It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Thanks!
@lovelyozan @hendra_bastian @readhy_pda @akina_kenji @melkikusuma1 @okimansoor @mustajab3 @cl34r_m3nthol @boncengek3 @wyatb @oopsfugu @arieat @didot_adidot @tristansantoso @new92 @rubi_wijaya @rulli arto @joenior68 @vanilla_latte25 @adilar_yasha @m4rk_69 @jkt69 @vanilla_icecream @bn @danthe @bram @reza_agusta89 @gaybekasi168 @mahardhyka @yeltz @chupy_slow @yirly @agova @doel7
Oke!
Dalam cerita ini, saya yang akan menulis setiap sheet atau chapter ganjil, juga menghidupkan dua tokoh bernama Gael dan Tantra.
Sedangkan sheet genap ditulis oleh Bagus Tito, sekaligus dia-lah yang akan menghidupkan dua tokoh bernama Orland dan Calvin.
Untuk cara membacanya, kami akan memposting tiap chapter bergantian di masing-masing akun Wattpad kami sesuai ganjil dan genap.
Misal, untuk membaca bagian ganjil yang dimulai dari Prolog dan Sheet 01, 03, 05, dst. Kalian dapat membacanya di akun milik saya.
Sedangkan untuk bagian genap yang dimulai dari Sheet 02, 04, 06, dst. Hingga Epilog, kalian hanya dapat membacanya di akun milik Bagus Tito.
Pastikan juga kalian mem-follow kedua akun kami agar dapat membaca setiap bagian di dalamnya dan dapat mengikuti masing-masing bagian cerita kami.
jj_yuan & bagustito
Apabila ada pertanyaan, silahkan tinggalkan coretan kalian dibawah. Dan yang terpenting, vote dan komentar dari kalian adalah dua hal yang amat kami nanti dan harapkan.
Thanks,
Happy reading and enjoy everything in!
Joe & Tito
***
SHUTTER
"A Story Behind the Camera's Lenses"
______________________
PROLOG
I wanna do same mistake...
Because, I believe we are connected,
With a string God playfully attached.
I should have tied it into a square knot,
Instead of a simple pretty ribbon...
Will you be mad at me, again?
Ordering me around all day dictating me with your babbling quasi-wise?
As if I'm a crazy brainless idiot with no worth at all?
Then I will keep on doing it.
Every my single day... Makes the same mistake.
Provided, I can see you nagging every day...
Yeah, I wanna hear it everyday.
Tahun 2020
Awal musim kemarau ini tak seperti biasanya, hujan turun dengan lebat, menaburkan bulir-bulirnya dikawasan Jakarta Pusat.
Menodai jendela lebar diseberang kamar Gael, yang awalnya nampak jernih dan menampilkan suasana kawasan perumahan yang asri dan menenangkan.
Ini minggu pertamanya dalam acara liburan panjang musim panas yang telah diputuskan sebelumnya akan ia habiskan di Jakarta, bersama keluarga dan sahabatnya.
Belakangan ini Mamanya menganggapnya depresi. Entah karna job-job besar yang selalu padat mengantre untuk mengusiknya, berbagai gosip murahan buatan para pencari berita sialan, yang memang cukup membuat Gael melupakan permen matcha favoritnya dari saku denimnya, atau mungkin karna ia selalu mengigau dan bermimpi buruk belakangan ini.
Wanita setengah baya yang masih saja nampak cantik dan anggun tersebut terus mengupayakan banyak hal konyol untuk membuat Gael terhibur, lebih tepatnya untuk membuat liburannya kali ini menyenangkan.
Akan ada Grilled Pork with Mashed Potato hampir setiap hari, karna memang ia tahu betul bahwa Gael teramat menggilainya. Lalu tumpukan DVD, lengkap dengan kripik kentang, cheesy balls, puluhan kantong permen matcha dan tentu saja soda.
Seminggu yang lalu, orang-orang rumah menawarinya liburan ke pantai, wahana wisata, jalan-jalan ke luar negeri, dan hal-hal menarik lainnya, atau kapanpun Gael meminta. Apapun, dimanapun itu...
Akan tetapi ia tetap memutuskan menghabiskan libur musim panasnya tahun ini di Jakarta, dirumah lebih tepatnya. Menikmati segala hal yang ia rindukan dari rumah ini. Segala hal yang ia rindukan dari kota ini. Terlebih seseorang yang membuatnya memiliki alasan utama untuk bertandang jauh-jauh kemari.
Ia sedikit merindukan rumah asri ini. Rumah bergaya Natural-Minimalis yang menurutnya lebih dari sekedar cukup untuk membuatnya merasa tenteram dan hangat.
Terutama hangatnya keluarga ini. Gael merindukan kehangatan ini, sungguh... Ini lebih dari sekedar Disney Land di California, Jeju Island di Korea, atau bahkan wisata jalan-jalan ke tempat-tempat bersejarah di Jepang.
Akan ada Kavian, kakak laki-lakinya yang bercerita dengan penuh semangat soal kisah-kisah konyol kebiasaan dan kelakuan teman-teman di kantornya, dengan mulut penuh makanan dan selalu berhasil membuat mereka tergelak. Juga Papanya yang mengeluh soal betapa membosankannya menjadi pensiunan diusia tuanya. Menghabiskan waktu di rumah untuk bersantai, menonton acara favoritnya, bermain kartu bersama Pak Her, bermain bersama Lancey, anjing peliharaannya, dan yang terpenting yang sangat pria setengah baya tersebut syukuri adalah, ia bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama istrinya yang masih saja nampak cantik dan anggun di usianya kini.
Saat pertama kali Gael menginjakkan kaki di kamarnya, ternyata semuanya tak ada yang berubah. Hanya nampak lebih terawat, rapi dan bersih.
Dindingnya masih bercat biru langit, dengan lukisan awan putih di atapnya, juga rak-rak buku yang dipenuhi buku dan komik favoritnya, lemari berisi Action-Figure koleksinya sejak kecil, hingga sebuah kotak cokelat yang seolah mengintip dari sisi lemari pakaian.
Ia menghampirinya, walau hati dan kakinya enggan untuk melangkah. Segalanya seolah-olah dengan mudah dikalahkan oleh sesaknya luapan kerinduan yang mengusiknya selama ini. Hingga akhirnya Gael membuka penutup kotak tersebut dan mendapati berbagai barang yang masih lengkap, tertata apik di dalamnya. Mulai dari sebuah ponsel yang nampak hancur dan rusak, voice pen, sweater maroon, sepatu kets navy, kalung berliontin kelinci, album foto, handycam, dan disisinya terdapat sebuah notebook hitam yang nampak paling menonjol menurut pandangannya.
Kepalanya tertunduk, beserta segala akal sehat dan segenap perasaan yang telah ditundukkan oleh nostalgi...
Ia terisak amat lirih, nyaris tak bersuara. Namun kemudian ada garis senyuman disela-sela isakannya.
Ia merindukan masa-masa itu, sungguh... Ia ingin kembali merasakan nostalgi itu, bila mungkin.
Dibukanya notebook hitam tersebut. Membaca tulisan seseorang dengan tinta hitam yang amat berarti baginya. Menjelajah kata demi kata, lembar demi lembar, kenangan demi kenangan yang membuatnya semakin terjerat masuk ke dalam memori masa lalu.
Ia merasa teramat dicintai. Ia luar biasa bahagia saat membacanya. Kebahagiaan paling manis yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.
