Semua orang berpakaian aneh. Tak ada gaun. Tak ada kemeja berwarna dongker. Tak ada high-heels yang selalu ku perhatikan di setiap kaki para ladies. Tak ada rokok yang selalu kubeli di toko. Tak ada celana jeans dan hoodie yang selalu kukenakan. Semuanya hanya kemeja putih dan coklat, lengkap dengan topi belanda. Dan para ladies, nggak satupun dari mereka yang menggunakan hotpants. Yang ada hanya rok panjang yang menutupi kaki indahnya hingga ke tumit. Dan semua orang melihatku kebingungan, mengerubungiku seolah olah aku baru jatuh dari suatu tempat yang sangat tinggi dari lantai 50 sebuah gedung. Tapi sayang sekali nggak ada gedung dengan jumlah lantai itu disekitar sini. Apa jangan jangan karena orang-orang ini mengerubuniku? Atau jangan jangan karena aku mendadak buta?
Aku kemudian berdiri dan menepuk nepuk bokongku yang basah karena ternyata aku terhempas diatas genangan air. "Fuck.." umpatku saat tahu ternyata airnya sudah merembes jauh mengenai kulit pantatku.
Orang orang yang mengelilingiku langsung berbisik bisik setelah mendengarkan umpatanku.
"Fuck? Apa itu fuck....?"
"Mungkin itu sejenis makanan baru..."
"Aku dengar katanya orang yang kemarin menjajah rumah Tok Hari itu Fyuck Van Deetch.."
Mereka semakin aneh saja. Kenapa mereka nggak tahu 'fuck'? Padahal Nicki Minaj acap kali memasukkan kata itu kedalam setiap liriknya. Termasuk si Meghan Trainor. Hampir setiap pemuncak tangga lagu Billboard dan juga seluruh masyarakat dunia mengetahui arti dari Fuck dan orang orang ini saling bertanya satu sama lain perihal umpatanku? Fuck..
"Krrruukk..." perutku mendadak berbunyi. Orang orang ini kemudian terperangah dan langsung memasang tampang kasihan padaku. Oh, bagus. Setelah aku dicampakkan Denada di sekolah, sekarang orang orang aneh ini malah menganggapku sebagai musafir yang belum makan selama berpuluhpuluh hari? Bagus sekali.
Scott, kau menyedihkan. Batinku pada diriku sendiri. Kau sengaja ingin membuat Denada terkesan dari kemarin malam dan sekarang kau mempermalukan dirimu sendiri didepan orang orang aneh?
Kutegapkan badanku kemudian dan sadar bahwa tubuhku jauh lebih besar dan tinggi dari kerumunan orang ini. Mereka bahkan mendongak melihatku layaknya aku adalah Hugh Jackman yang memberikan kejutan Meet And Greet untuk fans nya di San Diego.
"Dia raksasa..."
"Lihat, aku yakin dia bukan bagian dari kita.. lihat wajahnya..."
Errghh.. aku mulai jengah dengan bisikan mereka. Tak lama setelah itu aku langsung menabrak dan keluar dari kerumunan itu. Semua orang mengaduh kesakitan sedang aku tak peduli. Aku lapar, dan aku harus pulang sebelum jam 10 malam karena Denada menunggu untuk acara party dirumahnya.
Setelah beberapa langkah, baru kusadari kalau ternyata aku sedang berada ditengah-tengah sebuah pasar tradisional. Tepat seperti pasar yang kujumpai di pinggiran Seoul saat acara pernikahan Vanessa, kakakku dulu bersama Jong Il. Hanya saja pakaian mereka terkesan lebih kuno dan lusuh. Bahkan nggak ada listrik. Penggorenganpun tidak. Semuanya serba gelap dan hanya beratapkan jerami seadanya.
"Soerabi.. soerabi...! Manis hanya 1 koin!"
"Bakpia.. bakpia baru masak... ayo ayo!"
Dan sedetik kemudian setelah sorakan itu, hidungku langsung mencium bau bau harum. Bau makanan seperti... gula. Membuat hidungku berdenyut denyut kegirangan, membuat lambungku meronta minta diisi.
Kuusap usap pusarku, menenangkan cacing cacing yang berpesta didalam sana. Keluargaku punya riwayat penyakit lambung dan diabetes, jadi sebentar saja telat dari jam makan maka perih akan menjadi temanku seharian penuh.
