It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@cansetya_s
hahahahhaa okeee
@Rabbit_1397
nanti yaaa
@abong
@_abdulrojak
@Rifal_RMR
@JimaeVian_Fujo
@lulu_75
@Aurora_69
@harya_kei
@3ll0
@Otho_WNata92
@hyujin
@j4nji
@rizal_91leonardus
@Rikadza
@lucifer5245
@abyyriza
@terry22
@rama_andikaa
@Gabriel_Valiant
@ramadhani_rizky
@Otsutsuki97S
@Sho_Lee
@raw_stone
@Rars_Di
@kaha
@haikallekall
@ffirly69
@gilang22
@viji3_be5t
@LostFaro
@nakashima
@kie_kow
@littlemark04
@akina_kenji
@Daser
@sn_nickname
@Vanilla_IceCream
@Dhi96
@Greent
@Toraa
@jimmy_tosca
@cansetya_s
@tianswift26
@zenfonepro
@bapriliano
@cela
@dadannnnnnn
@bagastarz
@Agova
@syafiq
@sonyarenz
@delvaro80
@Badguydrunkby6
@boybrownis
@hearttt
@Phantex
@malmol
@roy_rahma
@RezzaSty
@aries18
@abong
@new92
@soratanz
@pangeran_awan99
@rezka15
@yansah678
@Mami100C
@hendra_bastian
@dim4z_
@BOMBO
@Rabbit_1397
@rubi_wijaya
@NanNan
@ardi_yusman
@kristal_air
@Methan
@Nova_APBS
@Bleach.boy
@dewanggaputra
@Watiwidya40Davi
@aldhy_virgo
@Ninia
@aries18
@Fruitacinno
@Tsu_no_YanYan
@akha
@malmol
@Valle_Nia
@Lovelyozan
@PHfila
@diccyyyy
@Adi_Suseno10
@revtwo
@dafaZartin
@Rangga_San
@DM_0607
@radit_rad1t
DUA jam kemudian, aku jadi salah satu siswa SMA Girindra yang ikut tenggelam dalam keriuhan yang terjadi di lapangan basket sekolah.
Akhirnya aku memutuskan untuk menonton pertandingan daripada penasaran sendiri di rumah. Aku sengaja duduk di deretan anak-anak kelas satu untuk menghindari teman-teman sekelasku yang kebanyakan ngumpul di seberang lapangan.
Dari sini, aku bisa melihat Sony, Angga, dan Martabak, juga teman-teman lain bersorak-sorak menyemangati tim basket kelas dua.
Aku merasa jadi bagian yang terlupakan, tapi siapa peduli? Aku cuma duduk diam sambil menopang dagu, menungggu pertandingan dimulai.
Di pinggir lapangan, para pemain dari keempat tim kelas 1, kelas 2, kelas 3 IPA, dan 3 IPS sedang berkumpul bersama teman-teman satu tim untuk mempersiapkan diri.
"Eh, liat deh. Kak Tommy keren banget, ya?" ujar cewek manis kelas satu yang duduk di depanku sambil menunjuk ke pojok lapangan.
Mataku melirik ke arah yang ditunjuknya dan melihat Tommy sedang melakukan pemanasan.
"Cakep banget! Gue mau dong.....!" Cewek di sebelahnya menanggapi. "Eh, omong-omong, dia udah punya pacar belum, ya?"
"Kayaknya sih belum.
"Eh, perhatiin deh. Dari tadi Kak Tommy kayak lagi nyari seseorang.
Celingak-celinguk gitu." Cewek yang memakai kaus bergambar Bugs Bunny itu menunjuk Tommy.
"Eh, dia ngeliat ke sini!" Kedua cewek itu melambaikan dengan semangat.
Aku menoleh ke depan dan bertatapan dengan Tommy.
Cowok itu tersenyum lalu mengangkat bola basket di tangan kanannya dan menunjuk ke arahku dengan tangan kiri seolah berkata, "Gue bakal menang buat elo" atau....mungkin "Gue bakal nimpuk elo".
Biar romantis, anggap aja yang benar adalah yang pertemanan.
Aku tersenyum.