Usai membaca, ia menutup dan mencium notebook itu. Menyandarkan punggungnya ditepi ranjang.
Kini ia mengumpulkan keberanian untuk membuka album foto yang berada dikotak tersebut. Menjelajah kenangan demi kenangan, bersama dengan angan yang sudah tak lagi disini. Meneguk asam-manisnya momen didalamnya. Lalu beralih mendengarkan voice pen. Terus memutar suara demi suara yang membuat matanya terasa mulai pedih. Seolah merasakan seseorang disana tengah berbisik di sampingnya kini.
Semuanya masih sama...
Disana masih ada segala hal yang membuatnya terjebak dalam nostalgi yang telah lama terbenam dalam lubuk hatinya. Jutaan pintalan kenangan yang terjalin rapi dan ternyata masih terikat kuat dihatinya.
Perlahan ia bangkit, menuruni tangga cepat-cepat seraya menata hati. Gael berakhir dengan meminta Pak Her untuk menyiapkan mobil. Barulah kemudian ia beralih ke ruang tengah, menuju sebuah meja yang diduduki oleh seorang wanita paruh baya, dengan terusan hijau toska dan rambut digulung rapi.
"Ma, aku mau keluar." pamit Gael pada wanita setengah baya yang tengah duduk sembari menikmati secangkir teh dihadapannya.
Mamanya menoleh, lalu beranjak dari tempatnya. "Kemana? Nanti saja lah, jangan pergi saat hujan-hujan begini, Sayang, diluar hujan deras!"
"Please, Ma... Lagipula aku dianter Pak Her. Aku nggak akan hujan-hujan, aku janji." rengeknya, lalu tersenyum kecil. "Kecuali sepatuku basah dan kotor kena lumpur."
Kini mimik wajah wanita setengah baya di hadapannya berubah hangat dan simpatik. Seakan tahu kemana kaki anak bungsunya itu akan tertuju.
Kemudian wanita tersebut memeluk Gael, mengusap punggungnya lembut, "Cepet pulang ya!" pesannya, lalu menutup pelukan mereka.
Gael mengangguk dengan seulas senyum hangat, lalu berbalik dan berjalan keluar.
"Mobil sudah siap, Ko." cetus Pak Her ramah saat ia temui di garasi samping rumah.
"Makasih, Pak."
Semua orang tahu betul akan kemana kaki itu menuju. Sebuah tempat yang menjadi alasan terbesarnya untuk jauh-jauh bertandang kemari dari New York (JFK) ke Jakarta (CGK). Terbang melewati negeri, pulau-pulau dan lautan lepas selama sekitar 20 jam 45 menit.
"Aku merindukanmu, Mr. Cocky." gumamnya.
***
(Gamaliel Deandra)
Jakarta, 20 Februari 2015
Bandara Internasional Soekarno Hatta siang itu cukup sibuk. Orang-orang hilir mudik seperti seperti lebah pekerja. Bertebaran mengurus persiapan keberangkatan mereka. Sedangkan disudut ruangan, dari lorong Arrival Gate terdapat sejumlah pendatang yang baru saja tiba, lengkap dengan koper dan barang bawaan yang menumpuk di-trolley barang mereka.
Salah satunya kami berempat. Aku bersama para Crew-ku, kami baru saja kembali dari Singapore untuk urusan pekerjaan. Kali ini jasaku diperuntukan dalam pemotretan beberapa model pakaian ZARA keluaran terbaru, edisi Summer. Dan ini merupakan kali ketigaku mendapat job besar diluar negeri.
Gamaliel Deandra, itulah AKU...
Nama yang begitu ideal dan classy sebagai nama seorang bintang, bukan?
Aku seorang model yang tengah melejit pesat saat ini. This is my golden years, my golden period.
Dan aku takkan pernah melewatkan masa-masa ini begitu saja. Aku akan melakukan apapun agar dapat terus melambungkan namaku dalam keras dan ketatnya persaingan dunia model saat ini.
Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkan job-job besar yang harus jatuh bangun ku lakoni demi membangun karir yang lebih cemerlang lagi.
Aku bekerja sama dengan salah satu label manajemen modelling ternama di Jakarta Pusat. DIM (Diamond International Management), setelah tiga tahun yang lalu memenangkan ajang casting yang mereka gelar kala itu.
Tentu sebelumnya telah banyak pengorbanan dan usaha mati-matian yang ku lakukan untuk berada di tahap sejauh ini.
Langkahku tak mudah, jalanku tak mulus. Ada banyak gantungan beban dan aral melintang yang harus ku lalui. Dan inilah aku sekarang!
Wajahku ada dimana-dimana. Majalah, internet, baliho dan iklan televisi. Bahkan kalian akan menemukan wajahku setiap hari di beberapa produk yang kalian gunakan sehari-hari.
Aku selalu menjadi pusat perhatian dan buah bibir dimanapun. Dibanjiri oleh pujian, tepukan tangan dan sorot decak kagum orang-orang yang tiada bosan memperhatikan setiap tingkahku.
Sepertinya mereka tahu betul bagaimana gaya berjalanku, caraku memandang sekitar, bahkan kembang-kempisnya dadaku saat aku bernafas.
Profesionalitas adalah hal yang paling utama bagiku. Aku selalu profesional dalam setiap pekerjaanku. Aku akan selalu membuat senyum mereka melebar puas oleh fisikku yang menawan nyaris sempurna, kinerja dan talenta yang ku miliki. Takkan pernah ku biarkan mereka sedikitpun berkomentar negatif tentang kinerjaku.
Aku berperawakan tinggi dan tampan. Sure, it's a big must to be a Model. Tinggiku 183 centi dari tanah. Badanku tegap, dengan pahatan otot yang membuat siapapun berdesir. Dan disempurnakan dengan kulit putih bersih bak hamparan salju yang membalut setiap inchi tubuhku, dengan tekstur sehalus sutra, membuat para wanita selalu menatap iri dan kagum ke arahku.
Perfection is a disease of a nation, isn't it?
But, perfection is a must, for me.
Aku paling benci menunggu. Aku juga tak suka ketika ada hal yang tak berjalan sesuai dengan keinginanku. Aku mau semuanya selalu bekerja selaras dan sempurna.
Aku seorang perfeksionis, dengan selera bagus dan nilai pandang tinggi akan sesuatu. Dan secara tak langsung aku menarik paksa orang-orang disekelilingku naik ke levelku.
Siang itu aku tampak konyol seperti biasanya saat berada ditengah keramaian. Tubuhku dibalut mantel krem panjang, syal dan kacamata hitam. Terpaksa...
Aku lebih memilih mati kegerahan seperti ini daripada harus bertemu dan dikejar-kejar fans gila yang menyebalkan.
Bagiku mereka hanya orang-orang tolol yang membabi buta hanya untuk sekedar penganan tanda tangan dan foto bersama. Aku tak suka tingkah mereka.
Bagi kalian mungkin itu salah satu hal menyenangkan menjadi seorang Public Figure. Tapi bagiku, itu sampah! Ada saatnya dimana aku benar-benar muak dengan lengkingan teriakan dan deru kejaran mereka. Serta segala macam tuntutan mereka yang harus ku turuti dengan topeng untuk selalu tampak menebar tatap hangat dan ramah, p enuh cinta.
Ku benarkan posisi syal yang melingkar dileherku, sekaligus menutupi sebagian wajahku.
Aku tak mau ada kejadian dikejar-kejar fans lagi ditempat umum. Berlari-larian dan berakhir dengan sesak, tarikan, cubitan, remasan, bahkan memar ditanganku.
