BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MATEMACINTA?! [ UPDATE EPISODE 17 ]

1444547495078

Comments

  • hm... lupa di mention lagi
  • hm... lupa di mention lagi
  • @otsutsuki97s yok ketemuan di cibubur mau gak ? btw umur brpa ?
  • oh, ternyata soni ditolongnya dari preman itu ..
    si hedi mule jatuh cinta sama mario .
  • oh, ternyata soni ditolongnya dari preman itu ..
    si hedi mule jatuh cinta sama mario .
  • Tanda tanda nih...

    Semangat terus ya ts.ny
  • LostFaro wrote: »
    @otsutsuki97s yok ketemuan di cibubur mau gak ? btw umur brpa ?

    18 Thn.

    Jiahh Jauh.
  • siiiip ;)
    @akina_kenji

    Maaaf Bro, lupa oke nanti dimention
    @boygiga

    bro lo balas dendam sm gw ckckckckck -_-
    @LostFaro

    Iyoooo, iya nih >_<
    @DM_0607

    Oke Bro, ceritamu kapan dilanjut yg my love stories???
    @ardi_yusman
  • Alhamdulllilah doaku terkabul :) kalian tdk ketemuan hehehe
    @Otsutsuki97S
  • EPISODE 9 - SAHABAT PERGI LAGI

    PAGI ini aku bangun dengan muka kaku dan badan kesakitan. Dengan susah payah aku mencoba duduk di tempat tidur. Yang bisa kuingat saat bangun tadi cuma dua hal: luka-luka ini dan adegan pelukan dengan Pak Mario semalam.

    Aku nggak tahu mana yang lebih dominan memenuhi kepalaku. Aku menatap perban yang membalut lenganku dengan prihatin. Bayangan wajah Pak Mario melintas di ingatanku.

    Aku mengulum senyum, tapi kemudian langsung tersadar. Eh, aku kenapa nih? Kok jadi kayak cewek begini ya kelakuanku yang semalam baru kencan romantis? Jangan-jangan bukan cuma badanku yang cedera karena insiden kemarin, tapi juga otakku.....dan hatiku.

    "Hedy, bangun!" seru Ibu setelah bunyi gedoran pintu.

    "Udah bangun kok Bu" sahutku.

    "Tumben. Apa ini pertanda nanti siang bakal, ya?" Aku bergumam sendiri.

    Aku beranjak ke depan cermin. Dengan hati-hati aku melepas plester di wajahku. Memar di tulang pipi udah bengkak dan membiru, bikin aku kelihatan kayak zombie.

    Kemarin malam aku lolos dari pertemuan maut dengan Ayah dan Ibu karena kebetulan Edwin yang bukain pintu, jadi aku bisa langsung kabur ke kamar.

    Waktu Ibu nyuruh aku makan malam aku bilang udah makan di luar dan lagi sibuk ngerjain PR padahal sih aku ngerawat lukaku dengan perut keroncongan.

    Untung kemarin aku berhasil menggagalkan rencana Pak Mario untuk ikut masuk ke rumah dan jadi juru bicara tentang kronologis peristiwa semalam.

    Aku meyakinkan Pak Mario bahwa lebih baik aku sendiri yang menjelaskan semuanya ke orangtuaku tanpa melibatkan orang lain, apalagi wali kelasku.

    Dia percaya dengan ucapanku dan mau meninggalkan aku di depan rumah.

    Hehehe.....kena lo! Coba kalau Ayah dan Ibu sampai tahu, aku bisa diomelin semalaman dan dihukum berat. Mereka nggak akan mempertimbangkan bahwa akulah korban.

    Bahkan kalaupun aku cerita aku sempat nonjok berandalan itu dengan gagah berani mereka nggak bakal bangga.

    Pokoknya kalau aku terlibat masalah berarti akulah yang salah. Nggak adil banget, kan? Aku mengintip ke luar kamar. Ibu kayaknya lagi di dapur dan suara Ayah kedengaran dari ruang tengah. Jalur ke kamar mandi bebas hambatan.

    Dengan mengendap-endap, aku menuruni tangga menuju kamar mandi. Aku nggak niat mandi cuma pengen cuci muka dan ngelap badan itu pun kalau aku sanggup mengangkat gayung.