Langsung kudatangi salah satu gerai orang orang itu. Yang kudatangi adalah sebuah gerai makanan yang terlihat masih sangat katrok dan ketinggalan zaman, mereka memanggang diatas sebuah serabut kelapa yang dibakar sehingga mengeluarkan asap yang tak sedikit, tapi baunya harum. Sedangkan yang menungguinya adalah sepasang orang tua, yang kutaksir umurnya sudah melewati kepala lima. Sang wanita tua sedang mengaduk aduk sesuatu di tangannya, sedangkan si pria membakar sesuatu yang berjejeran rapi diatas batok-batok kelapa. Kuhampiri mereka dengan liur yang hampir menetes, sang pria tua kemudian menyambangiku sambil tersenyum ramah.
"Mau beli apa nak?" Tanyanya samnil mengusapkan tangannya pada sebuah kain.
Kuperhatikan setiap 'benda' yang dibakar diatas batok kelapa itu kemudian menunjuknya. "Ehmm... itu.. disini ada apa saja ya pak?"
Aku sengaja memanggil pria itu dengan 'Pak' karena orang ini sopan sekali padaku. Berbeda dengan Ayah, yang kupanggil Old Man karena kami selalu menyumpah setiap kali bertemu. Ditambah lagi Bapak ini sepertinya lebih tua dari ayahku sendiri.
Dia mengernyitkan dahinya, senyumnya masih terkembang. "Oh itu?" Katanya menunjuk batok kelapa. "U"
U? Tanyaku. Apa itu U?
"Pak.. maksudnya si anak muda ini yang ada diatas batok kelapa itu" si Ibu tua berdiri dan kemudian menghampiri kami. "Maaf nak.. disini batok kelapa itu namanya U" terangnya yang langsung membuatku mengangguk angguk.
"Ooh.. yang itu..." si bapak mangut mangut. "Soerabi nak..."
"Ananda mau coba?" Yang ini si Ibu tua yang berkata.
Aku langsung mengangguk pelan. "Dua ya buk" kataku.
Dengan sigap Bapak langsung berbalik ke panggangan, mengangkat dua buah soerabi soerabi tersebut dan mengambil sehelai daun pisang kemudian membungkusnya. Tak lama setelah itu si Ibu menyerahkannya padaku dengan senyun sumringah. "Ini nak.. semuanya dua koin..."
Langsung kokocek sakuku, meraih dompet dan kemudian mengeluarkan dua lembar dollar dari dalamnya. "Ini buk"
Si Ibu dan si bapak kebingungan melihat uang yang masih berada di tanganku. Mereka saling menoleh dan kemudian dengan tangan gemetar meraih uangku.
"Na..nak..." katanya dengan bibir yang gemetar. Sedang si Bapak langsung mematikan batok kelapanya cepat cepat. "Ini.. ini uang apa nak?..."
"Dollar. Memangnya kenapa?"
Belum sempat aku menjawab, bunyi sebuah tembakan langsung memecah diatas langit. Semua orang yang berada di sekitarku langsung berteriak dan kabur, beberapa dari mereka bahkan langsung meninggalkan kios mereka dan menghilang dibalik semak semak belukar.
"Nak.. sembunyi nak..." si Ibu tua berteriak dan bersembunyi dibawah pemanggang batok kelapa bersama bapak yang kupikir adalah suaminya. "Ambil lagi uang itu.. dan lalu kabur nak..."
Aku berdiri keheranan ditempatku dengan Soerabi di tangan. Kemudian tiba tiba suara letusan senjata api kembali menggelegar dan membuat semua orang berteriak ketakutan, meringkuk dibalik kios mereka masing masing berpegang pada apapun yang mereka bisa.
"Hey!!!" Bentak seseorang dari ujung jalan yang ada dibelakangku. Aku langsung menoleh kesana dan seketika mengangkat tangan tatkala dia menodongkan mulut sebuah shotgun laras panjang padaku.
Aku mengernyit tak mengerti. Siapa mereka? Kenapa mereka memakai topi? Rambut mereka coklat sama denganku. Perawakannya juga. Tapi kenapa mereka menodongku?
Aku tak mengerti apa yang kemudian orang itu katakan. Ucapannya terlalu cepat dan itu bukan bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. Aku pangling mendengarnya, hampir saja kupikir dia berbicara bahasa Jerman.
Aku terbengong sendiri di tempatku berdiri dan sejurus kemudian orang itu menghampiriku dengan dua anak buah yang langsung mengunci kedua tanganku. Sementara mulut shotgun diarahkan tepat ke dahiku.
