BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MATEMACINTA?! [ UPDATE EPISODE 17 ]

1495052545578

Comments

  • ckckckckckck, rebutan sm dia ya hehehehehe
    @Fendy200
  • Siaplah, ntar gue karungin tuh si edwin
  • Siaplah, ntar gue karungin tuh si edwin
  • Siaplah, ntar gue karungin tuh si edwin
  • okeeee udh sampai 14 ;)
    @aldhy_virgo

    hahahahaha rebutan dulu yoooo
    @Fendy200
  • edited August 2015
    EPISODE 10 – MAWAR KUNING

    "Bu, aku keluar sebentar, ya," pamitku pada Ibu yang sedang menyiram tanaman ditemani Edwin yang lagi bersepeda di halaman.

    "Jangan nyolong buah di tempat Pak Karta lagi, ya!" pesan Ibu.

    "Tenang aja, Bu. Di sana kan udah ada satpamnya. Mana aku berani?"

    Aku mengingatkan. "Aku pergi ya, Bu!"

    "Edwin mau ikut!" Edwin mengayuh sepedanya ke arahku.

    "Nggak boleh! Males ah jagain kamu. Aku mau ke tempat teman," tolakku.

    "Edwin bisa main sepeda sendiri aja nggak usah dijagain," rengeknya.

    "Nggak boleh, Sayang,"larang Ibu.

    "Kok Marmut boleh main sepeda keluar, Edwin nggak boleh?" rajuk Edwin.

    "Jangan panggil 'Marmut' dong, sayang. Panggil 'Kak Hedy', gitu."

    "Ah, biarin!" sahut Edwin.

    Tuh anak emang makhluk Tuhan yang paling nuakaaal.

    "Ibu takut Edwin nyasar atau ditabrak kendaraan. Kalau Kak Hedy sempat nanti kamu ditemenin main sepeda keluar," bujuk Ibu.

    Aku memandang Edwin sambil mengangkat sebelah alis.

    "Makanya kamu nurut sama aku baru aku mau nemenin kamu main sepeda keluar."

    Edwin menjulurkan lidah. "Nggak mau, Edwin bisa minta tolong Om Mario. Dasar Marmut jelek!"

    "Sudah......sudah! Jangan ribut-ribut lagi," Ibu menengahi.

    "Edwin main sepeda di sini aja temenin Ibu."

    Aku mulai mengayuh sepedaku ke luar pintu gerbang tapi sempat kudengar Ibu berguman, "Kayaknya kemarin Ibu lihat mawar kuning ini ada empat, kok sekarang tinggal tiga?"

    Aku segera meluncur ke jalanan sambil tersenyum diam-diam.

    Tujuanku sebenarnya rumah Pak Karta tapi biar nggak dicurigai Ibu dan dipergoki Edwin aku sengaja naik sepeda dan memilih jalan memutar.

    Di jalan aku kembali menimbang-nimbang rencana konyolku untuk pergi ke rumah Pak Karta. Nggak ada motif kriminal dalam kunjunganku kali ini.

    Aku cuma ingin memperbaiki hubungan bilateralku dengan Pak Mario dan berterima kasih.

    Tiga hari ini dia sudah rutin ngantar-jemput aku ke sekolah sehingga aku nggak udah repot-repot naik bus dan mengkhawatirkan luka-lukaku.

    Aku juga ingin memberitahu bahwa mulai besok aku nggak perlu diantar-jemput lagi karena lukaku sudah baikan. Tiga hari ini aku selalu deg-degan kalau pergi ke sekolah bareng Pak Mario.

    Tentu saja bukan deg-degan dalam arti romantis, tapi deg-degan lantaran waswas. Aku nggak bisa membayangkan kalau ada yang melihat kami jalan bareng.

    Nanti digosipin yang nggak-nggak hahahaha. Apalagi sama wali kelas sendiri.

    Ih, nggak deh!

