It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Oldman, ayahku, langsung melepaskan pagutannya dari bibir wanita seksi tersebut (yang sudah tidak mengenakan apa-apa lagi ditubuhnya, just so you know) dan mengusap bibir dengan punggung tangannya.
Si pelacur yang tampak sangat terkejut dengan kedatanganku dengan cepat langsung mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai.
"Anak sialan!" Pekik Oldman kemudian. "Aku baru mulai bersenang senang tadi!"
"Jadi bercinta didepan umum seperti tadi adalah gaya bersenang-senang versi terbarumu?" Serangku kemudian. "Fuck you, Oldman"
Setelah selesai dengan pakaiannya, si pelacur langsung menghilang dibalik pintu. Aku yakin dia saat ini berlari pontang panting di sepanjang jalan raya dan berhenti didalam bar untuk mencari pelanggan selanjutnya.
Kutatap Oldman yang kini terbatuk-batuk dan meraih botol Vodka yang masih berdiri kokoh diantara teman temannya yang sudah kosong dan berserakan diatas meja ruang tamu. "Kau selalu mengangguku saja, Scottish-boy. Pergi saja kau keneraka sana.."
"Namaku bukan Scottish-Boy, demi Tuhan oldman! Berhenti memanggilku seperti itu! And yes! Aku akan pergi ke neraka, dan mendo'akanmu agar jatuh ke lantai paling bawah bersama Lucifer!!!!" Teriakku kemudian berjalan menaiki tangga ke lantai dua.
Kadang, aku berharap hidupku yang sangat berantakan ini bisa kutata lagi mulai dari awal, mulai dari fondasinya. Lihat saja Oldman, orang yang bahkan sudah tidak kuakui sebagai ayahku lagi itu (tapi dia tetap ayahku), dia bahkan memperlakukanku seolah olah aku bukan anaknya, melainkan partnernya dalam mencari pelacur pelacur murahan seperti tadi. Ibuku? Aku tak mau membicarakannya.
Sekarang mengerti kenapa aku ingin memulai lagi semuanya dari awal?
**
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melewati lubang kecil berdiameter kurang dari 10 inchi yang berjejer rapi di selku. Yah, sejajar dengan kepalaku sih letaknya jadi aku bisa mengintip keadaan di sekitar.
Sadar siang sudah mulai menjelang, ku ambil kapur usang yang kudapatkan kemarin dibawah nampan makan malamku dan menteli setiap hari yang kulalui didalam sel.
Enam hari.
Yah, aku menghitungnya. Menghitung setiap harinya.
Bukan karena aku takut. Sungguh. Bisa saja aku keluar dari sel ini saat ini juga dan menghajar penjaga yang ada diluar. Tapi pikirkan juga lah, aku bukan Rambo atau Bruce Lee yang bisa menerjang satu batalion penuh pasukan. Dan aku bukan Luffy yang bisa menghancurkan satu kapal perang dalam sekali tinjuan. Bagaimanapun juga, aku adalah aku. Dan aku butuh cara agar bisa keluar dari sel ini dalam keadaan sehat, sedikit luka tak apa, dan yang lebih penting, tidak diburu.
Sungguh, masa laluku sudah kacau. Jangan sampai masa depanku juga.
Dan yang lebih penting lagi, aku bosan.
Fatimah entah kenapa sudah diperbolehkan keluar dari selnya. Meski perasaanku sama sekali tak enak dengan kepergiannya. Hari hariku di dalam sel ini selalu ditemani olehnya dan tepat 2 hari yang lalu ia pergi, otomatis saja aku mulai merasa khawatir. Kudengar pihak Belanda tak segan segan untuk menyakiti mereka yang melawannya. Membunuhnya,bahkan tanpa harus berpikir dua kali. Kalau diperlukan, orang itu akan pasti dibunuh.
Jadi setelah kepergian Fatimah, aku jadi menebak nebak sendiri didalam kepala apa yang terjadi dengan gadis pribumi itu. Apa dia dibebaskan? Disiksa lagi? Atau yang lebih parah dibunuh?
"Eten!!!"