Selanjutnya yang terjadi, sang empunya shotgun membentak bentakku lagi dalam bahasa yang sangat ku tak mengerti. Aku cuma mengernyitkan dahi. Lama lama aku kesal pula dibentak-bentak seperti ini, pikirku. Lalu dengan sigap ku ludahi pria yang menbentak-bentakku, ku rebut shotgunnya dan kutendang dia dengan betisku sampai dia terlempar beberapa kaki dariku.
Tanganku yang dikunci oleh dua orang temannya langsung terlepas dan langsung kutodongkan shotgun yang kurebut tadi pada mereka. Dengan ligat mereka juga mengeluarkan pistol laras pendrk dari dalam saku celananya.
Hoo.. ingin menantangku rupanya batinku.
Salah satu dari mereka langsung menarik pelatuk, tapi secepat kilat aku menunduk dan peluru melesat cepat menembus bahu teman sang empunya shotgun. Dia mengerang kesakitan memegangi bahunya.
Dua orang itu meracau tak jelas, dan kembali menembakkan pistolnya padaku. Namun aku lebih cepat menghindar dan membuat mereka kewalahan. Saat saat itulah kupakai untuk menyerang. Ku sungkai dengkulnya hingga salah seorang dari mereka terjerembab kebelakang kemudian kutendang kepalanya dan membuatnya pingsan seketika. Melihatnya temannya yang jatuh, si pria-aneh-bertopi-yang-memegang-pistol lainnya meracau lagi dan menembakkan lagi pelurunya. Tapi sayang, aku lebih dulu mengayunkan kakiku hingga tepat mengenai selangkangannya yang berharga.
"AAAAAAWWWRRRGGGHHHHHH!!!!!!!!!" Pekiknya, ia spontan menjatuhkan senjatanya dan langsung menutupi sarang tongkat ajaib di selangkangannya tersebut.
Ketiga orang tersebut jatuh ke tanah sambil meringis kesakitan, sedangkan yang satunya tak sadar.
"Huuuuffttt......" aku menghela nafas berat. Tak sia sia Ayah sialanku itu mengajarkan 10 macam jenis beladiri padaku. Hampir saja aku ditangkap tadi. Kuselempangkan kemudian shotgun itu ke bahu, dan kuambil soerabiku yang jatuh dan masih terbungkus rapi dalam daun pisang diatas tanah. Kutatap si penjual soerabi tadi, tapi dia sudah menghilang. Yaaah apaboleh buat, itu artinya ini gratis untukku.
Aku kemudian berbalik sambil mengunyah soerabi dan langsung ditodong berpuluh puluh shotgun.
"ANGKAT TANGAN!"
Damn. Harusnya aku tahu kalau mereka juga membawa teman temannya yang lain.
**
"Bisakah aku minta makanan?" Teriakku dari dalam sel besi tempat mereka menyeretku tadi. "Hey...! Aku lapar!! Anybody speak english?!!"
"Baaam!!!!!" Pintu penjara lalu dihantam oleh balok kayu oleh penjaga dan kemudian dia membentak. Sepertinya padaku. Karena aku sama sekali nggak mengerti dengan apa yang dia katakan.
"Percuma..." lirih seseorang dari sel yang berada disampingku. Seorang wanita. Rambutnya disanggul kebelakang. Dia meringkuk diujung selnya dengan nampan yang sudah dihinggapi banyak lalat. "Mereka nggak akan mengerti dengan omonganmu"
"Kau bisa berbahasa Indonesia juga?" Tanyaku kikuk. She's kinda hot. Aku selalu menyukai wanita Indonesia. Padahal aku native asli dari Amerika yang berdarah Inggris.
Dia mengangguk. "Sekarang,bisakah kau berhenti berteriak dan duduk saja sambil menunggu jam makan berikutnya?"
Jam makan? Oh iya, aku baru ingat kalau sekarang aku sedang dipenjara.
Tanpa berpikir dua kali aku langsung berjalan kebelakang sel, dan merebahkan badanku diatas lantai sel yang masih terbuat dari tanah. Apa tak ada keramik disini? Atau kayu jati?
Perutku berbunyi lagi. Sial. Dasar penjaga brengsek. Batinku dan tak lama setelah itu aku tertidur.
**
Suara pekikan nyaring seorang wanita tua yang sangat memekakkan telingaku menyentakkanku dari tidur.
"Eten!!!"
