya ingin melepas sedikit beban saja di kepala," jawabku jujur. "I'm not a clubber nor alcoholic, actually."

    Karena jawabanku, Rosie mengangguk. "Aku nggak heran orang sepertimu akan memberikan jawaban seperti itu. Ada banyak manusia yang merasa terkekang dengan hidupnya, termasuk dirimu."

    Jujur, aku sedikit tersinggung dengan ucapan Rosie, hanya saja, aku memilih untuk tersenyum tawar dan menggelengkan kepalaku. "Aku dijodohkan dengan perempuan yang tak kuinginkan."

    "Cliche," cibirnya.

    "Orangtuaku membesarkanku dengan sejuta harapan yang disematkan di bahuku. Dan aku sama sekali tak punya kesempatan—lebih tepatnya, keberanian—untuk melawan mereka."

    "You know what, georgeous Orlando Adhiwiyaksa? Sama kayak yang aku bilang tadi, you just life once, so enjoy your life now. Bagaimana kau akan bisa menikmati hidupmu sementara menyetir kehendakmu saja kau tak bisa?" Sedikit tertawa, Rosie menambahkan. Jika kupikir-pikir, memang benar apa yang diucapkan oleh perempuan itu. Setidaknya, hidupku memang menyedihkan.

    "By the way, I have to go. Seriously," lanjutku begitu aku sadar bahwa arlojiku terus merangkak menuju siang dan aku ingat bahwa hari ini aku ada meeting dengan beberapa pemegang saham dari Korea.

    Maka tanpa punya kuasa untuk mencegah, Rosie pun akhirnya mengangguk.

    "Thanks for tonight, dan juga atas obrolan singkatnya barusan. I really apreciate it."

    "Kau tak perlu berterima kasih. Kau tampan, dan aku senang hati melakukannya," katanya, ketika aku memakai celana panjangku.

    Usai berpakaian, aku lantas mengeluarkan dompet. Menarik beberapa lembar seratus ribuan, meletakkannya di atas nakas, sebelum bergegas pergi meninggalkan kamar hotel.

    ***
  • edited January 2016
    12513821_1732281617000732_5841020045762230141_o.jpg?efg=eyJpIjoiYiJ9


    SHEET 05


    (Damian Tantraka Widjaja)



    My birth name is Damian Tantraka Widjaja, usually called Dammy, not Dummy, okay? Kecuali Gael seorang. Sejak awal kami berteman, ia lebih memilih memanggilku Tantra. Alasannya sederhana dan mungkin kekanakan sekali, hanya karna nama tengahku itu lebih unik dan tak biasa. Katanya sih, daripada ia memanggilku dengan nama yang jelas-jelas bisa dibilang cukup pasaran, lebih baik ia memanggilku Tantra yang seperti nama tokoh dikonsol game miliknya.
    Ia memang bocah remaja yang lucu dan naif. Gael sudah kuanggap layaknya adik laki-lakiku sendiri.

    Aku seorang Dokter Orthopedi disebuah rumah sakit swasta dibilangan Jakarta Pusat. Klasik, bukan?
    Setiap anak-anak pada saat masih kecil kebanyakan selalu dijejali dengan bayangan cita-cita untuk menjadi seorang dokter, guru, polisi, maupun pekerjaan kemasyarakatan mulia lainnya.
    Disisi lain memang aku hidup dalam keluarga serba medis. Ayahku seorang dokter spesialis jantung yang namanya sudah begitu terkenal didunia medis, sedangkan Ibuku seorang dokter gigi dan membuka praktek sendiri dirumah kami, yang mana bagian depan sisi kanan rumah dialih-fungsikan sebagai klinik tempat beliau praktek.

    Aku anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak perempuanku seorang dokter umum yang membuka klinik sendiri dirumahnya, sekaligus menjadi seorang Ibu rumah tangga biasa. Ia sudah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang lucu.
    Sedangkan aku? Haha... Entahlah, karna aku seorang gay, aku belum siap untuk menikah meski usiaku sekarang telah menginjak usia yang tepat untuk seharusnya menikah dan membina bahtera rumah tangga. Dan kemungkinan buruknya, aku takkan pernah siap. Who knows?
    Aku selalu beralasan ingin fokus dengan karirku terlebih dulu yang saat ini tengah melambung.