Suara teriakan wanita tua yang mengantarkan makanan kembali mengejutkanku. Dia melewatkan nampanku dibawah celah pintu sel yang mengakibatkan beberapa makanan pagiku, seperti biasa : cairan yang menjijikkan, tumpah ruah. Aku langsung mengumpat setelahnya dan mengutuk-ngutuk si breakfast-woman karena telah mengacaukan makan pagiku.
Yak. Agaknya aku sudah mulai terbiasa dengan konsumsi yang mereka sediakan.
Langsung saja kusantap makan pagiku dengan lahap, dan dilanjutkan dengan melakukan beberapa pemanasan pagi. Kamu tahu? Seperti push-up.. sit-up.. lay-up.. pull-up.. apapun yang bisa kukerjakan, akan kukerjakan untuk membunuh waktu kosong yang mencekik ubun ubunku hingga mereka menjerit.
**
"Tuhanku itu Esa"
Aku mengernyitkan dahi. "Esa? Apa itu Esa?"
Karina merapatkan hoodienya yang kebesaran saat angin bertiup kencang ke arah kami waktu aku dan dia tengah menuju sebuah seminar di gedung utama kampus.
"Esa itu.. Satu" Jawabnya.
Selain Denada, Karina adalah temanku yang berkebangsaan Indonesia di kampus. Berbeda dengan Denada yang sudah sangat bisa membaur dengan kawan-kawanku yang lain, Karina justru berpenampilan sangat mencolok. Sehari hari dia selalu memakai rok ataupun celana panjang, panjang sekali hingga tumitnya (dan itupun kalau pakai rok mesti pakai leggings didalamnya). Lalu, rambutnya tak dibiarkan terbuka begitu saja. Dia selalu memakai jilbab, apa ya sekarang ini nama trendnya? Hijab? Veil? Apalah itu pokoknya. Belakangan orang-orang yang memakai hijab tersebut, memanggil diri mereka sebagai.... hijabers. Setidaknya begitu.
Kami berhenti diantrian paling belakang barisan menuju pintu masuk gedung utama. Didepan kami ada banyak orang sedang mengantri untuk masuk. Sementara menunggu, aku kembali melanjutkan pertanyaanku atas pernyataan Karina. "Satu? Maksudmu itu apa sih?"
Ia menoleh padaku dan tersenyum kecut. "Kupikir seharian bersama Mrs. Tuti dalam mata kuliah Sosial Indonesia sudah membuatmu mengerti tentang itu.. "
Aku mencibir kemudian. "Aku bukan tipe orang seperti itu, asal kau tahu saja. Sekarang beritahu aku apa itu esa, dan apa hubungannya dengan tweet Denada malam tadi"
Oke, Denada dan Karina itu dulu bersahabat. Tapi entah kenapa, sekaranh keliatannya Karina seolah olah sengaja menjauhi teman sebangsanya itu.
"Tentu saja ada" Sahut Karina seraya melangkah maju bersamaku ke gerbang gedung utama. "Kebanyakan Hijabers itu Islam. Dan didalam Islam, kami hanya mempercayai dan meyakini satu hal. Tuhan itu adalah satu-satunya Tuhan yang maha kuasa. Dia berhak atas segala sesuatunya, dan dia bisa melakukan apapun yang Ia mau meskipun sejarah ilmiahpun apa yang Ia perbuat tak logis. Kun faa yakun. Apa yang terjadi, terjadilah..." jelasnya panjang lebar.
Aku lalu mencerna setiap kalimatnya panjang lebar. Ok, aku baru tahu Islam itu ternyata punya Tuhan yang maha hebat seperti itu. Kalau benar dia maha kuasa, apa jangan jangan misteri segitiga bermuda juga ada hubungannya dengan 'kun faa yakun' itu?
Tunggu, terlepas dari ini semua, apa hubunganya dengan tweet Denada malam tadi?
"Tunggu..."
"Aku tahu..." sanggah Karina cepat. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Scott. Tentu ini ada hubungannya dengan tweet Denada kemarin malam setelah insiden didalam Dorm nya. Tuhanku itu, Maha mendengar, dan Dia juga sangat baik mengabulkan setiap do'a hamba yang dikehendakinya"
"Aku masih belum mengerti..."