    Aku membuka pintu kamar mandi, masuk, lalu menutupnya dalam hitungan detik, tapi.....

    " Aaarrgghh.....!"

    Aku segera membekap mulut Edwin setelah menguasai keadaan. Tadi aku kaget melihat Edwin dengan wajah penuh busa ada di kamar mandi dan anak itu juga kaget mendengar teriakanku jadi kami duet teriak bareng.

    "Kenapa Edwin?" Ayah mengetuk pintu kamar mandi.

    "Nggak kenapa-kenapa, Yah. Tadi ada kecoak Edwin takut tapi udah aku usir kok," sahutku masih membekap mulut Edwin.

    Terdengar suara langkah Ayah menjauh. Aku menghela napas lega.

    "Adoooow!" Edwin menggigit tanganku.

    Lega apanya? Masih ada masalah dari bocah bandel ini.

    "Edwin nggak takut kecoak," tegasnya, seolah kata-kataku sudah menyinggung harga dirinya yang terdalam.

    "Bodoh amat, yang penting sekarang cepat minggat dari kamar mandi!" seruku.

    "Enak aja! Kan Edwin yang duluan mandi."

    "Pokoknya cepetan keluar atau mau kujitak?"

    "Siapa takut? Edwin juga bisa ngadu ke Ibu."

    Mulutku terbuka tapi nggak jadi bicara. Aku merasa kalah telak. "Ya udah."

    Aku keluar dari kamar mandi sebagai pecundang yang kalah dari bocah tujuh tahun. Tapi mending mengalah daripada bertengkar di kamar mandi dan mengundang kehadiran Ibu yang berarti masalah buatku.

    Setelah cuci muka dan gosok gigi dengan ribet di wastafel aku ganti pakainan sambil memikirkan cara sampai ke sekolah dengan selamat.

    Dalam artian tanpa ketemu Ayah dan Ibu dan nggak ngambil risiko berdesakan di bus yang memungkinkan luka lenganku tersenggol dan terasa perih lagi.

    Sakit di perutku juga belum sembuh benar. Kalau aku manggil taksi, Ayah dan Ibu curiga. Lagian aku juga nggak punya duit buat bayar taksi ke sekolah.

    Aku menghela napas. Kayaknya nggak ada cara lain. Terpaksa aku menjatuhkan harga diriku dan mengambil handphone.

    Nomor telepon rumah Pak Karta sempat kusimpan di memori HP-ku. Aku menghubunginya lalu dengan deg-degan menunggu telepon dijawab.

    "Halo....?" terdengat suara di seberang sana.

    "Halo? Pak Mario? Ini Marmut. Bisa tolong jemput saya di depan rumah, tidak?"

    "Marmut?" Pak Mario kayaknya kaget dan nggak nyangka dapat telepon dariku.

    Aku juga nggak nyangka punya pikiran buat nelepon dia dan minta tolong.

    "Gimana keadaanmu? Lukanya sudah sembuh? Kamu mau sekolah? Orangtuamu ngizinin?"

    Aku kelabakan dengan pertanyaan-pertanyaan Pak Mario

    "Lukanya sudah baikan. Saya nggak apa-apa," jawabku sok yakin.

    "Orang tuaku mengizinkan saya sekolah. Makanya, kalau Bapak nggak keberatan saya mau minta tolong ngantar saya ke sokolah. Biar sekalian bareng, gitu. Bapak juga mau ngajar, kan?"

    "Kenapa bukan Ayahmu yang mengantar? Kamu nggak ngasih tau orangtuamu, ya?!" tebak Pak Mario dengan nada marah.

    Bingo! Ketahuan deh.

    "Kamu gimana sih? Seharusnya kamu cerita semua kejadian semalam pada mereka. Kok disembunyiin begitu? Kalau lukamu kenapa-napa mereka kan bisa ngurus dan mengajak kamu ke dokter keh...." Sang wali kelas beraksi dengan omelannya.

