It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Otsutsuki97S
@ardi_yusman
@_abdulrojak
@Rifal_RMR
@JimaeVian_Fujo
@lulu_75
@Aurora_69
@harya_kei
@3ll0
@Otho_WNata92
@hyujin
@j4nji
@rizal_91leonardus
@Rikadza
@lucifer5245
@abyyriza
@terry22
@rama_andikaa
@Gabriel_Valiant
@ramadhani_rizky
@Otsutsuki97S
@Sho_Lee
@raw_stone
@Rars_Di
@kaha
@haikallekall
@ffirly69
@gilang22
@viji3_be5t
@LostFaro
@nakashima
@kie_kow
@littlemark04
@akina_kenji
@Daser
@sn_nickname
@Vanilla_IceCream
@Dhi96
@Greent
@Toraa
@jimmy_tosca
@cansetya_s
@tianswift26
@zenfonepro
@bapriliano
@cela
@dadannnnnnn
@bagastarz
@Agova
@syafiq
@sonyarenz
@delvaro80
@Badguydrunkby6
@boybrownis
@hearttt
@Phantex
@malmol
@roy_rahma
@RezzaSty
@aries18
@abong
@new92
@soratanz
@pangeran_awan99
@rezka15
@yansah678
@Mami100C
@hendra_bastian
@dim4z_
@BOMBO
@Rabbit_1397
@rubi_wijaya
@NanNan
@ardi_yusman
@kristal_air
@Methan
@Nova_APBS
@Bleach.boy
@dewanggaputra
@Watiwidya40Davi
@aldhy_virgo
@Ninia
@aries18
@Fruitacinno
@Tsu_no_YanYan
@akha
@malmol
@Valle_Nia
@Lovelyozan
@PHfila
@diccyyyy
@Adi_Suseno10
@revtwo
@dafaZartin
@Rangga_San
@DM_0607
JAM pelajaran pertama kali hari ini adalah Bahasa Inggris, dan Pak Rian nggak bisa ngajar karena mengikuti seminar pendidikan. Jadilah satu setengah jam ini acara bebas buat anak-anak 2-F.
"Hed, ke kantin yuk, tadi gue nggak sempat sarapan," ajak Sony sambil menggucang tubuhku. Aku yang sedang merebahkan kepala di tanganku yang terlipat di atas meja, membuka sebelah mata.
"Gue ngantuk berat nih, Sony. Ajak Angga aja gih."
Aku kembali memejamkan mata dan mencoba tidur dalam posisi nggak nyaman. Ini. Semalam aku begadang buat memperbaiki n mobil-mobilan remote control-ku yang nggak sengaja dirusakin Edwin.
Sekitar dua jam aku mengutak-atik mesin di dalamnya. Untung akhirnya mainan itu bisa berjalan normal. Aku nggak pernah merasa sesenang itu melihat mobil itu hidup.
Hasil kerjaku yang penuh kekesalan dan hampir diakhiri dengan keputusasaan itu ternyata berhasil.
Aku langsung menyimpan mobil-mobilan itu dalam kardusnya lalu menaruhnya di atas rak agar nggak terjamah pengacau kecil itu lagi.
"Ayolah, Hed. Ntar gue traktir permen deh."
"Emang gue anak SD? Tajir-tajir traktirannya permen. Anjlok tuh gengsi."
"Dasar matre lo!" Sony melirik Angga. "Lo mau kan, ngga?"
Angga mengalihkan pandangan dari buku kimia di depannya.
"Ditraktir permen?"
Sony mengerutkan dahi. "Ya bukan lah. Gue ajak ke kantin."
"Lagi baca nih. Eh, omong-omong, nama band gebetan lo yang sobatnya Hedy, si Steve itu, Alkali, kan? Kenapa, ya? Padahal golongan 1A kan perlu elektron paling banyak di antara golongan unsur kimia lain untuk jadi stabil."