Kedua cewek di depanku membalikkan badan ke belakang bersamaan. Mereka tampak syok karena cowok pujaan mereka melihat ke Hedy, dan segera kembali menghadap ke depan. Keduanya nggak bersuara sampai pertandingan dimulai.
Pertandingan pertama antara tim basket kelas 1 dengan tim kelas 3 IPA akan dimulai. Aku duduk bertopang dagu tanpa antusias. Pandanganku mengarah ke sana kemari, nggak memerhatikan apa yang terjadi di lapangan.
"Eh, liat deh. Itu kan guru yang ngajar kelas dua. Cakep banget, ya? Kayak anak SMA make seragam tim basket kita.
Keren banget!"
Si cewek berkucir kembali berteriak histeris sambil menunjuk-nunjuk ke arah lapangan.
"Iya, nggak keliatan kayak guru, ya?" Si Bugs Bunny nggak kalah heboh.
"Wah.....cakep banget! Lebih cakep daripada Kak Tommy," ucapnya keceplosan lalu langsung terdiam sambil melirik-lirik waswas ke belakang.
Aku nggak ngerti. Kenapa sih, nih anak dua, heboh melulu dari tadi? Cewek-cewek di sekitarku mulai ribut-ribut ngomongin sesuatu sambil menunjuk-nunjuk ke lapangan.
Aku yang duduk membungkuk di belakang jadi penasaran dengan apa yang terjadi, lalu mendongak agar bisa melihat ke tengah lapangan.
Mataku membesar setelah menemukan sumber keributan. Di tengah lapangan tampak Pak Mario berdiri berjejer bersama tim basket kelas 1.
Dia kelihatan beda banget memakai seragam basket kelas 1. Jadi kayak cowok SMA banget. Cowok SMA yang keren.
Dia kelihatan paling tinggi, paling atletis, dan paling cakep.
Eh, kok aku terpesona liat dia? Dia kan cuma guru nyebelin yang marah-marah dan bikin aku malu di depan semua orang di kantin tadi? Aku mengingatkan diri sendiri.
Suara peluit terdengar dan bola mulai dimainkan. Aku menonton jalannya pertandingan dengan memandang remeh kemampuan basket Pak Mario.
Udah tuwir begitu, mana mungkin jago main basket? Lima menit jalannya pertandingan udah cukup menunjukkan bahwa anggapanku salah.
Ternyata Pak MArio hebat banget. Dia membuat tim kelas 3 IPA tertinggal 17 poin dengan bola-bola yang dia masukkan ke ring.
Cewek-cewek kelas 1 bersorak-sorak untuknya. Pertandingan berakhir dengan kemenangan kelas 1 dan nama Pak Mario dielu-elukan kayak pahlawan baru menang perang.
Menyebalkan!
Pertandingan kedua berlangsung antara tim kelas 2 dengan kelas 3 IPS. Aku mengikuti jalannya pertandingan tanpa suara, sementara anak-anak kelas 2 di seberang bersorak-sorak menyemangati tim kami.
Sebagian besar cewek-cewek mengelu-elukan nama Tommy, bahkan cewek-cewek maupun cowok kelas 1 juga. Tapi dua cewek di depanku bukan salah satunya, eh salah duanya.
Di akhir babak keempat, keunggulan kelas 2 hanya terpaut tiga poin dari tim lawan. Tommy tampak kelelahan.
Tadi dia berusaha mati-matian memasukkan bola terakhir yang semakin memperbesar keunggulan tim kami.
Aku mengacungkan jempol padanya saat dia melihatku dari pinggir lapangan seusai pertandingan. Final antara tim basket kelas 1 dan kelas 2 dimulai setelah jeda waktu istirahat sepuluh menit.
Matahari sore hampir tenggelam, tapi jumlah penonton nggak berkurang. Lapangan basket kembali riuh saat bola mulai dimainkan. Telingaku berdengung karena suara anak-anak kelas 1 yang mengelu-elukan nama Pak Mario.
Pertandingan di lapangan bagaikan duel antara jagoan dari masing-masing tim, yaitu Tommy dan Pak Mario. Babak ketiga, kedudukan seimbang. Permainan jadi makin seru di babak terakhir.
Tiga menit terakhir, tim kelas 2 tertinggal tujuh poin. Aku yang tadinya malas bersuara jadi semangat memberi dukungan untuk tim kelas 2.
