BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MATEMACINTA?! [ UPDATE EPISODE 17 ]

1232426282978

Comments

  • edited August 2015
    @Akang_Cunihin owh, yah seperti itulah yang diperhatiin pasangan gw, selama kami berhubungan ga ada bertengkarnya...
    Dan gw ga jones :smile:
  • ya itu suatu perhatian krn pacar km memberikan km nasihat, ya begitulah pacaran itu berbeda2 ada romantis, ada banyak bertengkar, yaa seperti itu...
    @akina_kenji

    hahahaha km salah ukelelele hehehehe
    @Akang_Cunihin

    lihat dulu bang hehehehehe
    @Daser
  • Liat apaan..??
  • lihat dulu yaaaa
    @ardi_yusman

    lihat kondisiku abang
    @Daser
  • Yah semua berbeda dan banyak ragamnya... @freeefujoushi
  • Nah ada @Ardy_yusman
    Kapan nih Sayap Kematian nya !?
  • Lama bner sih, gw tendang jga nih TS nya -_-
  • Ts nya ngajak ribut,, manggil malah ga ada apa2....
    Hadeuuh...
  • EPISODE 5 – MALAM MINGGU

    HARI-HARIKU berjalan wajar akhir-akhir ini. Nggak ada tindakan melanggar hukum apa pun yang kulakukan. Aku bahkan nggak pernah terlambat ke sekolah dua minggu ini.
    Dan sama sekali nggak bikin masalah saat jam matematika.

    Walapun mencoba bersikap biasa, tetap aja ada perasaan canggung antara aku dan Pak Mario kalau kami bertatap muka setelah kejadian yang berisi adegan telanjang dan belalai gajah itu.

    BLUSH

    “Kenapa aku mengingat kejadian itu lagi sih”kataku dalam hati.

    Pak Mario nggak pernah nunjuk aku buat ngerjain soal di papan (syukur banget, kan?) dan berbicara denganku cuma kalau benar-benar perlu aja (siapa juga pengen ngobrol sama dia).

    Jadi intinya, aku dapat untung gara-gara kejadian itu.

    Di sisi lain, hubunganku dengan Tommy semakin akrab.

    Sekarang obrolan kami berkisar tentang aku, bukan cuma tentang Gundam-ku. Kadang-kadang kami ngobrol di kantin waktu jam istirahat atau pas jalan bareng pulang sekolah Angga dan Sony sempat menanyakan hubungan kami , tapi kujelaskan bahwa kami dekat cuma karena sama-sama suka Gundam.

    Lagian yang benar aja, masa orang pacaran ngomongin Gundam melulu? Tapi rasanya asyik juga dekat dengan cowok populer daripada berhasil mecahin rekor jadi murid yang paling sering terlambat.

    Sementara itu di rumah, Edwin kehabisan ide buat ngerjain aku. Tindakan antusias yang kulakukan mengunci kamar setiap kali aku pergi dan menyembunyikan barang-barang berharga macam komik dan mainan membuatnya nggak bisa menjamah benda-benda itu.

    Sejauh ini cuma kejahatan kecil yang berhasil dia lakukan, seperti memasukkan garam ke minumanku, nyorat-nyoret buku catatanku, merekatkan permen karet di hendel pintu kamar, juga mengambil simpananku di lemari es.

    Dia juga hobi banget berebutan remote TV denganku.

    Dia mati-matian mau nonton film kartun kesukaannya waktu aku lagi nongkrongin MTV. Cari masalah aja tuh bocah!

    Aku bosan ngadu sama Ayah dan Ibu tentang soal ulah Edwin. Mereka paling cuma nyuruh aku sabar dan maklum sama kenakalannya. Namanya juga anak kecil. Anak kecil? Yang benar aja! Dia siluman yang belum berkembang secara fisik.

    "Edwin, kamu ngambil es krim di kulkas, ya?!" seruku dari ruang makan.

    Nggak ada jawaban. Aku memanggil-manggil maling kecil itu.

    "Kenapa, Hedy teriak-teriak gitu?" Ibu muncul dari ruang tamu.

    "Edwin mana, Bu?"

    "Lagi main keluar."

    "Main keluar? Kemana? Sama siapa?"

    Aku mengambil air es lalu mencampurnya dengan sirop. Minuman ini bisa menyegarkan tubuhku yang baru bangun tidur siang.