"Itu tandanya anak-anak Alkali susah stabil," komentarku masih dengan mata terpejam.
"Apalagi vokalisnya tuh."
"Enak aja! Jangan jelek-jelekin gebetan gue, ya!" Sony langsung sewot.
"Lagian mentang-mentang golongan VIIIA stabil, masa Gas Mulia jadi nama band. Nggak banget gitu loh."
"Cowok nggak stabil gitu aja lo belain. Makanya, cepetan gih jadi cowoknya, biar lo bisa 'menstabilkan' dia." Aku memandang sambil menopang dagu.
"Lo kira gue halogen apa?" protes Sony.
Halogen itu, kalau nggak salah, adalah golongan unsur kimia
yang biasanya dipasangkan dengan unsur-unsur golongan Alkali biar jadi senyawa kimia yang stabil. Hehehe....bisa juga aku mengingat pelajaran kimia yang ada hubungannya dengan Alkali.
Jangan-jangan, pinternya Angga nular ke aku, kali ya? Aku tersenyum melihat muka jutek Sony. Angga kembali pada bukunya.
"Ayo dong, Ngga.... Ntar gue traktir permen deh."
Aku tertawa kecil. Nggak kratif banget sih si Sony. Udah tahu siasay permennya nggak mempan, masih mau dicoba ke Angga. Tiba-tiba Angga berdiri sambil merapikan bukunya.
"Lolipop baru rasa cappuccino itu, ya?" ujarnya.
Sony tersenyum penuh arti.
"Kalau begitu, oke deh, Bos!" jawab Angga penuh semangat.
Mereka berjalan keluar kelas. Aku cuma mengangkat sebelah alis melihat adegan aneh barusan.
Sejak kapan Angga bisa disogok pake permen? Aku menghela napas lalu kembali merebahkan kepala di atas lipatan tanganku. Aku benar-benar ngantuk.
Dalam beberapa menit suara-suara di sekitarku mulai menghilang. "Hed, Hedy, bangun!"
Aku merasa mendengar suara dari jauh. "Jam ketiga mau mulai lima belas menit lagi."
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, lalu samar-samar melihat orang yang berdiri di depanku: Tommy. Aku mengucek-ucek mataku. Kepalaku terasa pening dan badanku sakit. Nggak tahu deh gimana tampangku sekarang.
Seandainya Tommy masih bisa diharapkan, pasti aku nggak mau kelihatan jelek di depannya. Tapi sekarang, kayaknya nggak ada gunanya lagi aku jaim buat menarik perhatiannya.
"Udah bel pulang, ya?" Aku mengedarkan pandangan ke ruang kelas yang sepi.
"Masih mimpi lo, ya? Sekarang baru jam sepuluh kurang."
Tommy tertawa kecil lalu beranjak ke bangkunya di pojok belakang.
"Ke toilet gih, cuci muka!" Aku berdiri, kemudian menggerak-gerakkan badan. Tidur dalam posisi duduk kayak tadi bikin badan pegel-pegel nggak karuan.
Ini semua gara-gara Edwin!
"Semua lagi pada keluar, ya?" tanyaku pada Tommy yang sedang mencari-cari sesuatu dalam tasnya.
"Iya. Kok elo kelihatan ngantuk gitu? Nggak tidur ya semalam?"
"Gue begadang."
"Emangnya ngapain? Kena hukuman bikin tugas lagi?"
"Nggak. Gue betulin mobil kesayangan gue."
"Hah? Betulin mobil malam-malam?" Tommy menoleh heran padaku sambil memasukkan dompet ke saku celananya.
"Mobil-mobilan. Untung bisa dibetulin. Padahal, asli, gue betulinya asal-asalan."
Aku berjalan ke luar kelas.
"Elo punya bakat jadi montir dong," canda Tommy. Dia menjajari langkahku lalu berbelok menuju kantin, sedangkan aku berjalan ke toilet.