"Tommy! Tommy!" teriakku dan spontan cewek-cewek maupun cowok di sekitarku memandang sinis ke arahku.
Ups!
Aku lupa sedang ada di kubu lawan. Sambil cengar-cengir, pelan-pelan aku menjauh dari gerombolan fans Pak Mario itu ke pojok lapangan.
Kejar-mengejar angka terjadi di lapangan. Penonton makin memanas. Aku berteriak-teriak menyemangati Tommy.
Beberapa kali Pak Mario menoleh ke arahku. Kayaknya dia terganggu dengan keberadaanku.
Ah, bodo amat!
Satu menit terakhir semakin dekat. Kelihatan banget tenaga Pak Mario terkuras. Gerakannya nggak segesit saat awal pertandingna sementara anak-anak kelas 1 nggak bisa diandalkan.
Kelas 2 punya harapan untuk menang. Kau jadi makin semangat.
"Ayo, Tom, hajar dia!" teriakku lantang membuat beberapa penonton lain juga Tommy menoleh padaku. Kayaknya Tommy ngerti siapa ''dia'' yang kemaksud.
Makanya Tommy semakin gencar merebut bola dari tangan Pak Mario. Tapi nggak disangka-sangka, Pak Mario malah bertahan menguasai bola dan menunjukkan kehebatannya.
Pada detik-detik terakhir Pak Mario membuat dua tembakan three point yang mengantarkan kelas 1 jadi pemenang lomba basket antar tingkat tahun ini.
Aku dan anak-anak kelas 2 yang lain benar-benar kecewa.
Aku jadi makin membenci Pak Mario.
"Sori ya Hedy, gue nggak bisa menang di pertandingan tadi. Padahal gue pengen ngalahin Pak Mario buat elo," ucap Tommy saat menghampiriku seusai pertandingan di bangku penonton yang mulai kosong.
"Kok lo minta maaf ke gue? Tadi lo hebat banget kok. Si Mario, pengkhianat sok pahlawan itu, cuma lagi beruntung aja."
"Pengkhianat?" Tommy mengelap keringatnya dengan handuk.
Diam-diam aku meliriknya. Tommy kelihatan keren banget kalau rambutnya lagi basah kayak gini.
"Ya iyalah. Dia kan wali kelas dua, kok malah menangin kelas satu?"
"Jangan sentimen pribadi gitu dong. Permainan basket Pak Mario memang hebat banget. Gue aja kagum sama dia."
"Hebat apanya?" Aku mencibir, Tommy jadi tersenyum.
"Eh, gue ke sana dulu ya, Hedy" pamitnya sebelum beranjak ke seberang lapangan buat bergabung dengan anak-anak basket kelas dua lain yang lagi duduk-duduk istirahat dengan wajah kecewa.
Di sana juga tampak Angga, Sony, dan Martabak, bersama beberapa anak 2-F lain. Sekilas tidak sengaja tatapanku dan Sony bertemu tapi dia langsung memalingkan muka.
Huh, aku jadi malas lama-lama di sini.
Aku keluar gerbang sekolah lalu jalan kaki menuju halte bus terdekat. Nggak banyak orang yang lalu-lalang di sekitar sini karena di sini bukan daerah permukiman.
Lagi pula, hari mulai malam. Di kejauhan aku melihat tiga orang cowok berjalan mendekat dari arah berlawanan.
Awalnya aku nggak mengacuhkan mereka tapi jantungku langsung berdetak cepat setelah mengenali salah satu dari mereka.
O'o! Itu kan cowok kurang ajar yang beberapa bulan lalu aku memukulinya di mall
Gawat! Nggak ada kesempatan buat lari. Mereka telanjur melihatku dan kayaknya cowok itu masih mengingatku.
"Hei coy, coba liat, kita ketemu siapa! Kayaknya ini malam keberuntungan kita," ucap cowok itu keras-keras pada gerombolannya dua cowok yang tampangnya kayak preman.
Aku makin panik. Celaka, dia beneran ingat aku! "Oh, cowok sok jagoan yang nabok elo waktu itu," sahut temannya yang gondrong.