    Basically, aku tak begitu tertarik dengan dunia medis. Namun karna aku hidup dalam keluarga serba medis dan aku adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, sehingga orangtuaku, terutama Ayah, yang sangat mengharapkanku untuk menjadi seorang dokter hebat kelak.



    20 September 2010

    "Aku adalah pria sederhana yang paling beruntung, sehat dan bahagia."

    Suatu malam diacara ulang tahun yang ku gelar di apartemenku, tiba-tiba saja aku bertemu dengan seorang pria.

    Just give me a sentence, okay?
    He is a great, sweet, gorgeous and cool-ass guy.
    Is it too long? Sorry... But, He is so charming like the way he do.

    "Boleh aku bantu?" tiba-tiba seorang pria yang penuh pesona berdiri disampingku, menawarkan bantuan untuk membawakan beberapa anggur ke depan.

    Tentu aku dilanda grogi setengah mati. I wonder, where this cool-ass guy come from?
    Namun kemudian dari arah jam dua, aku mendapat sesuatu. Erik, salah satu teman baikku melempar kode dengan kerlingan matanya, dan aku hanya bisa menahan tawa sembari melanjutkan berbincang dengan pria disampingku kala itu.

    Malik Farran Hamizan, pria yang dengan mudah telah menarik seluruh inderaku kala itu. Meluluh lantakkan segala dinding yang kubuat selama ini. Ia mempesona semua orang dengan caranya, termasuk aku.
    Sejak pertemuan itu, kami jadi lebih mengenal satu sama lain. Seorang pria misterius yang kemudian seiring berjalannya waktu menjelma menjadi pria impianku yang kucari-cari selama ini.

    Kami saling mencintai dan memahami dengan indahnya. Merenda kasih menjadi juntaian cerita cinta yang tergelar sempurna.
    Satu kalimat sederhana yang bisa kuungkapkan betapa beruntungnya aku bisa bertemu dan memiliki pria sebaik Malik adalah,

    "Ia kebahagiaan terindah yang pernah ku miliki."



    Desember 2012

    "Aku seorang pria biasa penuh keberuntungan yang dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan."

    Pada hari itu, aku membantu Malik untuk pindahan. Kami memutuskan untuk tinggal bersama dihari jadi kami yang kedua.
    Kami berdua adalah pasangan paling bahagia hari itu. Tiada hari yang kami lewatkan tanpa bersama. Tiada hari yang kami lewatkan tanpa tawa bahagia dan kasih mesra.

    Seusai mengurus dan menata semuanya, malamnya ia mengajakku dinner disebuah restoran mewah dan romantis dipusat kota. Dan berakhir dengan memberiku setangkai mawar putih. Ya, hanya setangkai. Namun caranya memegang mawar tersebut saat memberikannya padaku secara tiba-tiba membuatku bertanya-tanya, apa maksudnya memegang bagian leher bunga tersebut, bukan tangkainya?
    Dan ketika jemariku telah melingkar ditangkai bunga tersebut untuk meraihnya, tiba-tiba saja ada cincin perak cantik yang meluncur dari atas, tepat saat ia melepaskan jemarinya.

    Itu adalah malam paling menakjubkan yang pernah kudapat. Aku hanya bisa terisak haru, sedangkan ia tanpa malu terus berusaha menenangkanku, memelukku, mengecup keningku lembut. Mengucapkan kata-kata terindah yang pernah kudengar. Sebuah janji untuk hidup bersama...
    Dan kami berakhir menjadi pasangan paling bahagia sesudahnya. Tiada hari tanpa binar cinta bahagia dikedua mata kami.

    Malik seorang suami yang tulus dan penuh perhatian, ia juga selalu mengerti aku. Malik selalu menjagaku dari kerasnya dunia luar. Ia-lah pria yang selalu menghapus air mataku, ia pula-lah pria yang selalu mampu membuat jantungku berdegup tak karuan. Dan hanya ia-lah pria yang mampu membuatku kembali mengenal dan merasakan indahnya sebuah cinta.

    Akan tetapi dipenghujung tahun keempat hari jadi kami, Malik mulai berubah. Ia bukan Malikku yang dulu, dan belakangan ini aku merasa banyak yang disembunyikan olehnya.