    "Aku kira dia nggak punya teman di sini."

    "Tadi siang, di minimarket ujung jalan, Ibu sama Edwin ketemu Nak Mario. Itu lho, keponakan Pak Karta."

    Hampir saja aku memuncratkan sirup dari mulutku begitu mendengar nama itu.

    "Terus Nak Mario ngajak Edwin ke rumahnya karena pohon rambutan di sana lagi berbuah," lanjut Ibu.

    "Oh ya, ternyata dia jadi wali kelasmu sekarang. Kok kamu nggak cerita sama Ibu, Hedy?"

    "Bukan soal penting." Aku mengibas-ngibaskan tangan.

    "Kenapa Ibu ngizinin Edwin pergi sama dia? Siapa tahu si Mario itu punya niat jelek sama Edwin."

    "Hedy, nggak sopan manggil dengan sebutan 'si Mario' begitu. Dia kan gurumu," tegur Ibu.

    "Niat jelek gimana? Orangnya baik dan sopan kok. Dia sempat nolong Ibu bawain belanjaan, juga mau jagain Edwin waktu berkeliling."

    "Yah...., Bu..... Ibu udah ketipu tuh. Dia cuma lagi akting biar dikira orang alim."

    "Kamu kenapa sih punya prasangka buruk kayak gitu? Masih dendam soal mangga curian itu? Nggak boleh gitu dong, Hedy. Apalagi sekarang Nak Mario itu gurumu," nasihat Ibu.

    Aku beranjak ke ruang tengah dengan sikap tak acuh. Ibu nggak tahu sih, gimana nyebelinnya ''Pak Mario'' itu, gumamku dalam hati.

    "Nanti Edwin pulang sama siapa, Bu?" tanyaku sambil menyalakan TV lalu duduk di sofa.

    "Tadi Ibu bilang sama Nak Mario kalau kamu yang nanti jemput Edwin ke rumahnya," ucap Ibu datar.

    Setelah menoleh ke jam dinding, Ibu melanjutkan,

    "Udah jam lima tuh. Jemput Edwin sana. Jangan lupa bilang makasih, ya."

    Mataku membesar. Tidak! Aku nggak mau ke rumah itu lagi! Tempat aku pernah kepergok nyolong mangga, juga ngeliat si Mario telanjang. Mendingan disuruh nguras kolam buaya aja, tapi yang nggak ada buayanya.

    "Aku mau nonton acara kesukaanku, Bu" rengekku. “Ibu aja yang jemput Edwin."

    "Nggak bisa, Ibu mau siap-siap. Malam ini Ibu sama Ayah mau pergi ke resepsi pernikahan relasi bisnis Ayah."

    Ibu naik ke lantai atas.

    "Aku sendirian dong di rumah?"

    "Kan ada Edwin. Biar ramai, ajak aja teman-temanmu nginap," saran Ibu.

    "Cepat sana, jemput Edwin!"

    "Ibu telepon aja ke rumah Pak Karta, minta Pak Mario nganter Edwin pulang."

    Ibu berhenti di tengah tangga.

    "Aduh Hedy, kamu ini disuruh jemput Edwin aja susahnya minta ampun," omel Ibu.

    "Cepat matiin TV-nya, terus jemput adikmu."

    "Huh Ibu, kalau udah soal Edwin aja sewot banget!" gumamku.

    Aku mematikan TV lalu dengan malas beranjak keluar.

    Rasanya berat banget menyeret kakiku menuju rumah yang letaknya di sebelah rumahku itu.

    ***

    "Permisi!"teriakku begitu memasuki pintu gerbang. Rumah itu kelihatan sepi.

    Aku berjalan ke halaman belakang dan melihat jendela kamar Pak Mario terbuka.

    Bayangan kejadian waktu aku melihat Pak Mario yang telanjang itu melintas.

    Ragu-ragu aku mengintip ke dalam. Nggak ada siapa-siapa.
    Kemana dia dan Edwin?

    Pluk!

    Sesuatu mengenai kepalaku, membuatku tersentak.

    "Ha ha ha!" tawa Edwin terdengar.

    Aku menoleh ke belakang. Di atas pohon rambutan yang rimbun tampak bocah itu dan Pak Mario sedang duduk di cabang pohon sambil mengunyah rambutan.

    Letak pohon itu agak jauh jadi aku nggak merhatiin waktu masuk tadi.