Tapi mereka lebih baik daripada Haters tak berpendidikan yang berkicau seenak mulut bau mereka. Menebar statement menuduh, isu bohong dan menghujat sepanjang hari.
Seperti hari ini. Ada berita heboh yang tengah ramai diperbincangkan dimedia tentang kedekatanku dengan seorang penyanyi solois wanita bernama Priscilla Angela yang saat ini melejit dengan album barunya berjudul "Truth Confession".
Aku tak mungkin ada hubungan intim dengannya, kami hanya berteman. Itu saja!
Lagipula aku seorang gay. Aku tak pernah tertarik dengan wanita semenarik, cantik dan seseksi apapun mereka. Aku hanya akan tertarik dengan sosok seorang pria dewasa, maskulin, dengan garis wajah tegas dan tubuh atletis yang terlatih dengan baik.
Ku buka sedikit celah dari syalku untuk memasukkan permen karet ke mulutku. Ku kunyah perlahan, lalu menggulungnya dilidahku dan meniupnya kemudian. Membuat balon hijau besar menggantung diudara.
"El, tutup lagi syalnya!" cetus seorang wanita disampingku, memperingati.
"Iya-iya, Jie!" timpalku kesal. Menyebalkan sekali tahu nggak! Baru saja aku bernafas lega tanpa syal bodoh yang mengganggu, sambil menikmati permen karet matcha kesukaanku. Kenapa sih di dunia entertaint harus ada fans menggelikan seperti mereka? Merepotkan saja!
Bisakah mereka bersikap sedikit 'normal'?
Sorot mataku beralih ke pria berusia 23 tahun disampingku. "Yan, beliin Iced White Choco Mocha! Kayak biasa, inget!" tanganku menunjuk ke sebuah cafe diseberang kami.
Kian, Asistenku mengangguk patuh seperti setiap harinya. Lalu melesat cepat karna ia paling tahu aku benci menunggu.
"El, itu Pak Her!" tunjuk seorang wanita cantik bermata sipit, dengan perawakan sedikit chubby. Ia Anel, Make Up Artist pribadiku yang selalu nampak hits dimana pun, dengan rambut lurus berponinya yang khas.
Ku edarkan pandang, mencari sosok pria berusia 30an berkulit cokelat yang sudah sepuluh tahun ini bekerja untuk keluargaku. Kemudian ku temukan pria yang dimaksud, dengan plang 'selamat datang' ditangannya.
Ia tersenyum ramah ke arah kami.
Kami berdua melambai ke arahnya...
"Orang-orang Airwalk baru aja telfon. Mereka ngingetin soal pemotretan Sneakers besok." sela Eros bercerita, yang baru saja mengakhiri panggilannya sejak beberapa menit lalu. Ia Manajerku, kami biasa memanggilnya Bang Eros.
"Jadi sama Calvin?" tanyaku ke sekian kali, meski aku sudah tahu betul jawbannya dan hanya bisa berharap ia digantikan oleh orang lain.
"Iya," Eros menepuk pundakku. "Jangan ada ribut-ribut lagi kali ini!"
Aku mengangguk malas. Ia mengingatkanku agar datang tepat waktu kali ini. Dan yang terpenting, jangan ada ribut-ribut lagi dengan Calvin, seperti kasus shooting iklan produk facial foam sebulan yang lalu.
Jangan paksa aku bercerita, aku malas. Itu benar-benar kejadian bodoh dan konyol, hingga membuat kami dimarahi habis-habisan oleh Pak Edwin, CEO ditempat kami bekerja.
Padahal itu semua gara-gara si Calvin nggak ber-otak itu!
Kalau saja dia nggak memancingku dengan kicauan menyebalkannya tentang gosip di media tentangku, pasti aku takkan membalasnya hingga kami saling serang.
"Kalau gitu aku balik duluan. Aku mesti langsung ke studio." pamit pria berkacamata berusia awal kepala tiga tersebut. Ia cukup tinggi, tubuhnya ideal, dengan rambut panjang bergaya Undercut Man Bun, lengkap dengan jambang tipis di jaw line-nya.
Anel memutuskan untuk ikut pulang bersama Bang Eros saja daripada harus merepotkan Pak Her seperti biasanya. Lagipula Bang Eros tak keberatan dan rumah Anel lebih dekat bila dijangkau dari studio.
"Iya, hati-hati!" timpalku seadanya. Anel melambai singkat, lalu mereka berdua menghilang beberapa saat kemudian.
Dari kejauhan Kian nampak berlari tergopoh-gopoh ke arahku dengan segelas cup dome minuman.
Ku tajamkan mataku. "Lama banget sih!" benar-benar menyebalkan! Apa dia sudah bosan kerja denganku?! Nggak kompeten dan cekatan sekali. Dia Asisten terburuk, terbodoh dan ter-kampungan yang pernah ku miliki. Tunggu saja hingga kalian geli dan jengah melihat tingkahnya.
"Maaf, Ko... Antri." kilahnya, yang menurutku hanya berusaha membela diri.
"Itu bukan alasan!" ku tinggikan suaraku. Beberapa pasang mata sempat mengarah ke arah kami.
Kalau sampai salah satu dari mereka mengenaliku, aku bersumpah akan mengirimnya kembali ke kampung dengan kereta barang.
Ia hanya menunduk, lalu beralih mengikutiku dan kembali mendorong trolley tumpukan koperku setelah aku mulai berjalan menuju Pak Her.
Dia pikir, dengan begitu aku akan beralih kasihan? Nggak akan! Harusnya aku sudah menyepaknya sejak setahun lalu dari rumahku.
"Lho, Jie Anel sama Bang Eros kemana?"
"Udah balik." jemariku memutar-mutar straw, lalu mengaduk-aduk minumanku naik-turun. Menyedotnya sedikit kemudian.
Hash, bisa-bisanya dia mengalihkan pembicaraan tentang kesalahannya barusan.
"Jie Anel ndak bareng sama kita?" logat kampungnya yang masih saja kental membuatku bergidik.
Aku menggeleng singkat. Menjauhkan mulutku dari straw. "Ini terlalu manis! Esnya juga terlalu banyak!" omelku panas. "Apa lo udah bosen kerja ikut gue, hmm...?"
Kian menatapku takut-takut. "Endak, Ko!
Maaf... Tapi aku tadi wis pesan gulane setengah scoop aja dan esnya sedikit aja."
"Astaga! Kalau aja lo bukan anaknya Bi Ira dan tuh ibu-ibu kampungan nggak kenal sama nyokap gue, udah dari dulu gue pecat lo!" gerutuku geram. Aku ingat betul bagaimana Mamaku yang sok care itu bereaksi berlebihan bila aku mulai membahas soal Kian.
Apa sih sebenarnya yang sudah dilakukan Bi Ira hingga Mama bisa setolol itu?
Katanya lebih baik aku menjadikan anak Bi Ira sebagai Asistenku saja lah, nggak usah ambil dari DIM lah, trus soal dia kasihan lah, sempat putus sekolah, biar bisa kerja di kota lah... Tapi kenapa harus aku? Harusnya Mama lihat sendiri bagaimana bodohnya Kian. Kalau tahu begini kan akan lebih baik kalau aku ngotot ambil dari DIM. Pasti jauh lebih smart, cekatan, nyambung kalau diajak ngobrol, kan seru. Dan yang terpenting nggak kampungan!