Dari luar toilet aku mendengar suara orang sedang bicara keras-keras dan penuh emosi. Hari gini masih ada aja orang ribut di toilet.
Basi banget.
Aku sudah akan beranjak dari sana, tapi langkahku tertahan karena mendengar orang itu menyebut-nyebut namaku.
"Hedy itu brengsek. Seharusnya nggak segampang itu lo percaya sama dia. Di nggak tulus sobatan sama elo. Mungkin bagi dia, lo cuma teman buat have fun. Dia nggak ngerti kalau lo tulus menggangap dia sahabat kalau lo sayang sama dia. Dia beda sama kita, Sony. Perasaannya ngak peka. Dia cuek dan nggak peduli sama apa pun, apalagi tentang perasaan lo. Mungkin menurutnya nggak masalah kalau dia jadian sama cowok yang lo suka. Lagian, lo dan Steve kan belum ada hubungan apa-apa. Dia nggak peduli sama perasaan lo yang jelas-jelas suka sama Steve."
Isak tangis terdengar.
"Sony, jangan nangis dong! Dia nggak seberharga itu buat lo tangisin. Cuma orang yang sok setia kawan yang nggak punya perasaan. Please, Sony dengerin gue!"
"Selama ini gue menganggap dia sahabat. Gue nggak nyangka dia tega berbuat kayak gitu di belakang gue."
Suara Sony terdengar. Mataku membesar. Nggak salah lagi, itu Sony dan Martabak.
Ngapain mereka di dalam ngomongin gue? Kenapa Sony bisa nangis? Apa hubungannya Martabak nyebut-nyebut soal Steve?
Aku membuka pintu toilet dan melihat Sony dan Martabak sedang berdiri di dekat wastafel.
Martabak terkejut dengan kemunculanku, begitu juga Sony yang tengah terisak.
"Lo kenapa, Sony?" tanyaku cemas. Bukannya menjawab, Sony malah keluar tanpa mengacuhkanku.
"Sony! Sony!" panggilku, tapi Sony tetap berlari menuju kelas.
Pandanganku beralih pada Martabak yang masih berdiri di sana.
"Jangan sok tau tentang diri gue, apalagi perasaan gue. Kapan sih lo berhenti mengacaukan hidup gue?"
Aku berjalan tergesa menyusul Sony. Sampai di kelas, kulihat Sony sedang memeluk Angga yang memandang bingung ke arahku, nggak mengerti apa yang terjadi seperti juga aku.
"Elo kenapa, Sony? Apa yang terjadi?" Aku mendekat.
Sony melepas pelukannya, menatapku dengan mata berair.
"Gue nggak nyangka lo bisa setega ini sama gue."
"Maksud lo? Tega apanya? Ini soal apa, Sony?"
Aku makin bingung.
"Soal Steve. Lo jalan sama Steve, kan? Lo pacaran sama cowok yang gue suka, di belakang gue. Gue nggak percaya lo bisa sejahat ini sama gue. Gue kira kita sahabat, Hedy."
"Hah? Jalan sama Steve?"
Aku nggak bisa mencerna kata-kata Sony.
"Nggak ada gunanya pura-pura. Gue udah tahu semuanya. Kemarin Bakti ngeliat sendiri lo sama Steve mesra-mesraan di mal. Kalian nggak kayak dua sahabat seperti yang lo gembar-gemborkan ke gue. Mana ada sahabat yang rangkulan, gandengan mesra, dan pegangan tangan pas makan di restoran? Bakti yang bilang semuanya ke gue. Bego namanya kalau gue tetap percaya lo sama Steve cuma temenan. Gue lebih percaya kata-kata Bakti. Dia nggak mungkin bohongin gue. Dia nggak kayak elo...."
Angga terkejut. Dia menoleh padaku nggak percaya. Aku langsung tanggap. Ada yang salah mengira soal kejadian kemarin.