Dari rongga bawah pintu sel, sebuah nampan berisi sesuatu yang cair dan menjijikkan terseret diatas lantai menuju kakiku. Wanita itu juga memberikan nampan yang sama pada wanita yang tadi meringkuk di selnya,.... sekarangpun masih meringkuk.
"Ini apa?" Tanyaku menunjuk nampannya.
Wanita tersebut mengacuhkanku.
"Hey!" Panggilku lagi dan membuatnya tersentak. Sepertinya dia baru saja tertidur dalam posisi seperti itu. "Ini apa?" Tanyaku dengan tampang sepolos mungkin. Mungkin saja dia marah karena sudah kukejutkan, jelas sekali dari tatapan matanya padaku.
Dia mendengus lalu meraih nampan yang baru kearahnya. "Makan siangmu" katanya.
"What?!!" Spontan saja aku langsung berteriak. Kupikir di penjara makanannya sedikit elit, bubur pedas atau nasi putih dengan taburan teri diatasnya. Dan apa yang kutemukan ini? Benda cair yang menjijikkan! "Kau serius?"
Dia menatapku sebentar sebelum kemudian meminum makan siangnya. "Bukan, aku Fatimah"
Oh, jadi namanya Fatimah. "Bukan itu maksudku, kamu serius kalau ini makan siangnya?!"
Dia melirikku keheranan mengangkat sebelah alisnya. "Apa yang bisa kamu harapkan dari makanan penjajah kita?" Ocehnya lemah, tapi ketara sekali perasaan dendamnya. Dia terdiam lalu memperhatikan wajahku dengan seksama. "Tunggu, kau bukan pribumi?" Tanyanya tiba tiba.
"Tentu saja bukan. Memangnya kenapa?" Aku mulai merasa aneh. Ada apa ya? Tadi di tempat soerabi si penjual malah ketakutan melihat dollarku. Sekarang si Fatimah ini malah menanyakan kebangsaanku. Emangnya apa yang salah sih? Aku kan bule, aku tau itu.
"Kamu orang mana?"
"Aku campuran Amerika-Inggris" kataku cepat.
Matanya membelakak kaget dan kemudian ia meletakkan sendok buburnya. Lalu Fatimah merangkak mendekati selku, sel kami hanya dibatasi oleh jeruji tipis. Digenggamnya besi besi jeruji dan semakin mendekat menatapku tajam. Seolah olah ada sesuatu yang sangat berharga diwajahku. Apa ya? Apa hidungku yang mancung? Atau dia sadar kalau aku terlalu tampan?
"Kau kenal sama Thomas Raffles?" Imbuhnya lagi tiba tiba.
"Tentu" jawabku. "Dia kan pemimpin inggris yang dulu pernah menjajah Indonesia dan penemu bunga Rafflesia kan? Memangnya kenapa?"
"Darimana kamu mengenalnya?"
"Hmmm....." alisku bertaut. Pertanyaannya seperti pertanyaan Mr. Donahue, dosen sejarah dunia di kampusku. "Ensiklopedia?" Jawabku asal.
"Ensiklopedia?" Sahutnya kebingungan.
"Yaaa... well.. kamu tahu? Semacam buku pengetahuan gitu.. dari situ juga aku tahu kalau Inggris itu akhirnya kalah dalam..."
"Inggris kalah?" Dia menyerobot kalimatku. Damn. Dasar wanita sialan. Aku paling benci diserobot begitu. "Kenapa kamu bisa begitu yakin Inggris kalah?"
"Itu yang tertulis di Ensiklopedia..." kali ini aku sedikit bingung dengan reaksinya. Dia kan pribumi, kenapa tak tahu dengan yang seperti ini.
"Aku meragukanmu. Nyatanya kemarin pasukan Inggris baru saja menyerbu ke salah satu desa dan memporak porandakan salah satu markas VOC"
"Ya itu kan baru awalnya...." Jawabku kembali asal-asalan. "Di sana juga tertulis kalau..." Kalimatku langsung terputus. Apa katanya tadi? Kemarin? "Apa maksudmu?" Tanyaku spontan.
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu, apa maksudmu Inggris akan dikalahkan oleh Belanda? Padahal aku yakin sekali pihak company begitu kewalahan dengan pasukan dari eropa tersebut. Lalu itu apa Ensiklopedia? Dan bajumu...." di tatapnya penampilanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Darimana asalmu?"
"Aku? Jakarta" jawabku cepat.
"Jakarta? Dimana itu?"