    Dengan tangan kiri aku meraba mawar yang terselip di punggungku. Biar aman durinya sempatkubuang di dapur tadi.
    Mungkin otakku lagi bermasalah atau gimana sehingga aku punya ide norak tentang proyek bunga perdamaian ini.

    Tapi biarin deh telanjur diniatin.

    Setelah membuka pagar, sepedaku melaju memasuki halaman rumah Pak karta.

    "Permisi.....!teriakku. Nggak ada jawaban.

    Aku menuju halaman belakang dan menyandarkan sepedaku di pohon terdekat. Jendela kamar Pak Mario terbuka.

    "Permisi, Pak Mario!" Aku mengintip ke dalam kamar Pak Mario.

    "Woi, maling mangga! Mau menyelinap diam-diam di rumah lagi?" tegur Pak Mario dari aras pohon rambutan mengagetkanku.

    Aku mendongak melihatnya.

    "Menurut Bapak, apa orang yang mau nyelinap diam-diam di rumah orang akan berteriak-teriak manggil di pemilik rumah?"

    "Mungkin aja kalau pelakunya adalah orang yang dikenal. Dia manggil-manggil si pemilik rumah buat ngecek keberadaannya. Kalau si pemilik rumah ada, dia pura-pura ada keperluan. Kalau nggak baru dia beraksi."

    "Baik, anggap saja begitu. Berarti saya sedang berada dalam keadaan pertama." Aku mulai jengkel dengan sikap Pak Mario.

    Tapi mengingat tujuanku kemari buat gencatan senjata, bukannya memperuncing pertikaian, aku mencoba sabar.

    "Oh gitu. Ada keperluan apa? Pohon mangganya udah nggak berbuah lagi. Lagian tanganmu masih luka. Jadi belum bisa manjat, kan?" sindir Pak Mario.

    Aku jadi ingin mengurungkan niat memberikan petisi perdamaian ini. Tapi bagaimanapun resenya, dia sudah banyak membantuku. Anggap aja aku lagi balas budi.

    "Saya cuma mau berterima kasih karena Bapak sudah banyak menolong saya. Sudah menyelamatkan saya waktu dikeroyok berandalam itu juga sudah mau nganter saya ke sekolah beberapa hari ini. Saya mau berterima kasih buat semuanya."

    "Segitu doang?" Pak Mario tersenyum mengejek.

    Nyebelin banget! Seharusnya aku nggak melakukan ini.

    Mungkin dia nggak cuma lagi ngerasa di atas pohon, tapi juga di atas angin.

    "Mmh.....sejak kapan pertemuan pertama, saya dan Bapak selalu terlibat masalah. Dan sebagian besar masalah itu adalah ulah saya jadi saya mau minta maaf. Gimana kalau kita mulai dari awal lagi hubungan yang baik dan jauh dari masalah?"

    Aku mengambil bunga yang tersembunyi di balik bajuku.

    Kemudian dengan enggan aku berjinjit dan mengacungkan bunga itu pada Pak Mario.

    "Mawar kuning lambang persahabatan. Maaf kalau saya lancang, tapi mau nggak Bapak jadi teman saya?"
    Pak Mario memandangku dengan tatapan tak percaya.

    Mungkin dia sedang berfikir, kenapa cowok badung dan calon kriminal masa depan kayak aku bisa melakukan hal norak gini. Aku juga bingung kenapa aku bisa begini.

    "Mmh...."

    Pak Mario mempermainkan mimik wajahnya, seperti orang yang sedang berpikir keras.

    Aku jadi kesal. Ih, sok mikir banget sih nih orang. Aku kan cuma ngajak temenan bukannya ngajak tawuran.

    "Ya udah, yang penting kamu nggak macam-macam kalau kita berteman. Jangan minta nilai tambahan atau contekan ulangan."

    Pak Mario mengambil mawar kuning dari tanganku.

    "Naik gih, mungkin kita bisa latihan ngobrol sebagai teman tanpa keinginan untuk saling tonjok."

    Aku memanjat pohon rambutan itu lalu duduk di sebelah Pak Mario sambil mengayun-ngayunkan kaki.