    Binar kasih dimatanya mulai meredup...
    Ia menjadi pribadi yang emosional dan kasar.
    Ia jadi lebih dingin padaku...
    Ia memakaiku untuk seks kapanpun ia mau. Selain itu, aku akan diabaikan.

    Malik menjadi lebih boros, menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang dengan kartu kredit atas namaku yang sejak dulu kubuatkan untuknya. Padahal selama ini ia selalu mengingatkanku untuk menabung dan mengelola pengeluaran dengan bijak. Namun belakangan ini aku cukup kelabakan membayar tagihan kartu kredit yang melambung tinggi secara drastis. Dan ketika kucoba untuk mengingatkan, ia malah marah dan menganggapku terlalu perhitungan padanya.
    Ia juga lebih sering pulang malam, dan terkadang mabuk-mabukan, yang semula selalu dirumah bersamaku, menghabiskan setiap malam-malam kami.

    Malik juga memperlakukanku semena-mena, menyuruhku ini-itu... Aku merasa seperti seorang budak yang membayar majikanku sendiri.

    Malik telah merenggut martabat, harta, harapan dan kepercayaanku, hingga tak tersisa apapun dariku.

    Aku tak tahu apa yang terjadi...
    Aku hanya tetap bungkam dalam diam selama ini. Hingga suatu malam, aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini. Pada akhirnya kuberanikan diri untuk mengangkat masalah ini ke permukaan. Berniat membicarakannya baik-baik. Namun dimalam yang sama aku juga dilanda ketakutan dan kekecewaan luar biasa.
    Dia bukan lagi Malikku yang selama ini kukenal...


    Suatu hari saat aku pulang kerja, kedua mataku dikejutkan oleh beberapa barang-barang mewah yang sebenarnya tak begitu perlu untuk dibeli. Ada beberapa alat kebugaran, keranjang berisi anjing Samoyed putih, dan box cukup besar berisi laptop.

    "Sayang, buat apa ini semua?" tanyaku lembut, mencoba bersabar dan percaya pada apapun niatnya.

    "Biar bisa nge-gym dirumah, anjing buat Andre, dia pengen anjing udah lama, buat nemenin dia dirumah. Trus, laptop buatku."

    Aku menggantung jaketku, lalu duduk disampingnya. "Sayang, tagihan kartu kredit kamu yang bulan kemarin cukup banyak lho, tolong kamu lebih hemat lagi kali ini, beli yang bener-bener perlu aja. Lagipula bukannya kemarin kamu udah beli laptop baru?"

    "Yang kemarin kan buat Andre, dia masuk SMK jurusan Multimedia. Lagian apa salahnya sih? Dia perlu banget laptop itu buat sekolah."

    Aku mengedarkan pandang, menemukan tas Louis Vuitton mewah, baju-baju mahal, ponsel baru, jam tangan baru, dan beberapa barang lainnya. "Trus itu semua buat apa?"

    Ia mematikan dvd yang tengah ditontonnya, lalu membanting remote yang digenggamnya dan berbalik menatapku tajam, penuh amarah. "Kamu nggak percaya sama aku? Nggak percaya sama niat dan maksudku?" paparnya emosional, terdengar tersinggung.

    "Bukan begitu maksudku, aku cuman ngingetin aja, Sayang. Soalnya belakangan ini aku rada kesusahan bayarnya. Kamu ngerti aku dong, sedikit aja...
    Bulan kemarin kan kena dua belas, kali ini lebih hemat lah harusnya." timpalku, menjelaskan sebaik mungkin.

    Malik terus bergeming. Sejenak kemudian kami hanya membisu. Namun tiba-tiba saja Malik mengeluarkan dompet, mencabut kartu kredit dari sana dan melemparnya ke wajahku. "Nih, aku udah nggak butuh lagi!"

    Aku tersentak kaget, kemudian memungut kartu tipis tersebut dan berusaha sekeras mungkin menahan air mataku yang terus mendorong untuk tumpah. "Bukan ini maksudku,"

    Aku beralih bersimpuh dihadapannya, meraih tangannya dan menatap lekat kedua matanya. "Maafin aku... Aku nggak bermaksud," dan tangisku akhirnya pecah.

    Malik tersenyum datar, lalu menghapus air mataku. "Yaudah, lupain aja ya! Kedepan, nanti aku bakal lebih hemat lagi, aku juga minta maaf."