Ku buka dome minumanku. Melayangkan gelas itu diudara dan perlahan menyiramkan sisa minumanku ke wajahnya, rata.
Kian gelagapan... Tampak kacau. Kemeja putihnya langsung kotor penuh noda kecokelatan sekarang.
Aku kembali berjalan mengikuti Pak Her dari belakang. Kian berjalan mengekor sembari mendorong trolley barang. Tangan kirinya sibuk mengusap-usap kemejanya yang basah.
Emang enak mandi cokelat? Siapa tahu dia bisa lebih bening, nggak dekil seperti sekarang. Hitung-hitung, aku termasuk baik hati sudah menyiramnya.
Sejenak kemudian aku berbalik. Mendapati wajahnya tertunduk lesu dengan tubuh sedikit bergetar. "Oh, My God! Lo nangis?"
Ia menyeka air matanya. Terisak lirih, tak bersuara.
"Cowok macam apa lo, cengeng gitu!" ku dorong kepalanya kemudian. Ia makin sesenggukan.
Astaga... Nggak cuma kampungan dan bego, tapi juga cengeng kayak cewek. Idih, males banget! Jadi makin ill-feel aja gue sama dia.
"Terserah lo deh, yang penting jangan mewek kalo dirumah! Nggak usah berakting seolah-olah gue manusia jahat dan lo tokoh utama yang tersiksa." aku tak memperdulikannya, langsung masuk ke dalam setelah sampai didepan mobilku.
Dan kami melaju beberapa menit kemudian setelah sebelumnya aku mengomel panjang lebar soal barang-barang mahal yang ku beli dari Singapore dan mereka berdua harus hati-hati memasukkannya ke bagasi.
Kian duduk tertunduk di jok belakang, bersama sisa koper, ransel dan barang bawaan yang tak muat dibagasi.
Ia diam, tak berani menatapku. Retinaku malas menangkap gambar Asisten nggak pecus sepertinya.
Ia kampungan, kurang cekatan, pelupa, dan kadang aku kesusahan dengan bahasa jawanya yang masih terlalu dominan.
Bahasa indonesianya kurang. Entah berapa nilai bahasanya waktu sekolah?
Aku tersenyum bangga menyaksikan hampir setiap jalan yang ku lewati menampilkan wajahku. Entah baliho atau iklan di big screen sebuah gedung.
Itulah hasil kerja kerasku selama tiga tahun terakhir.
"Pak, lebih cepet dong!"
"Iya, Ko!"
Aku paling benci menunggu. Aku akan mengalihkan perhatianku entah dengan apapun daripada harus mati bosan.
Ku rogoh ponselku dan membuka salah satu situs belanja online. Mataku berbinar melihat Loafers dengan desain yang menarik perhatianku. Ku order beberapa, lalu beralih ke katalog Cardigan.
Selang beberapa menit, mataku menangkap hal menyebalkan. Ada mobil yang jalannya lambat sekali menghadang jalan kami. Dengan geram ku tekan klakson dikemudi Pak Her.
Ia cukup kaget. Membuat mobil kami sedikit oleng ke kanan. "Astaghfirullah, Ko... Bahaya, Ko!"
"Ya Allah... Untung s'lamet! Alon-alon wae lah, Ko! Ora usah kebut-kebut lah!" sahut Kian dengan bahasa Aliennya.
Nggak ngerti deh gue, dia ngomog apaan. Dan kenapa nyasar di bumi dan tinggal dirumah gue.
"Diem nggak lo!" telapak tanganku melayang didepan wajah si Udik itu. Mataku menatap murka, lalu kembali beralih ke Avanza metalik yang menghadang jalan kami.
Ku buka sedikit celah jendelaku. "Whoiii... Ini bukan jalan kakek buyut lo ya! Buruan, goblok!"
Pantas saja lambat, dua orang pasangan suami istri lansia yang berada didalam mobil. Mereka berdua hanya terperangah menatapku sembari mengelus dada. Lalu berkicau membicarakanku.
Aku berusaha meredam emosiku, kemudian kembali berkutat dengan ponsel di genggamanku. Shopping memang obat emosi dan stress yang paling baik.
"Kalau ada kayak gitu langsung klakson aja, Pak! Gimana sih!" omelku kecewa. Dasar Driver nggak pecus, nggak punya inisiatif!
"Iya, Ko Gael. Maaf!"
Kedua kakiku ku naikkan diatas dashboard. Aku masih berkutat dengan katalog produk terbaru situs belanja online tersebut. Kali ini beralih memborong beberapa model aksesoris.
Sekitar sejam kemudian barulah kami sampai didepan gerbang besar sebuah rumah megah. Security yang tengah berjaga dipos segera menekan tombol dan membukanya untuk kami.
Ia tersenyum ramah penuh hormat ke arahku.
Halaman rumah tersebut sangat luas. Dengan pepohonan dan bunga-bunga yang ditanam apik di kiri-kanan jalan. Sisanya berupa pelataran rerumputan hijau yang cukup luas.
Diujung pertengahan jalan saat hampir sampai didepan rumah megah tersebut, terdapat air mancur besar yang berdiri tegak. Dengan puncak sesosok dewi anggun bersayap lebar yang tengah menuang kendi berisi air. Disekelilingnya terdapat atraksi air mancur yang menari-nari diterpa terik mentari siang hari, membuat kilau warna-warni khas pelangi yang nampak menyegarkan.
Aku segera turun dari mobil. Dua orang pelayan pria yang berdiri sedari tadi didepan pintu untuk menyambutku segera mendatangi kami. Dengan cekatan mereka langsung membawa koper dan barang-barangku masuk.
Ku tatap rumah mewah nan megah berlantai tiga dengan konsep Natural-Minimalis tersebut.
Seperempat bagian dinding dasarnya didominasi oleh batu-batu hitam yang cukup besar. Mereka tertata apik dengan kesan alam yang menenangkan. Sedangkan tiga perempat sisanya bergaya Monochrom Minimalis, dengan desain stripped berjarak renggang.
Aku menaiki tangga kayu bercat putih dan segera memasuki pintu besar warna senada yang dibukakan oleh pelayanku.
Ruang tamunya didominasi oleh segala perabot kayu ukir yang cantik. Sebagian dindingnya dari tepi atap ke bawah berupa bata yang tertata simetris, bercat putih terang. Seperempat darinya dilapisi oleh kayu cokelat pastel memanjang, yang ditata horisontal hingga ke dasar. Begitupun lantainya, tertata apik berwarna hangat kecokelatan. Namun dengan tone yang cenderung lebih gelap.
Ku lepas mantel dan syal yang amat menggangguku sedari tadi. Lalu seorang wanita dengan seragam pembantu langsung membawakannya.
Kian berjalan menyusulku dan pamit untuk mandi.
Aku hanya tersenyum miring saat ia telah berlalu. "Dasar cowok kampung! Haha..." kemudian berjalan memasuki ruang tengah yang nampak tenang dan sepi seperti biasanya.
"Kamu sudah pulang, Sayang..." sapa wanita setengah baya yang masih tampak cantik dan anggun diusianya yang tak lagi muda.
Ia meletakkan cangkir tehnya, kemudian memelukku lembut. Menepuk punggungku. "Zenme dao xinjiapo? (Gimana Singapore?)"
Ku tepis kasar tangannya yang masih mendarat dibahuku. "Yibian qu! Wo leile, xiang shuijiao!" (Minggir! Aku capek, mau tidur!)" dan dia sok care seperti biasa. Menjadi sosok Ibu cantik, anggun, baik hati dan penyanyang, seperti seharusnya.