    Kayaknya semua sesuai rencana nih, aku bisa baikan dengan wali kelasku.

    "Oh ya, pertama aku mau bertanya dulu. Mawar ini hasil curian atau didapat dengan jalan halal?" tanya Pak Mario sambil memainkan mawar kuning di tangannya.

    "Penting ya? Kalau saya bilang itu hasil curian, apa Bapak akan ngomelin atau mengejek saya?"

    "Untuk menjaga perdamaian, kayaknya nggak."

    "Saya mengambil dari kebun ibu saya tanpa izin. Secara teknis itu disebut mencuri tapi secara hukum itu disebut tindakan kriminal tanpa korban."

    "Seperti menyelinap masuk ke kamar orang buat ngambil komik milik sendiri? Tindakan kriminal tanpa korban?"

    "Bapak mau membahasnya dan memancing keributan?" Aku menaikkan sebelas alis dan menatap Pak Mario.

    "Tidak, tapi hanya untuk mempertahankan perdamaian ini lebih lama." Pak Mario memamerkan senyum cengengesannya.

    Aku nggak bisa menahan senyum.

    Aku membandingkan Pak Mario yang sedang mengajar matematika dengan keponakan Pak Karta yang lagi nangkring di atas pohon dengan kaus lusuh dan celana pendek di hadapanku.

    "Sekarang Bapak benar-benar nggak kayak guru saya. Kadang saya mikir Bapak punya kepribadian ganda."

    "Bapak? Saya? Apa kita bisa ngobrol biasa kayak waktu kencan malam Minggu dulu? Panggil aku Mario. Kita kan sudah jadi teman. Ngomong biasa aja kayak kamu ngobrol sama teman-teman sekelasmu. Lagian umur kita nggak beda jauh kok."

    Aku mengerutkan kening.

    "Memangnya selisih sepuluh tahun menurut Bapak, eh kamu nggak beda jauh?"

    "Apa?!" Mario kelihatan kaget.

    "Jadi kamu kira aku setua itu? Ternyata tipuan kacamata dan akting bapak-bapak itu berhasil."

    "Tipuan kacamata? Maksudnya?"

    Mario tertawa.

    "Sebenarnya mataku masih normal. Kacamata yang biasa kupakai cuma buat gaya-gayaan biar kelihatan seperti guru, dewasa dan berwibawa. Aslinya umurku baru 23 tahun. Enam tahun yang lalu aku seusiamu. Hanya saja dulu waktu masih SMA aku nggak suka bikin ulah kayak kamu."

    "Ih, enak aja!" aku pura-pura marah.

    "Tapi aku sempat mikir juga sih pantas kadang-kadang kamu kelihatan keren kayak cowok SMA," gumamku.

    "Apa?"

    "Tapi kenapa kamu bisa mengajar di sekolahan? Setahuku perlu proses panjang dan lama biar bisa jadi guru apalagi menjadi guru SMA," tanyaku mengalihkan pembicaraan.

    Aku benar-benar berharap Mario nggak mendengar gumaman ''keren''- ku tadi.

    "Aku dekat dengan Pak Bakti. Jadi waktu aku bilang aku baru lulus universitas dengan jurusan matematika beliau menawarin kerjaan ini. Lagian aku kan cuma guru pengganti. Kalau mau jadi guru beneran mungkin aku harus banyak pengalaman dulu." Mario menoleh padaku membuatku canggung.

    "Tadinya kupikir menjadi guru gampang dan nggak ada tantangannya ternyata ini pekerjaan yang cukup berbahaya, apalagi jika seorang murid menyelinap masuk ke kamar kita dan ngeliat kita telanjang."

    Wajahku memanas.

    "Gimana kalo kita anggap kejadian itu nggak pernah ada?"

    "Nggak bisa dong. Itu mungkin pengalaman sekali sumur hidup. Aku akan mengingatnya terus," ujar Mario dengan nada bangga.

    Aku mengernyit. Orang yang aneh!