    "Huh, resenya Pak Mario kambuh lagi deh. Kok dia nggak ngerti sih? Sebagai seorang anak secara manusiawi aku kan takut dimarahin orangtua? Dan apa katanya tadi? Dia menyuruh aku cerita semua kejadian semalam? Termasuk adegan peluk-pelukan itu? Yang benar aja. Aku akan merahasiakannya sampai mati.

    "Halo? Marmut!"

    "Eh, iya, Pak?" Aku tersadar dari lamunan.

    Ternyata pidato Pak Mario udahan.

    "Tunggu!" perintahnya.

    Uhhh, akhirnya.

    Aku menghela nafas lega dan langsung menyambar tas lalu keluar kamar.

    "Ayah, Ibu aku berangkat ya! Sarapannya nanti aja di sekolah, ada tugas yang belum dikerjain nih." Aku berjalan tergesa melewati ruang makan lalu keluar rumah.

    Terdengar omelan protes Ibu karena gaya slonong ku.

    Fuih, Sampai di depan rumah aku menunggu Pak Mario sambil memegangi perutku yang sakit lantaran berjalan cepat-cepat tadi.

    Walau nggak lecet di luar perutku jadi kayak kram gara-gara kena tinju semalam.

    Sial! Pak Mario datang dengan motornya. Tanpa basa-basi aku langsung naik.

    Seharusnya aku mengucapkan ''selamat pagi'', ''hai'', atau apa, tadi bodo ah.

    Di atas motor wajahku diterpa angin . Aku melirik Pak Mario yang nggak ngomong sejak tadi. Ini untuk kedua kalinya aku dibonceng oleh Pak Mario tapi kok rasanya beda banget antara semalam dan sekarang.

    Bukan karena semalam tanganku memeluk pinggangnya, dia menggenggam tanganku atau gimana, tapi yang terasa beda adalah dia sendiri.

    Pak Mario sekarang dengan Pak Mario semalam rasanya kayak dua orang yang berbeda. Seorang pria tiga puluhan dan seorang cowok belasan.

    Dia bisa kelihatan beda banget cuma karena lagi pakai kemeja dan kacamata, atau kaus dan celana pendek.

    Kayak aktor yang memerankan dua karakter berbeda. Karena aku sadar sekarang dia jadi Pak Mario, guru matematikaku dan aku menepuk bahunya.

    "Pak, nanti tolong turunkan saya sebelum tikungan sekolah, ya."

    "Memangnya kenapa? Kamu mau pipis di semak-semak?"

    Aku menautkan alis. Sekarang dia benar-benar jadi Pak Mario, wali kelasku yang nyebelin, bukan pahlawan kerenku semalam.

    "Saya cuma nggak enak terlihat bersama Bapak."

    "Memangnya kenapa?"

    "Menurut skenario kemarin karena kejadian di kantin itu, seharusnya Bapak dan saya kan musuhan. Jadi aneh banget kan kalau ada yang ngeliat hari ini kita datang ke sekolah bareng kayak dua murid yang baru jadian."

    "Memangnya kenapa kalau kita dilihat kayak dua murid yang baru jadian? kamu takut Tommy melihat kita terus cemburu? Kalian udah jadian, ya? Malang banget anak itu."

    "Pak, turunkan saya sebelum tikungan!" tegasku kesal.
    Ampun deh, ribet banget sih ngomong sama orang ini.

    "Makasih, Pak," ucapku begitu turun dari motor di tikungan sebelum sekolah.

    Rasanya agak canggung bicara dengan Pak Mario kalau mengingat kejadian kemarin. Aku nggak berani menatapnya.

    "Ini," Pak Mario menyerahkan plester luka bergambar padaku.

    "Pakai buat menutupi memarmu. Kalau ada yang nanya, bilang aja ada bisul gede di mukamu."

    "Tidak usah, makasih," tolakku.

    Yang benar aja, masa aku harus ke sekolah dengan plester bergambar gajah di mukaku? Kenapa nggak kelinci pink sekalian?

    "Kalau guru lain melihat bekas tonjokan di muka kamu itu, ada kemungkinan mereka akan manggil kamu ke ruang BP. Kamu akan diinterogasi lalu kemungkinan-kemungkinan lain bisa saja terjadi setelah itu. Kamu akan diceramahi guru BP, kena hukum, mendengar pidato Pak Bakti, atau dapat surat panggilan buat orangtuamu."