    "Marmut kena! Edwin hebat kan, Oom?" ujar Edwin bangga.

    Marmut? Jadi bocah bandel itu sekarang manggil aku kayak guru tengil itu? Kedua makhluknyebelin itu benar-benar kompak.

    Aku melirik kesal pada Edwin kemudian menoleh pada Pak Mario dengan muka datar.

    "Saya disuruh jemput Edwin, Pak."

    "Nggak mau! Edwin masih mau main di sini," rengek Edwin, membuatku ingin menimpuknya dengan kulit rambutan yang berserakan di rumput.

    "Om Mario janji mau ngajak Edwin nonton ke bioskop nanti malam."

    Apa?!

    Aku nggak percaya dengan pendengaranku. Enak aja si Mario mau ngajak keluar anak orang sembarangan. Ayah dan Ibu pasti nggak ngizinin.

    Kayaknya Edwin bakalan kecewa terus jadi rewel malam ini. Pekerjaan tambahan lagi buatku, dan itu semua karena Om Mario.

    "Edwin, Mama nyuruh kamu pulang. Udah sore," bujukku.

    "Mau main sebentar lagi," serunya dengan nada rajuk. "Edwin belum naik pohon yang itu."

    Edwin menunjuk pohon yang lebih tinggi, pohon mangga yang dulu buahnya kucuri lalu kepergok sama si Mario. Aku menghela nafas kesal.

    Kapan sih, bocah bandel ini nggak ngerepotin aku? Aku berpaling pada wali kelasku.

    "Pak Mario, tolong turunin adik saya dong!"

    Pak Mario yang sejak tadi cuma jadi pendengaran perdebatan kecilku dengan Edwin menoleh ke arah bocah itu.

    "Prajurit Edwin pulang dulu nanti Kapten jemput buat nonton.

    " Prajurit? Kapten? Gila tuh orang!

    "Edwin! Kamu turun sekarang atau aku seret pulang!" ancamku marah.

    Anak ini susah banget sih diatur. Edwin bergerak malas menuruni pohon dibantu Pak Mario.

    "Tenang aja, Prajurit. Nanti malam Kapten akan menyelamatkanmu dari monster itu," seru Pak Mario.

    Aku menatap kesal tapi dia malah berpaling sambil bersiul-siul.

    Nggak dewasa banget! Nih orang punya kepribadian ganda atau gimana sih? Kalau di kelas galaknya minta ampun, tapi sekarang jadi anak-anakan begini.

    Lihat aja penampilannya. Dia cuma pakai kaus lusuh dan celana pendek, rambutnya berantakan, nggak pake kacamata.

    Nggak kayak guru banget!

    "Ayo pulang!"

    Aku menarik tangan Edwin begitu anak menjejak tanah.

    Pluk!

    Kulit rambutan mengenai kepalaku. Aku menoleh. Apa lagi sekarang?

    "Eh, maling mangga nggak minat nih ganti profesi jadi maling rambutan?" tanya Pak Mario dengan nada mengejek.

    "Tidak, terima kasih. Saya sudah tobat. Lagian sekarang pohon-pohon di sini sudah dijaga monyet pemiliknya," ucapku keceplosan.

    Refleks aku menutup mulut. Gila! Kok aku bisa ngomong gitu ya? Cepat-cepat aku keluar pintu gerbang sambil menarik Edwin yang melambai pada teman barunya.

    ***

    Inilah hidup. Malas-malasan di sofa ditemani cemilan sambil baca komik dan nonton TV.

    Sayang, Angga dan Sony nggak bisa nemenin aku malam ini karena katanya mereka ada acara keluarga dan kesibukan di rumah.

    Edwin lagi di kamarnya, nggak tahu ngapain. Mudah-mudahan dia nggak cepat keluar jadi aku bisa menikmati ketenangan ini lebih lama.

    Ting tong!

    Bunyi bel pintu mengusik acara bersantaiku.

    "Itu pasti Om Mario!" seru Edwin sambil berlari menuruni tangga dengan dandanan rapi.

    Aku yang sedang berbaring langsung terduduk. Mataku mengikuti Edwin yang mengitari ruang tengah menuju pintu depan.

    "Om, kita pergi sekarang?" terdengar suara riang Edwin.

    Dengan malas aku beranjak dari sofa.

    Ada apa lagi sih?