    " Omong-omong, jadi karena kamu dekat sama Pak Bakti, kamu sungkan menyingkat nama Marhedy Taura Bakti, tapi aku yang kamu panggil Marmut? Itu juga alasan kamu belain dia waktu kejadian di kantin?"

    "Soal nama sih aku memang sengaja mau ngerjain kamu. Tapi panggilan 'Marmut' itu lucu, kan?" Mario cengengesan sementara aku mengangkat sebelah alis.

    Lucu apanya?!

    "Kalau kejadian di kantin, aku nggak memihak. Waktu itu memang kamu yang salah."

    "Tapi bukan aku yang membawa nampan berisi bakso panas dan menumpahkannya pada orang yang kutabrak," aku membela diri.

    "Dia nggak sengaja."

    "Harusnya dia jalan pake mata."

    "Kamu juga nggak."

    "Tapi waktu itu aku nggak bawa makanan atau minuman yang bisa tumpah dan nyelakain orang."

    "Bagaimanapun juga, kamu tetap keterlaluan. Nggak seharusnya kamu membalas dengan numpahin bakso panas itu padanya cuma karena terprovokasi nama 'Tommy'."

    Mulutku terbuka, tapi aku nggak tahu mau ngomong apa.
    Aku benar-benar kaget Mario tahu soal Tommy yang terlibat kejadian itu. Aku menghela napas menahan emosi.

    "Kayaknya pertemanan ini nggak berhasil. Mendingan kesepakatan soal berteman tadi dibatalkan. Mungkin lebih baik kalau kita jadi guru dan murid saja, Pak Mario."

    Aku turun dari pohon dengan kesal lalu melangkah hendak mengambil sepeda.

    Pak Mario menyusul turun mengejarku lalu menahanku dengan menangkap lenganku. Lengan yang masih ada bekas memarnya.

    "Aow!" teriakku kesakitan.

    "Maaf, nggak sengaja." Dia segera melepaskan tangannya.

    "Dengar, aku mau kita berteman. Aku nggak akan ngomongin soal ini lagi. Memang kita bertentangan dalam beberapa hal, atau banyak hal tapi bukan berarti kita nggak bisa jadi teman, kan?"

    "Terserah, kalau itu maumu. Lagian aku udah banyak berhutang budi sama kamu."

    Mario memandangku dengan tatapan serius kayaknya dia tersinggung.

    "Bukan, nggak kayak gitu. Masa bodoh dengan utang budi itu. Aku nggak mau kamu terpaksa jadi temanku cuma karena aku pernah menolong kamu. Aku mau kamu jadi temanku karena kamu memang menyukaiku," jelas Mario.

    "Suka dalam artian nggak membenciku," tambahnya.

    Aku berpikir sejenak.

    Apa ruginya temenan sama dia kalau memang dia yang mau? Cuma jadi teman, bukan sahabat seiya-sekata-sehidup-semati.

    "Ya udah, kita temenan."

    Mario tersenyum ''Bagus''.

    Dia diam sejenak, lalu mengangkat sebelah alisnya dengan gaya genit. "Jadi, sekarang kamu menyukaiku?"

    "Dalam artian nggak membencimu," jelasku sambil tersenyum

    BERSAMBUNG

    Akhirnya kalian bs memenuhi challengenya aku bangga sama pembacaku

    BERIKAN LIKE DAN KOMENTAR YA ;)
  • Suka. Singkat. Terlalu singkat.
  • yeeee banyak tahu hehehehhe
    @aldhy_virgo
  • ANjir si jelek makin keren aja tulisannya :joy:

    Lanjuuutttt lek..jd penasaran siapa yg jadian, si tommy apa mario ya :yum:
  • Njiiiir aku dibilang jelek ckckckckk, aku ganteng abang ckckckk .....kita lihat saja hehehehe
    @kaha
  • Alamakkkk,,,sakete bana...:o
  • Keep it up mario.
  • Keep it up mario.
Sign In or Register to comment.