    Senyumku mengembang kemudian. Aku tak menyangka kali ini Malik mengerti. Kulancarkan kecupan lembut dipipi kanannya, kemudian aku pamit untuk mandi dan menyiapkan makan malam.

    "Oh ya, Sayang," sela Malik tiba-tiba, membuat langkahku terhenti.

    "Iya?"

    "Nanti masak dikit aja, soalnya aku mau keluar abis ini." ujarnya.

    Aku mengangguk patuh, lalu segera mandi dan menyiapkan makan malam kemudian.

    Malam itu Malik berdandan rapi, dengan setelan kemeja slim-fit maroon, menyemprotkan cukup banyak parfum, dan terakhir menata rambutnya, sembari memastikan penampilannya didepan cermin beberapa kali.

    "Kamu mau kemana sih, rapi banget?" tanyaku ramah, sembari bersandar diambang pintu.

    "Cuman nongkrong sama anak-anak SMA dulu, udah lama nggak jalan sama mereka." jawabnya, sembari sibuk menata rambutnya.

    "I see, hmmm... Maaf sebelumnya, bukannya nggak percaya, tapi kamu nggak bohong kan?"

    Ia menoleh, "Ngapain aku bohong?" kemudian mendekat dan menatapku lekat. "Lihat mataku baik-baik, apa kayak pembohong brengsek?"

    Kucoba untuk tersenyum, "Yaudah, jangan malem-malem pulangnya, ya!"

    "Iya, Sayang," timpalnya lembut, terdengar seakan dipaksakan, lalu mencium bibirku singkat. Melesat turun ke bawah kemudian, menghilang dibalik pintu.

    Namun lagi-lagi ia pulang malam, dan kali ini dalam keadaan setengah mabuk. Bahkan kali ini pulang pagi lebih tepatnya, ia baru pulang pukul empat pagi.
    Aku begitu cemas melihatnya pulang dalam keadaan seperti itu. Tanpa basa-basi kubantu ia rebahan diranjang, lalu melepaskan sepatunya.

    "Sayang, kamu kenapa? Trus, kamu dianterin siapa tadi?" tanyaku khawatir.

    "Pergi... Pergi aja, tinggalin gue sendiri!" racaunya dengan suara parau.

    "Kamu kenapa sih, Sayang? Ada apa, bilang!
    Trus kenapa kamu pulang jam segini, dalam keadaan seperti ini lagi? Kamu sebenernya kemana sih? Ngapain?" cecarku bertubi-tubi yang tak dapat lagi membendung segala pertanyaan dibalik tempurung kepalaku. Rasa gelisah begitu melandaku malam itu.

    Malik bangkit, "Berisik banget sih, kamu!" kemudian mendorongku dan memaki-maki menyuruhku pergi meninggalkannya sendirian.

    Aku tak tahu entah harus bagaimana. Aku hanya bisa menuruti kemauannya, lalu berakhir memaksakan kedua mataku untuk terpejam disofa ruang tengah. Namun yang ada, aku malah tak dapat melanjutkan tidurku. Dan tak terasa lelehan hangat mengalir dari kedua mataku. Serasa menggelarkan perih ke setiap pori tubuhku.

    ***


    Sejak malam itu kami jadi saling diam. Hingga beberapa hari kemudian sepulang kerja, aku melihat Malik duduk disofa ruang tengah. Ia bermain game dengan Playstation 4 yang belum lama ini dibelinya, sembari memangku setoples keripik dalam pangkuannya.
    Aku menghampirinya, membawa secangkir kopi yang ia minta sebelumnya. Masih panas, dengan asap mengepul diudara.

    Kami duduk berdampingan dan saling membisu selama beberapa menit. Hingga akhirnya kuraih dan kuremas punggung tangannya. Aku meminta maaf perihal permasalahan waktu itu. Terutama perihal kartu kredit dan kurang percayaku padanya karna ia sering pulang malam. Ia mengiyakan dengan ekspresi datar, lalu kembali terpaku dengan game yang tengah dimainkannya.

    Ku geser tempat dudukku semakin dekat, membuatku dapat mengamati wajahnya lebih dekat. "Sayang?"

    "Ya?" gumamnya tanpa menoleh.