Kali ini aku yang terperangah. Jakarta? Pribumi mana yang nggak tahu Jakarta? Lalu kenapa dia juga menanyakan pakaianku? Aku mulai merasa kebingungan dengan semua ini.
Lalu kuhubungkan semua yang telah kudengar dan kurasakan janggal di pikiranku sepanjang hari ini. 'Soerabi manis hanya seharga satu koin...' , 'orang yang menjajah rumah Tok Hari itu Fyuck Van Deer' , 'Inggris baru saja membuat Belanda kewalahan' dan penampilan penduduk dan juga semuanya tampak aneh dimataku.
"Tahun berapa sekarang?" Tanyaku langsung pada Fatimah.
Dia menggeleng lemah. "Aku tak tahu menahu tentang waktu dan tahun. Aku tak mengerti. Mereka tak pernah mengajariku. Aku diseret kemari saat ketahuan memberikan kakakku minum saat kerja rodi di perkebunan..."
Kerja Rodi? Kuhubungkan lagi semuanya. Aku yang terbangun ditengah kerumunan orang orang berpakaian aneh dan kuno. Mata uang koin. Inggris yang menyerang Belanda.
Tunggu, aku sekarang berada di awal abad ke 19?!
Comments
Paling suka cerita beginiaaaannn...
Buruaaann lu puasin gue bocah!!!
Awas kalau tidak... Gue rajam pantat lu pake buntut ikan pari!!!
Kwkwkwkwkw
#kangen
Paling suka cerita beginiaaaannn...
Buruaaann lu puasin gue bocah!!!
Awas kalau tidak... Gue rajam pantat lu pake buntut ikan pari!!!
Kwkwkwkwkw
#kangen
"Hey...."
Aku langsung menoleh cepat pada Fatimah yang menolengkan kepalanya kebingungan padaku.
"Kamu kenapa?" Tanyanya.
Kutelusuri pakaian lusuh Fatimah dari atas kebawah. Bibirnya pucat. Dia hanya menyelempangkan kain di pinggangnya dan baju kurung yang kondisinya sudah tidak bisa lagi disebut sebagai baju yang layak. Dan di beberapa bagian di wajah serta trlapak tangannya, terdapat beberapa bekas memar.
Mungkin Fatimah memang benar benar jujur saat mengatakan dia diseret kemari waktu memberi makan kakaknya.
"Aku...." Lihat? Aku sendiri bahkan tidak tahu harus menjawab seperti apa. Aku juga tak mengerti kenapa bisa terlempat ke zaman seperti ini. "Aku.. bingung..."
"Bingung?" Kepala Fatimah kembali oleng, kali ini ke kiri. "Bingung kenapa?"
Bingung karena aku tiba tiba bisa terlempar ke zaman dua ratus tahun kemudian secara mendadak. Ingin saja aku menjawabnya seperti itu, tapi Fatimah pasti takkan mengerti. Dia sudah bilang kalau dia tidak pernah diajarkan tentang waktu. Apalagi perihal seperti ini.
"Tidak apa apa..." Jawabku akhirnya, menyerah dan meraih nampanku yang masih berisi benda cair ini. "Ehmm... apa rasanya enak?"
Fatimah yang masih menggenggam besi jeruji dengan kedua tangannya perlahan melepaskan pembatas antara sel kami dan merangkak kembali menuju pojokan selnya. "Coba saja."
Damn. Apa yang sudah terjadi padaku?
**
"Denada.. please.." aku terseok seok mengikuti Denada yang tetap menolak ajakanku untuk menjadi pendampingnya di pesta sabtu malam dirumahnya.
"Stop it, Scott! Aku nggak tertarik padamu!"
Denada menepis tanganku dengan kuat. Derap langkahnya semakin cepat menuju pintu keluar dari lorong sekolah. Rambut hitam khas wanita Indonesia beterbangan helai demi helainya saat kami melewati taman sekolah. Angin berhembus lembut sepoi sepoi, memabukkan dan membius siapapun yang lewat untuk berteduh barang sejenak dibawah pepohonan rindang yang menghiasi Havensdale. Tapi sayang sekali, Denada tak terbius untuk berhenti dan mendengarkanku.
"Denada, please! Aku mohon!" Aku semakin gigih kemudian. "Beri aku kesempatan sekali dan setelah itu terserahmu saja ingin berkencan dengan pria lain atau si bajingan Harold"
Tapi Denada tetap acuh.