"Ya Tuhan.... Jadi soal kemarin? Sony, lo salah paham."
"Lo mau bohong apa lagi buat nipu gue?"
Sony mulai menangis lagi. "Gue tau Steve sahabat lo, Hedy. Dan kayak cerita-cerita di novel, dua sahabat bisa saling suka, itu biasa. Tapi dalam kasus ini, lo tau gue orang yang selama ini nganggep lo sahabat, suka sama sahabat cowok lo, dan lo dengan munafiknya sok ngedukung gue, tapi ternyata lo malah mengkhianati gue."
"Gue sama Steve nggak kayak cerita novel, dan apa yang lo pikirin itu salah, Sony!"
"Gue emang salah...." Sony mengusap air matanya.
"Elo yang benar. Nggak ada aturan yang nyalahin lo pacaran sama Steve. Gue sadar kok, sebenarnya gue nggak punya hak apa-apa buat ngerasa marah atau benci sama lo, toh dia bukan siapa-siapa gue. Tapi kenapa lo harus bohong sama gue, Hedy? Kenapa lo pura-pura ngedukung gue jadian sama Steve kalau ternyata lo udah jalan bareng dia? Lo mau mainin perasaan gue? Gue sakit hati, Hedy. Ternyata lo nggak seperti yang gue kira selama ini. Lo nggak punya perasaan, lo jahat. Lo pengkhianat sok setia kawan yang cuma bisa nusuk teman dari belakang. Lo brengsek!"
"Jaga omongan lo!" bentakku kasar.
Harga diriku tersinggung mendengar ucapan Sony. Sakit banget mendengar kata-kata kayak gitu dari orang yang kuanggap sahabat. Ternyata segitu doang kepercayaan Sony terhadapku selama ini.
Hilang sudah keinginanku untuk menjelaskan ''jalan bareng''-ku dengan Steve pada Sony, padahal tadinya aku kira ini cuma kesalahpahaman sepele yang nanti akan kami tertawakan.
"Apa hak lo ngomong kayak gitu tentang gue? Memangnya lo siapa? Cuma cowok bego yang dengan gampangnya bisa dihasut orang brengsek kayak Martabak."
"Diam lo!" Sony berdiri.
Angga menatap Sony dengan wajah tegang, lalu beralih memandangku.
"Bakti itu sahabat gue. Dia bukan orang egois yang nggak punya perasaan kayak elo. Seharusnya gue dengerin dia saat dia ngingetin gue untuk berpikir seribu kali sebelum bergaul sama orang macam lo. Sayang, gue telanjur percaya sama lo cuma karena lo pernah nolong gue. Sekarang gue baru tau orang kayak apa lo sebenarnya."
"Jadi selama ini lo jadi temen gue cuma balas jasa karena gue pernah nolong lo? Denger baik-baik ya, Sony. Gue benar-benar nggak butuh itu!" seruku sebelum meninggalkan kelas dengan menahan marah.
Aku berjalan ke bangku di halaman belakang sekolah lalu duduk di sana. Nggak ada orang lain di sini karena sekarang lagi jam belajar. Ini tempat yang sempurna buat menyendiri.
Aku bertopang dagu sambil menunduk memandang rumput. Kepejamkan mata kuat-kuat, kucoba meredakan kemarahan yang menyesakkan dada.
Aku kesal pada Sony. Aku nggak nyangka dia bisa berkata-kata sejelek itu padaku.
Aku menganggapnya sahabat, tapi ternyata cuma segitu rasa percayanya terhadapku. Gampang banget dia kehasut kata-kata Martabak yang sembarangan dan ngaco.
Martabak salah paham soal Steve dan dia bilang pada Sony, tapi begonya Sony malah dengerin omongan orang brengsek dan nggak ngasih aku kesempatan untuk menjelaskannya.
Terserah deh gimana jadinya, aku nggak peduli lagi. Untuk apa aku menjaga persahabatan buat orang yang jelas-jelas nggak mau percaya sama aku dan jadi temen cuma buat balas budi.
Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Aku mengembuskan nafas panjang dan menenangkan diri.
Hal terakhir yang kuinginkan sekarang adalah bertemu Sony, tapi menghindar darinya juga nggak bakal menyelesaikan masalah. Dengan enggan aku berjalan menuju kelas.
Di depan perputakaan aku berpapasan dengan Nanda, teman sekelasku.
"Mau ke mana, Nan? Kok nggak ke kelas? Kan udah bel masuk?"
"Bu Indah nggak ada cuma ngasih tugas. Gue mau balikin buku sebentar. Mau ikut ke perpus?" ajaknya.
"Nggak ah," tolakku.
Aku menatap perpustakaan di depanku dengan enggan.
Tempat ini adalah pilihan terakhir buat tempat nongkrong, kecuali nanti ada hal gawat yang terjadi yang bikin aku ingin sembunyi di antara tumpukan buku.
Aku nggak tahu mau ke mana, tapi untunglah aku nggak harus ke kelas tempat kemungkinan aku ketemu Sony.
Mendingan sekarang aku ke kantin dan mengisi perut sebelum kembali ke kelas bua ngerjain tugas kimia dari Bu Indah.
***
Kantin dipenuhi anak-anak 2-F saat aku masuk. Aku lagi nggak kepengen ngobrol, jadi dengan langkah malas dan kepala menunduk aku berjalan ke meja pojok kantin yang kosong.
Tiba-tiba......jeduk!
Aku bertabrakan dengan seseorang. Bajuku tersiram kuah bakso dan teh panas. Aku mengerang kepanasan.
"Ya ampun! Sori, Hedy gue nggak sengaja...."
Aku mengangkat kepala dan melihat Martabak dengan wajah panik salah tingkah di depanku.
"Jalan pake mata dong! Kantin seluas ini kok bisa nabrak orang sih?" teriakku, mengundang perhatian semua orang di kantin.
"Sori, gue nggak merhatiin lo. Tadi Tommy manggil gue, jadi gue noleh ke dia dan nggak ngeliat elo."
Emosiku meledak mendengar alasan Martabak ditambah lagi gelagatnya yang kayaknya nggak ada menyesal-menyesalnya walau sudah numpahin makanan ke bajuku.
Dengan kesal aku menatapnya. "Kalo lo benci banget sama gue, bilang terus terang! Jangan gini caranya. Lo nggak bisa berbuat seenaknya, walaupun lo anak kepala sekolah. Lo kira gue takut sama lo?"
Aku mendorong nampan yang dipegang Martabak, membuat sisa teh dan bakso dalam mangkuk menyiram bajunya lalu jatuh dan pecah.
Martabak terbelalak melihat bajunya basah dan kotor. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya yang terbuka. Aku menatapnya dengan pandangan menantang.
Cowok rese ini sekali-sekali perlu dikasih pelajaran. Tiba-tiba seseorang menarik pundakku dengan kasar sehingga aku berbalik.
Aku terkejut melihat Pak Mario berdiri di hadapanku dengan pandangan marah.
"Apa-apaan kamu? Kamu nggak berhak berbuat kasar begitu padanya!"
Aku menepis tangan Pak Mario yang mencengkeram pundakku.
"Kenapa nggak? Apa karena orang tua saya bukan kepala sekolah di sini?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan siapa dia!" Pak Mario menunjuk Martabak.
"Saya melihat apa yang terjadi. Kalian bisa tabrakan juga karena salahmu yang jalan sambil menunduk dan nggak melihat ke depan. Apa yang kamu lakukan benar-benar keterlaluan!"
Aku tersenyum sinis padanya.
"Maaf, Pak, saya nggak melihat Bapak tadi. Tapi seandainya pun saya ngeliat, saya akan tetap melakukan hal keterlaluan ini sama anak atasan Bapak itu."