    "Edwin, kamu mau kemana?"

    Aku menatap bocah itu, nggak memperhatikan orang yang berdiri di luar pintu.

    "Edwin mau nonton ke bioskop sama Om Mario!" sahutnya gembira.

    "Tapi Ibu kan belum ngizinin kamu pergi?"

    "Tadi waktu Marmut mandi, Om Mario nelepon dan bilang ke Ibu mau ngajak Edwin nonton terus Ibu ngizinin," jelas Edwin membuatku kalah telak.

    "Kalau nggak percaya, tanya aja sama Om Mario."

    Edwin membuka pintu lebih lebar sehingga aku bisa melihat orang yang sejak tadi berdiri di luar. Mataku terbelalak.

    Gila, apa aku nggak salah liat? Aku menatap orang itu dari atas ke bawah. Orang ini beneran Pak Rio, wali kelasku?

    Dia memakai kaus biru bergambar coretan grafiti di balik jaket abu-abunya dengan celana kaki hitam dan sepatu kets. Kok jadi kelihatan kayak cowok SMA gini?

    "Benar kok, aku sudah dapet izin dari Ibu kamu buat ngajak Edwin nonton."

    Mulutku terbuka tapi nggak tahu mau ngomong apa. Aku masih syok melihat penampilan Pak Mario. Beneran, ini wali kelasku?

    "Edwin boleh pergi, ya?"

    "Eh, tunggu dulu," tahanku. "Maaf ya, permisi sebentar!"

    Aku menarik tangan Edwin menjauh dari Pak Mario. Aku berjongkok di depan Edwin.

    "Dengar, Edwin Om Mario itu orang asing. Kamu nggak boleh pergi sama dia. Bisa aja kan, dia punya niat jahat sama kamu," ucapku lembut.

    Bocah itu memandangku curiga.

    "Bohong! Om Mario nggak jahat kok. Yang jahat itu Marmut yang nggak ngizinin Edwin pergi."

    "Edwin, Marmut mohon Edwin jangan pergi ya, tinggal di rumah aja. Nanti Marmut turutin apa aja permintaan Edwin. Ibu menyuruh Marmut jagain Edwin. Kalau terjadi apa-apa, Ibu bisa menggantung Marmut di langit-langit." Aku memasang wajah memelas.

    "Edwin mau pergi!" teriak Edwin.

    "Kalau Marmut takut, Marmut ikut pergi aja sama Edwin sama Om Mario."

    "Yang bener aja! Masa Marmut mau pergi sama....."

    Aku nggak bisa melanjutkan kata-kata. Edwin melirik-lirik ke arah pintu dengan nggak sabar. Aku cuma bisa menghela napas.

    "Ya udah....."

    ***

    Setengah jam kemudian aku, Edwin, dan Pak Mario yang minta nggak dipanggil ''Pak'' di depan umum sudah berada di luar gedung bioskop.

    Aku menemani Edwin mencari popcorn, sementara Mario beli tiket buat kamu bertiga.

    Ya ampun, kenapa aku harus menghabiskan malam Minggu ini dengan nonton Kung Fu Panda sama wali kelas dan adik sepupuku? Nggak ada pilihan lain apa? Misalnya kencan sama
    Tommy sambil makan malam yang romantis.

    Kalau boleh milih, mendingan aku mati kebosanan di rumah nonton acara dialog di TV daripada ''bersenang-senang'' di sini.

    Mario datang sambil melambaikan tiga lembar tiket.

    "Kamu cuma beli popcorn buat Edwin?"

    "Kalau mau beli aja sendiri," sahutku cuek.

    "Nanti minta punya Edwin aja, Om," Edwin menawarkan.
    Mario menoleh padaku dengan senyum kemenangan.

    "Masuk yuk!"

    Edwin menarik-narik lengan jaket Mario. Sebelum masuk, Mario mendekatkan bibirnya di telingaku lalu berbisik,
    "Kita mau nonton film kartun bukan film horor. Mukamu jangan serem gitu dong. Merusak suasana aja."

    Mario dan Edwin masuk dengan riang tanpa menghiraukan aku.

    Nyebelin!!!

    Di dalam aku, Edwin, dan Rio duduk berderet di kursi bioskop. Kelihatan kayak keluarga muda. Di kanan-kiri kursi kami kebanyakan para orang tua yang menemani anak-anaknya nonton.