    Aku ketakutan mendengar kata-kata Pak Mario.

    "Tolong pakaikan deh, Pak." Setelah plester terpasang di wajahku aku langsung cabut menuju gerbang sekolah dan ke kantin.

    Terpaksa aku kembali ke TKP kemarin. Aku lapar banget karena nggak makan apa pun sejak kemarin sore.

    Lagi pula, kan cuma sebagian anak-anak kelas 2-F dan Bu kantin yang melihat insiden kemarin bukannya seluruh warga SMA Girindra.

    Jadi, aku lebih milih menyelamatkan perutku yang kroncongan daripada memedulikan hatiku yang nggak nyaman banget berada di sini.

    "Hei, Hedy!" sapa seseorang pas aku sedang mengunyah mi goreng pesananku dengan rakus tanpa mengacuhkan sakit di tulang pipiku saat aku menggerakkan mulut.

    Aku menoleh, Tommy tersenyum padaku. Waktu berhenti.

    Aku terpesona menatapnya dengan mulut penuh mi yang berapa di antaranya terjuntai keluar.

    Tommy kelihatan cakep banget pagi ini dengan rambut basah dan jaket hitam yang belum dilepasnya.

    Waktu berjalan lagi. Aku kembali ke dunia nyata dan tersadar lalu segera menelan mi di mulutku mengubah ekspresi begoku dan bersikap normal.

    "Eh, elo, Tom...."

    "Enak nih!" ucap cowok itu. Semoga ini bukan sindiran untuk cara makanku.

    "Mau? Gue traktir deh," tawarku.

    Aku kembali menyantap miku. Tapi sekarang dengan gaya anggun, seolah aku sedang makan malam formal dalam perjamuan kerajaan Inggris dan Pangeran William sedang melirikku.

    Tapi mana mungkin Pangeran William niat ngelirik orang yang belum mandi?

    "Nggak usah. Gue udah sarapan. Kebetulan aja tadi gue ngeliat elo duduk sendirian di sini, jadi gue niat nyamperin dulu sebelum ke kelas." Tommy menatap mataku.

    DEG DEG DEG

    Aku jadi deg-degan dan salah tingkah. Rada ge-er juga, karena aku merasa kayaknya dia bakal ngomong sesuatu yang spesial padaku.

    Tommy tersenyum manis banget (aku menjulukinya senyum ''mematikan'') lalu berkata, "Gajah di pipi lo lucu juga, memang muka lo kenapa?"

    What?! Andai ini film kartun, mungkin aku udah jatuh terjengkal dengan kaki terangkat.

    Aku kira dia akan bilang hal-hal romantis dengan nada merayu padaku, seperti: ''matamu bagus, ya," atau ''rambutmu keren'' atau paling nggak, dia bilang sesuatu tentang aku bukannya gajah di mukaku.

    "Cuma luka kecil. Kemarin nggak sengaja tergores ujung rak buku,"dustaku.

    Kami saling diam.

    Otakku berputar mencari bahan obrolan tapi yang ada di kepalaku cuma plester gajah di mukaku.

    Awas si Mario tengil itu!

    "Hemmmm Hedy, sebenarnya ada yang mau gue omongin sama elo. Tapi gimana ya, gue nggak tahu gimana bilangnya." ujar Tommy sambil melirikku salah tingkah.

    Aku menoleh padanya. "Soal apa?" tanyaku sok cool padahal aslinya aku deg-degan banget.

    Jangan-jangan dia mau nembak aku. Eh, tapi nggak usah berharap dulu deh siapa tahu ini cuma soal plester bergambar gajah lagi.

    Ragu-ragu Tommy menjawab, ''Soal perasaan gue....."

    Bruss!

    Air yang tadinya mau kuminum setelah selesai makan muncrat membasahi meja. Bu kantin melotot marah padaku, Tommy melihatku dengan pandangan aneh seolah aku baru berakrobat menyemburkan api dari mulut.

    "Lo kenapa, Hedy?"