"Sekarang coba kita liat, bisa apa dia di tempat sepi kayak gini. Jangan-jangan dia bisa jadi jagoan di tempat rame doang," lanjut yang lain cowok bertubuh besar dengan banyak tato di lengan.
"Mau apa kalian? Gue nggak punya urusan sama kalian. Aku mencoba bicara dengan tenang untuk menyembunyikan ketakutanku.
"Eh, Bro tabokan lo masih berbekas di pipi gue!" cowok itu menunjuk pipi kanannya.
Perasaan, pipi kirinya deh yang dulu kupukul.
Eh, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu.
"Sekarang enak aja lo bilang nggak punya urusan sama gue." cowok itu tersenyum mengancam.
"Mungkin lo perlu ngerasain tangan gue buat ngingetin lo."
Aku sudah siap lari, tapi si cowok gondrong mengejar lalu menangkap lenganku. Aku berontak, tapi dia mencengkeram terlalu kuat.
Mereka tertawa melihat usahaku yang sia-sia. Aku berteriak minta tolong tapi tak ada orang di sekitar sini. Cowok kurang ajar itu mulai menyentuh leherku.
Dengan tanganku yang bebas aku menghantam mukanya.
"Sialan lo!" teriaknya, kemudian melayangkannya ke pipiku.
Aku ambruk di jalan.
"Bangun! Dulu lo kan jagoan, mana kehebatan lo dengan pukulan lo hahahaha?" tantangnya.
Aku mencoba berdiri. Tanganku memegangi pipi kiriku yang terasa sakit banget. Kalau begini terus aku bisa mati konyok dikeroyok berandalan-brandalan ini.
Aku harus kabur. Aku menabrak si tato, membuatnya terhuyung tapi si cowok kurang ajar menarik tanganku sebelum aku sempat lari.
Karena panik, aku menendang cowok itu sembarangan.
"Brengsek lo!" Dia memegangi perutnya kesakitan kemudian dengan marah mengarahkan tinjunya padaku.
Aku mundur untuk menghindar mengarahkan pukulan ke muka cowok itu. Kena tulang pipinya. Dia membalas dengan meninju perutku.
Aku kesakitan dan nggak bisa menghindar saat dia melesatkan kakinya ke lenganku. Aku terlempar dan jatuh di jalan.
"Ayo, tunjukkan lagi kehebatan lo!" seru cowok itu dengan senyum kemenangan.
"Kita kasih pelajaran aja Bos, biar dia kapok," ucap si cowok gondrong.
"Gimana kalau kita lepas pakaiannya satu per satu?" lanjutnya, membuat jantungku berhenti berdetak.
“Lumayan cowok ini kelihatan mulus hahahaha”
Cowok-cowok itu tertawa.
Aku benar-benar takut. Tuhan, tolong!
Saat cowok itu akan menjamah bajuku seseorang menariknya lalu menghajarnya sampai dia ambruk di jalan. Perkelahian terjadi tiga lawan satu.
Siapa pun itu, kuharap dia menang. Pandangan mataku kabur.
Semua jadi gelap.....
***
"Marmut! Marmut!" Pipiku terasa ditepuk-tepuk. Pelan- pelan kubuka mata. Rasanya aku sudah tertidur lama.
Perlahan bayangan wajah Pak Mario muncul. Aku mulai ingat apa yang terjadi.
"Pak.....mereka......"
"Mereka sudah pergi. Kamu nggak apa-apa?" Pak Mario membantuku berdiri.
Aku merasakan sakit di wajah, lengan, dan perutku. Badanku
sulit digerakkan.
"Kamu..... Kamu terluka?" Pak Mario memerharikan wajahku.
Dia tampak cemas.
"Tunggu di sini, aku mengambil motor dulu. Kuantar kamu pulang," ucapnya.
Sebentar kemudian Pak Mario datang. Dia membantuku naik ke motornya lalu menarik tanganku agar melingkari pinggangnya.
Dengan tangan kirinya Pak Mario menggenggam kedua tanganku di perutnya. Mungkin dia takut kau pingsan dan jatuh dari motor.
Aku bersandar di punggungnya. Kucoba melupakan semua kebencianku padanya. Aku benar-benar bersyukur dia bersamaku saat ini.
Pak Mario menghentikan motor di depan rumahnya.