    Kusandarkan kepalaku dibahu kokohnya, seraya kubelai lembut dadanya yang bidang dibalik kaus tipis abu-abu yang disandangnya. "Aku kangen..."

    "Maksudmu?"

    Kulegakan tenggorokanku yang tiba-tiba saja tercekat. "Ehmm, sudah lama kita nggak ngobrol berdua, apalagi jalan berdua. Kamu selalu sibuk, habis pulang kerja, hampir tiap hari kamu selalu keluar malem." keluhku menuntut perhatian. "Aku seneng banget malem ini kamu dirumah, kita berduaan kayak gini."

    Dan pada sore itu kami berakhir dengan bercinta diatas sofa, penuh kasih mesra. Aku merasa Malik sudah mulai kembali seperti dulu.
    Sore itu aku bersandar didadanya, dalam dekapannya yang hangat dan membuatku luar biasa nyaman, hingga aku terlelap entah berapa lama.

    Namun kemudian Malik mengguncang tubuhku, memindah kepalaku dari tempat nyamannya bersandar. "Maaf ya, Sayang... Aku mau keluar bentar lagi. Aku mau siap-siap dulu!" ia beranjak dari tempatnya, berjalan masuk ke kamar.

    Aku mengerjap, berusaha menguasai diriku yang sudah dilanda kantuk dan letih luar biasa.
    Kubenarkan pakaianku, lalu mengikutinya. Memperhatikannya yang tampak tergesa-gesa menyemprot parfum ditubuhnya yang sedang bertelanjang dada. Kemudian memakai kemeja biru dengan aksen warna putih dibeberapa bagiannya.

    "Kamu mau kemana malem ini?" tanyaku lembut, sembari bersandar diambang pintu.

    "Ehmm... Anu, temen kerja ada yang istrinya lahiran. Nanti kesana rame-rame sama temen-temen kerja. Trus nanti kayaknya nggak langsung pulang, mau ngumpul sama mereka diluar, makan, nongkrong." jawabnya, tetap sibuk menata penampilannya.

    Jujur saja, aku sudah lama tak pernah melihatnya berdandan untukku, apalagi berdandan rapi dan seberlebihan ini. Ini terlihat bukan seperti acara yang ia sebutkan. Ini tampak seperti... Ini tampak seperti sebuah kencan.

    Oh, maafkan aku yang sekali lagi menjadi pria menyedihkan dan menyebalkan. Terus berfikiran negatif tentangmu, Sayang...

    Sebenarnya aku muak dan malas dibuat menjadi pria menyebalkan seperti ini, yang penuh curiga dan rasa ingin tahu. Entah mengapa aku berbalik menjadi pria seperti ini, dan sekarang nampaknya menjelma menjadi pria putus asa.

    Terakhir kali aku melihatnya berdandan rapi untukku adalah saat kami merayakan hari jadi keempat kami, lebih tepatnya setahun yang lalu. Sejak saat itu aku sudah lama tak pernah melihatnya berdandan. Di Anniversary kelima kami kemarin, ia hanya berdandan ala kadarnya, dengan kaus v-neck polos dan jeans hitam.
    Ia hanya akan selalu berpakaian seadanya ketika bersamaku. Memakai kaus tipis dan jeans, memakai parfum singkat, dan takkan mau repot-repot menata rambutnya seperti saat ini.

    Mengapa harus seberlebihan ini ia menata penampilannya hanya untuk acara tersebut?
    Kalau memang itu benar, apakah salah bila aku iri?
    Apakah salah bila aku ingin ia berdandan untukku suatu hari, lalu mengajakku jalan atau dinner berdua diluar?
    Apakah aku sudah menjadi seorang suami yang berlebihan sekarang?

    Ada berbagai skenario buruk yang berkelebat didalam kepalaku saat ini, yang mati-matian kuusir dari benakku,

    Apakah aku sudah tak semenarik dulu baginya?
    Apakah ada pria lain yang lebih menarik perhatiannya?
    Apakah aku sudah tak seberarti dulu baginya?
    Dan apakah ia selama ini hanya beralasan untuk menutupi semuanya?

    Pertanyaan-pertanyaan penuh curiga dan kegelisahan itu kian hari kian menggunung, memenuhi tiap sudut kepalaku. Hanya akan membuatku terus bertanya-tanya tanpa bisa menanyakan. Hanya akan membuatku semakin besar membangun ketakutan tanpa bisa ku singkirkan.