Karina menoleh padaku. "Coba kamu ingat ingat lagi bagaimana persisnya kicauan Denada malam tadi?"
Kugigit bibir bawahku sembari mengingat kemudian. 'Untuk kamu, yang selalu mengangguku dan membuat Julius-ku mengamuk didepan kamarku kemarin malam, Aku berdo'a kepada Tuhan supaya kamu cepat cepat mati dan menghilang dari kehidupanku. Selamanya'
"Sudah ingat sekarang?" Tanya Karina.
Aku tersentak dari lamunanku dan langsung mengangguk.
"Sekarang coba kamu hubungkan penjelasanku tentang Tuhanku dan juga do'anya Denada?" Sergah Karina kemudian cepat.
"Errrmm.." Aku masih belum yakin. Alih alih tidak menjawab, aku malah menyampaikan hipotesa yang kini perlahan menakuti tubuhku. "Denada.... mendo'akan aku agar cepat cepat mati?" Setelah itu, kerongkonganku tercekat. Tapi... bagaimana mungkin? Denada bukan cewek yang tega untuk melakukan itu. Dia mencintaiku sebagai teman, dan aku menghargai itu. Seorang teman mustahil membunuh temannya sendiri.
"Itu yang tepatnya kutakutkan, Scott...." Kini suara Karina terdengar melemah. Sangat melemah. "Setiap perkataan itu adalah do'a. Kusarankan kamu agar cepat cepat membuatnya menghapus tweet itu. Sebelum sesuatu yang buruk terjadi padamu..."
Aku masih terpaku sendiri dengan hipotesa bodoh yang berputar putar didalam benakku.
"Lalu.. aku mohon.. mulai sekarang jauhilah Denada. Dia sangat sangat berbahaya untukmu..."
**
Lengang.
Satu kata yang sangat sangat mendeskripsikan keadaan seisi ruangan penjara saat ini.
Tak ada penjaga yang berkeliaran kesana kemari.
Tak ada suara ocehan dan cekikikan dari balik pintu masuk ruang tahanan.
Hanya ada aku dan beberapa sel yang masih kosong melompong.
"Halooo!???" Teriakku kemudian. Tapi tak ada yang merespon. Biasanya ada kok. Setidaknya bentakan atau pukulan pada besi besi jerujiku untuk menyuruhku diam.
"Haloooooo????" Kali ini teriakanku lebih panjang dari yang tadi. "Ada pesta apa diluar sana?"
Aneh. Ini sangat aneh.
"Ha---"
BAAAAAMMM!!!!
BRAKKK!!!!
Sontak aku langsung terperanjat mendengar bunyi itu.
Penjaga yang biasanya selalu membentakku kalau sudah mulai kebosanan dan bernyanyi nyanyi sendiri tiba tjba terlempar jauh dari pintu masuk yang kini terkuak sampai kedepan pintu selku. Dahinya bolong dan berdarah-darah.
Dan sejurus kemudian, dari arah pintu aku mendengar suara seseorang.
"Anybody here?????"
Aku jadi mengingat ngingat lagi penjelasan Karin sore itu waktu seminar. 'Tuhanku itu mengabulkan do'a hamba-Nya yang ia kehendaki. Ingat, setiap perkataan itu adalah do'a'. Ah persetan dengan penjelasan Karina, ini kesempatanku untuk kabur.
"Yeah!!! Right here!!!" Pekikku kemudian.
Tak lama seorang pria berambut pirang mendatangi selku. Dia tampak terkejut dengan kehadiranku didalam dan terpaku didepan pintu. Serupa-rupa aku ini setan saja dia sampai terdiam seperti itu.
"Kenapa diam seperti itu?" Tanyaku mulai merasa gusar. "Kau mau menolongku atau tetap diam disana?!"
Dia spontan terkejut. Well, aku tadi meneriakinya pakai bahasa inggris. Bagaimanapun juga ini adalah cerbung berbahasa indonesia, jadi aku harus bisa berbahasa meskipun terkadang terucap beberapa kosakata inggris.