Trus, kemana aja dia selama ini?
Halah, aku nggak butuh! Justru dia terlihat menggelikan.
Ia tersentak kaget, mundur beberapa inchi ke belakang. "Di yi ge chi, Bao bei! Zaoshang mama jiao ayi zhu de kao zhurou yong tudou ni, ni zui xihuan de shiwu. (Makanlah dulu, Sayang! Tadi mama suruh bibi masak Baked Pork with Mashed Potato, kesukaan kamu.)"
Aku menghela nafas. "Berhentilah bersikap sok perhatian seperti ini! Zhe shi exin! (Ini menjijikkan!)" ku ayunkan kakiku menaiki tangga diseberang ruang tengah. Meninggalkan Mamaku yang hanya diam terpaku seusai menangkap sebaris kalimat dari mulutku.
"El!"
"El!"
Apa dia terluka sekarang?
Bahkan sekeras apapun dia berusaha, takkan pernah membuatku melihatnya.
Oh... Aku hanya butuh ranjang king size ku yang empuk saat ini, nggak ada lagi.
Dan nggak butuh waktu lama untuk membuatku terlelap nyenyak kemudian. Melanjutkan tidurku yang sempat tertunda selama flight tadi pagi.
Selain seorang model, aku juga seorang mahasiswa Desain Komunikasi Visual disalah satu Universitas Kristen swasta di Jakarta.
Tentu, aku sangat populer. Aku lah Prince Campus disana.
Setiap gadis akan selalu memujaku setiap hari. Memberiku berbagai barang, bekal makanan, bahkan benda-benda aneh yang membuatku bergidik.
Tak jarang aku juga harus meladeni permintaan foto bersama walau mereka bisa melihatku setiap hari dan sudah memiliki banyak foto bersamaku.
Hari ini aku hanya tidur sekitar setengah jam sejak kepulanganku dari Singapore, dan masih sangat lelah. Sulit untuk berkonsentrasi selama menerima kuliah dari Pak Adrian siang ini tentang Nirmana.
Aaahh... Aku suka pelajaran satu itu.
Namun semakin lama mataku terasa semakin berat, susah diajak kompromi. Tak terasa sejenak kemudian aku tertidur dikelas, entah berap lama. Hingga teriakan penuh amarah dosenku dan ledakan tawa anak-anak sekelas lah yang membangunkanku.
"Lihat-lihat, si Artis pemalas!" ledek salah seorang pria berkacamata. Diikuti tawa lainnya.
"Karir emang lebih penting dari kuliah ya!" cetus William, ketua geng dari pria berkacamata sebelumnya.
Mereka berlima kompak. Geng sampah yang selalu membuat onar dikampus, termasuk menggangguku seumur hidupku sejak kakiku menjejak difakultas ini.
"Jelas dong! Kan duitnya kenceng, Meen! Kuliah itu nggak penting, bikin ngantuk aja!" sahut Ardo, aggota geng yang lain.
"Diam kalian semua!" hardik dosenku panas. Setiap sudut kelas langsung membisu. "Kamu! Silahkan tinggalkan kuliah saya!"
"Tapi, Pak!" protesku. Dasar dosen botak, gendut, jelek! Nggak ngerti apa kalau gue capek banget, ngantuk. Ya sorry, kalau gue ketiduran. Tapi nggak usah ngusir kek, nggak usah nambah lagi beban gue. Dan gara-gara ini juga geng sampah itu bisa nge-bully seenak jidat mereka.
"Silahkan keluar!" bentaknya, dengan tangan menunjuk ke arah pintu.
Aku langsung mengemasi buku-buku dan menyandang ranselku. Kemudian berjalan lesu hingga akhirnya meninggalkan kelas. Diiringi seruan menghina dari anak-anak sekelas.
Aku berakhir dikantin. Memesan roti bakar keju dan milkshake cokelat yang biasa ku pesan. Hanya ku cicipi sedikit, lalu melanjutkan tidurku.
Entah berapa lama aku tidur. Tiba-tiba saja aku terbangun gelagapan karna siraman air cola yang menyiram kepala hingga sekujur tubuhku. "Aaarrggghh!" aku langsung mencari sumbernya. Lagi-lagi si berengsek itu, beserta anggota geng sampah lainnya yang tengah tertawa puas, dengan setiap anak yang menggenggam kaleng-kaleng cola tanpa rasa bersalah.
"Ini kampus, bukan hotel!" seru Arnaf, pria berkacamata tadi. Diikuti ledakan tawa anggota gengnya yang lain, yang semuanya tampak tolol bagiku.
Seluruh mata dikantin tersebut tertuju padaku.
Dimeja sudut ada beberapa gadis yang sedikit ku curi dengar tengah berbisik-bisik membicarakanku. Merasa kasihan padaku. Aku cukup mengingat wajah mereka meski tak mengenalnya, mereka salah satu fansku. Intinya mereka tak terima idola mereka diperlakukan seperti ini. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa mendapati dengan siapa orang-orang yang tengah ku hadapi saat ini.
Mereka geng kampus sampah yang terkenal sok berkuasa hanya karna salah satu dari mereka adalah anak orang nomor satu di Universitas ini.
Sekujur tubuhku terasa manis dan lengket, dengan bau cola yang menyengat. Emosiku terkumpul kuat meluap-luap. Ingin segera ku ledakkan dari tempurung kepalaku.
"Lo itu kerja apa sih sebenernya, ha? Model apa Money Boy? Kerjaannya tiap hari pulang pagi, dikelas tidur, malemnya dagang lagi. Hahaha..." sahut Ardo. Pria berbadan kekar dengan lesung pipi yang menurutku jauh dari kata manis. Bagiku ia seperti kuli panggul beras dipasar. Bagaimana bisa dia punya lesung pipi manis seperti itu? Tuhan sepertinya iseng memberinya dua titik manis dikedua sisi pipinya.
"Jangan-jangan profesi Model itu cuman buat nutup kedoknya aja! Sebenernya dia Money Boy yang siap terima orderan dari tante-tante, bahkan...
Ssstt... Om-om sekalipun." William seperti biasa, ikut-ikutan bercicit.
"Duit dari hasil Model kurang kali?" tambah Arnaf. Lalu mereka berlima tertawa puas.
Ku sambar milkshake cokelat dimejaku, lalu ku siramkan sembarangan ke mereka berlima, yang sukses membuat mereka tampak menyedihkan dengan noda cokelat dimana-mana.
"Bangsat! Mulai berani lo, ya!" pekik William menggelegar. Ia menatapku tak percaya.
"Lo lupa siapa kita, hah?" Ardo mencengkeram lenganku sekarang. Tangannya yang lain melayang diudara.
Oh, tentu gue lupa siapa kalian! Bahkan kalian nggak penting buat diketahui. Kalian cuman bocah-bocah manja kurang kerjaan yang gila popularitas dan sok berkuasa disini.
"Jangan disini, Do! Kita bawa ke tempat biasa aja!" sergah Fendy. Pria berperawakan tinggi, kurus, seperti tiang listrik. Dengan rambut bergaya shaggy yang tampak kuno dan menjijikkan.
Aku memutar otak. Hingga akhirnya ku injak kaki Ardo, lalu ku sikut kuat-kuat perutnya dan berhasil lepas dari cengkeramannya.