"Kita obati lukamu dulu. Orang tuamu bisa panik kalau melihat keadaanmu kayak gini."
Pak Mario menuntunku ke ruang tamu dan menyuruhku duduk. Dia masuk dan nggak lama kemudian keluar dengan membawa kantong air es dan kotak P3K.
Dia duduk di depanku dan mengamati wajahku. Tangannya terangkat untuk menyentuh daguku, kemudian mengarahkan pipi kiriku ke lampu.
"Parah juga." Pak Mario mengambil obat lalu menuangkan sedikit di kapas sebelum mengoleskannya pada lukaku.
Aku menjerit karena perih.
“Tahan sedikit. Kalau nggak diginiin, lukamu bisa bengkak."
Dengan hati-hati Pak Mario mengoleskan kapas itu di sekitar tulang pipiku. Wajahnya cuma beberapa senti dari wajahku.
Rambut dan bajunya masih basah oleh keringat karena pertandingan tadi.
DEG DEG DEG
Jantungku berdebar.
"
Nah, sekarang baru bisa diplester," ucap Pak Mario, kemudian menatap mataku yang sedang menatapnya.
Kami saling pandang dalam diam.
"Ada apa?" Pak Mario tersadar duluan.
BLUSH
Mukaku memanas, Aku jadi malu banget.
Gila, tadi aku terpesona menatapnya! Duh, tololnya aku! Kenapa bisa kayak kena hipnotis begini?
"Mmh.... Makasih," ucapku canggung. Aku tak bisa memikirkan kata lain untuk diucapkan.
Aku takut Pak MArio sadar bahwa tadi aku terhanyut oleh
tatapannya. "......Bapak udah nolong saya."
"Sudah kewajibanku. Aku kan gurumu. Mana mungkin aku membiarkan murisku sendiri disakiti?" Pak Mario memplester lukaku dan menyuruhku menempelkan kantong air es pada memar di sekitar lukaku.
"Ada luka lain?" Aku menggulung lengan bajuku untuk menunjukkan memar di lenganku yang terasa perih banget kalau aku menggerakkan tangan.
Rahang Pak Mario mengeras saat melihatnya.
"Bajingan!" umpatnya tertahan.
"Siapa mereka? Kenapa mereka bisa berbuat kayak gini ke kamu?" Dia duduk di sampingku lalu mulai membersihkan luka di lenganku dengan kapas yang sudah diolesi alkohol.
Aku meringis menahan sakit.
"Beberapa bulan yang lalu, saya memergoki mereka sedang mengancam seorang cowok manis di mal. Waktu salah satu dari mereka sudah mulai keterlaluan saya tarik cowok itu, kemudian saya pukul cowok kurang ajar itu. Kami jadi tontonan. Sempat terjadi keributan, lalu satpam datang terus gerombolan itu pergi dengan marah. Hebat, kan?"
Aku tersenyum getir sambil menahan perih di lenganku.
"Hebat apanya? Itu tolol namanya. Kenapa nggak panggil satpam dari awal? Cari masalah aja," ujar Pak Rio sewot.
"Memang kamu dapat apa setelah bersikap sok pahlawan kayak gitu?"
"Seorang sahabat."
Aku menghela napas.
"Cowok yang saya tolong itu Sony. Sejak kejadian di mal itu, kami dekat dan jadi sahabat. Tapi hari ini, persahabatan kami putus karena kesalahpahaman. Saya nggak nyesel itu terjadi karena merasa punya utang budi. Saya nggak butuh teman kayak gitu."
Aku kembali menatap Pak Mario yang sedang membalut lukaku dengan perban, menunggu komentarnya.
"Mungkin kamu aja yang punya pikiran begitu. Bisa aja kan, Sony tulus jadi temanmu nggak ada hubungannya dengan pertolonganmu waktu kejadian di mal itu."
"Sudah nggak penting lagi apakah dia jadi teman saya buat balas budi atau dengan sukarela. Yang jelas, dia udah nyakitin saya bilang hal-hal jelek tentang saya. Dan yang paling parah, dia nggak percaya sama saya. Apa sahabat kayak gitu?"
"Apa sahabat juga berbuat seperti yang kamu lakukan? Mendendam, nggak mau ngalah, dan nggak mencoba menyelesaikan masalah? Bersahabat itu artinya saling menyayangi, memercayai, dan mau mengerti." Ucapan Pak Mario memojokkanku.