    Aku jadi makin risih. Mario dan Edwin tampak antusias menunggu film yang akan ditonton, sementara aku menggerak-gerakkan tubuh dan mencari posisi yang nyaman buat tidur.

    Aku lagi nggak mood nonton padahal biasanya aku semangat nonton film lucu. Kepejamkan mata. Lampu dipadamkan dan iklan film mulai diputar.

    Aku makin terlelap. Suara tawa orang-orang di sekitarku membuatku terbangun. Entah sudah berapa lama aku tertidur.

    Aku membuka mata dan melihat adegan Panda gendut sedang melawan macan tutul. Nggak seimbang banget. Jurus-jurus si macan tutul mantap kelihatan banget tingkat keilmuannya tinggi.

    Tapi jurus-jurus si Panda gokil banget. Sempet-sempetnya tuh Panda ngebayangin makanan padahal lagi ngelawan musuh berat.

    Aku tertarik dan langsung ikut tertawa karena kekonyolan-konyolan yang terjadi.

    Sambil nonton aku mencomot popcorn Edwin bergantian dengan Mario. Entah menguap kemana kekesalanku tadi.

    Aku bisa menikmati malam ini sekarang. Tidur ternyata baik untuk kesehatan mental. Keluar dari bioskop, Edwin ribut berceloteh ngomongin film tadi.

    Mario menanggapi dengan antusias, sementara aku cuma senyum-senyum. Kayaknya kami semua bersenang-senang malam ini.

    "Om, Edwin lapar, makan yuk!" Edwin menarik-narik lengan jaket Mario dengan manja.

    "Ayo! Om juga udah lapar."katanya sambil noleh ke arahku.

    "Marmut ikut, kan?"

    Aku mengangguk. "Om yang traktir, ya!"candaku.

    Kayaknya kartun tadi benar-benar memberikan mood bagus buat suasana hatiku. Di restoran dekat bioskop kami makan sambil ngobrol dengan akrab.

    Sulit dipercaya aku dan Mario bisa bicara normal tanpa ada unsur permusuhan.

    Edwin dan Mario masih ngobrol seru soal film tadi. Aku cuma mendengarkan sambil sesekali melirik Rio yang tampak menikmati obrolannya dengan bocah tujuh tahun itu.

    Saat nggak sengaja menoleh ke pintu masuk, aku terhenyak melihat dua orang yang kukenal masuk restoran.

    Itu Tommy dan Martabak. Mataku mengikuti mereka sampai mereka duduk di meja pojok. Ini malam Minggu, Tommy dan Martabak makan malam di luar. Cuma berdua.

    Jangan bilang mereka lagi kencan di sini!

    Aku nggak bisa berhenti memandang mereka. Tommy dan Martabak kelihatan deket banget.

    “Masa, Tommy samsa seperti aku”? batinku dalam hati.
    Memang sih, setahuku Tommy, Martabak, juga Sony berteman akrab karena mereka sekelas sejak kelas satu, tapi masa iya cuma temen aja bisa makan malam berduaan?

    Malam Minggu lagi. Perasaan cemburu, kecewa, dan sedih memenuhi hatiku. Rasanya sesak banget.

    Apa artinya harapan yang selama ini kumiliki sejak mulai dekat dengan Tommy? Aku geer aja kali ya, padahal nggak ada apa-apa.

    Aku menunduk sedikit getir dan mengasihani diri sendiri.

    "Ayo pulang!"

    Aku berdiri tiba-tiba, membuat obrolan Mario dan Edwin terputus. Mereka menatapku heran.

    "Ayo dong....aku mau pulang nih," pintaku dengan suara serak.

    Dadaku terasa sakit. Aku nggak tahan ngeliat cowok yang selama ini kusukai bersama cowok lain, apalagi dia adalah Martabak.

    Mario kelihatan tidak mengerti, tapi dia cepat-cepat memanggil pelayan, membayar makanan lalu membawa kami keluar.

    Restoran itu cukup besar kurasa Tommy atau Martabak nggak menyadari keberadaan kami. Di dalam mobil, kami saling diam.

    Edwin yang duduk sendiri di kursi belakang pun nggak berulah. Aku memandang ke luar jendela dan mencoba meredam kegundahan hatiku.

    "Edwin ketiduran," ucap Mario.

    "Hah?"