Malah langkahnya semakin dipercepat menuju gerbang utama. Sepertinya dia muak untuk menolakku lagi dan sudah jengkel menghadapiku. Ini sudah kali ke-3 dalam minggu ini aku mengemis padanya, dan karena reaksi yang kudapat masih saja monoton, aku terus kemudian mengemis padanya. Lagi dan lagi.
Sesampainya di gerbang utama, kami berhenti didalam sebuah halte kecil. Denada mengeluarkan smartphonenya dari tas, sepertinya mencoba untuk mencari fokus lain selain mendengarkan suaraku yang kuakui sangat jelek. "Denada..." lirihku.
"Nada...."
"..."
"Aku mohon sekali saja... please..."
"....."
"Pergilah bersamaku Sabtu malam dan lalu aku akan menghilang dari kehidupanmu untuk selamanya! Aku bersumpah!" Pekikku, entah Denada mendengarnya atau tidak, soalnya teriakanku berbarengan dengan lewatnya sebuah truk kontainer besar dijalan didepan kami yang menimbulkan bunyi memekak dan membuat suaraku terdengar samar.
Tapi sepertinya tidak juga, Denada berhenti mengutak atik smartphonenya dan melirikku dari ekor matanya. Lalu dia mendesah dan memasukkan benda itu kembali kedalam tas.
"Oke, fine. Hanya malam minggu dan setelah itu kau akan menghilang selamanya dari hidupku?" Aku tak yakin apa aku harus senang atau sedih sekarang. Karena dia menerima ajakanku, tetapi setelah itu aku harus keluar dan hilang dari kehidupannya. Aku tak yakin bisa melakukan itu, tapi.. setidaknya aku harus berusaha.
"Yak. Selamanya" jawabku kemudian.
Denada kemudian menyodorkan tangannya padaku. "Kita sudah berjanji"
Kuterima jabatan tangannya dan kemudian tak bisa berhenti tersenyum setelahnya. Setelah itu aku mendengar desisan kecil darinya yang agaknya membuatku sedikit merasa patah hati. "Dasar orang aneh..."
**
BAAM!!!
Kepalaku langsung berdiri tegak setelah mendengar bunyi pukulan keras diatas meja. Keringatku bercucuran membasahi wajah dan aku juga bisa merasakan kaus tipis yang kugunakan juga sudah basah olehnya.
Didepanku tiba tiba saja sudah duduk seorang perwira. Bukan, sepertinya kapten. Entahlah, aura disekitarnya yang mengatakan seperti itu. Sepertinya aku tadi ketiduran dan mereka menyeretku kemari lalu tiba tiba pria jelek-besar-dan-kumisan didepanku ini mengejutkanku dengan cara menghantam meja sekeras mungkin dengan tangannya.
Kemudian dia mengoceh tak jelas. Benar, tak jelas apa yang dia katakan. Kalau benar aku berada di awal abad ke 19 tepat di suatu tempat di wilayah Indonesia kuno, maka bisa dipastikan saat ini aku adalah tahanan Belanda. Kenapa aku bisa yakin? Pertama dari keterangan Fatimah sendiri. Dan kedua, aku tak mengerti bahasa mereka. Dan ketiga, dialegnya,... hanya orang Belanda yang bisa bicara seperti itu. Kubayangkan orang yang didepanku ini bicara bahasa inggris, pasti pronounciationnya tidak akan sama dengan orang jerman, inggris ataupun perancis.
BAAAMM!!!
Aku kembali terperanjat dikursiku, damn, mereka memborgol kaki dan tanganku di kursi. Sial.
Telingaku makin lama makin pekak mendengar teriakan dan bentakan yang ia alamatkan padaku. Membuatku semakin jengah dan kebosanan. Old-manku bahkan bisa berteriak lebih jantan daripada pria tua bangsat ini.
BAAAAMM!!!!
Kali ini aku tak terperanjat. Tapi kutatap mata orang yang-entah-berpangkat-apa ini. Dia kembali berteriak aneh. Well, Scott, mata monalisamu itu takkan bisa mengintimidasi orang tempo dulu.
"Stop it!! Dia nggak akan tertarik dengan celotehanmu itu!!!"
Tiba tiba seorang wanita yang mungkin usianya masih muda, dan dia juga seksi, mendobrak pintu yang terletak di belakangku. Aku dan si pria-tua-yang-namanya-entah-apa ini langsung menoleh padanya. Rambutnya berwarna pirang dengan mata yang kontras sekali dengan kulitnya. Dia menggunakan beret di kepala dan bajunya... bisa kubilang dia termasuk bagian dari petugas disini. Atau mungkin dia adalah budak seks si pria bengis didepanku ini?