Aku langsung berlari sekuat tenaga meninggalkan mereka. Ku rogoh sakuku, lalu menelfon Pak Her untuk segera menjemputku di butik dekat kampus yang biasa ku datangi.
Sedangkan mereka berlima berlarian mengejarku.
Aku tak ingat persisnya sejak kapan mereka mulai menggangguku. Soal kenapa, setiap dari mereka punya alasannya masing-masing dan akhirnya kompak mengerjaiku. Menjadikanku salah satu target empuk bully-an mereka.
William hanya salah seorang pria populer dikampus karna ia tampan dan seorang anak Dekan. Ia benci ketika ada orang lain yang menyaingi, bahkan melebihinya.
Akan tetapi sebenarnya hal itu tak terlalu mengganggunya. Mengingat memang aku seorang Public Figure disini.
Hingga suatu hari kami sempat ada kesalahpahaman karna gadis yang ia suka termasuk salah satu dari sekian banyak fansku. Dan ternyata diam-diam menyimpan rasa padaku.
Ia tak terima satu-satunya gadis incarannya malah menaruh hati padaku, dan menganggapku merebut segalanya darinya.
Ardo, kami sempat adu pukul dan mendapat hukuman dari kampus kemudian. Termasuk berupa skorsing.
Ia ternyata gay mesum yang tiba-tiba saja menyerangku saat kampus mulai sepi.
Ia mendapatiku berdiri di urinoir, lalu menggoda dan menyerangku beberapa saat kemudian.
Dan berakhir mengancamku dengan hal-hal bodoh agar aku tak membuka mulut soal tindakan yang telah ia lakukan. Termasuk menyimpan rahasia tentang orientasi seksnya. Dan pada akhirnya aku hanya dapat mengatakan bahwa kami berkelahi karna masalah lain.
Selebihnya aku tak pernah ada masalah dan berurusan dengan anggota geng mereka yang lain.
Yang ku tahu, sampai sekarang pun mereka akan terus menggangguku. Menjadikanku tikus kecil sebagai hiburan bagi mereka.
***
"Wo wancheng... (Aku selesai...)" gumamku malas.
"Hua ni de cai! (Habisin makananmu!) " titah Kavian, kakak laki-lakiku.
"Wo yijing man, (Aku udah kenyang,). Tantra udah nungguin ditempat gym."
Kav menunjuk-nunjuk piringku dengan sendoknya. "Zhe zheng shi, chile henduo! (Justru itu, makan yang banyak!)" lalu melempar senyum dari tempatnya duduk.
Idih, sok perhatian banget sih dia. Cari muka banget! Dari dulu sampe sekarang emang dia selalu sok baik, sok perhatian.
Memangnya dia pikir, rasa bersalahnya itu bisa mengembalikan semuanya?
NGGAK AKAN PERNAH!
"Hua, Bao bei! (Habiskan, Sayang!) Kokomu benar. Kamu harus makan yang banyak sebelumnya." sahut Mamaku. "Lagipula udah lama kita nggak dinner bareng-bareng gini. Mumpung ada kesempatan bisa ngumpul juga."
Aku bangkit, menyandang tas fitnes yang sedari tadi tergeletak dilantai. "Halah, yang penting ada Koko juga udah cukup kan? Nggak usah sok perhatian ke aku deh, Ma!"
Wanita bermata kecil itu hanya menatapku nanar. Matanya berkaca-kaca, bersamaan dengan tubuhnya yang berguncang hebat karna mendengar perkataanku yang menyakitkan.
"GAEL!" bentak Papaku geram. "ZUO XIA! (DUDUK!)"
"Zuo xia," desis Kavian, nyaris tak terdengar. Matanya bergerak memberi kode.
"Udahlah, aku pengen kaya dulu aja, malah lebih nyaman. Nggak usah berubah jadi sok perhatian gini kalian!
Apa karna aku udah jadi model terkenal yang membanggakan, jadi kalian mulai perhatian dan bersikap seolah-olah aku bagian dari keluarga ini sekarang?
It's too late! I wish, that I'd never be a part of this fuckin' family!"
PLAAAAK!
"LIPU DE NI! (KETERLALUAN KAMU!) APA INI YANG KAMU DAPET DARI PULANG MALEM TIAP HARI, HAH?! SAMA SIAPA KAMU BERGAUL SEKARANG?!"
"Cukup, Pa!" Mamaku beralih berdiri membelakangiku. Menghadang pria besar yang tangannya masih melayang di udara, masih gatal ingin menamparku lagi.
Aku benci drama keluarga seperti ini. Aku rasa keluarga ini cukup menarik bila dibuat menjadi sinetron atau film murahan. Dan aku seolah-olah menjadi seorang anak nakal yang tak berperasaan didalam nya. Padahal nyatanya mereka semua yang membuatku seperti ini. Orangtua yang gagal dan sekarang seolah-olah hendak memperbaiki semuanya.
BASI!
Aku hanya bergeming. Kemudian berjalan cepat meninggalkan ruang makan malam itu.
"GAEL!"
"GAEL, ZUO XIA!"
***
@lovelyozan @hendra_bastian @readhy_pda @akina_kenji @melkikusuma1 @okimansoor @mustajab3 @cl34r_m3nthol @boncengek3 @wyatb @oopsfugu @arieat @didot_adidot @tristansantoso @new92 @rubi_wijaya @rulli arto @joenior68 @vanilla_latte25 @adilar_yasha @m4rk_69 @jkt69 @vanilla_icecream @bn @danthe @bram @reza_agusta89 @gaybekasi168 @mahardhyka @yeltz @chupy_slow @yirly @agova @doel7
#nangissperma
(Orlando Adhiwiyaksa)
Sekali lagi, aku menghela napas berat menatap rentetan kemacetan yang masih saja enggan berhenti. Sejak setengah jam yang lalu, mobil yang dikemudikan Pak Satya—sopir pribadiku—masih saja stuck di kawasan Kemang.
Inilah salah satu alasan kenapa aku benci tinggal di Jakarta. Jumlah volume kendaraan yang makin bertambah setiap tahunnya sayangnya tidak diimbangi dengan penambahan infrastruktur dan pengaturan rute yang baik. Dan alhasil, sudah jadi semacam rutinitas bagi pengguna kendaraan pribadi sepertiku untuk terkurung bosan di dalam mobil sembari menunggu kemacetan mereda di depan mata, terlebih di jam pulang kerja seperti ini.
Sembari menunggu jalanan lengang, kuputuskan untuk membuka ponsel pintarku. Aku perlu mengecek e-mail dari beberapa kolega yang sempat kuabaikan di kantor tadi.
Sebagai seorang CEO dari sebuah perusahaan gadget ternama, Adhiwiyaksa Technology, sudah jadi rahasia umum bahwa aku tak pernah bisa menjalani hari-hari yang tenang. Hampir setiap hari, aku selalu disibukkan oleh e-mail masuk dari kolega dan rekan bisnis, dokumen-dokumen penting yang harus kutandatangani, serta telepon-telepon pun laporan dari bawahan yang rasanya tak pernah habis.
Jika aku boleh jujur, sesungguhnya aku bosan dengan segala rutinitasku. Aku bosan menjadi sosok sempurna dengan rutinitas yang itu-itu saja. Dan, aku bosan menjalani hari-hari dengan schedule yang bahkan telah diatur sama setiap harinya. Akan tetapi, kedua orangtuaku tak pernah memberiku kesempatan untuk santai dan berleha-leha. Sebagai satu-satunya pewaris perusahaan keluarga, aku memikul begitu banyak harapan serta tanggung jawab dari kedua orangtuaku.