Aku nggak tahu kenapa aku bisa ngomong kurang ajar kayak gini pada Pak Mario.
Kemarahan yang kurasakan sejak tadi muncul ke permukaan, dan aku jadi merasa benci pada semua orang, termasuk Pak Mario yang sejak dulu nggak pernah benar-benar kusukai apalagi kuhormati sebagai guru.
"Jaga ucapanmu! Kamu nggak sadar sedang bicara dengan siapa?"
"Terserah," balasku nggak peduli.
Aku beranjak dari kantin tanpa menghiraukan tatapan semua orang yang memerhatikanku.
"Mau lari dari masalah?" seru Pak Mario.
Aku berbalik, "Saya nggak ngeliat ada masalah di sini. Dia pantas mendapatkannya."
Aku melanjutkan langkah menuju kelas dengan perasaan kesal sekaligus puas. Aku nggak peduli apa dampak sikapku pada Pak Mario. Aku hanya ingin menumpahkan kekesalanku.
Dihukum sekaligus, aku nggak takut.
Sampai di kelas, aku langsung mengambil tas kemudian keluar dengan tergesa. Sepertinya tadi Sony yang sedang ada di kelas bersama beberapa teman lain termasuk Sony sempat memanggilku, tapi aku tidak mengacuhkannya.
Kulangkahkan kaki menuju gerbang belakang sekolah yang kebetulan sedang tidak ada yang menjaga lalu keluar dari sana dengan perasaan lega.
Aku udah bikin masalah besar tadi. Cabut dari sekolah nggak akan terlalu berpengaruh sama hukumanku nanti.
***
Setelah keluyuran nggak jelas di mal, aku tiba di rumah pas jam pulang sekolah. Aku langsung menjatuhkan diri di tempat tidur begitu masuk kamar.
Kupejamkan mata, berharap bisa melupakan kejadian tadi di sekolah tapi bayangan adegan tadi malah kembali berputar-putar di kepalaku.
Terdengar ring tone HP-ku. Aku nggak mengacuhkannya, tapi setelah berulang dua kali, dengan enggan aku menjawabnya.
"Halo?"
"Hai Hedy, ini gue. Lo udah baikan?" Suara Tommy terdengar canggung.
"Baikan? Tadi gue nggak ngerasa sakit tuh," jawabku asal-asalan.
Aku nggak mengharapkan telepon darinya saat ini.
"Maksud gue, soal yang tadi di sekolah. Lo nggak apa-apa, kan?"
"Apa peduli lo sih, Tom?" Entah kenapa perhatian Tommy
membuatku kesal.
"Lo nggak sadar yang tadi gue siram pake kuah panas itu Bakti, cowok lo? Buat apa selarang lo nelepon dan sok perhatian sama gue?"
"Bakti? Pacar gue? Kata siapa? Kami cuma temenan," sangkal Tommy membuatku sedikit terkejut, tapi nggak mengurangi emosiku.
"Tapi malam Minggu waktu itu gue pernah ngeliat lo sama dia makan malam berdua di restoran dekap bioskop. Malam Minggu dan cuma berdua. Itu kencan, kan?"
"Oh....waktu itu kami lagi nunggu Sony sama Angga buat makan bareng sebelum nonton rame-rame di biokop dekat sana itu," jelas Tommy.
"Hah?!"
Aku seakan nggak percaya dengan pendengaran.
Jadi Tommy dan Martabak nggak jadian? Terus, buat apa selama ini aku jaga jarak dari Tommy dan merasa patah hati tanpa sebab? Aku kenapa sih, sok tau kayak gini?
"Gue sih waktu itu nanya ke Sony kenapa nggak ngajak lo sekalian. Terus dia jawab lo harus jaga adik lo di rumah. Memangnya mereka nggak cerita kalo kami nonton bareng? Kok lo jadi salah paham gitu soal gue sama Taura?" tanya Tommy mengusik lamunanku.