    Aku menoleh padanya nggak ngerti. Mario menunjuk ke belakang. Aku membalikkan badan dan melihat Edwin yang berbaring di kursi belakang. Pantas sepi sejak tadi.

    "Maaf ya, aku mengacaukan malam ini, padahal seharusnya kita bersenang-senang," kataku tanpa menoleh kepada Mario.

    "Edwin pasti membenciku. Aku memang nggak pernah jadi kakak yang baik buat dia, sementara kamu yang baru dikenalnya satu hari sudah bisa bikin dia gembira."

    "Kamu nggak seburuk itu kok."

    Mario menoleh kepadaku sekilas.

    "Tadi sore di atas pohon rambutan, aku sempat nanya sama Edwin, siapa orang-orang yang paling dia sayangi dan ternyata kamu salah satunya. Memang sih dia bilang Singa Masai tapi karena aku nggak ngerti terus dia jelasin bahwa Singa Masai itu kakak sepupunya yang suka ngamuk, rambutnya suka berantakan kayak singa, dan kalau abis makan bisa tidur lama kayak Singa Masai."

    Refleks aku merapikan rambutku dengan jari. Duh....bocah bandel tega-teganya cerita yang malu-maluin tentang aku ke orang lain.

    Aku menatap Mario kikuk. Hancur sudah reputasiku di depan wali kelasku itu.

    "Jadi, Edwin bilang aku salah satu orang yang paling dia sayangi walaupun setiap hari kami bertengkar?"

    "Kadang pertengkaran dan permusuhan bisa memunculkan rasa sayang yang tersembunyi jauh di dalam hati," ucap Mario.

    Dia menatapku dan aku membalasnya. Sejenak aku tersadar, kata-katanya juga bisa berlaku dalam hubungan kami yang nggak pernah akur dan selalu terlibat masalah sejak pertemuan pertama.

    Tapi ini nggak berarti ada kemungkinan munculnya rasa sayang yang tersembunyi jauh di dalam hati antara aku dan dia, kan? Yang benar aja! Masih ada makhluk sebagus Tommy, mana mungkin aku punya ''rasa'' sama wali kelasku ini?

    Aku terdiam sesaat. Dadaku kembali sesak mengingat Tommy.

    Sekarang nggak ada lagi harapan aku bisa bersamanya.

    Sia-sia penantianku selama ini. Rumahku tampak sepi waktu kami sampai. Ayah dan Ibu belum pulang.

    Mario menggendong Edwin sampai di kamarnya lalu membaringkan tubuh kecil itu di tempat tidur.

    Aku mengantar Mario sampai ke pintu depan.

    "Makasih ya, sudah ngajak kami nonton dan mau nganterin pulang," ucapku canggung.

    Rasanya aneh kalau cuma berdua kayak gini.

    "Sama-sama. Tapi sebelum pulang, aku boleh tahu nggak, kamu kenapa waktu di restoran tadi? Masih kesal karena aku ngajak Edwin keluar atau ada sesuatu yang lain?" tanya Mario dengan mata menyelidik.

    "Nggak kok. Aku malah menikmati kebersamaan kita. Kita bertiga," ralatku cepat. "Nggak ada alasan lain, aku pengen pulang aja."

    "Selain nggak pintar matematika, kamu juga nggak pintar bohong. Gini aja, gimana kalau kamu cerita ke aku? Anggap aja sekarang aku bukan wali kelas atau gurumu tapi cowok tetangga, teman adik sepupumu yang bersedia jadi teman curhat," ucap Mario sungguh-sungguh.

    "Nggak ada yang mau aku ceritain kok."

    "Termasuk soal Tommy dan Marhedy yang kamu lihat di restoran tadi?"

    Aku kaget, nggak nyangka Mario juga melihat mereka berdua.

    "Terserah kamu sih, aku cuma mau nawarin bantuin....."

    Mario tersenyum. Aku merasakan sesak di dadaku. Aku ingin berbagi dengan seseorang.

    Sayangnya, yang ada bersamaku sekarang cuma guru matematikaku yang kadang nyebelin dan sering menyusahkanku. Tapi gimana ya kok malam ini aku jadi mellow begiin? Nggak apa-apa kali, ngobrol-ngobrol dikit sama dia.

    Lagian dia nggak rese-rese amat malam ini. Daripada nanti sedih sendiri kalau dia pergi Aku mengajak Mario ke bangku teras.