Sejak kecil, aku telah dijejali dengan pendidikan yang serba nomor satu. Segala pendidikanku selalu dipilihkan oleh Mom dan Dad dengan segala perhitungan. Bahkan saat aku kuliahpun, mereka sudah memilihkan universitas terbaik di dunia untuk menampungku. Since first, I have a totally arranged live. Semua yang ada dalam kehidupanku sudah diatur sedemikian rupa, dan aku sama sekali tak pernah punya daya untuk menolak.
Aku dididik dan dibesarkan untuk menjadi seorang Orlando Adhiwiyaksa yang perfeksionis dan serba sempurna. Dan aku tak boleh sedikitpun memiliki kelemahan, tentu saja. Sebab Momdan Dadtelah mengalungkan sejuta harapan bagiku dan aku sama sekali tak boleh mengecewakannya.
"Macetnya sudah berkurang, Pak, boleh saya agak ngebut biar kita bisa on time sampai rumah?" Pertanyaan Pak Satya membuat kesadaranku kembali menjejak tanah. Di depan kaca, lalu lintas jalanan sudah mulai lancar dan tidak sepadat tadi.
"Ya sudah, ngebut saja, Pak," jawabku pada pria empat puluh lima tahun yang sudah mengabdi pada keluargaku sejak aku masih kecil itu.
"Langsung ke rumah Bapak atau apartemen dulu?" tanyanya lagi. Aku baru ingat kalau malam ini aku ada jadwal makan malam bersama kedua orangtuaku. Seminggu sekali, aku, Mom dan Dad akan menyempatkan waktu melakukan makan malam bersama dilanjutkan dengan obrolan yang penuh dengan basa-basi.
"Langsung saja ke rumah Bapak," jawabku kemudian. Jarum pendek di arlojiku sudah lewat dari angka enam. Aku tak punya banyak waktu untuk pulang ke apartemen dulu dan mengganti pakaian. Maka usai mendengar jawabanku, Pak Satya lantas segera menginjak pedal gas dan membawa BMW hitam yang kami tumpangi melewati jalanan padat Ibu Kota.
***
Jika kalian pernah mendambakan memiliki fisik rupawan dengan karir dan kehidupan serba sempurna, aku sudah memilikinya. Di usia yang baru menginjak angka dua puluh lima tahun, aku sudah mendapatkan semua hal yang diinginkan oleh lelaki seusiaku; usia muda, karir yang cemerlang, serta fisik yang mampu membuat wanita manapun memalingkan muka.
Perpaduan Eropa-Asia yang kudapatkan dari Mom dan Dad membuatku memiliki fisik yang luar biasa serta kharisma yang mampu membuat siapapun bertekuk lutut. Darah Amerika yang ditularkan Dad membuatku memiliki bola mata kecokelatan, wajah halus dengan rahang tegas, serta perawakan tinggi besar diatas rata-rata untuk ukuran pria Asia. Pun tubuh atletis yang kubentuk oleh latihan fisik secara konsisten, serta karir sempurna yang tak lepas dari campur tangan kedua orangtuaku.
Kedua orangtuaku, Wilson dan Meilanie Adhiwiyaksa adalah dua orang yang memiliki nama besar di dunia perbisnisan Indonesia. Merekalah pencetus perusahaan gadget Adhiwiyaksa Technology—perusahaan gadget nomor wahid di Indonesia—yang kini mereka lengserkan kepemilikannya kepadaku.
Sebagai sosok serbasempurna dengan karir yang serbasempurna pula, sesungguhnya aku tak sepenuhnya bahagia. Memang benar kata pepatah, uang takkan pernah mampu membeli segalanya, termasuk kebahagiaan. Sebab dengan segala yang kumiliki kini, aku justru bosan dan seringkali merasa kesepian. Aku tak pernah sedikitpun mampu memiliki kebahagiaanku sendiri. Segala yang ada dalam hidupku sudah disetir oleh Mom dan Dad, dan aku sama sekali tak pernah memiliki kesempatan untuk menahkodai bahtera kehidupanku sendiri.
***
Tepat pukul tujuh, mobil yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah bertingkat di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Begitu mobil telah diparkirkan dengan sempurna, aku lantas segera turun dari mobil. Seraya merapikan kemeja serta jas yang mulai lusuh akibat banyaknya aktivitas yang kulakukan hari ini, kulajukan langkah, memasuki bangunan mewah—dengan interior sama mewahnya—yang sudah nyaris tiga tahun kutinggalkan sejak aku memiliki apartemenku sendiri di bilangan Kedoya, Jakarta Barat.
Di ruangan tengah, tepatnya di atas meja makan, Mom dan Dad sudah menungguku dengan belasan hidangan nikmat yang disajikan khusus untuk menyambutku. Keduanya, meskipun usia mereka sudah mulai menginjak angka yang sudah tidak muda lagi, masih nampak segar dan bugar.
"Good evening, Mom, Dad!" sapaku begitu langkah kakiku berhenti di depan mereka dan aku segera mencium telapak tangan mereka.
"Evening, Land!" jawab Mom seraya memelukku lembut. Bisa kucium aroma Lavender yang selalu menguar lembut dari tubuhnya. "Why so late? Traffic jam, isn't it?"
Usai bercium tangan, aku lantas mengambil dudukku seraya menjawab dengan candaan, "Bukan Jakarta namanya kalau nggak macet."
Dan jawaban itu membuat Mom dan Dad geleng kepala. "Iya, iya. Salah Mom nanya kayak gitu. Jakarta itu memang perlu ditata ulang biar nggak macet dan bikin pengendara mobil kehilangan kesabaran. Masa kemarin Mama bawa mobil dari Slipi ke Bintaro saja bisa sampai dua jam!" tandasnya. "Oiya, omong-omong gimana kerjaan kantor hari ini?"
Seraya melepas jas dan dasi abu-abu yang membebat kerah kemejaku, kusambar air putih yang ada di depanku. Sekadar membasahi tenggorokan yang mulai kering akibat aktivitas hari ini. "Lancar, Mom," jawabku. "Beberapa klien sudah setuju buat menanam saham di perusahaan kita, dan profit kita bulan ini pun meningkat secara signifikan. Kabar baiknya, bulan depan kita akan launching produk baru."
Mendengar itu, Dad yang sejak tadi menyibukkan diri dengan koran sore di tangannya, lantas ikut menyahut. "Good job, Orland. Itu baru namanya anak Dad," tandas lelaki berperawakan besar itu dengan bangga. Aku tahu, sejak awal, aku memang dituntut untuk melakukan segala sesuatu dengan sempurna. Semata-mata hanya untuk membuat raut dua orang di hadapanku ini bahagia.
Satu menit berikutnya, Mbok Laksmi—pembantu di rumah kami—usai menghidangkan semua makanan yang dipesan Mom. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya, meja makan ini selalu dipenuhi dengan begitu banyak makanan meskipun kami hanya bertiga. Sudah jadi semacam kebiasaan bagi Mom meminta Mbok Laksmi menyiapkan makanan yang beraneka rupa demi menyambut kehadiranku. Alibinya, seminggu sekali ini, jadi apa salahnya? Yeah, sejujurnya ada satu lagi kursi yang kosong di sebelahku, dan seharusnya, itu adalah milik Kak Marco.