    Malam itu kuputuskan memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan berikut, "Boleh kalau aku ikut?"

    Ia tertawa singkat. Ada sedikit nada tak suka disana. "Kamu dirumah aja, ini cuman acara sama temen-temen kerja kok! Lagian aku udah telat nih, Sayang. Aku nggak sadar kalau sekarang udah jam tujuh."

    Ia baru saja selesai. Kemudian menghampiriku, mengusap lembut pipiku, lalu mengecup bibirku selama beberapa detik. "Aku cabut dulu ya!"

    "Hati-hati, jangan pulang malem!" pintaku dengan nada memohon.

    Ia mengangguk, lalu meluncur ke bawah. Namun tiba-tiba saja ia kembali menaiki tangga, menghampiriku kemudian. "Oh ya hampir lupa, aku mau pinjem mobil."

    "Mobil?" ulangku, yang kurasa salah dengar.

    "Iya, mobil. Aku harus jemput beberapa orang."

    Aku segera mencari jas putih panjangku. Terakhir kutaruh disaku jas kerjaku.

    "Jangan pulang malam-malam!" pintaku lagi memohon, setelah memberikan kunci mobilku. Ia mengangguk, mengecup bibirku lagi, kemudian berjalan meninggalkanku.

    Namun tiba-tiba saja aku ingat sesuatu, dan langsung mengekor cepat dibelakangnya. "Sayang, tunggu!"

    Ia kembali menutup pintu, lalu berbalik, menatapku jengah. "Apa lagi?"

    "Jangan mabuk-mabukan lagi kayak waktu itu. Please!
    Itu nggak baik buat kesehatanmu."

    Ia tersenyum miring, "Ini dirumah ya, dan aku bukan pasienmu. Kita memang tinggal serumah, tapi bukan berarti semua urusanku bisa kamu atur-atur juga!
    Aku tetap punya kehidupanku yang nggak bisa kamu campuri.

    Kamu sadar nggak sih, kenapa aku belakangan ini rada dingin? Kamu tuh terlalu berlebihan dan aku mulai muak sama sikapmu itu!"

    "Bukan itu maksudku..." desisku lirih. Aku menatapnya sedih, tak percaya kenapa malah jadi seperti ini ujungnya.

    Ia melemparkan tatapan tajam menusuk. "Trus apa?" nada bicaranya meninggi.

    "Aku cuman mulai nggak bisa kayak gini terus. Kita nggak bisa begini terus!" rapalku susah payah. Saat ini aku telah dikalahkan oleh rasa gelisah, sakit dan kecewaku. Membuatku ingin membawa masalah ini ke permukaan dan berharap masalah ini bisa selesai. Lalu takkan ada lagi hal-hal mengganjal yang membuat jarak kasat mata diantara kami.

    Ia semakin mendekat, terus menusukku dengan tatapan yang menyudutkan. "Gini gimana, maumu apa sih? Asal kamu tahu ya, aku udah bosen denger kamu suka ngatur, curiga, terutama sikapmu yang berlebihan itu!
    Kamu nggak percaya sama aku, hmmm?

    Bilang aja sekalian kalau kamu selama ini juga nggak bahagia sama aku. Emang, aku selalu aja kurang dimatamu! Aku brengsek yang pantes dicurigai terus!"

    Dan pada akhirnya rasa sakit yang telah sedemikian rupa menggunung, merongrong setiap sudut hatiku inilah yang membuatku mulai jengah dengan semua ini, dan berakhir dengan meluapkan segala emosiku.

    "Kalau ya kenapa? Bahkan mendekati pun enggak!" pekikku. Mataku berkaca-kaca, menuntut ia mengerti sedikit saja perasaanku.
    Selama ini aku selalu mencoba mengerti, memahami dirinya. Selama ini pun aku selalu mencoba untuk terus mengalah dalam setiap permasalahan. Aku selalu memilih untuk diam dan menghindari pertengkaran. Aku terus bungkam dalam dunia yang ia ciptakan sesukanya.

    Napasnya tak teratur. Kedua tangannya mengepal disisi tubuhnya. Namun ia hanya menatapku penuh amarah, kemudian berbalik menarik pintu.