    "Nggak.....nggak apa-apa. Cuma.....nggak tahu deh. Oh ya, mau ngomong apa tadi?" ucapku salah tingkah sambil mengelap meja kantin dengan tisu.

    Kuharap bumi menelanku sekarang.

    "Gimana ya? Kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat buat ngomong. Gimana kalo ntar malam kita...."

    "Tommy!" terdengar seruan dari luar kantin. Kami menoleh.
    Martabak berjalan memasuki kantin. Aku melirik Bu kantin yang tampak waswas.

    "Kenapa, Bakti?" tanya Tommy.

    "Gue nyariin lo dari tadi ternyata ada di sini. Gue mau ngomongin soal lomba puisi nanti," ujar Martabak.

    Dia nggak mengacuhkanku, seolah aku bagian dari tembok kantin. Aku mengambil tas dan menyampirkannya di bahu.

    "Tom, gue ke keas dulan, ya," pamitku.

    Aku ingin berkata bahwa omongan kami dilanjutkan saja nanti, tapi jadi malas setelah melihat Martabak yang kayaknya pengen banget aku cepat-cepat menyingkir dari tempat itu.

    Dengan langkah nggak semangat aku beranjak ke kelas.

    ***

    Bel pulang siang ini terdengar lebih merdu daripada biasanya. Mungkin karena aku bersyukur akhirnya bisa keluar dari kelas yang hari ini terasa sumpek banget lantaran insiden bakso kemarin.

    Aku nggak ngomong sama Sony seharian, aku juga cuma ngobrol sedikit sama Angga dan dia nggak nyinggung-nyinggung sedikit pun soal Steve.

    Yang jadi alasanku bicara hari ini cuma kalau teman-teman nanyain soal gajah lucu di mukaku. Aku mampir makan siang di kantin sebelum pulang biar nggak usah makan di rumah.

    Jadi, pulangnya aku bisa langsung kabur dan sembunyi di kamar seharian. Matahari bersinar terik dan keadaan sekolah udah sepi.

    Sambil makan, aku bingung memikirkan caraku pulang tanpa harus naik bus dan berdesakan. Nggak mungkin aku minta diantar pulang Pak Mario. Sudah cukup aku terlibat dengannya.

    Jadi....siapa yang bisa kumintai tolong ya?

    Oh.....Steve! Kenapa nggak dari tadi aku kepikiran sama dia?
    Sohibku itu bisa dimanfaatin buat ngantar-jemput aku setiap hari. Aku segera mengambil HP di tas.

    Setengah jam kemudian Steve muncul di kantin, masih dengan seragam sekolahnya.

    "Lama banget sih!?" seruku.

    "Kena macet, kunyuk! Udah minta tolong, marah-marah, lagi. Lo kira gue nggak bete kepanasan di jalan?" protesnya.

    "Hehehe....,sori deh," ujarku cengengesan.

    "Cabut sekarang yuk!"

    Kami jalan bareng keluar kantin menuju tempat parkir sekolah. Di dekat lapangan basket nggak sengaja kami berpapasan dengan Sony dan Martabak.

    Ampun, kok bisa kebetulan begini? Bumi, telan aku sekarang.

    "Eh, hai Sony kok belum pulang?" sapa Steve semangat begitu melihat Sony.

    "Ada rapat OSIS," jawab Sony datar kemudian dia dan
    Martabak melewati kami dengan cueknya, seolah aku bagian dari tiang lapangan basket.

    Hebat!

    Kesalahpahaman ini makin parah. Sekarang Sony pasti benar-benar menyangka aku dan Steve pacaran. Dia pasti membenciku.

    "Kok dia ngak negur elo, Hedy?" tanya Steve curiga saat mereka sudah menjauh. Aku cuma angkat bahu dengan cuek.

    Sebenarnya aku pengen teriak memaki Steve dan menonjok mukanya, tapi aku nggak bisa menyalahkan dia sepenuhnya atas apa yang terjadi antara aku dan Sony.

    "Mau mampir?" tawarku pada Steve ketika tiba di depan rumah.

    "Ada komik baru?" tanyanya.

    Aku menggeleng.