Sepertinya dia nggak berada di pihakku. Kenapa semua menyalahku? Bahkan Pak Mario yang nggak tahu persoalannya ikut-ikutan menyalahkanku.
Aku merasa ini nggak adil.
"Harusnya Bapak ngomong begitu ke dia bukan ke saya. Dia yang nuduh saya yang nggak-nggak, dia yang nyalahin saya atas satu hal yang nggak saya lakukan, dia yang nggak percaya sama saya."
Pak Mario mengikat perban dengan kasar, membuatku meringis kesakitan.
"Terserah bagaimana pendapatmu." Dia berdiri.
"Aku akan mengantarmu pulang sekalian menjelaskan apa yang terjadi pada orangtuamu."
"Nggak usah! Saya bisa pulang sendiri. Saya yakin nggak akan pingsan di tengah jalan."
Aku berdiri, tapi tiba-tiba lututku terasa lemas. Aku terhuyung dan hilang keseimbangan. Aku kan akan jatuh kalau Pak Mario nggak cepat menangkap tubuhku.
"Kamu bisa berhenti nggak sih, bersikap sok kuat kayak gini?!" bentaknya kesal.
"Aku punya tanggung jawab sama kamu."
"Karena Bapak wali kelas saya? Kita nggak lagi di kelas dan sekarang Bapak bukan siapa-siapa saya."
Aku menatap matanya dengan kesal, lalu tersentak melihat
memar di tulang pipi kanannya. "Aku....."
Pak Mario nggak bisa melanjutkan ucapannya karena aku mengangkat tangan dan menyentuh wajahnya.
"Bapak terluka....,"ucapku lirih.
"Bukan apa-apa," balasnya ketus.
"Cuma luka kecil karena aku bertindak bodoh dengan menolong orang yang bukan siapa-siapaku."
Mendadak hatiku bergetar. Entah kenapa, aku jadi merasa sedih dengan apa yang terjadi pada Pak Mario. Aku merasa bersalah. Aku menyesali telah bersikap buruk padanya padahal dia yang menolongku.
Ada perasaan aneh dalam hatiku. Entah itu rasa bersalah, menyesal, atau sedih. Mataku terasa basah.
"Maafin saya, Pak. Saya sudah bersikap kasar sama Bapak, padahal karena saya Bapak terluka," ucapku serak karena air mata yang berusaha kutahan.
Aku bingung sendiri kenapa perasaanku jadi nggak jelas kayak gini.
"Jangan ngomong gitu. Biar sampai babak belur pun aku tetap akan menolong kamu dan nggak membiarkan mereka nyakitin kamu."
Hatiku luluh mendengar ucapan Pak Mario. Belum pernah aku merasa senyaman ini saat bersama seseorang.
Dan tanpa sadar tanganku terangkat memeluk Pak Mario. Sungguh, aku sendiri kaget dengan apa yang kulakukan.
"Makasih.....," bisikku.
Pak Mario menepuk lembut kepalaku.
"Sudah, jangan dramatis begini. Kamu jadi nggak kayak Marmut, muridku yang paling badung."
Aku memejamkan mata dan berjanji dalam hati, mulai sekarang aku akan bersikap baik pada Pak Mario baik sebagai guru matematikaku ataupun tetanggaku.
Dia sudah menyelamatkanku malam ini. Dia sudah jadi pahlawanku.
BERSAMBUNG
Holllla sorry ya lama update krn bantu teman aku mengisi evaluasi kuliahnya -_- yang isinya banyak hadeeeh ya udhlah aku bantu dia kadang q pernah minta bantuan sm dia
Horeeee besok tgl 17 Agustus Indonesia sdh berumur 70 thn semoga Indonesia di thn 2015 akan lebih baik dr tahun sebelumnya
Ingat dulu zaman SMA upacara bendera aku berdiri panas2an sambil dengarkan pidato kepsek di sekolahku kagak bs bolos upacara wkwkwkkwk
BERIKAN LIKE DAN KOMENTAR YA
@Otsutsuki97S
@Aurora_69
@Lovelyozan
@Aurora_69
@cansetya_s