Si cewek seksi, aku sengaja menambahkan kata seksi, kemudian melenggang masuk kedalam dan mengelilingi meja interogasiku menuju si pria-yang-bahkan-namanya-kuganti-ganti ini. Mereka berbincang bincang sebentar, cukup keras memang, aku bisa mendengarnya, tapi sayang sekali aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Kuharap aku punya Konyaku penterjemah seperti di komik Doraemon, jadi aku bisa membalas omongan mereka.
Tak lama setelah itu si pria berdiri, meludah ke sudut ruangan (kayaknya ingin meludahiku, tapi entahlah aku tak tahu kenapa dia malah tertarik meludahi lantai daripadaku). Kemudian ia menghilang di balik pintu.
Sekarang hanya tinggal aku, dan di cewek seksi. Aku nggak tahu kalau di zaman-zaman seperti ini sudah ada make-up. Atau memang aku yang buta sejarah ya? Pipinya kemerahan, jelas sekali warnanya itu. Padahal disekitarnya adalah tembok yang menjulang tinggi keatas dengan lubang kecil yang mungkin berdiameter hanya 5 inchi menghiasinya. Ya bisa dibilang gelap sih, hanya ada lilin di tengah meja. Dan aku yakin sekali si cewek ini menggunakan blush-on pada pipinya.
"Ekhem...." oh, ternyata orang zaman dulu juga bisa mendehem. "Siapa namamu?" Dan dia juga bisa berbahasa Indonesia, bravo!
"Ehmm... Scott Westwood, Ma'am!"
"Perkenalkan aku Diana" Benar benar nama yang indah, seperti orangnya. Hehe. "Aku akan menemanimu selama beberapa menit kedepan untuk sesi tanya jawab"
Sesi tanya jawab? Apa ini kuis? Aku bertanya tanya sendiri didalam hati. "Baiklah..."
Diana kemudian duduk di kursi tempat si pria-tua-bangsat tadi menghantam meja dengan tangannya. Dilipatnya kakinya sementara jemarinya bergerak gerak diatas meja.
"Namamu... Scott Westwood..."
Aku mengangguk cepat.
"Darimana asalmu?"
Darimana asalku? Haruskah kubilang kalau aku berasal dari Jakarta? Setahuku Jakarta belum ada dizaman zaman seperti ini. Aku sendiri saja kebingungan ingin menjawab apa. Ini semua terlalu tidak masuk akal.
"Bisa ganti pertanyaan lain?"
Iris hijau Diana bergerak gerak mendengar pertanyaanku. Damn, kalau saja tanganku tak diikat aku pasti akan membuatnya bertekuk lutut padaku sekarang.
"Baiklah.." jawabnya sembari menelan ludah. "Berapa umurmu?"
"20 Ma'am!"
Diana mengangguk ngangguk paham. Tangannya dilipat di dada.
"Lalu tujuanmu kemari untuk apa?"
"Err...." damn. Lidahku kelu lagi. Aku sendiri juga tak tahu terjebak di dunia yang penuh dengan kebersitegangan ini untuk apa.
"Biar kuulangi pertanyaanku. Kali ini lebih spesifik" Suara Diana terdengar lebih berat daripada yang tadi. "Atas perintah dan dasar apa komandanmu menyuruhmu untuk datang kesini dengan...." matanya kembali menelisikku. "...pakaian aneh dan mencolok seperti itu?"
Aneh dan mencolok? Kuperhatikan kemudian pakaianku. Satu satunya yang mencolok selain kemeja dongker yang kubiarkan terbuka dan memerkan kaus putihku yang tipis adalah noda kotor setelah brrbaring di atas tanah selama beberapa jam. Dan, jangan lupakan air yang merembes kedalam celana dalamku.
"Aku tidak diperintah oleh siapapun..."
"Bohong." Serangnya, dingin. "Mustahil Ratu Britania tak mengirimkan siapa-siapa untuk memeriksa keadaan setelah seminggu yang lalu berhasil memporak-porandakan markas kami di bagian timur laut"
"Aku bersumpah kalau aku tak tahu apapun" aku berusaha membela diri. Yang benar saja, bertemu dengan Denada saja susah sekali. Dan kini cewek seksi didepanku malah menuduh kalau aku adalah atasan langsung dari Ratu Inggris.