    "Ya udah, gue balik aja. Ntar sore ada latihan band. Gue mau tidur sebentar."

    "Ya udah. Hati-hati, ya. Makasih udah nganter pulang. Ntar gue telepon," ucapku datar walau dalam hati aku pengen banget Steve mampir.

    Aku benar-benar lagi butuh teman, tapi enggan ngomong ke dia. Coba aku punya komik baru.

    Sebelum pergi, Steve menatap mataku, lalu melepas helmnya.

    "Hei Hedy berapa lama sih gue jadi temen lo? Lo nggak ngomong pun gue tau lo lagi ada masalah dan pengen cerita ke gue. Dari sekolah tadi gue nunggu lo ngomong kalo lo lagi butuh gue tapi ternyata gengsi lo selangit. Dasar kunyuk!"

    Aku tersenyum mendengar ucapannya.

    "Bukannya gengsi, gue males aja ngomong ke lo. Bagus deh kalo lo ngeh sendiri. Masuk yuk!"

    Dengan kehadiran Steve aku bisa langsung kabur ke kamar begitu masuk rumah. Steve sempat ngobrol sebentar sama Ibu sebelum menyusulku ke atas.

    Steve udah sering main ke rumah dan akrab sama Ayah, Ibu, dan juga Edwin.

    Sampai di kamar, aku langsung naruh tas sembarangan di tempat tidur lalu melepas sepatu. Steve masuk dan duduk di kursi meja belajar.

    "Ada apa?" tanyanya.

    "Omong-omong, pipi lo kenapa ada plesternya?" Aku beranjak ke depan cermin dan kaget sendiri.

    Ternyata plester bergambar gajah di mukaku itu eye-catching banget.

    Pantas orang-orang pada nanyain dan memandangku dengan tatapan aneh. Aku curiga Pak Mario sengaja ngasih aku plester ngejreng kayak gini buat lucu-lucuan.

    Dasar tuh orang iseng!

    "Gue berantem, dikeroyok, terus kena gampar," jelasku.

    Kok kedengarannya preman banget, ya?

    "Apa?!" Steve langsung kaget.

    "Kok lo nggak ngajak-ngajak gue? Lo ikut tawuran? Sejak kapan? Lawan SMA mana?" tanyanya semangat.

    "Enak aja tawuran. Gini-gini gue murid baik-baik. Lagian tawuran udah nggak ngetren."

    "Jadi lo berantem buat apa? Eh, sejak kapan lo bisa berantem?"

    "Bukan berantem sih. Gue dikeroyok lantaran ada berandalan yang dendam sama gue. Tapi untunya ada yang nolongin gue jadi gue cuma lecet-lecet."

    Aku tidak menceritakan bahwa masalahku dengan berandalan itu sumbernya adalah Sony. Aku juga tidak cerita bahwa orang yang menolongku adalah Pak Mario.

    Habisnya, aku udah telanjur cerita yang jelek-jelek soal Pak Mario ke Steve.

    "Coba gue liat luka lo." Steve mendekat dan duduk di sebelahku.

    Aku menunjukkan perban di lenganku dan pelan-pelan membuka plester di mukaku.

    "Elo sih, jadi orang kok mencari masalah sama berandalan? Pake acara berantem segala, lagi," omel Steve tampak kesal.

    "Untung muka lo nggak kenapa-napa."

    "Kalau gue Inu-Yasha sih nggak bakal kenapa-napa. Tapi berhubung gue cuma manusia biasa, ya wajar dong kalo gue bisa sakit. Salah gerak dikit aja luka gue jadi perih banget. Bukannya prihatin dan nolongin gue, lo malah ngomel-ngomel gitu."

    "Abis elonya sih, kok hobi banget nyari masalah," Steve masih ngotot.

    "Ya udah, sekarang apa yang harus gue lakuin buat nolong elo? Lo mau bikin perhitungan sama berandalan itu?"

    "Perhitungan apaan? Perhitungan matematika? Jangan bikin masalah lagi deh. Gue cuma mau minta tolong lo nganter-jemput gue ke sekolah biar gue nggak usah desak-desakan naik bus sampai luka gue baikan."