"Oiya, bagaimana keadaan Kak Marco? Adakah kabar dari dia?" Di tengah-tengah makan malam, aku mencoba menanyakan pertanyaan itu. Dan seperti yang aku duga, baik Mom a taupun Dad lantas terdiam begitu aku menanyakan pertanyaan yang tak pernah mendapatkan jawaban itu.
"Kami tak tahu." Sedikit emosi, Dad menjawab. "Biarkan saja dia."
Mendengar itu, aku mendesah lemah. "Tapi ini sudah hampir dua tahun kalian memusuhi Kak Marco."
"Sudahlah, Land. Berhenti memikirkan Marco! Dia sudah memilih jalannya sendiri tanpa sedikitpun memikirkan kita. Jadi buat apa kita harus memikirkan dia?" Dengan nada emosi yang sama, Mom mengatakan itu. Entah kenapa, aku selalu bisa menangkap percik kekecewaan dari bola matanya setiap ia dihadapkan pada pertanyaan yang sama. "Dia sudah menghancurkan harapan Mom dan Dad, jadi untuk apa kita mengharapkannya lagi?"
"Mom—"
"Cukup, Orland! Mom rasa, makan malam ini adalah makan malam kita. Jadi, tolong jangan bawa-bawa anak tak tahu diri itu. Biarkan dia memilih hidupnya sendiri." Dan ucapan terakhir Mom yang menusuk itu lantas menjadi ujung dari perdebatan kami tentang Kak Marco. Meski beberapa kalipun aku membujuk agar mereka memaafkan Kak Marco, Mom dan Dad akan tetap pada pendiriannya. Mereka membenci Kak Marco.
Dua tahun yang lalu, Kak Marco pergi dari rumah ini. Lebih tepatnya, dia kabur. Ia tak bisa menjalani kehidupan palsunya, dan memilih hidup sebagai dirinya sendiri meski harus terpisah dari segala fasilitas serbasempurna yang diberikan Mom dan Dad. Kak Marco adalah seorang gay. Dia lebih memilih bersama pria yang ia cintai daripada harus bersama dengan wanita yang Mom dan Dad pilihkan untuknya. Dan itulah alasan mengapa ia tak bisa terus menjalani kehidupan yang sudah sedemikian diatur untuknya.
Sejak awal, Kak Marco lah yang diharapkan dan harusnya mendapatkan jabatan sebagai CEO. Akan tetapi, kenyataan bahwa dia seorang gay membuat Mom dan Dad terpukul. Mereka menyiapkan berbagai rencana untuk membuat kakak lelakiku tersebut kembali ke jalan normal. Mom dan Dad tak ingin sang pemangku harapan justru mencorengkan arang ke wajah mereka. Sayangnya berbeda denganku, Marco Adhiwiyaksa adalah tipe pemberontak. Dia adalah tipikal pria mandiri yang tak ingin hidupnya disetir. Dan alhasil, dia lebih memilih pergi dari rumah daripada harus menjalani kehidupan yang penuh dengan kepalsuan hanya demi nama baik semata.
Sejak saat itu, praktis, segala harapan yang awalnya ditumpukan pada Kak Marco, otomatis jatuh dibebankan ke pundakku. Aku yang saat itu baru saja menyelesaikan studi S2 bisnisku di Washington lantas didaulat Dad untuk pulang ke Indonesia dan mengambil-alih perusahaan. Sejak itulah semua hal yang ada di dalam hidupku berubah drastis. Segala apa yang kukerjakan, harus sesuai dengan ekspektasi yang diberikan Mom dan Dad, dan kadangkala, disitulah aku menyadari bahwa hidupku benar-benar terasa sucks! Aku tak boleh melakukan kesalahan sebagaimana Kak Marco mempermalukan mereka.
Actually, I don't wanna blame everything on him. Akan tetapi, seandainya Kak Marco tak terjerumus dalam jurang terjalnya dan memilih sebagai seorang gay, tentu hidupku takkan jadi seperti ini.
Ah, aku tidak benar-benar marah sebenarnya dengan kakakku itu. Aku memang membenci dirinya yang memilih menjadi seorang homoseksual, akan tetapi, walau bagaimanapun dia tetaplah kakak laki-lakiku. Tanpa sepengetahuan Mom dan Dad, sesungguhnya aku masih diam-diam menjalin kontak dengannya melalui e-mail dan jejaring sosial. Bahkan aku sempat mengunjunginya sesekali.
Setelah kurang lebih tiga jam yang penuh dengan obrolan basa-basi—yang hampir delapan puluh persen isinya didominasi masalah bisnis, makan malam itu akhirnya selesai. Seraya mengantar kepergianku, Mom dan Dad berdiri berdampingan seraya menungguku masuk ke dalam mobil.
"Datanglah ke sini minggu depan! Dad ingin menyampaikan sesuatu padamu." Dari balik kaca mobil yang kubiarkan terbuka, Dad berkata.
"Kenapa tidak sekarang saja?" jawabku tanpa minat. Tubuhku sudah terlalu letih untuk basa-basi lain yang akan disampaikan Dad.
Namun bukannya menjawab, Dad malah menunjukkan seringaian yang sungguh tak cocok dengan garis wa jahnya. "Kalau disampaikan sekarang, bukan surprise namanya!" jawabnya yang membuat aku tertawa tawar seraya mengernyitkan dahi.
Walau tak tertarik, namun tetap saja, apa yang Dad baru saja katakan tentang surprise yang akan ia berikan cukup membuatku penasaran untuk segera mengetahuinya. Rasa ingin tahu yang dibungkus lembut oleh perasaan takut.
Apa lagi yang akan mereka skenario-kan dalam hidupku?
Apa lagi yang akan mereka lagi-lagi atur?
Tidakkah cukup aku sudah berjalan sejauh ini demi kalian? Under your spells... Through your ways.
Jujur saja, aku telah muak dengan semua ini...
Apakah kalian sempat memikirkan sedikit saja perasaanku?
Memberikanku kehendak bebas untuk melakukan dua, tiga rencana dalam hidupku, misalnya?
Bukan selalu dibawah naungan kalian. Bukan selalu didalam bahtera yang kalian nahkodai.
"Okay! Kalau begitu, sampai jumpa minggu depan!" jawabku begitu Pak Satya mulai menyalakan mesin. Lewat kaca mobil yang perlahan-lahan menutup, aku bisa melihat Mom dan Dad yang kini melambaikan tangan seraya mengucapkan sampai jumpa. Maka begitu mesin usai dipanasi, mobil mulai bergerak, melaju perlahan melewati pelataran rumah yang luas, sebelum akhirnya menyatu dengan kendaraan lain di jalanan padat Jakarta. Pada Pak Satya, aku meminta untuk diputarkan lagu jazz melalui music player.
***
@lovelyozan @hendra_bastian @readhy_pda @akina_kenji @melkikusuma1 @okimansoor @mustajab3 @cl34r_m3nthol @boncengek3 @wyatb @oopsfugu @arieat @didot_adidot @tristansantoso @new92 @rubi_wijaya @rulli arto @joenior68 @vanilla_latte25 @adilar_yasha @m4rk_69 @jkt69 @vanilla_icecream @bn @danthe @bram @reza_agusta89 @gaybekasi168 @mahardhyka @yeltz @chupy_slow @yirly @agova @doel7 @Chi_dudul
Keep reading...
Apakah Orland seperti Marco..
Thumb buat Marco deh,,,yg memilih mejadi diri sendiri daripada hidup dengan kepalsuan..