    "Dan kamu mau tetep pergi sekarang?!" seruku akhirnya, tak dapat lagi menahan gejolak didalam dadaku.

    Ia berbalik. "Ya!" membentak dengan intonasi tinggi yang membuatku tersentak kaget tak percaya.

    Mataku berkaca-kaca. Emosiku meluap. "You are a fuckin' Coward!"

    "Brengsek!" ia meluncurkan tamparan keras ke rahangku dengan punggung tangannya, kemudian tiba-tiba mencengkeram kedua lenganku dan mendorongku penuh emosi, hingga punggungku terantuk tepian meja.

    Aku terjatuh lemas dilantai. Rasa nyeri yang amat menyakitkan dengan cepat menjalari area punggungku. Sesaat kemudian pandanganku menjadi sedikit kabur dan kepalaku terasa berat.

    Samar-samar kulihat Malik masih nampak diliputi luapan emosi, dengan sorot mata tajam, seringaian dan kedua tangannya yang masih bergetar.

    Yang membuatku sakit dan bergetar ketakutan bukanlah soal ia menampar dan mendorongku. Menyakitiku secara fisik untuk pertama kalinya.
    Yang membuatku takut adalah, aku dapat melihat bias amarah dan kebencian yang menakutkan itu. Terutama saat kutangkap bahasa tubuhnya yang seakan berbicara bahwa ia masih ingin menyakitiku. Ia tampak masih ingin menyakitiku lebih lagi...

    Akan tetapi Malik berbalik merengkuh tubuhku, berusaha menenangkanku dan meluncurkan belasan kata-kata maaf berulang kali.

    Tubuhku masih bergetar hebat. Aku benar-benar diliputi perasaan ketakutan luar biasa sembari menatap kosong ke dalam dua bola matanya. Mencari tahu apakah benar ia Malikku? Apa gerangan yang membuatnya berubah sedemikian rupa?

    Dan sejak saat itulah aku menyadari, bahwa aku takut dengan suamiku sendiri.

    ***


    Jakarta, 21 Februari 2015
    Pukul 23:15


    "Eh, by the way, ini udah malem lho! Malik kok nggak balik-balik?" tanya Gael kemudian, yang malam itu tengah berada diapartemenku.

    "Bentar lagi kali? Palingan dia diajak makan dulu diluar sama temen-temen kerjanya." kilahku, berusaha nampak sesantai mungkin.

    "Yakin?"

    "Iya, udahlah kita bahas yang lain aja, oke?!" tandasku sekali lagi, berusaha mengalihkan pembicaraan ini. Kemudian memutar otak, mencari sesuatu. "Oh ya, aku kemarin beli beberapa baju, bagus banget, itu trend tahun ini. Trus baju pesananku dari Singapore Fashion Week kemarin udah sampe. Mau lihat?"

    "Boleh deh!" timpalnya singkat, nampak terganggu dengan pengalihan yang kulakukan. Masih ada sejumlah tanya dibias matanya.

    Aku segera bangkit, kemudian langsung menarik tangannya. "Ayok ke kamar, Malah bengong sih?!"

    "Iya, bawel!" timpalnya sebal, kemudian berjalan mengekor dibelakangku.


    Maafin aku, El... Aku nggak bermaksud sembunyiin sesuatu dari kamu atau berniat bohongin kamu. Aku rasa lebih baik biar aku aja yang tahu soal ini. Aku nggak mau kamu ikut kepikiran dan jadi cemas mikirin aku, apalagi sampai berbuat macam-macam dan malah ribut sama Malik. Aku tahu banget gimana kamu.
    Karna walau berat dan kayaknya nyaris mustahil, jujur aku masih pengen pertahanin hubungan ini. Nggak semudah itu aku bisa benci dan lepasin Malik gitu aja.

    Seorang Malik Farran Hamizan yang telah merenggut martabat, harta, harapan dan kepercayaanku, hingga tak tersisa apapun dariku.

    Sebenarnya aku nggak sebahagia yang kamu tahu, El. Aku cuman berusaha bertahan selama ini, tapi rasanya hubunganku sama Malik udah diujung tanduk. Entah kapan, cepat atau lambat suatu saat bakalan hancur juga.
    Dan aku... Rasanya udah nggak tahan sama dia, aku udah nggak kuat bendung semua rasa sakit ini lagi.