"Eh, nggak."
Buat apa mereka cerita kalau mereka membohongiku waktu itu? Bilang ada acara keluargalah, ada kesibukan di rumah, tahunya nonton bareng Tommy sama Martabak. Ngapain sih, harus bohong? Aku nggak apa-apa kalau Sony lebih memilih jalan sama Martabak ketimbang aku, Angga juga.
Kenapa sih harus sembunyi-sembunyi gitu? Ngomong aja ke depanku bahwa aku tuh brengsek dan nggak enak diajak nongkrong atau temenan. Aku bisa menjauh sendiri, aku tahu diri kok.
"Gue cuma pengen tahu keadaan lo, Hedy. Tapi kalo lo nggak suka, gue minta maaf."
Aku menghela nafas untuk meredakan sesak di dadaku. Aku merasa bersalah pada Tommy yang cuma ingin memberi perhatian padaku tapi malah jadi pelampiasan kekesalanku.
"Maafin gue ya, Tom. Gue lagi emosi. Gue jadi ngomong kasar ke elo."
"Gue ngerti," jawab Tommy lembut. "Gue juga minta maaf, tadi Bakti nabrak elo juga karena gue yang manggil dia."
"Udahlah, lupain aja. "
Aku berbaring dan menutup mataku dengan tangan. Aku lelah pikiran dan perasaan. Kami saling terdiam.
"Oh ya, Hedy. Ntar sore gue main dipertandingan basket antar tingkat. Lo dateng ya, nonton gue?" ujar Tommy penuh harap.
"Gue males, Tom. Sori," jawabku nggak semangat.
Rasanya aku nggak pernah mau kembali ke sekolah lagi setelah kejadian tadi siang.
"Gue benar-benar berharap lo datang, Hedy. Lo nggak pengen ngeliat gue ngalahin Pak Mario tanding basket?"
Aku langsung bangkit terduduksaat mendengar ucapan Tommy.
"Maksud lo?"
"Lo tau kan, tim basket kelas satu nggak sebagus tim anak-anak kelas dua dan tiga, jadi Pak Mario yang pernah jadi pemain basket di kampusnya masuk tim mereka. Lo nggak mungkin ngelewatin kesempatan ini, kan? Kapan lagi ngeliat wali kelas kita main basket bareng anak-anak kelas satu?" bujukan Tommy terdengar persuatif.
"Gimana nanti aja deh, Tom. Gue nggak bisa mastiin."
Aku sudah ingin mengakhiri pembicaraan, tapi Tommy melanjutkan.
"Kalo lo nonton, gue bisa main lebih semangat. Dan kalo lo mau dateng, gue janji bakal ngalahin Pak Mario buat lo, Hedy."
Aku terdiam, nggak tahu harus bicara apa.
"Tapi gue nggak maksa lho, Hedy. Terserah lo mau nonton atau nggak. Gue pengen lo tau aja gue berharap lo mau datang.....buat gue."
“Tommy?” kataku dalam hati.
BERSAMBUNG
HAHA Sorry part ini gak ada Edwin aku mau balas dendam hahahaha kagak sih kan Edwin cuma tokoh pembully Hedy dan BF gw suka sm Edwin hadeeh
Guyz ada gak kayak aku malming samaa Laptop??? -_-, ini gara2 aku ngedit proposal Hadeeeeh...harap dijawab
Aku rindu moment nonton Bioskop sendiran walau gw Iri ;( disebelahku ada pasangan2 BF gw jauh lagi di Jabar #plak jd Curhat
BERIKAN LIKE DAN KOMENTAR YA
#BullyTS
@Otsutsuki97S
@Otsutsuki97S
Om menular ya sama OONku hadeeeh abang bukan begitu hadeeeeh
@Daser
Lalu, apa masalahnya...??
Hahahaha...
@Daser
Gak ada si Edwin gk bkalan di like
Lalu...??