    Udara malam ini nggak dingin-dingin banget rasanya lebih nyaman ngomong di luar.

    "Tadi kamu ngeliat mereka juga, ya?" ucapku memulai percakapan.

    "Kamu nggak sadar tadi kamu nggak berkedip melihat ke satu arah. Terang aja aku ikut merhatiin. Ternyata itu Tommy dan Marhedy," jelas Mario.

    Aku menunduk memandangi kakiku yang kuayun-ayunkan.

    "Kamu suka sama Tommy, ya?"

    DEG

    Aku merasa Mario sedang menatapku.

    "Makanya, waktu melihat Tommy dan Mathedy kamu jadi cemburu dan patah hati."

    “Oke, Jujur aku menyukai Tommy dan aku cemburu melihat mereka berdua “ kataku dengan suara bergetar

    “Oh… I see..” Kata Mario dengan tenang menatapku.

    “Kamu tidak ada problem dengan itu kan? Maksudku.... Orientasi itu… Aku memang seperti ini, aku terbuka terhadap siapa saja bahwa aku memang seperti ini..” Kataku.

    Mario menatapku seolah itu hal yang biasa.

    “Tidak apa-apa kok, aku tidak peduli soal itu”

    Aku pun menatapnya dan dia tersenyum kepadaku.

    "Lalu, Apa menurut orang dewasa kayak kamu enggak seharusnya aku bersikap kekanak-kanakan kayak tadi? Yang kurasakan kan cuma sakit hati seorang cowok yang kehilangan cowok yang nggak pernah dimilikinya."

    Aku seolah mengejek diri sendiri.

    "Kenapa kamu punya pikiran kayak gitu? Aku ngak nganggap sikapmu kekanak-kanakan. Itu wajar kok. Sakit hati seorang anak kecil yang direbut mainannya, remaja yang patah hati, juga orang dewasa yang ditinggal mati kekasihnya memiliki nilai yang sama. Perasaan itu manusiawi." Kata-kata Mario menenangkan hatiku.

    Aku menoleh padanya kemudian dia tersenyum lagi dan membuatku merasa nyaman.

    "Aku suka Tommy sejak kelas satu. Alasannya standar. Dia keren, cakep, jago basket. Tapi setelah kelas dua dan aku sekelas sama dia, aku melihat kelebihan lain dalam dirinya. Tommy itu cowok yang baik, ramah, pintar, juga ketua kelas yang bertanggung jawab. Dia juga nggak belagu atau sombong dengan kelebihannya."

    Aku mulai mengungkapkan isi hatiku yang belum pernah kuceritakan pada siapa pun kecuali Steve.

    "Aku tahu, banyak banget cewek dan maupun cowok yang sepertiku di sekolah yang suka sama dia tapi aku tetap berharap bisa dekat dengannya. Ingat kan, waktu aku bawa mainan robot ke sekolah?"

    Mario menoleh kepadaku sekilas dan mengangguk, lalu kembali berpaling.

    "Ternyata dia juga suka sama mainan kayak gitu. Makanya sejak itu kami sering ngobrol dan jadi lebih akrab. Aku jadi punya harapan kami bisa lebih dekat dan lebih dari sekadar teman."

    "Seharusnya, sebelum berharap kamu siap-siap kecewa." ucap Pak Mario datar.

    "Aku tahu itu. Aku sering ngebayangin Tommy bersama cowok maupun cewek lain, juga ngeliat sendiri dia didekati cowok dan cewek yang mau menarik perhatiannya dan perasaanku baik-baik aja. Tapi malam ini waktu aku ngeliat dia bersama dan terlihat mesra dengan cowok lain aku tidak bisa menahan perasaanku. Hatiku sakit."

    "Apa karena cowok itu Marhedy?"

    "Entahlah, mungkin juga."

    Aku melirik Mario curiga.

    "Kamu tahu kalau hubunganku sama putra kepala sekolah itu nggak baik? Kayaknya kamu tahu banyak hal tentang aku. Bukan tugas wali kelas kan dan menyelidiki segala hal tentang muridnya? Kukira yang kamu tahu hanya soal ,nama lengap dan nilai ulanganku."

    "Cuma nebak dari sikapmu yang cuek banget sama dia dan juga tingkahnya yang berlebihan kalau dapat masalah. Kamu nggak suka sama dia, ya?"