    Aku lelah... Aku sekarat...
    Tapi disisi lain aku takkan bisa hidup tanpa Malikku,
    Pria yang telah mengisi setiap degup jantungku, dan ada untuk mengisi dekapanku selama lima tahun terakhir.


    "Ini nih bagus, Tan. Coba pake deh, kayaknya bakal cocok banget ke elu." komentar Gael yang tengah sibuk melihat beberapa baju di kamarku.

    "Iya-iya!" kulepas kaus yang kukenakan, lalu meraih baju yang dimaksud Gael.

    Namun tiba-tiba ia menahanku, memutar tubuhku kemudian. "I-ini kenapa?"

    "Apaan?" tanyaku kebingungan.

    "Punggungmu kenapa bisa memar separah ini?!" pekiknya panik.

    Bahkan aku tak tahu kalau hantaman meja tadi membuat punggungku memar, membiru seperti ini.

    "Kita ke dokter sekarang, ya!" pinta Gael panik, sedikit memaksa.

    "Nggak usah ah, lagian diobatin biasa juga beres. Kamu aja yang berlebihan. " tandasku meyakinkan.

    "Yaudah, sini aku yang obatin,"


    Dan malam itu Gael pamit pulang pukul sebelas. Kutawarkan untuk mengantarnya pulang agar tak merepotkan Pak Her jam segini, namun ia menolak. Dan tepat saat ia hendak meninggalkan koridor, dari lift diujung koridor yang terbuka, Malik keluar dan berpapasan dengannya. Mereka berdua terlibat percakapan basa-basi, lalu Gael beralih masuk ke dalam lift.

    "Nggak sopan banget sih main ke tempat orang sampe jam segini!" komentar Malik.

    "Ya ampun, itu Gael, sahabat aku. Apa salahnya sih? Lagian dia jarang banget kesini, trus dia katanya lagi males pulang, abis berantem sama papanya kemarin." paparku meminta pengertian.

    Malik mendesah, "Udahlah, aku nggak mau ribut, aku laper banget sekarang. Masakan kamu tadi masih ada?"

    Aku menggeleng, "Kan tadi kamu yang minta masak dikit aja, kamu mau keluar soalnya. Tadi kenapa kamu nggak makan diluar?"

    Malik nampak frustasi ketika aku menyinggung masalah acaranya malam ini. "Aaarrrggghh... Yaudah, aku nggak mau tahu, sekarang juga beliin makanan diluar sana!"

    "Tapi jam segini udah susah, ini udah malem banget."

    "Aku nggak mau tahu, itu bukan urusanku!" bentaknya penuh emosi.

    Aku tersentak ketakutan, "I-iya, aku ambil dompet sama jaket dulu."

    "CEPETAN!" bentaknya dengan intonasi lebih tinggi.

    "Iya, Sayang..."

    ***
  • brengsek bnget si malik, ketaun bnget klo dy slingkuh.
    gw doain spya kcebur got...
    .
    .
    ksian orlando ya, smunya srba d atur smpai mslh jodoh jg di atur, ortu nya aja yg gk peka, yg trbaik untk ortu blum tentu trbaik untk anak....
    .
    .
    .
    love sma TS nya
    <peluk dr jauh>
  • Guys, khusus part 05 better kalian baca diakun wattpadku aja, soalnya biar bisa dengerin juga audio yg aku sematin disana.
    Buat part ini tolong cek internet kalian stabil ya, supaya bisa play audio yg aku sematin ditengah cerita dan rasain secara langsung lebih lg gmn perasaan Tantra.

    Happy reading! " http://w.tt/1OjJp0S
  • Guys, khusus part 05 better kalian baca diakun wattpadku aja, soalnya biar bisa dengerin juga audio yg aku sematin disana.
    Buat part ini tolong cek internet kalian stabil ya, supaya bisa play audio yg aku sematin ditengah cerita dan rasain secara langsung lebih lg gmn perasaan Tantra.

    Happy reading! " http://w.tt/1OjJp0S
  • edited January 2016
    Hadir!
    Tak bisa ngomong! Bagus
  • Fucking asshole dasar si Malik! Kasihan Tantra cuma dimanfaatin sama si malik kampret itu -...-
Sign In or Register to comment.