"Jawabanmu tepat seperti jawaban mata-mata yang lainnya"
"Koreksi, aku bukan mata mata" sahutku mengangkat tangan kanan.
"Kalau kau bukan mata-mata... lalu siapa kau?"
Nah itu dia masalahnya. Aku tak tahu aku ini kemari sebagai apa. Aku bahkan tak kenal siapapun. Bahkan neneknya dari nenek orangtua ku pun mungkin belum lahir.
"Err... entahlah..."
Diana berdiri dari kursinya. Berjalan dengan pelan menujuku, dan tak lama setelah itu tiba tiba saja di tariknya kerah bajuku. Membuat kepalaku tertarik kedrpan dan sedikit tercekik. Diana lantas mendekatkan bibirnya ketelingaku. Hembusan nafasnya begitu terasa di tengkuk dan membuatku merinding.
"Dengar, aku tak main main dengan perkataanku. Kau beruntung karena aku masih bisa menimbang nimbang apa hukuman apa yang seharusnya kuberikan untukmu. Tapi sepertinya kau tak memberikanku banyak pilihan.. beritahu aku apa alasan komandanmu mengirimmu kemari atau kau akam bernasib sama seperti pekerja diluar sana."
Jujur, sebenarnya aku tertarik dengan kerja rodi. Ancaman Diana malah terdengar seperti tawaran. Tawaran untuk menjadi pelaku langsung salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia yang dijajah oleh Belanda. Tapi.. ini bukan KidZone yang punya batas waktu mencobakan setiap area permainan. Seriously, kalau aku terus terusan menjawab pertanyaannya dengan jujur, maka aku yakin aku tak akan bisa keluar dari ruangan ini dalam keadaan hidup hidup. Diana punya pistol di pinggangnya. Aku belum mengerti kenapa bisa terlempar ke zaman seperti ini dan sekarang aku malah selangkah menuju hidup seperti dineraka? Yang benar saja!
"Ok!" Pekikku. Jadi begini rencana mendadakku, aku akan berbohong dan mengulur waktu untuk memikirkan cara yang tepat untuk kabur dari penjara ini (karena tak mungkin aku makan benda cair menjijikkan yang hambar itu lagi). Kemudian mencari cara bagaimana caranya agar aku bisa kembali kerumah sebelum makan malam, di tahun 2015!
Diana menjauhkan kepalanya dari tengkukku dan melipat tangannya.
"Baik. Kukatakan padamu... emm..." sial. Think, Scott! Think! "Begini.. ehmm.. oh... ya.. aku.. aku disuruh untuk melihat situasi di sini... ebmm.. sebelum penyerangan yang akan dilakukan komandanku... tiga.. eh, seminggu lagi.. ya! Seminggu lagi!..."
Diana tampak tak percaya. Alih alih kembali membentakku dan menodongkan pistol ke jidatku, dia malah berdiri dan tersenyum tipis padaku.
"Terimakasih atas kerjasamanya" katanya singkat sembari berjalan menuju pintu dan menghilang disana.
Fyuh... sekarang.. bagaimana caranya aku bisa kabur dari sini?
**
"It's been a looonggg daaaaaaayyyy without you..."
BAMMM!!! BAMMM!!!
Si penjaga selku kembali menghantam pintu jerujiku dan membelalakkan mata padaku.
"Dude, apa masalahmu!" Pekikku. "Tidakkah kamu mau mendengarkan keluh kesah seorang pria tampan melalui lagu See You Again????"
Si penjaga sepertinya tak mengerti dengan perkataanku, alih alih kembali memukul besi selku, dia malah meletakkan tangan di telunjuk dan menyuruhku diam.
Baiklah. Mungkin sebaiknya aku diam. Sudah terlalu larut malam dan hanya aku sendiri yang masih terjaga diantara tawanan yang lainnya.
@ularuskasurius puasinnya pake apa uda? pake mulut ato pake tangan? duhhhh miss you too juga uda kemana aja uda
@arieat trus.. kedepan belok kiri, nemu gang mentok nah disana toilet umumnya
Wah,, sepertinya kalimat 'menghilang dr kehidupanmu selamanya' ada hubungannya dngn yg kembali ke masa lalu..
Ok itu terdengar konyol.. Hahaha
Yg penting kalo update boleh dong di mention..
Hehehe
@hendra_bastian penjaga? penjaga yang mana?
@lulu_75 kayaknya Scott bule tulen yang bisa berbahasa Indo dan sedikit mengetahui sejarah Indo deh. Seems like that