    "Bukannya nggak suka cuma nggak tahu kenapa aku nggak bisa nyambung sama dia dan sering bertentangan sejak kami jadi teman sekelas. Ada aja ulahnya yang bikin aku sebal dan kayaknya dia juga alergi sama aku."

    Aku menatap Mario sebentar sebelum melanjutkan.

    "Kuakui, kadang aku iri sama dia. Dia manis, kaya, pintar, populer, punya banyak teman dan banyak cowok belok yang suka sama dia. Dia juga nggak sebodoh aku dalam pelajaran. Dia punya segalanya dan sekarang dia pacaran sama cowok idola sekolah yang kebetulan orang yang aku suka. Aku ngerasa semua anugerah Tuhan jatuh di atap rumahnya."

    “Aku merasa Tommy sama sepertiku karena dia merasa senang ketika bersama Martabak” batinku dalam hati

    "Mungkin itu cuma pikiranmu aja. Belum tentu dia merasa kayak gitu. Siapa tahu dia malah ingin jadi sepertimu."

    "Ah, siapa yang mau jadi cowok bego, males, cuek, slenge'an, dan cuma bisa bikin masalah kayak aku?"

    "Di balik sifat jelekmu, pasti ada kelebihan yang nggak kamu sadari."

    Kami saling terdiam. Aku memikirkan kata-kata Mario. Apa benar aku punya kelebihan kayak gitu? Rasanya nggak ada deh. Apa yang dimaksud Mario kelebihan karena aku bisa memanjat pohonatau bikin ulah?

    "Kelebihan apa misalnya?" tanyaku.

    Mario berpikir sejenak.

    "Sebagai guru matematika aku nggak menemukan kelebihan apa pun dalam dirimu. Sebagai tetangga yang jadi korban percurian, aku tahu kamu pintar manjat dan suka ngintip. Tapi kayaknya itu nggak termasuk kategori kelebihan."

    Dia tersenyum mengejek dan membuat aku merasa dia menjadi Pak Mario lagi.

    "Tapi setelah menghabiskan malam ini bersamamu, kulihat kamu orang yang bertanggung jawab. Buktinya, demi tugas menjaga Edwin kamu mau ikut nonton. Kamu juga menyenangkan. Dan sekarang, kamu mau jujur cerita soal perasaanmu. Aku menghargai keterbukaanmu padaku”

    “Oh ya, satu hal lagi....senyummu manis." lanjutnya dengan tersenyum lebar

    Hah?!

    Apa aku nggak salah dengar? Dia bilang senyumku manis?
    Aku merasa wajahku memanas.

    Norak banget! Kok aku jadi salah tingkah kayak gini? Padahal aku tidak suka dibilang manis

    "Makasih deh," ucapku sedikit salah tingkah.

    Mario melirik jam tangannya.

    "Udah malam, aku pulang dulu ya." dia berdiri.

    "Eh, soal pembicaraan kita yang tadi tolong jangan cerita ke orang lain, ya," pintaku.

    "Tenang aja. Setelah keluar dari sini aku akan jadi guru matematikamu lagi, bukan teman curhat atau teman kencan malam Minggu-mu."

    Mario berjalan keluar. Teman kencan? Maksudnya? Aku mengerutkan dahi.

    "Kalau hari Senin kamu nggak ngumpulin PR halaman 97, Bapak akan menyuruhmu mengelap seluruh kaca jendela di ruang guru," ancamnya dari luar.

    Aku tersenyum dan mengantarnya sampai pintu pagar.
    Benar, orang itu sudah menjadi Pak Mario lagi.

    BERSAMBUNG

    Ini chapter terpanjang 14 lembar -_- sebenarnya mau update kemarin tapi ada masalah jd tdk ada mood mau update....

    Oh ya rencana sih q mau buat saingan Hedy itu cewek yg dekat sm Tommy tapi tdk jadi soalnya kagak seru hehehehe jd ceritanya cowok2 aja saingan sesama cowok semua org q anggap gay hehehehehe

    BERIKAN LIKE MINIMAL 15 DAN KOMENTAR BANYAK YA
  • Ya allah udh update sabar jd org, jahat benar sama BF sendiri malah kamu yg aku tendang -_-
    @Akang_Cunihin

    Ya allah sabar bang tuh udh update
    @Daser
Sign In or Register to comment.