    "Segitu doang? Gampanglah sama gue," kata Steve, membuatku tenang.

    "Tapi lo juga bantuin gue deketin Sony ya, Hedy. Gue mau lebih akrab sama dia menjelang ultahnya biar gue diundang. Masa gue mau datang nggak diundang, pulang nggak diantar?"

    "Eh, kalau soal itu....gimana ya?"

    "Lho? Gimana apanya?"

    "Sebenernya begini...." Terpaksa aku cerita tentang kesalahpahaman Sony yang nyangka aku dan Steve jadian, juga pertengkaran kami.

    Tapi tanggapan Steve setelah mendengar cerita itu di luar dugaanku.

    "Ya ampun Hedy, kenapa lo nggak jelasin semuanya bahwa kita cuma pura-pura?!" serunya marah.

    "Gue mau jelasin, tapi dia telanjur emosi dan bilang yang nggak-nggak soal gue. Gue kan jadi kesal sama dia," aku membela diri.

    "Cuma dikata-katain aja udah kesel. Seharusnya lo ngerti kalau dia lagi emosi makanya omongan dia jadi sembarangan. Apa susahnya sih, lo ngejelasin? Dia bakal ngerti kalo lo cerita semuanya. Kalau lo nggak emosi masalah ini nggak bakal terjadi."

    "Kok lo jadi marah sama gue? Semua ini kan terjadi karena lo yang nyuruh gue pura-pura jadi cowok lo di depan Billy. Lagian bukan salah gue kan, kalau kebetulan Martabak ngeliat kita terus jadi salah paham?"

    "Gue nggak ngomongin itu. Gue cuma heran, bisa-bisanya lo ngorbanin gue lantaran lo kesal dengan kata-kata Sony. Harusnya lo mikirin gue sebelum lo nurutin emosi lo buat balas kata-kata Sony."

    "Gue nggak bisa mikir apa pun saat itu. Gue terlalu syok karena orang yang gue anggap sahabat bisa berpikir dan ngomong jelek gitu soal gue."

    "Ya udah, kalau begitu jelasin aja semuanya. Masalah selesai, kan? Dia nggak bakal mikir jelek lagi soal lo. Dan lagi, kalau lo udah tahu Sony salah paham soal kita, kenapa tadi lo minta gue jemput lo? Mana dilihat Sony, lagi. Dia pasti mikir kita benar-benar jadian. Jangan-jangan, lo sengaja pengen nyakitin perasaan dia, ya? Temen macam apa sih lo?"

    "Harusnya gue yang ngomong gitu. Temen macam apa sih lo? Kok bisa-bisanya nuduh gue serendah itu?" Aku berdiri memandang marah pada Steve.

    "Mana gue tahu Sony masih di sekolah dan mana mungkin gue bisa memperkirakan dia bakal ngeliat kita tadi. Lo egois banget, Steve. Yang lo pikirin cuma hubungan lo sama Sony. Lo nggak mikirin perasaan gue, sahabat lo sendiri."

    "Perasaan lo? Emang lo punya perasaan? Kalau iya, harusnya lo minta maaf sama Sony sekarang dan nyelesaiin kesalahpahaman bodoh ini."

    "Gue nggak ngerasa perlu ngelakuin itu. Gue nggak salah."

    Steve berdiri.

    "Terserah lo deh. Gue nggak peduli lagi!" ucapnya lalu keluar dari kamar.

    Aku terduduk lemas.

    Hebat!

    Aku kehilangan satu sahabat lagi. Aku kesal pada Steve.

    Aku kira dia mengerti perasaanku. Kenapa semua jadi kayak gini? Kenapa semua lebih buruk lagi. Aku nggak yakin dengan apa pun saat ini kecuali satu hal, Steve nggak akan mengantarku ke sekolah besok.

    BERSAMBUNG

    Oke Guyz ini chapter 9 aku kasih challenge sm kalian hehehhe

    Jika likenya lebih dari 13 aku akan update ch 10 malam ini ;)

    BERIKAN LIKE DAN KOMENTAR YA
  • kagak ngerti basa jawa ini udh update ;)
    @cansetya_s
Sign In or Register to comment.