"Sorry" ucapnya lirih, merebut gantungan kunci yang ada di ikat pinggang si penjaga dan kemudian menyocokkan setiap kunci ke pintuku. "Ada banyak sekali kunci disini. Bersabarlah..."
Damn. Kalau aku jadi dia aku pasti akan melihat merek kuncinya terlebih dahulu, kemudian mencocokkan dengan lubangnya. Eh, tunggu, ini kan awal abad ke-19. Memangnya teknologi seperti itu sudah ada?
Merasa jengkel karena orang bodoh ini terlalu lama membukakan pintuku, aku memutuskan untuk mengajaknya bicara ringan.
"Kamu dari Inggris?"
"Yes sir" jawabnya. Wow. Dia memanggilku Sir. Entah itu harus kuanggap sebagai sebuah kehormatan, atau sebuah hinaan. Aku belum cukup tua untuk dipanggil Sir.
"Oh.. aku sudah bisa menduganya..."
"Yeah.." dan kemudian pintupun terbuka. Dengan cepat aku langsung keluar dari sel. Freedom! Fuck yeah, sel ku!! "Anda juga bilang begitu seminggu yang lalu..."
Aku mengangguk-ngangguk kemudian dibelakangnya. Si pria-inggris-yang-bodoh ini menyuruhku untuk mengekorinya dibelakang sementara ia menunjukkanku jalan keluar dari gedung bobrok ini.
Dan ternyata, rencanaku, tergantikan oleh kebohonganku yang ternyata menjadi kenyataan.
Dimana mana disetiap sudut bangunan, aku bisa melihat sepasukan berbaju putih bertarung melawan pasukan berbaju coklat yang tampak kewalahan. Pasukan berbaju putih mendominasi setiap sudut dan darah belanda bertebaran dimana mana. Kepala. Mata. Tangan. Apapum dari tubuh manusia yang utuh bertebaran dalam keadaan putus.
Rasanya seperti langsung masuk kedalam salah satu pembunuhan disalah satu scene film TEXAS CHAINSAW MASSACRE.
"Sir.. this way" katanya. Aku mengikutinya sampai menuju luar penjara.
Sesampainya diluar, semuanya lebih kacau dari yang kubayangkan.
Bagaikan tawuran anak anak SMA yang sering kusaksikan di beberapa channel TV, semua orang bertarung satu sama lain. Hanya saja yang ini lebih ekstrim. Kalau didalam tadi aku merasa bagai masuk kedalam salah satu adegan Texas Chainsaw, sekarang aku malah merasa menjadi Crixus dalam serial Spartacus season ketiga.
"Hati hati, Sir. Ikuti aku, akan kuantar kau ketempat yang lebih aman" Si pria bule ini berkata kemudian. "Oh, dan perhatikan sekitarmu kalau mau selamat tentunya"
Aku hanya mengangguk angguk dibelakangnya.
Bayangkan saja, pria ini dari inggris. ENGLISH! Dan itu artinya secara tak langsung, ramalanku seminggu lewat itu benar. Ingat? Waktu si seksi Diana menginterogasiku dan aku... berbohong padanya? Seminggu aku mendekam didalam sel dengan ancamannya yang terngiang ngiang dikepalaku, membuatku blank dan sama sekali tidak dapat rencana untuk melarikan diri. Tapi.... see? Kebohonganku menjadi nyata!
Aku dan si pria ini lalu melewati jalan setapak menuruni gedung tempat aku di tahan (aku masih belum yakin itu gedung apa, gedung VOC atau gedung... ya gedung). Suara letusan pistol dan pedang yang saling beradu menyeruak masuk memekakkan telingaku. Ugh, mendengar teriakan puluhan atau ratusan orang ternyata mengerikan. Padahal waktu aku menghajar orang yang ingin memperkosa Denada waktu itu, teriakannya terdengar sangat harmonis ditelingaku.
Melewati jalan setapak, kami kemudian sampai di hulu sebuah sungai. Disampingnya ada jalan lagi dan kemudian...
"Scott! Scott!!!"